PRINSIP PEMAAFAN TERPIDANA MATI (AL-‘AFWU ‘ANIL UQUBAH) DALAM PERSPEKTIF
HUKUM PIDANA ISLAM KAITANNYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA
Oleh:
Roli Pebrianto, S.H
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Hukum pidana selalu mengalami perubahan dalam lintasan
sejarah. Perubahan-perubahan itu terjadi baik dari segi hakekatnya maupun dari
segi substansinya yang diusahakan untuk dapat dipakai mengendalikan masyarakat
secara efektif. Hukum adalah saksi bisu dan jujur, maka pantaslah menjadi
sumber sejarah. Terhadap hal itu, bahwa Indonesia masih memakai dan menggunakan
hukum pidana zaman kolonial, dan belum juga mendapatkan sorotan serius untuk
digarap lebih lanjut.[1]
Kaitannya dengan pembaruan hukum pidana di Indonesia, telah
dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik
Indonesia. Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan:
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini.
Diadakannya
peraturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan hukum.
Hal ini berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada pada zaman penjajahan masih
tetap berlaku dimana pemberlakuan peraturan-peraturan tersebut disesuaikan
dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka.[2]
Pembaruan
hukum pidana secara real telah berlangsung sejak adanya UU No. 1 Tahun 1946
tentang KUHP dengan penyesuaian terhadap suasana kebatinan kemerdekaan bangsa
Indonesia dengan melalui serangkaian politik kriminalisasi di bidang hukum
pidana. maka sejak itulah telah dimulai pembaruan hukum pidana hingga sekarang.[3]
Pembaruan hukum pidana menurut Lilik
Mulyadi dapat terjadi melalui beberapa kemungkinan, yakni:
1. Karena dipengaruhi oleh pergeseran
unsur masyarakat hukum atau pergeseran elemen bawah ke atas (bottom up);
2. Karena pergeseran nilai yang mendasari
hukum atau elemen atas yang mempengaruhi elemen bawahnya (top down);
3. Pergeseran gabungan pertama dan kedua,
yaitu terjadi pada elemen nilai atau elemen masyarakat hukum tidak secara
otomatis membawa pergeseran hukum, tetapi hukum yang berlaku diberi perspektif
baru sesuai nilai baru atau keadaan baru tersebut.[4]
Beberapa
kemungkinan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor pendidikan hukum oleh para
ahli hukum pidana di berbagai masanya telah mendesak dan melahirkan pembaruan
hukum pidana di berbagai bidang kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya,
serta penegakan hukumnya telah menghiasi bahkan melengkapi ketertinggalan hukum
pidana yang diatur oleh KUHP yang berlaku sebagai peninggalan kolonial.[5]
Pembaruan
hukum pidana juga menuntut adanya penelitian dan pemikiran terhadap masalah
sentral yang sangat fundamental dan strategis termasuk dalam masalah kebijakan
dalam menetapkan sanksi pidana. Kebijakan menetapkan pidana dalam
perundang-undangan sebagai suatu garis kebijakan sistem pidana dan pemidanaan,
yang sekaligus sebagai landasan legalitas pada tahap berikutnya.[6]
Salah satu
hal penting dan menarik untuk dikaji dari segi keilmuan hukum ialah mengenai
prinsip tentang pemaafan terpidana mati oleh ahli waris korban dalam perspektif
hukum pidana Islam untuk kemudian dapat ditransformasikan kedalam hukum pidana
nasional melalui upaya-upaya kebijakan hukum pidana sebagai suatu proses dalam
rangka pembaruan hukum pidana.
Sebagaimana diketahui bahwa hukum
pidana Islam dikenal tiga macam jarimah (tindak pidana) yaitu: (1) jarimah hudud,
(2) jarimah Qishas-diyat, (3) jarimah ta’zir.[7]
Ketiga jarimah ini mempunyai kelenturan dalam penerapannya yang dapat dijadikan
sebagai bahan pembaharuan hukum pidana nasional. Hukum Pidana Islam menawarkan
berbagai bentuk pemidanaan yang dapat dipilih oleh hakim sebagai hukuman yang
tepat. Hukum pidana Islam memberikan perlindungan kepada korban, pelaku,
masyarakat dan negara.[8]
Pidana mati masuk ke dalam
jarimah Qishas-diyat. Artinya, pembunuh yang membunuh dengan sengaja harus
dihukum mati dan dilaksanakan hukum qishash atau dimaafkan dengan syarat
atau tanpa syarat, sehingga pembunuh itu dihukum mati atau tidak, maka hak
walinya si korbanlah yang menentukan, sesuai dengan firman Allah surat Al-Isra’
ayat 33, yang artinya:
“Dan janganlah kamu
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu
(alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim,
maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli
warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh.
Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan.”
Maksud
kekuasaan disini Menurut Sayid Quthb adalah
kewenangan yang Allah berikan kepada ahli waris dari korban pembunuhan yang
dibunuh tanpa sebab yang dibenarkan oleh syari’at kepada sipelaku pembunuhan.
Jika mau ia bisa membunuhnya, atau memaafkannya dengan diyat, atau memaafkannya
tanpa diyat. Ahli warislah yang memiliki keputusan mengambil tindakan terhadap
pembunuh, karena darahnya telah menjadi miliknya.[9]
Kemudian,
dalam konteks global, sebagaimana dikemukakan oleh Syaiful Bakhri, bahwa:
“Pidana
mati merupakan suatu jenis pidana dalam usianya setua usia kehidupan manusia
yang paling kontroversial dari semua sistem hukum pidana, baik di negara-negara
yang menganut sistem Common Law
maupun negara-negara yang menganut Civil
Law. Terdapat dua arus pemikiran utama mengenai pidana mati ini, yaitu: pertama, adalah mereka yang ingin tetap
mempertahankannya berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan
penghapusan secara keseluruhan. Kecenderungan masa kini adalah penghapusan
pidana mati, seperti yang dilakukan di beberapa negara Amerika Serikat dan
negara-negara Uni Eropa. Indonesia termasuk negara yang masih mempertahankan
pidana mati dalam sistem hukum positifnya.[10]
Sejalan dengan itu Indonesia yang menerapakan pidana
mati bagi pelaku kejahatan tertentu, sebagaimana dalam Islam juga dikenal
adanya pidana mati yang dikenal dengan qishash yang artinya pembalasan
yang sepadan. Menurut sebagian orang, makna dari qishash ini adalah si
pelaku kejahatan bila ia melakukan pembunuhan, maka ia akan dihukum mati, bila
ia melukai anggota tubuh korbannya, maka ia akan mendapat pembalasan dengan
dilukai anggota tubuhnya seperti luka yang diderita korbannya.[11]
Adapun yang menjadi dasar
hukum qishash terdapat dalam Al-Qur’an pada surah Al-Baqarah ayat
178-179 dan surah Al-Maa’idah ayat 45. Pada surah tersebut menjelaskan dasar
hukum, klasifikasi, teknis, tujuan, fungsi dan hikmah qishash. Benang
merahnya adalah “dengan membunuh orang yang membunuh orang lain tanpa hak, akan
terjamin kehidupan orang lain, bahkan kehidupan banyak orang”.[12]
Dari kedua surah di atas,
dapat dikatakan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi mengenai kehidupan,
sebagaimana dinyatakan bahwa Qishash ialah mengambil pembalasan yang
sama dan qishash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat maaf dari
ahli waris yang terbunuh yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang
wajar.[13]
Hukum yang kaku atau tidak fleksibel
akan menimbulkan kompleksitas dan aneka konflik dalam kehidupan sosial, sehingga
diperlukan konsepsi hukum yang dapat diterima masyarakat (akseptable) dan
yang sesuai dengan sifat karakteristik dan pola kehidupan masyarakat (adaptable).
Menurut Savigny, hukum bukanlah
hanya sekedar ungkapan yang terdiri dari sekumpulan peraturan (judicial precedent).[14]
Artinya ada suasana dialogis antara hukum dengan kondisi sosial masyarakat yang
ada.
