DISKRESI POLRI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA
DAN PENERAPANNYA DALAM
SISTEM RESTORATIVE
JUSTICE
Oleh:
Roli Pebrianto
Prolog
Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan
pelaksanaan profesi. Artinya, dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri
menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis kepolisian.
Mark Finlay dan Ugljeza Zvekic mengatakan bahwa “kegiatan Polisi adalah pelaksanaan
upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta peradilan pidana pada
hampir seluruh konteks sosial-budaya.”[1]
Oleh karena tugas yang berat itu ditambah dengan semakin berkembangnya
masyarakat, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang secara otomatis modus operandi
dan teknik kejahatan yang semakin canggih, maka setiap anggota Polri dituntut
untuk lebih profesional dalam menegakkan hukum.
Peran Polisi secara umum dikenal
sebagai pemelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) juga sebagai aparat penegak hukum dalam wadah
sistem peradilan pidana (Criminal Justice
System). Polisi adalah
aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat.
Dalam Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah
satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat”. Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara RI
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,
serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia”.
Pada
konteks penegakan hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Undang-Undang
Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, penyidik diberi kewenangan untuk melaksanakan
diskresi kepolisian, yaitu melakukan tindakan berdasarkan penilaiannya sendiri
yang didasarkan kepada untuk kepentingan umum, memperhatikan peraturan
perundangan serta kode etik profesi, dilakukan dalam keadaan yang sangat
mendesak, memperhatikan manfaat dan resiko yang akan terjadi serta bertindak
berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesusilaan, kesopanan,
menjunjung tinggi hak asazi manusia, serta mengutamakan tindakan pencegahan.
Tindakan diskresi kepolisian ini juga biasa dikenal dengan nama tindakan
Represif Non Justisiil yang dilaksanakan berdasarkan asas Pligmatigheid.[2]
Dengan
kata lain, diskresi Kepolisian dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat
Polisi untuk memilih melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan lain yang
tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, namun berdasarkan
penilaiannya harus melakukan tindakan itu. Diskresi membolehkan seorang Polisi
untuk memilih diantara berbagai peran, taktik, ataupun tujuan dalam pelaksanaan
tugasnya. Dengan demikian, maka timbul pertanyaan, “bagaimana penerapan
diskresi kepolisian dalam sistem restorative
justice ?”, “sejauh mana batasan-batasan diskresi kepolisian yang dapat
diterapkan oleh anggota Polisi di lapangan ?”. Kemudian “bagaimana mekanisme
pengawasan dan pengendalian terhadap kewenangan diskresi oleh penyidik dalam
upaya penegakan hukum ?”, mengingat masih banyak penerapan diskresi yang
dinilai salah dan bahkan merupakan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang.
Peran POLRI Dalam Penegakan Hukum.
Terkait dengan peran Polri dalam
penegakan hukum, Polri diharapkan dapat menjadi subjek yang mampu menghidupkan
hukum.[3]
Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang baik adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip yang di dalamnya berpangkal tolak pada prinsip penegakan hukum
yang baik, akan dapat diperoleh tolak ukur kinerja suatu penegakan hukum yakni
adanya suatu persinggungan dengan semua unsur prinsip penegakan hukum yang
baik, mengacu pada prinsip demokrasi, legitimasi, akuntabilitas, perlindungan
HAM, kebebasan transparansi, pembagian kekuasaan, dan kontrol masyarakat.[4]
Dengan keberadaan
penyidik-penyidik Polri yang menjalankan proses penegakan hukum (law in action), aturan hukum yang
tertulis dalam buku (law in book)
menjadi berguna dan memberikan dampak nyata secara tegas, baik terhadap seluruh
masyarakat, maupun kepada pelanggar hukum agar dapat menimbulkan efek jera dan
tidak mengulangi perbuatannya.[5]
Peran Polri secara normatif juga diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan pemahaman
penyelidikan.[6]
Maka dapat diketahui bahwa penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri
sendiri, melainkan merupakan sub fungsi dan bagian yang tidak terpisahkan dari
fungsi penyidikan yang dilakukan di lingkungan Polri dikenal sebagai suatu
kegiatan Reserse, yaitu suatu metode atau cara, kegiatan yang mendahului
tindakan upaya paksa yang dilakukan dalam penyelidikan, yakni suatu rangkaian
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemanggilan, dan lain-lain.
