KOMENTAR TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG
HALUAN IDEOLOGI PANCASILA (RUU HIP)
Oleh:
Roli Pebrianto, S.H., M.H
Akhir-akhir ini
kita kembali dihebohkan dengan adanya kabar mengenai pembahasan Rancangan
Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP) yang sedang bergulir di DPR.
Hal ini menimbulkan diskursus ditengah masyarakat, mulai dari pendapat RUU HIP
ini akan men-degradasi-kan nilai-nilai luhur Pancasila, sampai kepada isu
kebangkitan PKI. Begitupun dikalangan para ahli, mereka mengemukakan pendapat
dan pandangannya mengenai RUU HIP ini. Tidak luput juga Ormas Islam seperti
Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama serta MUI yang mengeluarkan fatwa dan meminta
kepada DPR untuk menghentikan pembahasan RUU HIP ini. Hingga pada akhirnya ada
pendapat yang berkembang mengenai pembubaran partai pengusul RUU HIP dan dapat
dipidanannya anggota partai yang mengusulkan RUU HIP ini.
Berkaitan dengan
hal tersebut, pada tulisan ini akan dikemukakan mengenai komentar-komentar
terhadap Pasal-Pasal yang dianggap kontroversial dalam RUU HIP. Khusus mengenai
pembubaran partai pengusul RUU HIP dan dapat dipidanannya anggota partai yang
mengusulkan RUU HIP, akan dibahas pada tulisan berikutnya.
II.
Kedudukan
Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum dalam Pembentukan
Undang-Undang
Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum negara. Dikatakan demikian karena sesuai dengan pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan
Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus sebagai dasar
filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan
Peraturan-Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila.[1]
Undang-undang selalu mengandung norma-norma
hukum yang diidealkan (ideal norm)
oleh suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan
bernegara hendak diarahkan. Karena itu, undang-undang dapat digambarkan sebagai
cerminan dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan
filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui
pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan.[2] Pancasila
sebagai dasar filsafat negara Indonesia mengandung konsekuensi setiap aspek
penyelenggaraan negara, termasuk pembentukan undang-undang dan semua sikap dan
tingkah laku bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus
berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.[3]
Pancasila diposisikan sebagai sarana arah
pembangunana hukum. Apabila menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky
sebagai pijakan teoritiknya, Pancasila dapat disandarkan sebagai norma
fundamental negara (staatsfundamentalnorm).
Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan
rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori
tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky.[4]
Staatsfundamentalnorm
adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
Undang-Undang Dasar (staatsverfassung)
dari suuatu negara. Posisi hukum dari suatu staatsfundamentalnorm
adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu
negara. Manurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai
norma dasar (basic norm) dalam suatu
negara sebaiknya tidak disebut sebagai Staatsgrundnorm
melainkan staatsfundamentalnorm, atau
norma fundamental negara. Grundnorm
pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi tidak berubah
misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. Berdasarkan teori Nawiasky tersebut,
A. Hamid S. Attamimi membandingkan dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada
struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata
hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky.[5]
Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm pertama kali
disampaikan oleh Notonagoro.[6]
Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee)
merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif
adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk
menguji hukum positif. Dengan diterapkannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm, maka pembentukan
hukum, penerapan, dan pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai
Pancasila.[7]
Pancasila dalam kedudukannya sebagai sumber
dari segala sumber hukum sering disebut sebagai dasar filsafat atau ideologi
negara. Dalam pengertiannya ini, Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta
norma untuk mengatur pemerintahan negara. Pancasila merupakan suatu dasar untuk
mengatur penyelenggaraan negara. Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan termasuk
proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini dijabarkan dari nilai-nilai
Pancasila.[8]
III.
Pengaturan
Pancasila dalam UU akan Mendegradasi Nilai-nilai Luhur Pancasila
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya
bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Artinya, segala
bentuk peraturan perundang-undangan “bernaung” dibawah Pancasila. Pancasila
sebagai pemberi arah/pemandu dalam membentuk sebuah peraturan
perundang-undangan.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa, RUU
HIP (jika disahkan menjadi UU), maka akan menjadi tafsir dari Pancasila,
sehingga nilai-nilai luhur Pancasila sebagai staatfundamentalnorm secara hierarkis “turun derajatnya” dibawah
UUD NRI 1945 bahkan dibawah TAP MPR. Selain itu tidak ada urgensi pembentukan
RUU HIP sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk melakukan pembahasan.