Agar
hukum nasional Indonesia menjadi hukum yang akseptable dan adaptable,
maka harus ditempuh upaya untuk menggali nilai-nilai yang hidup dan diyakini oleh masyarakat sebagai sebuah nilai luhur, tanpa melihat atribut baju nilai luhur tersebut baik berupa agama tertentu atau kelompok tertentu.[15]
Hukum
Islam sebagai salah satu bahan dalam
pembangunan hukum nasional
dituntut untuk mampu berperan dan
berkompetisi dengan hukum lainnya. Penerapan hukum Islam di Indonesia yang pas menurut Penulis adalah dengan mentransformasikan asas-asas hukum Islam ke dalam sistem hukum
nasional Indonesia.
Dalam sistem hukum yang
berlaku di Indonesia, bahkan di dunia saat ini, posisi korban dan keluarga
korban tindak pidana belum mendapat perhatian yang sepantasnya dan belum
ditempatkan secara adil, bahkan cenderung terlupakan. Kondisi ini berimplikasi
pada dua hal yang fundamental, yaitu tiadanya perlindungan hukum bagi korban
dan tiadanya putusan hakim yang memenuhi rasa keadilan bagi korban, pelaku, maupun
masyarakat luas.[16]
Berdasarkan uraian latar
belakang permasalahan di atas, penulis ingin mengkaji lebih lanjut dalam mengenai
pidana mati menurut hukum nasional dalam hubungannya dengan hukum islam, dalam
sebuah makalah yang berjudul “PRINSIP PEMAAFAN TERPIDANA MATI DALAM
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ISLAM KAITANNYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA
INDONESIA (Kajian Keilmuan Dalam Rangka Transformasi Hukum Islam Kedalam Hukum
Pidana Nasional)”.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana perbandingan pidana mati dalam hukum
pidana Indonesia dan hukum Islam ?
2.
Bagaimana mekanisme mentransformasikan prinsip
pemaafan terpidana mati dalam hukum pidana Islam kedalam hukum pidana nasional dilihat
dari pendekatan keilmuan ?
C.
Pembatasan
Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang yang telah
dikemukakan diatas, maka pembahasan makalah ini akan dibatasi pada pokok
permasalahan mengenai kajian pendekatan keilmuan mengenai perinsip pemaafan
terpidana mati dalam hukum Islam dalam relevansinya terhadap pembaruan hukum
pidana nasional.
D.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui perbandingan pidana mati dalam
hukum pidana Indonesia dan hukum Islam.
2.
Untuk mengetahui mekanisme mentransformasikan
prinsip pemaafan terpidana mati dalam hukum pidana Islam kedalam hukum pidana
nasional dilihat dari pendekatan keilmuan.
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Pidana
Mati Dalam Perspektif Global dan Eksistensinya
Dalam hukum pidana. terdapat tiga masalah pokok yakni,
tindak pidana (strafbaarfeit/criminal
act/actus reus), kesalahan (schuld/guilt/mens
rea), dan pidana (straf/punishment/poenali).
Ketiga permasalahan tersebut sebenarnya merupakan komponen dari keseluruhan
sistem pemidanaan.
Dilihat dari ke tiga pilar sistem pemidanaan ini secara
konsepsional tercantum dalam buku I Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(selanjutnya disingkat RKUHP) yang dikenal sebagai “Aturan Umum”. Bagian
umum/general rules secara konsepsional mencakup ketentuan mengenai asas-asas,
tujuan pidana/pemidanaan, aturan dan pedoman pemidanaan, serta batasan
yuridisnya.
Berbeda dengan KUHP yang sekarang berlaku sebagai hukum
positif, tidak semua konstruksi konsepsional sistem pemidanaan tersebut
dirumuskan secara eksplisit antara lain adalah “tujuan dan pedoman pemidanaan“.
Padahal tujuan dan pedoman pemidanaan memiliki posisi sangat sentral dan
fundamental karena merupakan jiwa/spirit/filosofi dari sistem pemidanaan.
Dikatakan demikian, karena setiap sistem memiliki tujuan atau dikenal dengan “purposive system” sebagai justifikasi
adanya pidana.
Perumusan tujuan pemidanaan tersurat dalam pasal 54 RKUHP
sebagai berikut:
1.
Pemidanaan bertujuan:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh
tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat;
d.
Membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
2.
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan
dan merendahkan martabat manusia.
Perumusan tujuan pemidanaan berkaitan dengan isi/muatannya
masih dipermasalahkan khususnya keberadaan Pidana Mati yang masih dipertahankan
eksistensinya didalam RKUHP. Kemudian masalah eksistensi Pidana Mati dalam
perspektif global menurut Barda Nawawi
Arief masih terdapat pandangan pro-kontra dan eksekusinya. Terungkap secara
global bahwa penerapan pidana mati di dunia adalah sebagai berikut:
(1) Abolished for all offenses; (2) Abolished
for all offenses except under special circumstances; (3) Retains, thought not
used for at least 10 years; and (4) Retains death penalty. Demikian halnya
dengan ungkapan oleh Amnesty International adalah sebagai berikut: (a) Abolitionist for all crimes; (b)
Abolitionist for ordinary crimes only; (c) Abolitionist in practice; (d)
Retentionist.[17]
Bertolak dari level internasional,
penghapusan pidana mati telah diupayakan lebih dari 50 tahun, antara lain
dengan mengemukakan ketentuan adanya hak untuk hidup yang dituangkan dalam Universal Declaration Of Human Rights
tahun 1948 dan United Nation Covenant On
Civil And Political Right tahun 1966. Sampai saat ini ada 100 negara telah
menghapus pidana mati. Ada negara yang menghapus pidana mati untuk semua kejahatan,
namun ada pula negara menghapus pidana untuk kejahatan biasa, sedangkan untuk
kejahatan luar biasa (extra ordinary
crimes) pidana mati masih dipertahankan atau diberlakukan.
Dipilihnya atau ditetapkannya
pidana mati sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi/memberantas kejahatan
pada hakikatnya merupakan suatu pilihan kebijakan. Dalam menetapkan suatu
kebijakan bisa saja orang berpendapat pro atau kontra terhadap pidana mati.
Namun setelah kebijakan diambil dan diputuskan, kemudian diformulasikan dalam
suatu undang- undang, dilihat dari sudut kebijakan hukum pidana dan kbijakan
kriminal, kebijakan formulasi pidana mati itu tentunya dapat diterapkan pada
tahap aplikas. Bukankah asas legalitas tidak saja mendasari perbuatan/tindak
pidana, melainkan termasuk pidana/sanksi sebagaimana ketentuan pasal 1 ayat 1
KUHP “Nullum delictum, nulla puna sine
praevia lege punali” (tiada kejahatan, tiada hukuman/sanksi, tanpa
undang-undang hukum pidana terlebih dahulu).
B.
Pro-Kontra
Pidana Mati
Pidana mati merupakan pidana yang tua dalam usia, tetapi
muda dalam berita. Pidana mati sejak dahulu hingga sekarang selalu menjadi
perdebatan di berbagai kalangan sehubungan dengan faktor pro dan kontra pidana
mati.[18]
Dalam konteks perspektif global pun masih terdapat pandangan pro-kontra
mengenai eksistensi pidana mati dan eksekusinya. Data yang dihimpun oleh Barda Nawawi Arief menunjukkan
keseimbangan antara kelompok kontra pidana mati (Abolisionis) dan kelompok pro
pidana mati (Retensionis), sehingga terdapat 98 negara dari kelompok
Abolisionis yang masih menggunakan pidana mati sebagai pidana eksepsional untuk
keadaan khusus. Jadi, masih terdapat 109 negara yang masih mengakui adanya
pidana mati, dan ada juga yang tidaka menggunakan atau melakukan penundaan
pelaksanaan penjatuhan pidana mati dalam waktu yang cukup lama.[19]
Menurut data Amnesty International sebagaimana dihimpun oleh
Syaiful Bakhri, bahwa dari 199
negara yang tidak lagi melaksanakan atau menjatuhkan pidana mati adalah seluruh
wilayah Eropa kecuali Belarus. Sedangkan kebanyakan negara-negara wilayah
Pasifik termasuk Australia, New Zealand, Timor Leste, dan Kanada telah
menghapus pidana mati.[20]
Banyak negara di Amerika Latin telah menghapus pidana mati.
