KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMERIKSAAN PRAJURIT TNI YANG
MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM DAN KAITANNYA DENGAN PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA
MILITER INDONESIA
Oleh:
Roli Pebrianto, S.H., M.H
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Samawa)
A.
Latar Belakang
Pembaruan hukum pidana di Indonesia dimulai sejak masa
permulaan berdirinya Republik Indonesia. Pasal II Aturan Peralihan
Undang-Undang Dasar 1945 menentukan: Segala badan negara dan peraturan yang ada
masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang
dasar ini. Diadakannya peraturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari
adanya kekosongan hukum. Hal ini berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada
pada zaman penjajahan masih tetap berlaku dimana pemberlakuan
peraturan-peraturan tersebut disesuaikan dengan kedudukan Republik Indonesia
sebagai negara yang merdeka.[1]
Dalam perkembangannya, hukum dapat kita lihat sebagai
hasil dari suatu proses yang dinamis, hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa
hukum itu terjadi sebagai suatu perencanaan dari situasi tertentu menuju kepada
suatu tujuan yang akan dicapai.[2]
Dalam memaknai adanya pembaruan hukum tersebut, Roeslan Saleh juga mengemukakan
bahwa:
“Pembaruan hukum adalah mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum
yang hingga kini masih berlaku, tetapi dipandang tidak sesuai dengan jiwa dan
pandangan falsafah bangsa Indonesia atau dilihat dari alasan kelahirannya,
semangat dan jiwanya, kemajuan-kemajuan yang terjadi, yang menjadikan tidak
mampu lagi memenuhi tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, dan terlebih lagi
mengenai kemampuannya mengantisipasi segala kehidupan yang disebut dengan
“memodernkan” Indonesia.”[3]
Dalam konteks pembaruan hukum pidana, menurut Barda
Nawawi Arief, latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana
dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau
dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal,
dan kebijakan penegakan hukum).[4]
Lebih lanjut Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:
“Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat, dapatlah dikatakan pembaruan
hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan (“policy-oriented
approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).[5]
Selanjutnya, Beccaria memberi pernyataan bahwa: “hanya undang-undanglah
yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi
apakah dan atas perbuatan-perbuatan mana pula yang dapat dijatuhkan, dan
bagaimana tepatnya peradilan pidana harus terjadi”.[6]
Dengan demikian, maka hukum pidana tidak hanya dimaknai sebagai hukum yang
mengatur dan menentukan bentuk-bentuk tidak pidana dan sanksinya (hukum pidana
formil), melainkan mengatur juga tentang bagaimana penegak hukum bekerja
menegakkan hukum (hukum pidana formil).
Dalam perspektif yang lain, Jimly Asshidiqqie menyatakan bahwa: “ruang
lingkup pengertian pembaruan hukum pidana sebenarnya meliputi pembaruan
terhadap bidang hukum pidana baik yang menyangkut substansinya (hukum pidana
materiil), hukum acaranya (hukum pidana formiil), maupun terhadap ketentuan-ketentuan
yang menyangkut pelaksanaan pidananya (straftvolls
treckung-gesetz).”[7]
Secara menyeluruh pembaruan hukum pidana dan hukum acara pidana juga
tidak dapat dipisahkan dari upaya tercapainya kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmasigheit), dan keadilan (Gerechttigheit).[8]
Dengan demikian maka berbagai pembaruan yang dilakukan dapat sejalan dengan
tujuan dari penegakan hukum secara menyeluruh, termasuk juga pembaruan dalam
bidang Hukum Acara Pidana Militer Indonesia.
Secara
normatif, Hukum Acara Pidana Militer Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU Peradilan
Militer). Keberadaan peradilan militer sebagai satu kesatuan hukum dalam sistem
peradilan pidana militer telah melembaga dan telah tertata segala
perangkat-perangkat yang diperlukan untuk menjalankan sistem peradilan militer.
