Minggu, 06 November 2022

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMERIKSAAN PRAJURIT TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM DAN KAITANNYA DENGAN PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA MILITER INDONESIA

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMERIKSAAN PRAJURIT TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM DAN KAITANNYA DENGAN PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA MILITER INDONESIA

 

Oleh:

Roli Pebrianto, S.H., M.H

(Dosen Fakultas Hukum Universitas Samawa)

 

A.           Latar Belakang

Pembaruan hukum pidana di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia. Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Diadakannya peraturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan hukum. Hal ini berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada pada zaman penjajahan masih tetap berlaku dimana pemberlakuan peraturan-peraturan tersebut disesuaikan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka.[1]

Dalam perkembangannya, hukum dapat kita lihat sebagai hasil dari suatu proses yang dinamis, hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa hukum itu terjadi sebagai suatu perencanaan dari situasi tertentu menuju kepada suatu tujuan yang akan dicapai.[2] Dalam memaknai adanya pembaruan hukum tersebut, Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa:

“Pembaruan hukum adalah mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang hingga kini masih berlaku, tetapi dipandang tidak sesuai dengan jiwa dan pandangan falsafah bangsa Indonesia atau dilihat dari alasan kelahirannya, semangat dan jiwanya, kemajuan-kemajuan yang terjadi, yang menjadikan tidak mampu lagi memenuhi tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, dan terlebih lagi mengenai kemampuannya mengantisipasi segala kehidupan yang disebut dengan “memodernkan” Indonesia.”[3]

 

Dalam konteks pembaruan hukum pidana, menurut Barda Nawawi Arief, latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum).[4] Lebih lanjut Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:

“Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat, dapatlah dikatakan pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).[5]

 

Selanjutnya, Beccaria memberi pernyataan bahwa: “hanya undang-undanglah yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatan-perbuatan mana pula yang dapat dijatuhkan, dan bagaimana tepatnya peradilan pidana harus terjadi”.[6] Dengan demikian, maka hukum pidana tidak hanya dimaknai sebagai hukum yang mengatur dan menentukan bentuk-bentuk tidak pidana dan sanksinya (hukum pidana formil), melainkan mengatur juga tentang bagaimana penegak hukum bekerja menegakkan hukum (hukum pidana formil).

Dalam perspektif yang lain, Jimly Asshidiqqie menyatakan bahwa: “ruang lingkup pengertian pembaruan hukum pidana sebenarnya meliputi pembaruan terhadap bidang hukum pidana baik yang menyangkut substansinya (hukum pidana materiil), hukum acaranya (hukum pidana formiil), maupun terhadap ketentuan-ketentuan yang menyangkut pelaksanaan pidananya (straftvolls treckung-gesetz).”[7]

Secara menyeluruh pembaruan hukum pidana dan hukum acara pidana juga tidak dapat dipisahkan dari upaya tercapainya kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmasigheit), dan keadilan (Gerechttigheit).[8] Dengan demikian maka berbagai pembaruan yang dilakukan dapat sejalan dengan tujuan dari penegakan hukum secara menyeluruh, termasuk juga pembaruan dalam bidang Hukum Acara Pidana Militer Indonesia.

Secara normatif, Hukum Acara Pidana Militer Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU Peradilan Militer). Keberadaan peradilan militer sebagai satu kesatuan hukum dalam sistem peradilan pidana militer telah melembaga dan telah tertata segala perangkat-perangkat yang diperlukan untuk menjalankan sistem peradilan militer. Hukum militer Indonesia berpangkal tolak dari tugas militer Indonesia (TNI) dan adalah merupakan bagian dan merupakan salah satu sistem dari hukum nasional Indonesia. Karenanya hukum militer Indonesia mempunyai landasan, sumber-sumber dan cakupan yang sejalan dengan hukum nasional.[9]

Dengan diundangkannya Undang-undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia (selanjutnya disingkat UU TNI), maka akan menjadi kendala dalam pelaksanaan hukum di Indonesia, karena perubahan yang dilakukan terhadap sistem peradilan akan berpengaruh langsung terhadap efektifitas pemberlakuan hukum yang telah ada di Indonesia. Apabila hal ini terjadi maka yang menjadi pertanyaan sub sistem peradilan mana yang akan diberlakukan terhadap militer yang melakukan tindak pidana umum.