Sebelum dilakukan tindakan penyidikan, maka perlu dilakukan tindakan
penyelidikan yang dilakukan oleh pejabat penyelidik, dengan tujuan untuk mengumpulkan
bukti permulaan yang cukup, agar dapat dilakukan tindak lanjut berupa
penyidikan.[7]
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.[8]
Konsep Diskresi Kepolisian
Diskresi adalah wewenang yang
diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian
dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri.[9] Diskresi
secara singkat dapat dipahami sebagai suatu lembaga/pranata dalam hukum berupa
suatu kebijakan yang dilakukan oleh seorang penguasa dalam menjalankan
kekuasaaan atau kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada orang tersebut.[10]
Dalam Kamus Hukum, pengertian
diskresi adalah “menurut kebijaksanaan, atau menurut wewenang atau kekuasaan,
yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada ketentuan undang-undang”.[11] Dalam
bahasa sederhana yang digunakan sehari-hari, diskresi diartikan sebagai
“kemungkinan menentukan sendiri keputusan yang diambil dari beberapa
kemungkinan sebagai alternatif”.[12]
Dalam konteks kepolisian, Police Discreation yang diterjemahkan
sebagai diskresi kepolisian sering diartikan sama dengan penyampingan perkara.
Keadaan sebenarnya tidaklah sepenuhnya sama seperti demikian. Hal ini dapatlah dimaklumi
mengingat cakupan tugas polisi tidak hanya terbatas menangani perkara,
melainkan juga meliputi tugas-tugas pencegahan dalam rangka memelihara
keamanan, ketertiban, dan bahkan dalam rangka perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan masyarakat.[13]
Menurut James Q. Wilson (1978), diskresi ada hubungannya dengan penilaian
petugas atas untung rugi (costs and
benefits) dari berbagai tindakan.[14] Menurut
Thomas J. Haron dalam bukunya The Control of Police, “ discretion” diartikan,
“discretion is power authority conferred by law to action on the basic of
judgment or conscience, and its use is more on idea of morals then law”.[15]
Sumber Hukum Diskresi Kepolisian
Diskresi Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada UU No. 2 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa
Polisi mengadakan “tindakan lain menurut
hukum yang bertanggungjawab”.[16] Selanjutnya, dalam Pasal 18 UU No. 2
Tahun 2002 dijelaskan bahwa:
(1) Untuk kepentingan
umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam
keadaaan yang sangat perlu dengan memperhatikan perturan perundang-undangan
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negeara Republik Indonesia.
Hal tersebut diatas mengandung maksud
bahwa seorang anggota Polri yang melaksanakan tugasnnya di tengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil
keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap
ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya bagi ketertiban dan
keamanan umum, dimana tindakan ini harus
memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Profesi
Polri.
Selanjutnya,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), juga mengatur tentang diskresi yang berhubungan dengan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana, dalam hal ini menunjuk adanya tindakan lain
berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan antara lain, dalam Pasal 5
ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP, memberikan wewenang kepada Penyelidik untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggungjawab. Hal yang sama juga berlaku bagi Penyidik
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP.
