Rabu, 27 Juni 2018

PENUNJUKAN KOMJEN POL. M. IRIAWAN SEBAGAI PEJABAT GUBERNUR JAWA BARAT MELANGGAR UNDANG-UNDANG


PENUNJUKAN KOMJEN POL. M. IRIAWAN SEBAGAI PEJABAT GUBERNUR JAWA BARAT MELANGGAR UNDANG-UNDANG



OLEH:
ROLI PEBRIANTO, S.H



A.      Pengantar
Langkah Mendagri Tjahjo Kumolo menunjuk Komjen Pol. M Iriawan sebagai Pejabat Gubernur Jawa Barat menggantikan Ahmad Heriawan menuai berbagai polemik dan kontroversi berbagai pihak. Tidak terkecuali para ahli hukum yang menguraikan pendapat dan keahliannya masing-masing mengenai hal tersebut.
Salah satu tugas polisi adalah menjaga pemilu yang bersih dan profesional. Kini, institusi Kepolisian RI (Polri) sedang diuji untuk tetap bisa objektif walaupun ada pensiunan polisi yang menjadi peserta Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jabar 2018.
Tindakan Mendagri dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum lewat Permendagri No.1 Tahun 2018. Dalam pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa penjabat gubernur berasal dari penjabat pimpinan tinggi madya atau setingkat di lingkup pemerintahan pusat atau provinsi. Frasa "setingkat" sangat jelas bertentangan dengan UU karena UU sendiri tidak menyebutkan itu. Selain iitu, tindakan Mendagri oleh berbagai kalangan dinilai akan mempengaruhi pemilihan gubernur di Jawa Barat, dimana salah satu calon Wakil Gubernur adalah Mantan Kapolda Jawa Barat.
Usulan menunjuk Pj Gubernur dari Polri muncul pertama kali pada akhir Januari 2018 lalu. Menjawab berbagai pertentangan itu, Mendagri memastikan penunjukkan dua perwira tinggi Polri untuk menjadi penjabat gubernur di Sumatera Utara dan Jawa Barat tak ada unsur politik.
Menarik kemudian untuk dibahas mengenai penunjukan Komjen Pol. M. Iriawan sebagai Pj Gubernur Jabar dilihat dari perspektif hukum. Oleh karena itu, Penulis akan memberikan pendapat atau pandangan Penulis dilihat dari ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

B.       Ditinjau Dari Perspektif UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri
Ketentuan Pasal Pasal 28 ayat 3 UU Polri menyebutkan bahwa:
Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.

Kemudian, dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (3) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian" adalah jabatan yang tidak mempunyai sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari kapolri. Menurut Penulis, jika ditafsirkan secara a contrario, ketentuan itu berarti seorang anggota polri yang masih aktif dilarang menduduki jabatan di luar kepolisian.
Artinya, seorang anggota Polri dapat menduduki jabatan diluar jabatan kepolisian sepanjang jabatan itu masih ada sangkut pautnya atau korelasinya dengan tugas-tugas kepolisian, misalnya jabatan dalam Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Narkotika Nasional (BNN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan SAR Nasional (BASARNAS), Lembaga Ketahanan Nasiional (LEMHANAS), serta lembaga lain sepanjang masih menyangkut tugas-tugas Kepolisian.

C.      Ditinjau Dari Perspektif UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada
Pada pasal 210 ayat (10) UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai pelantikan gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Mendagri Tjahjo juga melanggar peraturan dan regulasi yang dibuat sendiri. Pada Pasal 4 ayat 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 74 Tahun 2016 disebutkan, pejabat gubernur harus diisi pejabat pimpinan tinggi madya Kemendagri atau pemerintah provinsi. Selanjutnya, jabatan pelaksana tugas atau penjabat gubernur harus berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya yang berasal dari kalangan sipil sebagaimana diatur di dalam Pasal 201 ayat 10 UU Pilkada.
Menurut Penulis, bagaimana mungkin kemudian perwira tinggi Polri aktif bisa disetarakan  dengan pimpinan tinggi madya?. Penunjukan tersebut terkesan dipaksakan oleh Pemerintah, sekalipun memang Penulis akui bahwa penunjukan itu hak prerogatif Mendagri, namun jangan sampai hak prerogatif itu menabrak aturan-aturan dan regulasi yang ada.

D.      Ditinjau Dari UU No.5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Dalam UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparat Sipil Negara (ASN)  menyebutkan bahwa jabatan pimpinan tinggi madya merupakan salah satu jabatan dalam rumpun ASN yang terdiri dari PNS dan PPPK.
Prajurit TNI dan anggota Polri pada dasarnya dapat menduduki jabatan pimpinan tinggi madya, tapi berdasarkan ketentuan pasal 104 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2015 menentukan bahwa jabatan pimpinan tinggi dapat diisi oleh prajurit TNI dan anggota Polri setelah mengundurkan diri dari dinas aktif, apabila dibutuhkan dan sesuai dengan kompetensi yang ditetapkan melalui proses secara terbuka dan kompetitif.

WALLAHU A'LAM

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...