Menurut Barda Nawawi Arief, sepanjang hukum pidana materiel untuk militer
(KUHPM) belum diubah, sulit untuk mengaplikasikan ide atau “putusan politik” yang tertuang dalam TAP MPR VII/2000, bahwa terhadap “Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum”.[10]

Dalam UU Peradilan Militer, penyidik adalah tanggungjawab Atasan Yang Berhak Menghukum (selanjutnya disingkat Ankum), Polisi Militer, dan Oditur. Sedangkan penyidik pembantu adalah menjadi tanggungjawab Provost angkatan, perbedaan ketiga komponen tersebut adalah bahwa Ankum selaku Komandan yang bertanggungjawab penuh terhadap kesatuan dan anak buahnya.

Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, apabila sistem peradilan militer mengalami perubahan kompetensinya maka yang menjadi masalah pada pemeriksaan awal adalah bagaimana sub sistem pada peradilan umum dalam melakukan tugasnya yang baru sedangkan tugas-tugas yang diembannya selama ini sudah cukup banyak[11] dan perangkat hukum yang mana yang harus dilaksanakan agar tercapai efektifitas pemberlakuan dan penegakan hukum di Indonesia. Untuk itu, Penulis tertarik menulis makalah yang berjudul KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PEMERIKSAAN PRAJURIT TNI YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA UMUM DAN KAITANNYA DENGAN PEMBARUAN HUKUM ACARA PIDANA MILITER INDONESIA.”


B.            Rumusan Masalah

1.        Bagaimana proses pemeriksaan Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum menurut KUHAP dan UU Peradilan Militer ?

2.        Bagaimana kebijakan hukum pidana formil dalam pemeriksaan Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum dalam perspektif pembaruan Hukum Acara Pidana Militer Indonesia ?

C.           Tujuan Penulisan

1.        Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana formil dalam pemeriksaan Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum.

2.        Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana formil dalam pemeriksaan Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum dalam perspektif pembaruan Hukum Acara Pidana Militer Indonesia.

 


NB: UNTUK MAKALAH/PAPER LENGKAPNYA SILAHKAN HUBUNGI PENULIS MELALUI ALAMAT E-MAIL: 

rolipebrianto11@gmail.com




BAB V

PENUTUP

 

A.           Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang telah Penulis kemukakan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.      Pemeriksaan terhadap Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum tidak diatur dalam KUHAP, begiitu pula dalam UU Peradilan Militer. UU Peradilan Militer hanya mengatur tentang kewenangan Perwira Penyerah Perkara yang dapat menyerahkan perkara untuk diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Namun, dalam praktek peradilan militer selama ini (yang dapat dilihat dalam berbagai putusan pengadilan militer), terhadap perkara tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI perkaranya tetap melalui proses pemeriksaan sebagaimana ditentukan dalam UU Peradilan Militer.

2.      Kebijakan hukum pidana formil mengenai pemeriksaan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum pada masa yang akan datang perlu berorientasi pada korban. Jika dilihat dari persepektif korban dari pihak sipil, maka pelaku tindak pidana harus diperiksa dan diadili dalam kekuasaan peradilan umum. sebenarnya UU TNI telah mengakomodir ketentuan mengenai yurisdiksi pengadilan terhadap prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum, yakni tunduk pada kekuasaan peradilan umum. Namun ketentuan ini tidak dapat dilaksanakan karena UU Peradilan Militer belum diadakan perubahan.