Namun negara lainnya seperti Brazil masih membolehkan pidana mati dalalm
keadaan eksepsional. Di USA, Guatemala, dan negara-negara Karibian, Asia, dan
Afrika masih mempertahankan pidana mati, termasuk Indonesia. Albania adalah
negara terakhir yang menghapus pidana mati pada 2007. Filipina menghapus pidana
mati, tetapi pada tahun 1993 mengintrodusir kembali pidana mati dan pada tahun
2006 menghapus kembali pidana mati.[21]
Adapun negara-negara yang menghapus pidana mati untuk
seluruh tindak pidana (abolish for all
crime) terdiri dari 69 negara.[22]
Negara yang menghapuskan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan biasa (abolitionish for ordinary crime only)
terdiri dari 11 negara.[23]
Sedangkan negara-negara yang dalam praktek menghapuskan
hukuman mati (abolitionist in practice)
terdiri dari 33 negara.[24] Sementara
negara yang masih menerapkan hukuman mati (retentionist)
terdiri dari 33 negara.[25]
Pro-Kontra
pidana mati telah terjadi sejak jaman Beccaria di abad ke 18, dengan suatu
perjuangan yang gigih, dan berpengaruh terhadap pembentukan Undang-undang hukum
pidana ketika itu, yang menentang pidana mati, didukung oleh banyak tokoh.
Perjalanan sejarah memasuki awal abad ke 19, gerakan-gerakan menentang pidana
mati mulai tenang, terutama setelah terjadi Revolusi Perancis pada bulan Juli
1830 menjalarkan pemikiran menghapuskan pidana mati.
Selanjutnya pada Revolusi Jerman 1848
dalam National Versammlung di Frankfurt hingga pada 3 Desember 1948, diputuskan
hak hak dasar bangsa Jerman dengan ditiadakannya hukuman mati.[26] Dikalangan
para aktivis HAM, perdebatan tentang penerapan pidana mati di Indonesia bukan
saja karena adanya putusan MK tanggal 20 Nopember 2007 yang menolak penghapusan
pidana mati bagi para pelaku Tindak pidana Narkotika.
Gerakan yang pro pidana mati beralasan bahwa pidana mati
diperlukan demi menjerakan dan menakutkan penjahat dan relatif tidak
menimbulkan rasa sakit jika dilaksanakan dengan tepat. Terhadapa hal ini, Tb. Ronny Nitibaskara menyatakan bahwa
pidana mati masih diperlukan dikarenakan pada beberapa hal yuridis sebagai
berikut:
1. Bahwa hukum positif kita masih dengan tegas
mencantumkan pidana mati (Pasal 10 KUHP), sehingga tidak ada satu pasalpun
tentang sanksi pidana mati dihapus atau dinyatakan tidak berlaku. Kalau ada
pihak-pihak yang menyatakan bahwa dengan pemasukan pasal-pasal tentang HAM
didalam amandemen UUD Tahun 1945, secara otomatis pidana mati tidak dapat
diterapkan, hal itu hanyalah merupakan interpretasi;
2.
Pertimbangan HAM. Selama ini terdapat paham di
kalangan sebagian aktivis HAM bahwa hukuman mati tidak dapat diterapkan oleh
siapapun, secara doktriner tidak ada yang salah dengan alibi itu, akan tetapi
untuk menjawab bahwa di dunia nyata ada pihak-pihak yang merampas nyawa orang
lain dengan atau tanpa alasan yang hakiki, doktrin itu harus diperdalam
maknanya;
3. Alasan moral. Untuk pertimbangan ini dengan
mengutip pendapat mantan hakim agung Bismar Siregar: “kalau binatang saja bisa
dibunuh, bagaimana pula dengan manusia-manusia tertentu yang kekejian dan
kejahatannya melebihi binatang ?. Tentu manusia demikian layak menerima hukuman
mati;”
4.
Pertimbangan kondisi aktual masyarakat dan
persepsinya tentang jenis kejahatan tertentu, tatkala kejahatan telah mengancam
keamanan nasional, oleh masyarakat akan terjadi dorongan yang kuat terhadap
pemerintahnya untuk memberikan sanksi yang tegas;
5.
Pertimbangan keyakinan agama. Mayoritas muslim
meyakini bahwa syari’at Islam berlaku pidana mati bagi jenis kejahatan
tertentu.[27]
Kemudian gerakan yang kontra pidana mati (abolisionis)
menganggap bahwa pidana mati bertentangan dengan tujuan pemidanaan,
Menurut Ing Oei Tjo Lan, tujuan pidana adalah memperbaiki individu
yang telah melakukan tindak pidana, disamping melindungi masyarakat, jadi nyata
dengan adanya pidana mati, bertentangan dengan salah satu dari tujuan pidana.
Hal yang dapat disangkal bahwa kepentingan individu sebagai anggota masyarakat menjadi
tanggung jawab negara.[28]
Negara tidak hanya menjaga ketertiban umum, tetapi juga
memajukan kesejahteraan umum, termasuk terpidana mati, tetapi bilamana
dieksekusi maka tamatlah riwayatnya, sehingga tidak dipersoalkan lagi aspek
pendidikan dan perbaikannya. Pidana mati telah merendahkan kewibawaan negara,
karena negara adalah sebagai pelindung utama terhadap semua kepentingan
warganegara. Dengan tindakan pidana mati, maka negara hanya memperlihatkan
ketidakmampuannya untuk memberantas kejahatan.[29]
Hukuman mati tidak sesuai dengan semangat penghormatan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia, bahkan bertentangan dengan konstitusi
negara. Adapun alasan dari penentangan terhadap pidana mati adalah:
1. Sekali pidana mati dijatuhkan dan dilaksanakan,
maka tiada jalan lain lagi untuk memperbaiki kesalahan hakim, jika keliru
menjatuhkan putusannya. Karena hakim adalah manusia biasa yang tidak terlepas
dari kesalahan;
2.
Pidana mati itu bertentangan dengan
perikemanusiaan;
3.
Dengan penjatuhan pidana mati, sudah tertutup
segala usaha untuk memperbaikinya;
4. Apabila pidana mati itu dipandang perlu sebagai
usaha untuk menakut-nakuti calon penjahat, maka pandangan itu keliru, karena
pidana mati biasanya dilaksanakan tidak di muka umum;
5. Penjatuhan pidana mati pada umumnya mengundang
belas kasihan masyarakat, yang dengan demikian mengundang protes-protes
terhadap pelaksanaannya;
6. Pada umumnya Kepala Negara lebih cenderung untuk
mengubah pidana mati dengan pidana penjara terbatas atau seumur hidup.[30]
PERBANDINGAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM
PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A.
Pidana Mati Dalam Hukum Positif
Indonesia
Dalam hukum positif di indonesia pengaturan tentang pidana mati telah dikodifikasikan di dalam KUHP. KUHP dibagi
menjadi 3 buku, yang pertama berisi tentang ketentuan umum, yang kedua berisi
tentang kejahatan, dan buku ketiga tentang pelanggaran. Mengenai pengaturan tentang pidana mati diatur dalam
Pasal-Pasal sebagai berikut:
Pasal
104 KUHP, “Makar
dengan maksud membunuh Presiden atau Wakil Presiden, atau dengan maksud
merampas kemerdekaan mereka atau menjadikan mereka tidak mampu memerintah,
diancam dengan pidana mati atau pidana selama waktu tertentu, paling lama dua
puluh tahun;”[31]
Pasal
111 ayat (2) KUHP. “Jika
permusuhan itu dilakukan atau peperangan terjadi maka dijatuhkan pidana mati,
atau penjara seumur hidup atau sementara selamanya dua puluh tahun.”[32]
Pasal
124 ayat (3) KUHP.
“Pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling
lama dua puluh tahun dijatuhkan jika pembuat:” ke-1. Memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh,
menghancurkan suatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat
penghubung, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun angkatan laut,
angkatan darat atau bagian daripadanya; merintangi, menghalang-halangi atau
menggagalkan suatu usaha untuk menggenangi air atau bangunan tentara lainnya
yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang; ke-2. Menyebabkan atau memperlancar
timbulnya huru hara, pemberontakan atau desersi di kalangan angkatan perang.”[33]
Pasal
124 bis KUHP.
