PENUNJUKAN KOMJEN POL. M. IRIAWAN
SEBAGAI PEJABAT GUBERNUR JAWA BARAT MELANGGAR UNDANG-UNDANG
OLEH:
ROLI PEBRIANTO, S.H
A. Pengantar
Langkah Mendagri Tjahjo Kumolo menunjuk Komjen Pol. M
Iriawan sebagai Pejabat Gubernur Jawa Barat menggantikan Ahmad Heriawan menuai
berbagai polemik dan kontroversi berbagai pihak. Tidak terkecuali para ahli
hukum yang menguraikan pendapat dan keahliannya masing-masing mengenai hal
tersebut.
Salah satu tugas polisi adalah menjaga pemilu yang bersih
dan profesional. Kini, institusi Kepolisian RI (Polri) sedang diuji untuk tetap
bisa objektif walaupun ada pensiunan polisi yang menjadi peserta Pemilihan
Gubernur (Pilgub) Jabar 2018.
Tindakan Mendagri dapat dianggap sebagai penyelundupan
hukum lewat Permendagri No.1 Tahun 2018. Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa
penjabat gubernur berasal dari penjabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di
lingkup pemerintahan pusat atau provinsi. Frasa "setingkat"
sangat jelas bertentangan dengan UU karena UU sendiri tidak menyebutkan itu.
Selain iitu, tindakan Mendagri oleh berbagai kalangan dinilai akan mempengaruhi
pemilihan gubernur di Jawa Barat, dimana salah satu calon Wakil Gubernur adalah
Mantan Kapolda Jawa Barat.
Usulan menunjuk Pj Gubernur dari Polri muncul pertama
kali pada akhir Januari 2018 lalu. Menjawab berbagai pertentangan itu, Mendagri
memastikan penunjukkan dua perwira tinggi Polri untuk menjadi penjabat gubernur
di Sumatera Utara dan Jawa Barat tak ada unsur politik.
Menarik kemudian untuk dibahas mengenai penunjukan Komjen
Pol. M. Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar dilihat dari perspektif hukum. Oleh
karena itu, Penulis akan memberikan pendapat atau pandangan Penulis dilihat
dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
B. Ditinjau Dari Perspektif UU No. 2 Tahun 2002
tentang Polri
Ketentuan Pasal Pasal 28 ayat 3 UU Polri menyebutkan
bahwa:
Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah
mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian..
Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) menyebutkan
bahwa yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian" adalah jabatan
yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan
penugasan dari kapolri. Menurut Penulis, jika ditafsirkan secara a contrario, ketentuan itu berarti
seorang anggota polri yang masih aktif dilarang menduduki jabatan di luar
kepolisian.
Artinya, seorang anggota Polri dapat menduduki jabatan
diluar jabatan kepolisian sepanjang jabatan itu masih ada sangkut pautnya atau
korelasinya dengan tugas-tugas kepolisian, misalnya jabatan dalam Badan
Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), Badan SAR Nasional (BASARNAS), Lembaga Ketahanan Nasiional
(LEMHANAS), serta lembaga lain sepanjang masih menyangkut tugas-tugas
Kepolisian.
C. Ditinjau Dari Perspektif UU No. 10 Tahun 2016
tentang Pilkada
Pada pasal 210 ayat (10) UU No. 10 Tahun 2016 tentang
Pilkada mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat
penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai
pelantikan gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mendagri Tjahjo juga melanggar peraturan dan regulasi
yang dibuat sendiri. Pada Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri)
Nomor 74 Tahun 2016 disebutkan, pejabat gubernur harus diisi pejabat pimpinan
tinggi madya Kemendagri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya, jabatan
pelaksana tugas atau penjabat gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan
tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal
201 ayat 10 UU Pilkada.
Menurut Penulis, bagaimana mungkin kemudian perwira
tinggi Polri aktif bisa disetarakan dengan pimpinan tinggi madya?.
Penunjukan tersebut terkesan dipaksakan oleh Pemerintah, sekalipun memang Penulis
akui bahwa penunjukan itu hak prerogatif Mendagri, namun jangan sampai hak
prerogatif itu menabrak aturan-aturan dan regulasi yang ada.
D. Ditinjau Dari UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara
Dalam
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN) menyebutkan bahwa jabatan pimpinan tinggi madya
merupakan salah satu jabatan dalam rumpun ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK.
Prajurit TNI dan anggota
Polri pada dasarnya dapat menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, tapi berdasarkan
ketentuan pasal 104 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2015 menentukan bahwa jabatan
pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah
mengundurkan diri dari dinas aktif, apabila dibutuhkan dan sesuai dengan
kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.
WALLAHU A'LAM