Hukum militer Indonesia berpangkal tolak dari tugas militer Indonesia (TNI) dan
adalah merupakan bagian dan merupakan salah satu sistem dari hukum nasional
Indonesia. Karenanya hukum militer Indonesia mempunyai landasan, sumber-sumber
dan cakupan yang sejalan dengan hukum nasional.[9]
Dalam UU Peradilan Militer, penyidik adalah tanggungjawab
Atasan Yang Berhak Menghukum (selanjutnya disingkat Ankum), Polisi
Militer, dan Oditur. Sedangkan penyidik pembantu adalah
menjadi tanggungjawab Provost angkatan, perbedaan ketiga komponen tersebut
adalah bahwa Ankum selaku Komandan yang bertanggungjawab
penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya.
Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, apabila
sistem peradilan militer mengalami perubahan kompetensinya maka yang menjadi
masalah pada pemeriksaan awal adalah bagaimana sub sistem pada peradilan umum dalam
melakukan tugasnya yang baru sedangkan tugas-tugas yang diembannya selama ini
sudah cukup banyak[11]
dan perangkat hukum yang mana yang harus dilaksanakan agar tercapai efektifitas
pemberlakuan dan penegakan hukum di Indonesia. Untuk itu, Penulis tertarik menulis makalah yang
berjudul “KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMERIKSAAN
PRAJURIT TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM DAN KAITANNYA DENGAN PEMBARUAN
HUKUM ACARA PIDANA MILITER INDONESIA.”
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana proses pemeriksaan Prajurit
TNI yang melakukan tindak pidana umum menurut KUHAP
dan UU Peradilan Militer ?
2.
Bagaimana kebijakan hukum pidana formil dalam pemeriksaan Prajurit
TNI yang melakukan tindak pidana umum dalam perspektif pembaruan Hukum Acara Pidana Militer Indonesia ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana
formil dalam pemeriksaan Prajurit TNI yang
melakukan tindak pidana umum.
2.
Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana formil dalam pemeriksaan Prajurit
TNI yang melakukan tindak pidana umum dalam perspektif pembaruan Hukum Acara Pidana Militer Indonesia.
NB: UNTUK MAKALAH/PAPER LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI PENULIS MELALUI ALAMAT E-MAIL:
rolipebrianto11@gmail.com
BAB V
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang
telah Penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan
sebagai berikut:
1. Pemeriksaan
terhadap Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum tidak diatur dalam KUHAP,
begiitu pula dalam UU Peradilan Militer. UU Peradilan Militer hanya mengatur
tentang kewenangan Perwira Penyerah Perkara yang dapat menyerahkan perkara
untuk diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum. Namun, dalam praktek peradilan militer selama ini (yang dapat
dilihat dalam berbagai putusan pengadilan militer), terhadap perkara tindak
pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI perkaranya tetap melalui proses
pemeriksaan sebagaimana ditentukan dalam UU Peradilan Militer.
2. Kebijakan
hukum pidana formil mengenai pemeriksaan terhadap prajurit TNI yang melakukan
tindak pidana umum pada masa yang akan datang perlu berorientasi pada korban.
Jika dilihat dari persepektif korban dari pihak sipil, maka pelaku tindak pidana
harus diperiksa dan diadili dalam kekuasaan peradilan umum. sebenarnya UU TNI
telah mengakomodir ketentuan mengenai yurisdiksi pengadilan terhadap prajurit
TNI yang melakukan tindak pidana umum, yakni tunduk pada kekuasaan peradilan
umum. Namun ketentuan ini tidak dapat dilaksanakan karena UU Peradilan Militer
belum diadakan perubahan.
B.
Saran
1. Perlu dilakukan perubahan dalam hukum acara
pidana umum mengenai ketentuan mekanisme pemeriksaan terhadap militer yang
melakukan tindak pidana umum, kemudian hubungan dan kewenangan antara penyidik
dalam peradilan militer (Ankum, POM, dan Oditur) dengan penyidik dalam KUHAP
dalam memeriksa Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diatur
secara tegas.