Tentang Diskresi Polri Dan Penerapannya Dalam
Sistem Restorative Justice
Restorative Justice merupakan salah satu bentuk konkret diskresi
kepolisian.[17]
Dikatakan demikian karena pendekatan yang digunakan dalam Restorative Justice adalah pendekatan solusi.[18] Penegakan
hukum dengan pendekatan restorative
justice akan menghilangkan dampak negatif penegakan hukum secara
konvensional, sehingga penegakan hukum akan lebih efisien, membuka banyak ruang
untuk pembelajaran sosial, meningkatkan kohesi (daya ikat) di masyarakat, dan
pada akhirnya akan mewujudkan keadilan yang subtantif dan ketertiban
ditengah-tengah masyarakat.[19]
Sebagaimana dikemukakan diatas,
pengembangan penerapan sistem Restorative
Justice, sangat memberi peluang dilakukannya penerapan diskresi kepolisian
dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat melalui
alternatif pemecahan diluar jalur hukum yang lebih efektif. Namun untuk
mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan kewenangan, penerapan
harus disertai dengan mekanisme pengendalian dan pengawasan yang ketat oleh
para pimpinan terhadap para petugas pelaksana.[20]
Restorative Justice dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu
yang menimbulkan kerugian materi dengan nominal kecil yang dilakukan oleh:
1)
Anak dibawah
umur;
2)
Orang tua
renta;
3)
Masyarakat
marjinal yang terpaksa melakukan kejahatan tersebut karena desakan pemenuhan
kebutuhan hidup akibat kemiskinannya;[21]
Dalam hal
melakukan penyelesaian perkara diluar peradilan, dapat ditempuh dua cara
sebagai berikut:[22]
1)
Apabila
perkaranya belum dilaporkan secara resmi kepada polisi (belum diterbitkan
laporan polisi). Pada kondisi ini, penyelesaian akan lebih mudah dengan
melibatkan pihak-pihak yang berhubungan dengan pihak-pihak yang berperkara
melakukan perundingan untuk menyelesaikan masalahnya hingga menemukan
kesepakatan.
Polri dapat terlibat dalam proses
perundingan sebagai penengah atau mediator pada kedua belah pihak. Untuk
mewadahi kegiatan ini, Polri telah melaksanakan perpolisian masyarakat yang
bertujuan untuk mengoptimalkan kehadiran anggota Polri agar berperan dalam kehidupan
masyarakat. Polmas yang bertujuan untuk membangun kemitraan dan pemecahan
masalah sangat sejalan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kecil di
masyarakat, sehingga pihak yang bersengketa tidak perlu menyelesaikannya
melalui jalur hukum. Pelaksanaannya dapat dilakukan di forum-forum yang
dibentuk terkait dengan Polmas (FKPM) atau menggunakan lembaga yang terdapat di
masyarakat (RT/RW atau lembaga adat, lembaga agama, dll) atau bahkan di kantor
Polisi terdekat saat dibuat laporan Polisi.
2)
Perkara telah
dilaporkan secara resmi kepada Polri (telah diterbitkan laporan polisi).
Terhadap perkara yang telah dilaporkan kepada polisi, baik yang sudah
ditindaklanjuti dengan penyidikan ataupun yang belum dilakukan penyidikan,
penyidik dapat memfasilitasi kedua pihak untuk menyelesaikan permasalahannya
tanpa melalui proses perailan. Apabila kedua belah pihak telah sepakat
berdamai, maka mereka membuat pernyataan kesepakatan berdamai untuk
menyelesaikan kasusnya dan selanjutnya pelapor mencabut laporannya dan keterangannya
sebagai saksi. Dengan dasar ini, menjadi landasan penyidik untuk tidak
melanjutkan penyidikan.
Berdasarkan
Pasal 109 ayat (2) KUHAP, Polri memiliki kewenangan menghentikan penyidikan
apabila:
1)
Tidak cukup
bukti;
2)
Peristiwa
bukan tindak pidana;
3)
Dihentikan
demi hukum.
Dicabutnya
laporan dan keterangan korban sebagaimana disebutkan diatas berdampak pada penyidikan
tidak dapat memperoleh bukti yang cukup, sehingga penyidik dapat menghentikan
penyidikan. Dalam penerapannya, syarat yang harus dipenuhi guna melaksanakan retorative justice adalah:[23]
1)
Penyidik
meyakini bahwa alternatif tersebut benar-benar tepat diambil dan diperlukan
untuk penyelesaian terbaik dengan mengedepankan asas keseimbangan;
2)
Keputusan
diambil tidak bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan
profesi, patut dan masuk akal berdasarkan pertimbangan yang layak dan
menghormati HAM;
3)
Telah ada
kesepakatan damai antara pihak-pihak terkait dengan peristiwa pidana yang
terjadi yang dikuatkan dalam surat pernyataan dengan disetujui tokoh-tokoh
masyarakat terkait;
4)
Adanya
persetujuan pihak korban dan keluarganya;
5)
Tidak
didasari keinginan atau iming-iming imbalan sesuatu kepada penyidik;
6)
Diputuskan
oleh atasan penyidik sesuai tingkat kesatuannya;
7)
Harus
dilakukan melalui mekanisme gelar perkara yang melibatkan atasan penyidik,
pengawas penyidik dan fungsi pengawas internal, seperti Propan dan Itwasum,
sesuai tingkat kesatuan penyidik.