Hukuman mati atau seumur hidup, atau penjara dua puluh tahun, dalam waktu
perang berkhianat kepada musuh, menganjurkan huru-hara, pemberontakan, dan
sebagainya antara pekerja-pekerja dalam perusahaan pertahanan negara;
Pasal
140 ayat (3)
KUHP.” Jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana serta berakibat maut,
diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana
penjara, selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.”[34]
Pasal
185 KUHP.” Barang siapa
dalam perkelahian tanding merampas nyawa pihak lawan atau melukai tubuhnya,
maka diterapkan ketentuan-ketentuan mengenai pembunuhan berencana, pembunuhan
atau penganiayaan: 1. Jika persyaratan tidak diatur terlebih dahulu; 2. Jika
perkelahian tanding tidak dilakukan di hadapan saksi kedua belah pihak; 3. Jika
pelaku dengan sengaja dan merugikan pihak lawan, bersalah melakukan perbuatan
penipuan atau yang menyimpang dari persyaratan.”[35]
Pasal
340 KUHP, “Barang
siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa orang laim,
diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh
tahun.”
Pasal
365 ayat (4)
KUHP, “Diancam dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat
atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula
disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan no.3.”[36]
Pasal
368 ayat (2)
KUHP, ”Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, keempat berlaku bagi kejahatan
ini.”
Pasal
444 KUHP, “Jika perbuatan kekerasan yang
diterangkan dalam pasal 438-441 mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang
atau seseorang yang diserang itu mati, maka nahkoda, komandan atau pemimpin
kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara selama waktu
tertentu paling lama dua puluh tahun.”[37]
Pasal
479k ayat (2) KUHP. “ Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana
dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya
dua puluh tahun.”[38]
Pasal
479o ayat (2) KUHP, “Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana
dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
selama-lamanya dua puluh tahun.”[39]
Selanjutnya hukuman
mati telah diatur dalam berbagai Peraturan perundang-undangan lainnya.
Khususnya terhadap kejahatan yang dianggap sangat berbahaya, seperti pada
tindak pidana Terorisme, Narkotika dan Psikotropika, Korupsi, Kejahatan
HAM dan KUH Pidana Militer.[40]
B.
Pidana Mati Dalam Hukum Islam
Pidana mati menurut
hukum Islam[41] diancam untuk kejahatan: Pembunuhan,
kewajiban Qishas didasarkan pada Al
Quran surat Al-Baqarah ayat 178; “Hai orang orang yang beriman diwajibkan atas
kamu qishos berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh, orang merdeka dengan
orang merdeka, hamba dengan hamba, wanita dengan wanita, maka barang siapa
dapat pemaafan dari saudaranya hendaklah memaafkan dengan cara yang baik,
dengan membayar diyat kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik, yang
demikian itu adalah cara yang baik, barang siapa melampaui batas itu, maka
baginya adalah siksa yang pedih”.
Perzinahan. Sebagaimana dalam Surah An Nur ayat
2: “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap
seseorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada
keduanya mencegah kamu untuk menjalakannya agama ALLAH, jika kamu beriman
kepadaNYA dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan
pula oleh orang-orang yang beriman.
Perampokan, Kejahatan perampokan dan ancaman
hukumannya disebutkan dalam Al Qur’an surah Al-Maidah ayat 33: “Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya, dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh disalib atau dipotong tangan
dan kaki mereka dengan timbal balik atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya).”
Pemberontakan, dasar hukum dalam Al Qur’an bahwa
seorang pemimpin (imam) harus ditaati, berdasarkan Surah An Nisa ayat 59: “Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati-lah Rasul (Nya) dan Ulil
amri diantara kamu” Seorang pemimpin (imam) dibebani kewibawaan
untuk memelihara dan mempertanggungjawabkan kesatuan umat Islam. Apabila
terjadi pertentangan di antara kaum muslimin atau ada segolongan kaum muslimin
yang berusaha menentang kekuasaan pemerintah, imam sebagai kepala negara harus
mempertanggungjawabkan semua ini, dengan mengusahakan perdamaian terlebih
dahulu. Jika tidak berhasil, baru pemberontakan itu diperangi. Kewajiban ini
dapat dipahami dari surah Al-Hujarat ayat 9: “Dan jika ada dua golongan dari
orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari
kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada Perintah
Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka
damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Murtad, merupakan suatu pernyataan sikap yang
disusul dengan tindakan keluar dari Islam, pelakunya sebelum itu adalah
penganut Islam. Murtad terjadi dalam bentuk salah satu dari tiga hal,
yaitu: Pertama, dengan perkataan yang mengkafirkan, seperti mencela
Allah dan Rasul-Nya. Kedua, dengan perbuatan yang mengkafirkan, seperti
menyembah berhala dan lain-lain. Ketiga, dengan kekeliruan
(perubahan) keyakinan(itikad) seperti mempercayai atau meyakini bahwa ala mini
kekal, mempercayai bahwa yang haram itu halal, dan sebagainya.
Kejahatan
murtad tersebut diterangkan Allah dalam Al Qur’an surah Ali imron ayat 85: “Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.
Ancaman
pidana mati bagi pelaku kejahatan murtad adalah seabagaimana sabda Rasulullah
Saw. yang diriwayatkan oleh Bukhari:
“Dari
Ibnu Mas’ud r.a. berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “tidak dihalalkan darahnya
seorang muslim yang mengakui bahwasanya tiada Tuhan selain Allah dan aku ini
utusannya, keduali disebabkan oleh salah satu dari tiga macam: 1). Duda/janda
yang berzina, 2). Yang (dihukum mati karena) membunuh orang, 3). Orang yang
meninggalkan agamanya, serta memisahkan diri dari jamaah (murtad). {Muttafaq
‘Alaih}”
Dari uraian diatas, hukuman bagi pelaku pembunuhan dalam Al-Qur’an adalah berlaku Qishas seperti dalam (Q.S Al-Baqarah: 178), (Q.S Al-Maaidah: 45). Adapun dalam Islam berlaku sistem pemaafan atau damai dalam
pembunuhan, apabila keluarganya kemudian dengan lapang dada menerima, apalagi pembunuhannya
itu tidak disengaja maka dalam hal ini dapat diberlakukan Diyat atau membayar denda,
sesuai yang tercantum dalam Al-Qur’an yaitu dalam surat (Q.S Al-Baqarah: 178)
yang telah dipaparkan diatas.
Dalam Hukum Pidana Indonesia yang menjadi perbedaan dengan
Hukum Pidana Islam adalah bahwa tidak dapat dilakukan pemaafan (damai secara
hukum) antara keluarga pihak yang dibunuh dan orang yang membunuh. Jadi
walaupun ada perdamaian antara kedua belah belah pihak proses pidananya tetap
berjalan. Hal ini dikarenakan dalam hukum pidana Indonesia tidak dikenal damai
yang menggugurkan proses pidana kecuali untuk kasus yang memuat delik aduan,
seperti kasus pencurian dalam keluarga dan kasus perzinahan atau perselingkuhan
bagi suami/istri. Delik aduan dapat dicabut kembali apabila pihak yang
mengadukan tindakan pidana tersebut mencabutnya.
KONTRIBUSI HUKUM ISLAM TERHADAP
TRANSFORMASI PRINSIP PEMAAFAN TERPIDANA MATI KEDALAM HUKUM PIDANA NASIONAL
(KAJIAN PERSPEKTIF KEILMUAN)
A.
Peran
Interpretasi (Penafsiran Hukum)
Berbagai
pengkajian tentang hukum Islam dalam konteks apapun dan dalam bentuk apapun,
pada dasarnya merupakan suatu upaya untuk memahami kemudian mendeskripsikan
serta menjelaskan berbagai dimensi dan substansi hukum Islam sebagai bagian dari
kehidupan manusia yang dapat digali dari berbagai sumber yang mudah ditemukan. Salah satu pendapat yang didapat melalui pengkajian
itu adalah bahwa hukum Islam adalah hukum seperti yang dipahami oleh para fuqaha (fiqh)
sepanjang masa.[42]
Salah
satu bentuk pengkajian hukum Islam seperti yang dipahami oleh para fuqaha adalah
melalui transformasi. Transformasi merupakan suatu usaha untuk mengadakan
perubahan terhadap sesuatu yang telah ada menjadi sesuatu yang baru, antara
lain dengan penyesuaian dan perubahan. Dalam bidang hukum, transformasi sering
dipakai dalam arti penyesuaian hukum dengan kebutuhan masyarakat. Proses atau
upaya transformasi hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional
dimaksudkan sebagai usaha menerapkan hukum Islam yang normatif menjadi hukum
Islam yang positif atau yang sering disebut usaha positifisme hukum Islam ke
dalam tata hukum Indonesia.