 

B.            Saran

1.       Perlu dilakukan perubahan dalam hukum acara pidana umum mengenai ketentuan mekanisme pemeriksaan terhadap militer yang melakukan tindak pidana umum, kemudian hubungan dan kewenangan antara penyidik dalam peradilan militer (Ankum, POM, dan Oditur) dengan penyidik dalam KUHAP dalam memeriksa Prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum harus diatur secara tegas.

2.      Dilihat dari persepektif korban, jilka korban tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI adalah dari pihak sipil, maka perlu dilakukan revisi terhadap UU Peradilan Militer. Dalam Hukum Acara Pidana Militer yang akan datang harus diatur dengan tegas mengenai ketentuan penundukan prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum tunduk pada kekuasaan pengadilan umum.

 


DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Andi Hamzah, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.

Barda Nawawi Arief, 2008, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

_________________, 2011, Bunga Rampai Kebijkan Hukum Pidana, Cet. Ke-III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Chairul Huda, 2013, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Ke-V,  Jakarta: Kencana.

Charles A. Shanor dan L. Lynn Hogue, 2003, National Security anda Military Law in a Nutshell, Atlanta: ThomsonWeest.

E. Y Kanter dan S.R Sianturi, 1981, Hukum Pidana Militer Indonesia, Jakarta: Alumni AHM-PTHM.

___________________, 1985, Hukum Pidana Militer di Indonesia, cet.2, Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM.

Jimly Ashiddiqie, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa.

M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Impelementasinya, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.

Moh. Faisal Salam, 2002, Hukum Acara Pidana Militer Indonesia, Bandung: Mandar Maju.

_______________, 2004, Peradilan Militer di Indonesia, Bandung: Mandar Maju.

Mudzakkir, 1996, Persepsi Korban Kejahatan Terhadap Peradilan Pidana, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UII.

Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta:Aksara Baru.

____________, 1992, Perkembangan Pokok-Pokok Pemikiran Dalam Konsep KUHP, Pekanbaru: IUR Press.

____________, 1996, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, Jakarta: Karya Dunia Fikir.

S. R. Sianturi, 1985, Hukum Pidana Militer Indonesia, Edisi Revisi, Cet. Ke-2, Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM.

Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.

Sudikno Mertokusumo, 2013, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya.

Syaiful Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media.

____________, 2015, Nutrisi Keilmuan dalam Pusaran Hukum Pidana, Yogyakarta: Kreasi Total Media.

Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebiajakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tongat, 2008, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press.

Yesmil Anwar dan Adang, 2008, Pembaruan Hukum Pidana; Reformasi Hukum Pidana, Jakarta: Grasindo.

 

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:

UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR: VI/MPR/2000 TENTANG PEMISAHAN TNI DAN POLRI

KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR: VII/MPR/2000 TENTANG PERAN TNI DAN POLRI

 

ARTIKEL DAN JURNAL:

Bagir Manan, “Penindakan Militer tak melulu masalah hukum,”  http://hukumonline.com/detail.asp? id=14695&cl=Berita, diakses 24 Maret 2018.

Tiarsen Buaton, “Sistem Peradilan militer Amerika Serikat” Jurnal Hukum Militer Vol. I, 1 September 2006.

Hari Soebagijo, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemeriksaan Terhadap Prajurit TNI Pelaku Tindak Pidana Umum”, Jurnal law reform, April 2011. Vol. 6. No. 1.

 

 



[1] Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta:Aksara Baru,1983), hlm. 9-10.

[2] Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996), hlm. 1.

[3] Roeslan Saleh, Perkembangan Pokok-Pokok Pemikiran Dalam Konsep KUHP, (Pekanbaru: IUR Press, 1992), hlm. 12.

[4] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijkan Hukum Pidana, Cet. Ke-III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 29.

[5] Ibid.

[6] Beccaria dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Ke-V,  (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 20-21.

[7] Jimly Ashiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1995), hlm. 16.

[8] Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2013), hlm. 1.

[9] E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, cet.2, (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985), hlm. 9.

[10] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008), hlm. 67

[11] Bagir Manan, “Penindakan Militer tak melulu masalah hukum,”  http://hukumonline.com/detail.asp? id=14695&cl=Berita, diakses 24 Maret 2018.