Berdasarkan
hal-hal yang diuraikan diatas, perlu diuraikan disini bahwa Kapolri telah mengeluarkan
Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 tentang
Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR), yang pada
pokoknya mengatur hal-hal berikut:
1.
Mengupayakan
penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya
dapat diarahkan melalui konsep ADR;
2.
Penyelesaian
kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yg
berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai
dengan prosedur hukum yg berlaku secara profesional dan proporsional;
3.
Penyelesaian
kasus pidana yg menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan
harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT RW setempat;
4.
Penyelesaian
kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma hukum sosial / adat
serta memenuhi azas keadilan;
5.
Memberdayakan
anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada di wilayah masing-masing untuk
mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil
kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR;
6.
Untuk kasus
yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi di sentuh oleh
tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.
Batasan-Batasan Diskresi Kepolisian Serta
Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur
tentang diskresi yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana, dalam hal ini menunjuk adanya tindakan lain berdasarkan hukum yang
dapat dipertanggung jawabkan antara lain, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka
4 Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, memberikan wewenang kepada Penyelidik dan
penyidik untuk mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Hal yang sama juga diatur
dalam Pasal 16 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Adapun "tindakan lain" ini dibatasi dengan syarat :
a.
Tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum.
b.
Selaras
dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
c.
Tindakan itu
harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatanya;
d.
Atas
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e.
Menghormati
hak asasi manusia.[24]
Dengan
demikian, maka batasan diskresi kepolisian dalam rangka penegakan hukum
(penyelidikan dan penyidikan) ialah sebagaimana yang diatur dalam penjelasan
pasal 5 ayat (1) huruf a angka jo. pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP dan Pasal 16
ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kemudian,
mengenai mekanisme penyidikan, mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap
kewenangan diskresi dalam rangka penegakan hukum, menurut Penulis harus
melibatkan para perwira-perwira jika tindakan diskresi itu dilakukan oleh
seorang bawahan atau Bintara, dan perwira yang lebih tinggi pangkatnya jika
tindakan diskresi itu dilakukan oleh seorang perwira. Hal ini dimaksudkan agar
setiap anggota Polri (baik Bintara maupun Perwira) tidak sewenang-wenang dalam
memberikan diskresi, dan jangan sampai mencederai rasa keadilan masyarakat.[25]
Epilog
Diskresi
kepolisian secara singkat dapat diartikan sama dengan penyampingan perkara oleh
Polri dalam tugas penegakan hukum. Diskresi kepolisian dalam KUHAP dan UU No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menggunakan kalimat “tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab”. Tindakan lain yang dimaksud ialah: (a) tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang
mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut, masuk akal, dan
termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d) pertimbangan yang layak berdasarkan
keadaan yang memaksa; dan (e) menghormati HAM. Hal ini sejalan dengan sistem Restorative Justice.
Sistem Restorative Justice sangat memberi
peluang dilakukannya diskresi kepolisian dalam menyelesaikan berbagai
permasalah di masyarakat melalui alternatif pemecahan diluar jalur hukum yang
lebih efektif, yang dalam istilah lain dikenal sebagai Alternative Dispute Resolution/ADR.
Dalam
menerapkan diskresi kepolisian, tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan
atau penyalahgunaan kewenangan. Untuk itu, diperlukan mekanisme pengendalian
dan pengawasan yang melibatkan atasan penyidik, pengawas penyidik, dan fungsi
pengawas internal seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Div. Propam) dan
Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum).
Kepustakaan
Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Aryanto
Sutadi, dkk, 2012, Diskresi Kepolisian:
Dalam Tinjauan Hukum Dan Implementasinya Di Lapangan, Jakarta: Komisi
Kepolisian Nasional.
