Sabtu, 11 Juli 2020

KOMENTAR TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG HALUAN IDEOLOGI PANCASILA (RUU HIP)

KOMENTAR TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG HALUAN IDEOLOGI PANCASILA (RUU HIP)

Oleh:

Roli Pebrianto, S.H., M.H


I.              Prolog

Akhir-akhir ini kita kembali dihebohkan dengan adanya kabar mengenai pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP) yang sedang bergulir di DPR. Hal ini menimbulkan diskursus ditengah masyarakat, mulai dari pendapat RUU HIP ini akan men-degradasi-kan nilai-nilai luhur Pancasila, sampai kepada isu kebangkitan PKI. Begitupun dikalangan para ahli, mereka mengemukakan pendapat dan pandangannya mengenai RUU HIP ini. Tidak luput juga Ormas Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama serta MUI yang mengeluarkan fatwa dan meminta kepada DPR untuk menghentikan pembahasan RUU HIP ini. Hingga pada akhirnya ada pendapat yang berkembang mengenai pembubaran partai pengusul RUU HIP dan dapat dipidanannya anggota partai yang mengusulkan RUU HIP ini.

Berkaitan dengan hal tersebut, pada tulisan ini akan dikemukakan mengenai komentar-komentar terhadap Pasal-Pasal yang dianggap kontroversial dalam RUU HIP. Khusus mengenai pembubaran partai pengusul RUU HIP dan dapat dipidanannya anggota partai yang mengusulkan RUU HIP, akan dibahas pada tulisan berikutnya.

 

II.           Kedudukan Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang

Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum negara. Dikatakan demikian karena sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menempatkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara serta sekaligus sebagai dasar filosofis bangsa dan negara sehingga setiap materi muatan Peraturan-Perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.[1]

Undang-undang selalu mengandung norma-norma hukum yang diidealkan (ideal norm) oleh suatu masyarakat kearah mana cita-cita luhur kehidupan bermasyarakat dan bernegara hendak diarahkan. Karena itu, undang-undang dapat digambarkan sebagai cerminan dari cita-cita kolektif suatu masyarakat tentang nilai-nilai luhur dan filosofis yang hendak diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari melalui pelaksanaan undang-undang yang bersangkutan dalam kenyataan.[2] Pancasila sebagai dasar filsafat negara Indonesia mengandung konsekuensi setiap aspek penyelenggaraan negara, termasuk pembentukan undang-undang dan semua sikap dan tingkah laku bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara harus berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila.[3]

Pancasila diposisikan sebagai sarana arah pembangunana hukum. Apabila menggunakan teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky sebagai pijakan teoritiknya, Pancasila dapat disandarkan sebagai norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm). Teori Hans Kelsen yang mendapat banyak perhatian adalah hierarki norma hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (stufentheorie). Salah seorang tokoh yang mengembangkan teori tersebut adalah murid Hans Kelsen, yaitu Hans Nawiasky.[4]

Staatsfundamentalnorm adalah norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (staatsverfassung) dari suuatu negara. Posisi hukum dari suatu staatsfundamentalnorm adalah sebagai syarat bagi berlakunya suatu konstitusi. Staatsfundamentalnorm ada terlebih dahulu dari konstitusi suatu negara. Manurut Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Kelsen disebut sebagai norma dasar (basic norm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai Staatsgrundnorm melainkan staatsfundamentalnorm, atau norma fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi tidak berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi. Berdasarkan teori Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi membandingkan dengan teori Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky.[5]

Penempatan Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.[6] Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan diterapkannya Pancasila sebagai staatsfundamentalnorm, maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaannya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.[7]

Pancasila dalam kedudukannya sebagai sumber dari segala sumber hukum sering disebut sebagai dasar filsafat atau ideologi negara. Dalam pengertiannya ini, Pancasila merupakan suatu dasar nilai serta norma untuk mengatur pemerintahan negara. Pancasila merupakan suatu dasar untuk mengatur penyelenggaraan negara. Konsekuensinya seluruh pelaksanaan dan penyelenggaraan negara terutama segala peraturan perundang-undangan termasuk proses reformasi dalam segala bidang dewasa ini dijabarkan dari nilai-nilai Pancasila.[8]

 

III.        Pengaturan Pancasila dalam UU akan Mendegradasi Nilai-nilai Luhur Pancasila

Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum negara. Artinya, segala bentuk peraturan perundang-undangan “bernaung” dibawah Pancasila. Pancasila sebagai pemberi arah/pemandu dalam membentuk sebuah peraturan perundang-undangan.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa, RUU HIP (jika disahkan menjadi UU), maka akan menjadi tafsir dari Pancasila, sehingga nilai-nilai luhur Pancasila sebagai staatfundamentalnorm secara hierarkis “turun derajatnya” dibawah UUD NRI 1945 bahkan dibawah TAP MPR. Selain itu tidak ada urgensi pembentukan RUU HIP sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan untuk melakukan pembahasan.