Oleh
karena itu hukum Islam sebenarnya dapat dikemas sebagai sesuatu yang dapat
dikembangkan melalui interpretasi, yang sangat bermanfaat bagi pengembangan
pengkajian serta pengetahuan yang bersifat ilmiah, maupun bagi pemahaman
masalah hukum untuk dipedomani dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Cara
pandang dan interpretasi yang berbeda dalam keanekaragaman pemahaman orang Islam
terhadap hakikat hukum Islam telah berimplikasi dalam sudut aplikasinya. M. Atho Mudzhar misalnya,
menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam
menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan
Pengadilan Agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan
fatwa-fatwa ulama.[43]
Keempat
faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi
hukum Islam di Indonesia. Terlebih lagi hukum Islam sesungguhnya telah berlaku
sejak kedatangan pertama Islam di Indonesia, di mana stigma hukum yang beriaku
dikategorikan menjadi hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat. Sedangkan hukum
Islam dilihat dari dua segi. Pertama,
hukum Islam yang berlaku secara yuridis formal, artinya telah dikodifikasikan
dalam struktur hukum nasionaI. Kedua,
hukum Islam yang berlaku secara normatif yakni hukum Islam yang diyakini
memiliki sanksi atau padanan hukum bagi masyarakat muslim untuk
melaksanakannya.[44]
Selain
itu, dalam interpretasi juga diutamakan pemilihan kata-kata yang tepat yang
akan dijadikan kalimat dalam bahasa peraturan perundang-undangan. Dalam hukum
Islam, keberadaan pidana mati sebagai sanksi hukum disebutkan dengan berbagai
macam istilah yang diancamkan untuk beberapa kasus jarimah atau kejahatan
tertentu. Misalnya:
1.
Pidana
qishash yang diancamkan pada
kejahatan pembunuhan bersifat/secara sengaja (Yaa ayyuhalladzina aamanu kutiba ‘alaikumul qishashu fil qotlaa …).[45]
2.
Pidana
mati melalui cara Umum atau cara Salib yang diancamkan pada kejahatan
perampokan yang berakibat terbunuhnya si korban (Innamaa jazaaulladzina yuhaaribuunallaha wa rasuulahu wa yas’auna fil
ardli fasaadan an-yuqattaluu au yushallabuu ….).[46]
3.
Pidana
rajam, yaitu melalui cara terpidana ditanam tubuhnya separuh badan kemudian
dilempari dengan batu hingga menemui ajalnya) yang diancamkan pada kejahatan
zina bersifat muhshan (pezina yang sudah punya suami/istri sah).[47]
4.
Pidana
Mati yang diancamkan pada kejahatan riddah
yaitu perbuatan seorang muslim yang keluar meninggalkan agamanya dan kemudian
melakukan desersi (menyeberang kepada kelompok musuh Islam sehingga dapat
mengancam/membahayakan eksistensi Islam dan ummat muslim).[48]
Berdasarkan
ketentuan Al-qur’an maupun Hadits di atas, terlihat bahwa menurut ajaran Islam
pengancaman sanksi pidana mati adalah hanya diperuntukkan bagi
kejahatan-kejahatan tertentu yang bersifat serius. Seperti pembunuhan sengaja
tanpa alasan sah, pengkhianatan dalam kehidupan masyarakat muslim (riddah/desersi)
dan lain sebagainya. Bandingkan ketentuan hukum pidana Islam ini dengan
ketentuan KUHP seperti pasal 340 tentang pembunuhan berencana, pasal 104
tentang makar dengan maksud untuk membunuh Presiden atau Wakil Presiden dan
pasal 111 tentang pengkhianatan terhadap negara pada saat perang atau tentang
kejahatan terorisme yang korbannya massif serta sporadis dan lain-lain.
Adapun
filosofi dan tujuan yang mendasari pengancaman pidana mati menurut Islam, dalam
al-qur’an surat Al-Baqarah: 179 disebutkan konsep ajarannya yang berbunyi
sebagai berikut: “Wa lakum fil qishaashi
hayaatun yaa ulil albaab.”
Berdasarkan
ayat di atas diketahui bahwa maksud tujuan ditetapkannya ancaman pidana qishash (pidana mati) terhadap kejahatan
pembunuhan (sebagai contoh) adalah agar supaya jaminan hak hidup manusia (hayaatun) sebagai salah satu HAM yang
paling mendasar dapat diwujudkan. Dasar logikanya ialah jika setiap orang mau
dan mampu berpikir (ulil albab) untuk
memahami bahwa siapapun yang membunuh pasti akan berakibat dirinya terbunuh
(melalui penerapan sanksi pidana qishash),
maka hal demikian ini tentu akan menjadi daya prevensi internal bagi para calon
pelaku pembunuhan. Sebab siapapun pasti ingin menghindari kerugian berupa
terbunuhnya diri sendiri akibat penerapan hukum qishash tersebut. Jika sudah
demikian maka tidak akan ada lagi orang membunuh dan itu berarti hak
hidup/nyawa setiap orang akan lebih terjamin keberadaannya.[49]
Untuk memahami
bagaimana Islam memberikan justifikasi terhadap keberadaan pidana mati yang
hakekatnya merupakan perampasan nyawa seseorang oleh seseorang yang lain
(penguasa melalui aparat eksekutornya), dan bagaimana pula Islam memandang
posisi keberadaan sanksi pidana mati itu sendiri, kiranya patut dicermati
ketentuan Al-Qur’an surat Al-Baqarah: 178 yang berbunyi sebagai berikut:
Artinya:
Menurut
Sayyid Sabieq,[50] ayat
yang merupakan referensi utama untuk melihat konsep Islam mengenai pidana mati
tersebut mencakup berbagai kandungan makna/hikmah sebagai berikut:
1.
Qishash merupakan sanksi hukum yang
telah ditetapkan oleh Allah SWT bagi pelaku pembunuhan, yang pelaksanaannya
diwajibkan atau dibebankan kepada manusia (orang-orang yang beriman melalui
pemerintahan yang representatif). Jadi ketika ada orang melanggar hak hidup
orang lain dengan membunuh (secara sengaja tanpa alasan hak), Allah sebagai
pemilik hakiki atas kehidupan seluruh ummat manusia telah memberikan semacam
delegasi kepada manusia (penguasa representatif) melalui hukum qishash ini agar
orang yang membunuh tersebut dibunuh atau dirampas pula hak hidupnya sebagai
balasan. Dengan demikian tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa penjatuhan dan
pelaksanaan pidana mati tidak sah karena yang paling berhak mematikan suatu
kehidupan ialah sang pemberi kehidupan itu sendiri yakni Tuhan Allah SWT.
2.
Penggunaan
kata qishash untuk menyebutkan sanksi hukum yang berupa pidana mati,
sesungguhnya mengandung ajaran tentang equality
before the law. Karena kata “qishash”
yang memiliki arti "tattabi’ul
atsaar" (artinya, mengikuti/menyamakan sesuatu hal kepada hal lain
yang telah terjadi sebelumnya), menunjukkan makna bahwa melalui konsep qishash
Islam mengajarkan tentang perlakuan secara sama yang dikenakan oleh hukum
terhadap seseorang yang telah berbuat sesuatu hingga berakibat hilangnya nyawa
orang lain. Perlakuan secara sama yang dimaksud dalam hal ini ialah orang yang
telah berbuat membunuh tersebut harus diikuti pula perbuatannya itu dengan cara
yang sama yakni di bunuh. Jadi barang siapa membunuh ia dibunuh pula (siapapun
dia). Konsep ini berarti hukum Islam memandang dan memperlakukan secara sama
terhadap setiap orang.[51]
3.