2. Dilihat
dari persepektif korban, jilka korban tindak pidana umum yang dilakukan oleh
prajurit TNI adalah dari pihak sipil, maka perlu dilakukan revisi terhadap UU
Peradilan Militer. Dalam Hukum Acara Pidana Militer yang akan datang harus
diatur dengan tegas mengenai ketentuan penundukan prajurit TNI yang melakukan
tindak pidana umum tunduk pada kekuasaan pengadilan umum.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Andi
Hamzah, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Barda Nawawi Arief, 2008, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro.
_________________, 2011, Bunga Rampai Kebijkan Hukum Pidana, Cet. Ke-III, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
Chairul Huda, 2013, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Ke-V, Jakarta: Kencana.
Charles A. Shanor dan L. Lynn Hogue, 2003, National Security anda Military Law in a
Nutshell, Atlanta: ThomsonWeest.
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, 1981, Hukum Pidana Militer Indonesia, Jakarta: Alumni AHM-PTHM.
___________________, 1985, Hukum Pidana Militer di Indonesia, cet.2, Jakarta: Alumni
AHAEM-PETEHAEM.
Jimly Ashiddiqie, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa.
M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum
Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Impelementasinya, Jakarta PT.
Raja Grafindo Persada.
Moh. Faisal Salam, 2002, Hukum
Acara Pidana Militer Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
_______________, 2004, Peradilan
Militer di Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
Mudzakkir, 1996, Persepsi
Korban Kejahatan Terhadap Peradilan Pidana, Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UII.
Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta:Aksara Baru.
____________, 1992, Perkembangan Pokok-Pokok Pemikiran Dalam Konsep KUHP, Pekanbaru:
IUR Press.
____________, 1996, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, Jakarta: Karya
Dunia Fikir.
S. R. Sianturi, 1985, Hukum
Pidana Militer Indonesia, Edisi Revisi, Cet. Ke-2, Jakarta: Alumni
AHAEM-PETEHAEM.
Sudarto, 1983, Hukum
dan Hukum Pidana, Bandung:
Alumni.
Sudikno Mertokusumo, 2013, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya.
Syaiful Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Yogyakarta: Total Media.
____________, 2015, Nutrisi
Keilmuan dalam Pusaran Hukum Pidana, Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Teguh
Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian
Kebiajakan Kriminalisasi dan
Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tongat, 2008, Politik
Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press.
Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaruan Hukum Pidana; Reformasi Hukum Pidana, Jakarta: Grasindo.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN:
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER
UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR: VI/MPR/2000
TENTANG PEMISAHAN TNI DAN POLRI
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR: VII/MPR/2000
TENTANG PERAN TNI DAN POLRI
ARTIKEL DAN JURNAL:
Bagir Manan, “Penindakan Militer tak melulu masalah
hukum,” http://hukumonline.com/detail.asp?
id=14695&cl=Berita, diakses 24 Maret 2018.
Tiarsen Buaton, “Sistem Peradilan militer Amerika Serikat”
Jurnal Hukum Militer Vol. I, 1 September 2006.
Hari Soebagijo, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemeriksaan
Terhadap Prajurit TNI Pelaku Tindak Pidana Umum”, Jurnal law reform, April 2011. Vol. 6. No. 1.
[1]
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,
(Jakarta:Aksara Baru,1983), hlm. 9-10.
[2]
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan
Asas-Asas Hukum Nasional, (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996), hlm. 1.
[3]
Roeslan Saleh, Perkembangan Pokok-Pokok
Pemikiran Dalam Konsep KUHP, (Pekanbaru: IUR Press, 1992), hlm. 12.
[4]
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijkan
Hukum Pidana, Cet. Ke-III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),
hlm. 29.
[5]
Ibid.
[6]
Beccaria dalam Chairul Huda, Dari Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan, Cet. Ke-V, (Jakarta:
Kencana, 2013), hlm. 20-21.
[7]
Jimly Ashiddiqie, Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1995), hlm. 16.
[8]
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang
Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2013), hlm. 1.
[9]
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Hukum
Pidana Militer di Indonesia, cet.2, (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM,
1985), hlm. 9.