Selain itu, dalam RUU HIP ada ketentuan yang mengatur mengenai Trisila dan Ekasila, diatur pada pasal 1 RUU HIP, yang berbunyi:

(1)     Ciri pokok Pancasila disebut trisila, yaitu:

a.         ketuhanan; 

b.         nasionalisme; dan

c.         kerakyatan/demokrasi.

(2)     Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong.

 

Dalam sejarah, rumusan seperti ini merupakan rumusan yang diusulkan melalui pidato Ir. Soekarno, ketika mengusulkan dasar negara dalam sidang BPUPKI, yang kemudian dalam perdebatan yang sangat panjang akhirnya oleh Panitia Sembilan disetujui rumusan Pancasila yang sebagaimana tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Kemudian pada tanggal 18 Agustus 1945, rumusan Pancasila kembali mengalami perubahan, terutama pada sila pertama dari semula “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, hingga sampai saat ini rumusan tersebut yang digunakan dalam sila Pancasila, seta tanpa “diperas” menjadi Trisila dan Ekasila. Pengaaturan yang demikian (Trisila dan Ekasila) jelas akan mendegradasi nilai-nilai luhur Pancasila.

Kemudian, hal lain yang menjadi kontroversial dalam RUU HIP ini ialah mengenai pengaturan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pembinaan ideologi Pancasila. Hal ini sebagaimana terdapat pada Pasal 42 yang berbunyi:

(1)     Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila.

(2)     Dalam menyelenggarakan kekuasaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden membentuk suatu badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila.

(3)     Badan yang menyelenggarakan urusan di bidang pembinaan Ideologi Pancasila sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

 

 Pengaturan yang demikian menurut Penulis tidak ada urgensinya diatur dalam UU (bahkan RUU nya pun harus dicabut). Berdasarkan bunyi Pasal 42 RUU HIP terutama mengenai frasa “Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila” menunjukkan bahwa seolah-olah Presiden yang paling Pancasilais, Presiden yang paling mengerti Pancasila, dan Presiden dapat menentukan seseorang Pancasilais atau tidak. Frasa yang demikian dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh Pemerintah untuk “menghantam” pihak-pihak yang tidak sependapat dengan Pemerintah.

 

IV.        Simpulan

Dari uraian yang telah dikemukakan diatas, menurut Penulis RUU HIP tidak perlu dibahas dan disahkan dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1.      Secara hierarkis, Pancasila berada diatas UUD NRI Tahun 1945. Namun sekarang Pancasila dibuat haluan Ideologi dalam bentuk UU, yang secara otomatis akan menurunkan derajat Pancasila dibawah UUD NRI Tahun 1945 dan TAP MPR, karena tafsir Pancasila adalah UUD NRI Tahun 1945, bukan RUU HIP ini;

2.      Pancasila tidak perlu diperas menjadi Trisila dan Ekasila karena jelas akan mendegradasi nilai-nilai luhur Pancasila yang telah bertahan dan menjadi pemandu dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;

3.      Frasa “Presiden merupakan pemegang kekuasaan dalam Pembinaan Haluan Ideologi Pancasila” dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh Pemerintah untuk “menghantam/menggebuk/menghukum” pihak-pihak yang tidak sependapat dengan Pemerintah. Sehingga RUU ini harus ditolak.

 

 

Wallahua’lam bisshowab.



[1] Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 200.

[2] Ibid, hlm. 170.

[3] Kaelan, Negara Kebangsaan Indonesia, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), hlm. 676.

[4] Teori Nawiasky disebut dengan theorie von stufenufbau der rechtsordnung. Susunan norma menurut teori tersebut adalah: (1) Norma fundamental negara (staatsfundamentalnorm); (2) Aturan dasar negara (staatgrundgesetz); (3) Undang-undang formal (formal gesetz); dan (4) Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (verordnungen autonome satzung). Lihat A. Hamid Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV, (Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia: Jakarta, 1990), hlm. 111.

[5] Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah: (1) Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945); (2) Staatsgrundgesetz: Batang tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan; (3) Formell gesetz: Undang-Undang; (4) Verordnung en  autonome satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota. Ibid, hlm. 112.

[6] Nugroho Notoseosanto, Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 14.

[7] Ibnu Sina Chandranegara, Devolusi Doktrin Tujuan Negara; Konsepsi, Persepsi, dan Aktualisasi, dalam Syaiful Bakhri, Dari Hukum Publik ke Hukum Publik; Ragam Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta: Total Media bekerjasama dengan P3IH FH-UMJ, 2016), hlm. 313.

[8] A. Kahar Maranjaya, Implementasi Pancasila sebagai Sumber dari Segala Sumber Hukum Dalam Pembentukan Undang-Undang, dalam Syaiful Bakhri, Ibid, hlm. 260.


KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...