[12] M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Impelementasinya, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 1.

[13] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 39-40.

[14] Istilah kebijakan berasal ari kata “Policy” (Inggris) atau “Politiek” (Belanda). Politik hukum pidana dalam kepustakaan dikenal juga dengan istilah “Penal Policy”, “Crimnal Law Policy”, atau “Straftrechtspolitiek”. Lihat Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hlm.13.

[15]Tongat, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 47

[16]Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 90.

[17]Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal, Op. Cit, hlm. 15.

[18]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebiajakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 39.

[19]Ibid.

[20]Ibid.

[21] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai..., Op. Cit, hlm. 28.

[22] Ibid, hlm. 29.

[23] Hari Soebagijo, “Kebijakan Hukum Pidana Dalam Pemeriksaan Terhadap Prajurit TNI Pelaku Tindak Pidana Umum”, (Jurnal law reform, April 2011. Vol. 6. No. 1), hlm. 27-28.

[24] S. R. Sianturi, Hukum Pidana Militer Indonesia, Edisi Revisi, Cet. Ke-2, (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985), hlm. 18.

[25] Ibid, hlm. 17-18.

[26] Ibid.

[27] E.Y Kanter dan S. R. Sianturi, Hukum Pidana Militer Indonesia, (Jakarta: Alumni AHM-PTHM, 1981), hlm. 14.

 

[28] S.R. Sianturi, Op. Cit, hlm. 18.

[29] Berdasarkan TAP MPR No. VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI Polri, maka secara kelembagaan TNI dan Polri menjadi terpisah dan juga dalam Sistem Peradilanpun berbeda, dimana TNI tunduk kepada Peradilan Militer dan Polri tunduk kepada Peradilan Umum. Dengan demikian, maka Provos Polri sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 69 ayat (2) huruf d UU Peradilan Militer bukan lagi sebagai Penyidik Pembantu dalam wadah ABRI.

[30] Pasal 75 UU Peradilan Militer.

[31] Pasal 78 UU Peradilan Militer.

[32] Pasal 123 ayat (1) UU Peradilan Militer.

[33] Pasal 123 ayat (2) jo. Pasal 126 UU Peradilan Militer.

[34] Moch. Faisal Salam, Peradilan Militer di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. 83.

[35] Hari Soebagijo, Op. Cit, hlm. 35-36.

[36] Moh. Faisal Salam, Peradilan Militer..., Op. Cit, hlm. 231.

[37] Tiarsen Buaton, “Sistem Peradilan militer Amerika Serikat” Jurnal Hukum Militer Vol. I, (1 September 2006), hlm. 43.  

[38] Hari Soebagijo, Op. Cit, hlm. 36.

[39] Moh. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 151.

[40] Ibid.

[41] Buaton, Op.Cit, hlm. 50.

[42] Charles A. Shanor dan L. Lynn Hogue, National Security anda Military Law in a Nutshell, (Atlanta: ThomsonWeest, 2003), hlm. 257. Terjemahannya sebagai berikut: “Perwira Penyerah Perkara adalah seorang yang diberi kewenangan oleh UCMJ untuk membentuk pengadilan militer dengan mengangkat anggota-anggota pengadilan dan melakukan penuntutan terhadap perkara tersebut.” (Lihat Hari Soebagijo, Op. Cit, hlm. 37).

[43] Mudzakkir, Persepsi Korban Kejahatan Terhadap Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UII, 1996), hlm. 10.

[44] Syaiful Bakhri, Nutrisi Keilmuan dalam Pusaran Hukum Pidana, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2015), hlm. 97.

[45] Yesmil Anwar dan Adang, Pembaruan Hukum Pidana; Reformasi Hukum Pidana, (Jakarta: Grasindo, 2008), hlm. 2.

[46] Satjipto Rahardjo dalam Yesmil Anwar dan Adang, Ibid,  hlm. 9.

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...