[10]
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Sistem
Peradilan Pidana Terpadu, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2008), hlm. 67
[11]
Bagir Manan, “Penindakan Militer tak melulu masalah hukum,” http://hukumonline.com/detail.asp?
id=14695&cl=Berita, diakses 24 Maret 2018.
[12]
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track
System dan Impelementasinya, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 1.
[13]
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 39-40.
[14]
Istilah kebijakan berasal ari kata “Policy”
(Inggris) atau “Politiek” (Belanda).
Politik hukum pidana dalam kepustakaan dikenal juga dengan istilah “Penal Policy”, “Crimnal Law Policy”, atau
“Straftrechtspolitiek”. Lihat Syaiful
Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam
Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total
Media, 2010), hlm.13.
[15]Tongat, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2008), hlm. 47
[16]Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 90.
[17]Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal,
Op. Cit, hlm. 15.
[18]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian
Kebiajakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 39.
[19]Ibid.
[20]Ibid.
[21] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Op. Cit, hlm. 28.
[22] Ibid, hlm. 29.
[23] Hari Soebagijo,
“Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemeriksaan Terhadap Prajurit TNI Pelaku Tindak
Pidana Umum”, (Jurnal law reform,
April 2011. Vol. 6. No. 1), hlm. 27-28.
[24] S. R. Sianturi, Hukum Pidana Militer Indonesia, Edisi
Revisi, Cet. Ke-2, (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985), hlm. 18.
[25] Ibid, hlm. 17-18.
[26] Ibid.
[27] E.Y Kanter dan S. R.
Sianturi, Hukum Pidana Militer Indonesia,
(Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1981), hlm. 14.
[28] S.R. Sianturi, Op. Cit, hlm. 18.
[29] Berdasarkan TAP MPR No.
VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000
tentang peran TNI Polri, maka secara kelembagaan TNI dan Polri menjadi terpisah
dan juga dalam Sistem Peradilanpun berbeda, dimana TNI tunduk kepada Peradilan
Militer dan Polri tunduk kepada Peradilan Umum. Dengan demikian, maka Provos
Polri sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 69 ayat (2) huruf d UU Peradilan
Militer bukan lagi sebagai Penyidik Pembantu dalam wadah ABRI.
[30] Pasal 75 UU Peradilan
Militer.
[31] Pasal 78 UU Peradilan
Militer.
[32] Pasal 123 ayat (1) UU
Peradilan Militer.
[33] Pasal 123 ayat (2) jo.
Pasal 126 UU Peradilan Militer.
[34] Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer di Indonesia,
(Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 83.
[35] Hari Soebagijo, Op. Cit, hlm. 35-36.
[36] Moh. Faisal Salam, Peradilan Militer..., Op. Cit, hlm. 231.
[37] Tiarsen Buaton, “Sistem
Peradilan militer Amerika Serikat” Jurnal Hukum Militer Vol. I, (1 September
2006), hlm. 43.
[38] Hari Soebagijo, Op. Cit, hlm. 36.
[39] Moh. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer Indonesia, (Bandung:
Mandar Maju, 2002), hlm. 151.
[40] Ibid.
[41] Buaton, Op.Cit, hlm. 50.
[42] Charles A. Shanor dan L.
Lynn Hogue, National Security anda
Military Law in a Nutshell, (Atlanta: ThomsonWeest, 2003), hlm. 257.
Terjemahannya sebagai berikut: “Perwira Penyerah Perkara adalah seorang yang
diberi kewenangan oleh UCMJ untuk membentuk pengadilan militer dengan
mengangkat anggota-anggota pengadilan dan melakukan penuntutan terhadap perkara
tersebut.” (Lihat Hari Soebagijo, Op.
Cit, hlm. 37).
[43] Mudzakkir, Persepsi
Korban Kejahatan Terhadap Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UII, 1996),
hlm. 10.
[44] Syaiful Bakhri, Nutrisi Keilmuan dalam Pusaran Hukum Pidana,
(Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2015), hlm. 97.
[45] Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana; Reformasi Hukum
Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 2.
[46] Satjipto Rahardjo dalam
Yesmil Anwar dan Adang, Ibid, hlm. 9.