Badrodin
Haiti, “Peranan Polri Dalam Penegakan
Hukum Di Wilayah Republik Indonesia”, Naskah Kapolri Sebagai Pembicara Di
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 15 September 2015.
Kunarto,
dkk, 1988, Alternatif Gaya Kegiatan
Polisi Masyarakat; Tinjauan Lintas Budaya, Jakarta: Cipta Manunggal.
M,
Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, Jakarta: PT. Pradnya
Paramita.
Rantawan
Djanim, 2016, Diskresi dan Penegakan
Hukum, dalam Syaiful Bakhri, Dari
“Hukum Publik” Ke “Hukum Publik”,Ragam Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta: Total Media.
Syaiful
Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam
Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total
Media.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
UNDANG-UNDANG
NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2009 TENTANG PENGAWASAN
DAN PENGENDALIAN PENANGANAN PERKARA PIDANA DI LINGKUNGAN KEPOLISIAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN
KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
[1] Kunarto, dkk, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat; Tinjauan Lintas Budaya,
(Jakarta: Cipta Manunggal, 1988), hlm. 3.
[2] Badrodin Haiti, “Peranan Polri Dalam Penegakan Hukum Di Wilayah Republik Indonesia”,
Naskah Kapolri Sebagai Pembicara Di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta, 15 September 2015, hlm. 4.
[3] Ibid.
[4] Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hlm. 104.
[5] Badrodin Haiti, Op. Cit.
[6] Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan bahwa:
Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan
suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat
atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut tata cara yang diatur dalam
undang-undang ini.
[7] Syaiful Bakhri, Op. Cit, hlm. 124.
[8] Pasal 4: “Kepolisian
Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang
meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak
asasi manusia.” Pasal 5 ayat (1) :” Kepolisian Negara Republik Indonesia
merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban
masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.
[9] Ibid,
hlm. 25.
[10] Rantawan Djanim, Diskresi dan Penegakan Hukum, dalam Syaiful Bakhri, Dari “Hukum Publik” Ke “Hukum Publik”,Ragam
Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta: Total Media, 2016), hlm. 355.
[11] Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 152.
[12] Ibid.
[13] Aryanto Sutadi, dkk, Diskresi Kepolisian: Dalam Tinjauan Hukum Dan Implementasinya Di
Lapangan, (Jakarta:Komisi Kepolisian Nasional, 2012), hlm. 39.
[14] Ibid.
[15] Thomas J. Haron dalam Faal. M, Penyaringan
Perkara Pidana Oleh Polisi, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1991), hlm. 16.
[16] Pasal 16 ayat (2), menyatakan bahwa:
Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan
penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai
berikut: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan
kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut,
masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d) pertimbangan yang
layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan (e) menghormati HAM.
[17] Hal ini dikarenakan mencuatnya complaint masyarakat atas kinerja
penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Polri. Pada prinsipnya, Restorative Justice dapat dilakukan pada
tahap penyelidikan atau penyidikan atau sebelum tahap itu. Selama ini,
penegakan hukum menganut sitem Retributive
Justice, yakni sistem hukum yang berorientasi pada pelaku/offender dengan
memberikan pemidanaan sebagai balasan atas perbuatan pelaku. Lihat Aryanto
Sutadi, dkk, Op. Cit, hlm. 126.
[18] Pendekatan solusi dalam kaitannya dengan
penegakan hukum pidana (penyelesaian Alternative
Dispute Resolution/ADR) merupakan sistem yang baru, jika dibandingkan
dengan sistem penyelesaian perkara pidana melalui cara-cara yang konvensional (retributive justice). Lihat Barodin
Haiti, Op. Cit, hlm. 8.
[19] Ibid,
hlm. 9-10.
[20] Aryanto Sutadi, dkk, Op. Cit, hlm. 131.
[21] Ibid, hlm.
129.
[22] Ibid, hlm.
129-130.
[23] Ibid,
hlm. 130.
[24] Penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4
dan pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP. Lihat juga Pasal 16 ayat (2) UU No. 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[25] Lebih lanjut lihat Peraturan Kapolri Nomor
14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kapolri Nomor
12 Tahun 2009 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di
Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.