Selain itu, dalam RUU HIP ada ketentuan yang mengatur mengenai Trisila dan
Ekasila, diatur pada pasal 1 RUU HIP, yang berbunyi:
(1) Ciri pokok Pancasila disebut trisila, yaitu:
a.
ketuhanan;
b.
nasionalisme; dan
c.
kerakyatan/demokrasi.
(2) Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkristalisasi dalam ekasila,
yaitu gotong-royong.
Dalam sejarah, rumusan seperti ini
merupakan rumusan yang diusulkan melalui pidato Ir. Soekarno, ketika
mengusulkan dasar negara dalam sidang BPUPKI, yang kemudian dalam perdebatan
yang sangat panjang akhirnya oleh Panitia Sembilan disetujui rumusan Pancasila
yang sebagaimana tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Kemudian pada
tanggal 18 Agustus 1945, rumusan Pancasila kembali mengalami perubahan,
terutama pada sila pertama dari semula “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”,
hingga sampai saat ini rumusan tersebut yang digunakan dalam sila Pancasila,
seta tanpa “diperas” menjadi Trisila dan Ekasila. Pengaaturan yang demikian
(Trisila dan Ekasila) jelas akan mendegradasi nilai-nilai luhur Pancasila.
Kemudian, hal lain yang menjadi
kontroversial dalam RUU HIP ini ialah mengenai pengaturan Presiden sebagai
pemegang kekuasaan pembinaan ideologi Pancasila. Hal ini sebagaimana terdapat
pada Pasal 42 yang berbunyi:
(1)
Presiden merupakan
pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila.
(2)
Dalam menyelenggarakan
kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden membentuk suatu badan
yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila.
(3)
Badan yang
menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Pengaturan yang
demikian menurut Penulis tidak ada urgensinya diatur dalam UU (bahkan RUU nya
pun harus dicabut). Berdasarkan bunyi Pasal 42 RUU HIP terutama mengenai frasa “Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam
Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila” menunjukkan bahwa seolah-olah Presiden
yang paling Pancasilais, Presiden yang paling mengerti Pancasila, dan Presiden
dapat menentukan seseorang Pancasilais atau tidak. Frasa yang demikian
dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh Pemerintah untuk “menghantam”
pihak-pihak yang tidak sependapat dengan Pemerintah.
IV.
Simpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, menurut
Penulis RUU HIP tidak perlu dibahas dan disahkan dengan alasan-alasan sebagai
berikut:
1. Secara
hierarkis, Pancasila berada diatas UUD NRI Tahun 1945. Namun sekarang Pancasila
dibuat haluan Ideologi dalam bentuk UU, yang secara otomatis akan menurunkan
derajat Pancasila dibawah UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR, karena tafsir
Pancasila adalah UUD NRI Tahun 1945, bukan RUU HIP ini;
2. Pancasila
tidak perlu diperas menjadi Trisila dan Ekasila karena jelas akan mendegradasi
nilai-nilai luhur Pancasila yang telah bertahan dan menjadi pemandu dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
3. Frasa “Presiden
merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila” dikhawatirkan
akan disalahgunakan oleh Pemerintah untuk “menghantam/menggebuk/menghukum”
pihak-pihak yang tidak sependapat dengan Pemerintah. Sehingga RUU ini harus
ditolak.
Wallahua’lam bisshowab.
[1]
Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang,
(Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 200.
[2] Ibid, hlm. 170.
[3]
Kaelan, Negara Kebangsaan Indonesia,
(Yogyakarta: Paradigma, 2013), hlm. 676.
[4]
Teori Nawiasky disebut dengan theorie von
stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah:
(1) Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm);
(2) Aturan dasar negara (staatgrundgesetz);
(3) Undang-undang formal (formal gesetz);
dan (4) Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnungen autonome satzung). Lihat A. Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik
Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis mengenai
Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita
IV, (Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia:
Jakarta, 1990), hlm. 111.
[5] Berdasarkan
teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: (1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945); (2) Staatsgrundgesetz: Batang tubuh UUD
1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; (3) Formell gesetz: Undang-Undang; (4) Verordnung en autonome satzung: Secara hierarkis mulai
dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Ibid, hlm. 112.
[6]
Nugroho Notoseosanto, Tercapainya
Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 14.
[7] Ibnu
Sina Chandranegara, Devolusi Doktrin
Tujuan Negara; Konsepsi, Persepsi, dan Aktualisasi, dalam Syaiful Bakhri, Dari Hukum Publik ke Hukum Publik; Ragam
Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta: Total Media bekerjasama dengan
P3IH FH-UMJ, 2016), hlm. 313.
[8] A.
Kahar Maranjaya, Implementasi Pancasila
sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum Dalam Pembentukan Undang-Undang, dalam
Syaiful Bakhri, Ibid, hlm. 260.