Sekalipun
kedudukan qishash dalam pandangan
Islam adalah sebagai pidana pokok, akan tetapi fungsionalisasinya harus
ditempatkan sebagai alternatif terakhir (bukan pilihan utama apalagi harus
pertama). Karena dalam Islam hal pertama yang dianjurkan pada korban atau
keluarganya ialah menempuh sikap memaafkan pelaku kejahatan baik disertai
dengan tuntutan diyat (ganti rugi untuk korban/keluarganya) atau pun memaafkan
pelaku secara mutlak tanpa tuntutan apapun. Ada sejumlah ayat Al-qur’an dan
Hadits Nabi yang menjadi basis ajaran pemaafan pidana qishash (mati) ini, antara lain yaitu:
a.
Fa man ‘afaa wa ashlaha fa
ajruhuu ‘alallaahi
(Q.S Asy-Syuura: 40).
b.
Wa anta’fuu aqrabu littaqwaa (Q.S Al-Baqarah: 227).
c.
... Fa
man ‘ufiya lahuu min akhiehi syai’un fattibaa’un bil ma’ruufi wa adaa’in ilaihi
bi ihsaanin …(Q.S Al-Baqarah: 178).
d.
Maa rufi’a ilaihi syai’un fii
qishaashin illa umira bihi bil ‘afwi (Al-Hadits). Man
qutila lahu qatielun fahuwa bi khoirin nadharaini baina an ya’khudza ad-diyyata
wa baina an ya’fuwa (Al-Hadits).
4.
Diajarkannya
sikap memaafkan sebagai pilihan utama tersebut di atas adalah karena hukum
Islam yang merupakan rahmatan lil
‘alaamiin, pada satu sisi ingin membangun watak/karakter bijak manusia
(terutama dalam hal ini korban/keluarga korban) dengan landasan sikap saling
mengasihi melalui media memaafkan. Bukan dengan landasan kemarahan berupa
tuntutan balas dendam. Adapun sikap memaafkan tersebut dianggap sebagai
watak/karakter bijak karena memaafkan itu berarti melepaskan hak untuk
menuntut, yang tidak semua orang mampu melakukannya. Sedang pada sisi lain,
dengan konsep al’afwu (pemaafan
pidana qishash) ini hukum Islam
mengajarkan betapapun jahatnya si pelaku ia tetap perlu diberi perhatian oleh
hukum dengan diberi kesempatan untuk memperbaiki diri melalui pintu pemaafan
oleh korban tersebut.
5.
Bandingkan
konsep pemaafan pidana qishash dalam Islam ini (yang berarti qishash justru dikonsepkan sebagai
pidana alternatif akhir), dengan konsep eksistensi pidana mati dalam RUU KUHP
mendatang yang juga ditempatkan sebagai pidana khusus bersifat eksepsional
(sanksi alternatif akhir) dengan berbagai syarat dalam ekseskusinya yang merupakan
modifikasi atas pidana mati tersebut.
Sebagai perbandingan misalnya, kebijakan dalam RUU KUHP yang
tetap mempertahankan eksistensi pidana mati demi untuk mengayomi masyarakat,
pada prinsipnya sesuai dengan spirit ajaran HAM paling mendasar sekaligus juga
untuk melindungi kehidupan manusia secara luas. Kebijakan pencantuman pidana
mati dalam RUU KUHP yang dirancang sebagai pidana khusus dan hanya
diperuntukkan sebagai ancaman terhadap jenis-jenis kejahatan tertentu yang
bersifat serius dengan aturan penerapan yang sangat selektif, adalah sudah
tepat, mengingat sifat dan bobot jenis pidana ini merupakan sanksi hukum paling
berat.
Hal ini juga sejalan dengan konsep Islam yang meskipun
mencantumkan qishash sebagai salah
satu jenis pidana pokok, namun implementasinya justru ditekankan agar hanya
digunakan sebagai sarana paling akhir setelah upaya-upaya lain (terutama
pemaafan) tidak mampu menyelesaikan problem hukum yang dapat dikenai ancaman
pidana ini.
Ajaran demikian menunjukkan bahwa konsep qishash dalam Islam sesungguhnya
mengandung dimensi/orientasi perhatian terhadap kepentingan pelaku kejahatan (offender) sebagaimana hal ini kemudian
juga terlihat dalam kebijakan pengaturan RUU KUHP tentang modifikasi pidana
mati (pidana mati bersyarat).
Kebijakan tata cara eksekusi pidana mati dalam RUU KUHP yang
menyatakan tidak boleh dilakukan di muka umum, perlu ditinjau ulang dan dirubah
sebaliknya. Karena konsep yang yang demikian justru dapat menghambat tercapainya
tujuan pencantuman dan penjatuhan pidana mati itu sendiri terutama yang berupa prevention of crime (general prevention).
B.
Pedoman Pemidanaan (Korban dan
Asas Proporsionalitas)
Pedoman
Pemidanaan sebagai salah satu justifikasi sistem pemidanaan di samping tujuan
pemidanaan tersurat dalam pasal 56 RKUHP (konsep 2015) menentukan:
(1)
Dalam
pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a.
Kesalahan
pembuat tindak pidana;
b.
Motif
dan tujuan melakukan tindak pidana;
c.
Sikap
batin pembuat tindak pidana;
d.
Tindak
pidana yang dilakukan apakah direncanakan atau tidak;
e.
Cara
melakukan tindak pidana; f. Sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak
pidana;
f.
Riwayat
hidup, keadaan sosial, dan keadaan ekonomi pembuat tindak pidana;
g.
Pengaruh
pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
h.
Pengaruh
tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
i.
Pemaafan
dari korban dan/atau keluarganya;
j.
Pandangan
masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
Perumusan
pedoman pemidanaan dimaksudkan sebagai fungsi kontrol dan sekaligus memberi
dasar filosofi, rasionalitas, motivasi dan justifikasi pemidanaan. Keberadaan
pedoman pemidanaan diharapkan penerapannya oleh hakim akan lebih selektif
berdasarkan pertimbangan yang rasional. Jadi dimaksudkan pula untuk memberikan
perlindungan bagi individu dalam hal ini terpidana dan warga masyarakat
termasuk korban sebagai kepentingan umum yang dikenal dengan asas keseimbangan
yang anatara lain mencakup:
1.
Keseimbangan
monodualistik antara kepentingan umum/masyarakat dan kepentingan
individu/perorangan;
2.
Keseimbangan
antara perlindungan/kepentingan pelaku tindak pidana (individualisasi pidana)
dan korban tindak pidana;
3.
Keseimbangan
antara unsur/faktor “obyektif” (lahiriah) dan “subyektif (sikap batin), ide “daad-dader-strafrecht;”
4.
Keseimbangan
antara kriteria formal dan materiil;
5.
Keseimbangan
antara kepastian hukum, fleksibilitas, dan keadilan;
6.
Keseimbangan
antara nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/universal.
Bertolak dari asas keseimbangan monodualistik, tujuan
pemidanaan dan pedoman pemidanaan menurut konsep RKUHP diarahkan pada dua sasaran
pokok yaitu “perlindungan/kepentingan masyarakat” dalam hal ini adalah korban
termasuk real dan potential victim
dan kepentingan/perlindungan individu dalam hal ini adalah pelaku/terpidana.
Asas keseimbangan dalam pelaksanaan pidana mati tampak,
bahwa walaupun pidana mati tetap dipertahankan berdasarkan kepentingan umum
(korban), namun dalam pelaksanaannya juga memperhatikan kepentingan individu/pelaku
dengan merujuk pada Pasal 90 ayat (3), Pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) RKUHP
konsep 2015, dalam penundanaan pelaksananaan pidana mati.
C.
Peran Politik Hukum Dalam Upaya Transformasi Prinsip Pemaafan
Terpidana Mati Kedalam Hukum Pidana Nasional
Untuk
mengembangkan proses transformasi hukum Islam ke dalam supremasi hukum
nasional, diperlukan partisipasi semua pihak dan lembaga terkait, seperti
halnya hubungan hukum Islam dengan badan kekuasaan negara yang mengacu kepada
kebijakan politik hukum yang ditetapkan.
Politik hukum tersebut merupakan produk interaksi kalangan
elite politik yang berbasis kepada berbagai kelompok sosial budaya. Ketika
elite politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik itu,
maka peluang bagi pengembangan hukum Islam untuk ditransformasikan semakin
besar.
Menurut Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari diartikan sebagai rangkaian
konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan
suatu pekerjaan, kpemimpinan, dan cara bertindak dalam hukum.[52]
Menurut Padmo Wahjono, mendefinisikan
politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi
dari hukum yang akan dibentuk. Selanjutnya, Padmo Wahjono menyatakan
bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini, kebijakan
tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan
penegakannya sendiri.[53]
Dari kedua definisi yang diberikan
oleh Padmo Wahjono, dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara yang bersifat dasar dalam menentukan arah, bentuk, maupun
isi hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk
menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono
berkaitan dengan hukum yang berlakudi masa datang (ius constituendum).[54]
Sedangkan menurut Moh. Mahfud MD,
politik hukum adalah legal policy atau
garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik hukum
merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan
tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945.[55]
Politik hukum sebagai bagian dari
ilmu hukum, yang meneliti perubahan hukum yang berlaku, yang harus
dilakukan untuk memenuhi tuntunan baru kehidupan masyarakat,
penyelidikan-penyelidikan dari politik hukum, terhadap segala perubahan, apakah
yang harus diadakan oleh hukum yang ada sekarang, supaya dapat memenuhi
syarat-syarat baru dari hidup kemasyarakatan. Hukum yang lama dapat
dipertimbangkan untuk kaidah-kaidah dan stelsel hukum yang akan datang.
Sehingga dapat juga dimaknai bahwa hukum sebagai dessein ditetapkan oleh politik.[56]
Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan mengenai
pengertian politik hukum oleh beberapa pakar diatas, dapat dikatakan bahwa
politik hukum pidana dapat diartikan sebagai kebijakan untuk menciptakan
peraturan perundang-undangan pidana yang baik. Dengan demikian, hal yang paling
penting dalam mentransformasikan prinsip pemaafan terpidana mati dalam hukum
Islam kedalam hukum pidana nasional adalah melalui politik hukum. Dalam arti political will pemangku kepentingan
sangat penting untuk mendorong terwujudnya prinsip pemaafan terpidana mati
dalam hukum pidana nasional.
A.
Kesimpulan
1.
Dalam hukum positif di Indonesia
pengaturan tentang pidana mati telah
dikodifikasikan di dalam KUHP, sedangkan dalam hukum pidana Islam pidana mati
ditentukan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Perbedaan yang paling mendasar antara
pidana mati dalam hukum pidana Indonesia dengan hukum pidana Islam ialah bahwa
didalam hukum pidana Indonesia tidak mengenal prinsip pemaafan terhadap
terpidana mati, sedangkan dalam hukum pidana Islam mengnal adanya prinsip
pemaafan terhadap terpidana mati yang merupakan hak dari korban atau
keluarganya. Selain itu, pelaksanaan eksekusi terpidana mati dalam hukum pidana
Indonesia tidak dilaksanakan dimuka umum. Sedangkan dalam hukum pidana
Islam pelaksanaan eksekusi terpidana
mati dilaksanakan dimuka umum sebagai bentuk pembelajaran bagi orang lain.
2. Dilihat dari perspektif pendekatan keilmuan, kontribusi hukum Islam terhadap transformasi prinsip pemaafan terpidana mati kedalam Hukum Pidana Nasional dapat dilakukan melalui berbagai cara diantaranya, melalui interpretasi (penafsiran hukum), yang oleh M. Atho Mudzhar menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan Agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama. Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Selain itu, dalam interpretasi juga diutamakan pemilihan kata-kata yang tepat yang akan dijadikan kalimat dalam bahasa peraturan perundang-undangan. Hal yang tidak kalah penting dalam upaya mentransformasikan prinsip pemaafan terpidana mati dalam hukum pidana Islam kedalam hukum nasional adalah melalui politik hukum pidana.
2. Dilihat dari perspektif pendekatan keilmuan, kontribusi hukum Islam terhadap transformasi prinsip pemaafan terpidana mati kedalam Hukum Pidana Nasional dapat dilakukan melalui berbagai cara diantaranya, melalui interpretasi (penafsiran hukum), yang oleh M. Atho Mudzhar menjelaskan cara pandang yang berbeda dalam bidang pemikiran hukum Islam menurutnya dibagi menjadi empat jenis, yakni kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan Pengadilan Agama, peraturan Perundang-undangan di negeri-negeri muslim dan fatwa-fatwa ulama. Keempat faktor tersebut diyakini memberi pengaruh cukup besar dalam proses transformasi hukum Islam di Indonesia. Selain itu, dalam interpretasi juga diutamakan pemilihan kata-kata yang tepat yang akan dijadikan kalimat dalam bahasa peraturan perundang-undangan. Hal yang tidak kalah penting dalam upaya mentransformasikan prinsip pemaafan terpidana mati dalam hukum pidana Islam kedalam hukum nasional adalah melalui politik hukum pidana.
B.
Saran
1. Dalam konteks pembaharahun hukum pidana yang
akan datang (RKUHP), diharapkan dapat mengadopsi prinsip pemaafan terhadap
terpidana mati dalam hukum Islam yang selama ini tidak dianut dalam KUHP.
2. Perlunya kekompakan semua kalangan terutama para
cendekiawan muslim, para akademisi, dan para pemangku kepentingan untuk
memperjuangkan agar prinsip-prinsip yang terkandung dalam hukum Islam dapat
ditransformasikan kedalam hukum nasional (terutama prinsip pemaafan bagi
terpidana mati).
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU:
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum,
Jakarta: Sinar Grafika.
Burlian Paisol, 2014, Implementasi
Konsep Hukuman Qishash di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika.
Barda Nawawi Arief, 2012, Pidana Mati Perspektif Global,
Pembaharuan Hukum Pidana dan Alternatif Pidana untuk Koruptor, Semarang:
Pustaka Magister.
Cotterrell, Roger, 1984, an Introduction
The Sociologi of Law,. London: Butterwoths Co.
Djoko Prakoso dan Nurwachid, 1984, Studi
Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa
ini, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Imam
Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2013,
Politik Hukum, Jakarta: Rajawali Press.
Moh.
Mahfud MD, 2014, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Ke-VI, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada.
Jimly Asshiddiqie, 1995, Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia,. Bandung: Angkasa.
P.A.F Lamintang, 1984, Hukum Penitemsier
Indonesia, Bandung: CV. Armico.
Lilik Mulyadi, 2007, Pembalikan Beban
Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung: Alumni.
Muhammad Syahrur, 2008, Limitasi Hukum
Pidana Islam, Semarang: Wali Songo Press.
Nurwahidah H.A, 1994, Pidana Mati Dalam
Hukum Pidana Islam, Surabaya: Al-Ikhlas.
Nyoman Serikat Putra Jaya, 2005, Relevansi
Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional, Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Rizky dan Irmansyah Ariestandi, 2013, Hukum,
Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi, Balikpapan: Graha Ilmu.
Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana
Indonesia, Jakarta: Aksara Baru.
Sayyid Sabieq, 1987, Fikih Sunnah, Bandung:
Al-Ma’arif.
Sayid Quthb, 2009, Tafsir Fi-Zhilalil
Qur’an jilid 8, Jakarta: Robbani Press.
S.R. Sianturi, 1996, Asas-Asas Hukum
Pidana di Indonesia, Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM.
Syaiful Bakhri, 2009, Perkembangan
Stelsel Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media.
________________, 2011, Sejarah
Pembaruan KUHP dan KUHAP, Yogyakarta: Total Media.
_________________,
2015, Nutrisi Keilmuan; Dalam Pusaran Ilmu Hukum Pidana,. Yogyakarta:
Total Media.
Tb. Ronny Nitibaskara, 2009, Perangkap
Penyimpangan dan Kejahatan; Teori Baru Dalam Kriminologi, Jakarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
MAKALAH
DAN JURNAL:
Ali Imron. “Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Nasional Indonesia.” Jurnal
Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol.5 No.2 April, 2008, hlm. 130.
Angkasa, Agus Raharjo, Setya Wahyudi, dan Rili Widiansih. “Kedudukan
Korban Tindak Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana (Kajian Tentang Model
Perlindungan Hukum Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan dengan
Mempertimbangkan Peranan Korban,.” Jurnal Penelitian Hukum Supremasi Hukum,
vol. 12 No. 2, Agustus, 2007, hlm. 119.
Barda Nawawi Arief. “Masalah Pidana Mati Dalam Perspektif Global dan
Perspektif Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia,.” Jurnal Legislasi Indonesia,
no. Direktorat Jenderal Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi
Manusia (2004).
Ka’bah, Rifyal. “Kodifikasi Hukum Islam Melalui Undang-Undang Negara Di
Indonesia.” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kompilasi Hukum
Ekonomi Syariah. Kerja Sama Fakultas Syari’ah IAIN Sumatera Utara Dengan
Mahkamah Agung RI, 27 Oktober, 2007, hlm. 1.
Kholiq, M. Abdul. “Kontroversi Hukuman Mati Dan Kebijakan Regulasinya
Dalam RUU KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam).” Jurnal Hukum No. 2
Vol. 14 April, 2007, hlm. 185-209.
M. Atho Muzhar. “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran
Hukum Islam.” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 4 tahun II (Jakarta: A1-Hikmah
dan Ditbinbapera Islam, 1991.
Muh. Amin Arifin. “Pidana Mati Menurut Hukum Nasional Dalam Hubungannya
Dengan Hukum Islam.” Lex Administratum, Vol. IV No. 3 Maret, 2016, hlm.
172.
[1]
Syaiful Bakhri, Nutrisi Keilmuan
Dalam Pusaran Ilmu Hukum Pidana, (Yogyakarta: Total Media, 2015), hlm. 23.
[2]
Nyoman Serikat Putra Jaya, Relevansi
Hukum Pidana Adat dalam Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2005), hlm. 78.
[4]
Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban
Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 70.
[5]
Syaiful Bakhri, Sejarah...,.Op. Cit, hlm. 72.
[6]
Ibid, hlm. 73.
[10]
Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel
Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 33-34.
[11]
Muh. Amin Arifin, “Pidana Mati Menurut Hukum Nasional Dalam Hubungannya
Dengan Hukum Islam,” Lex Administratum,
Vol. IV No. 3 Maret, 2016, hlm. 172.
[12]
Burlian Paisol, Implementasi Konsep Hukuman
Qishash di Indonesia, (Jakarta: Sinar Garafika, 2014), hlm. 12.
[13]
Irmansyah, Ariestandi, dan Rizky, Hukum,
Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi, (Balikpapan: Graha Ilmu, 2013), hlm. 93.
[14]
Cotterrell, Roger, an Introduction
The Sociology of Law, (London: Butterwoths Co., 1984), hlm. 21.
[15]
Ali Imron, “Transformasi Hukum Islam Ke Dalam Hukum Nasional Indonesia,” Jurnal Hukum dan Dinamika Masyarakat Vol.5
No.2 April 2008, hlm. 130.
[16]
Angkasa, Agus Raharjo, Setya Wahyudi, dan Rili Widiansih, “Kedudukan Korban Tindak
Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana (Kajian Tentang Model Paerlindungan Hukum
Bagi Korban Serta Pengembangan Model Pemidanaan dengan Mempertimbangkan Peranan
Korban,” Jurnal Penelitian Hukum
Supremasi Hukum, vol. 12 No. 2, Agustus 2007,
hlm. 119.
[17]
Barda Nawawi Arief, Pidana Mati
Perspektif Global, Pembaharuan Hukum Pidana dan Alternatif Pidana untuk
Koruptor, (Semarang: Pustaka Magister, 2012), hlm. 3-4.
[18]
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi
Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektifitas Pidana Mati di Indonesia Dewasa
ini, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 189.
[19]
Barda Nawawi Arief, “Masalah Pidana Mati Dalam Perspektif Global dan
Perspektif Pembaruan Hukum Pidana di Indonesia,” Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Perundang-undangan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia 2004.
[21]
Ibid, hlm. 21.
[22]
Ibid. Abolish for all Crime; Albania, Andoria, Angola, Armenia,
Australia, Austria, Azerbaijan, Belgium, Bhutan, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria,
Cambodia, Canada, Café verde, Colombia, Costarica, Cotedviore, Critia, Cyprus,
Czech Republik, Denmark, Djibouti, Dominican Republica, Ecuador, Estonia,
Finland, France, Georgia, Germany, Greece, Guinea-Bissau, Haiti, Hondorus,
Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Kiribati, Liberia, Liechteinstein, Lithunia,
Luxembourg, Macedonia, Malta, MarshallIslands, Mauritius, Mexico, Micronesia,
Moldova, Monaco, Montenegro, Mozambique, Namibia, Neval, Netherlands, New Zealand, Nicaragua, Niue, Norway, Palau,
Panama, Paraguay, Philipines, Poland, Portugal, Romania, Rwanda, Samoa, San Marino,
Sao Tome and Principe, Senegal, Serbia,
Seycheles, Slovakia, Slovonia, Salomon islans, South Africa, Spain, Sweden, Switzerland, Timor Leste,
Turkey, Turkmenisten, Tuvale, Ukraine, United Kingdom, Uruguay, Vanuatu,
Vatican City State, Venezuela.
[23]
Abolitionist for ordinary crimes only, Argentina, Bolivia, Brazil, Chile, Cook Islands,
Elsalvador, Fiji, Israel, Kyrgystan, Latvia, Peru.
[24]Abolitionist in Practice, Algeria,
Benin, Brunei Darussalam, Burkina Faso, Central African Republic, Congo, Gabon,
Gambia, Ghana, Grenada, Kenya, Madagascar, Malawi, Maldivas, Mali, Mauritania,
Marocco, Myanmar, Nauru, Niger, Papua Newguinea, Russian Federation, Sri Lanka,
Suriname, Swaziland, Tanzania, Togo, Tonga, Tunisia, Zambia.
[25]Retentionist, Afganisthan, Antigua and
Barbuda, Bahamas, Bahrain, Bangladesh, Barbados, Belarus, Belize, Bostwana,
Burunda, Cameron, Chad, China, Comoros, Congo, Cuba, Dominica, Egypt,
Equatorial Guinea, Eritrea, Ethiopia, Guatemala, Guinea, Guyana, India,
Indonesia, Iran, Iraq, Jamaica, Japan, Jordan, Kazakastan, Korea North-South,
Kuwait, Laos, Lebanon, Leshotio, Lybia, Malaysia, Mongolia, Nigeria, Oman,
Pakistan, Palestian Authority, Saint Lucia, Saint Vinzent & Grenadies,
Saudi Arabia, Siera Lione, Singafore, Somalia, Sudan, Syria, Taiwan,
Tajikistan, Thailand, Trinidad And Tobacco, Uganda, United Arab Emirates,
United State Of America, Uzbekistan, Vietnam, Yemen, Zimbabwe.
[27]
Tb. Ronny Nitibaskara, Perangkap
Penyimpangan dan Kejahatan; Teori Baru Dalam Kriminologi, (Jakarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian, 2009), hlm. 77-79.
[28]
Syaiful Bakhri, Perkembangan Stelsel...,
Op. Cit, hlm. 25.
[29]
Ibid.
[30]
S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana
di Indonesia, (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1996), hlm. 451-452.
[31]
Penjelasan Pasal 104 KUHP.” Pasal ini mengancam hukuman kepada orang
yang melakukan makar atau penyerangan dengan niat, untuk, membunuh, merampas
kemerdekaannya, dan menjadikan tidak cakap memerintah (Presiden atau wakil
Presiden). Di lakukan dengan perbuatan kekerasan, harus dengan dimulainya
dengan perbuatan pelaksanaan, tidak diperlukan suatu perencanaan, tetapi dibuktikan
dengan kesengajaan.”
[32]
Penjelasan Pasal 111 (2) KUHP. “Pasal ini, demikian pula pasal-pasal 111
bis sampai dengan 129 mengancam hukuman kepada orang yang mengadakan
pengkhianatan terhadap negara dan menjadi mata-mata atau kaki-tangan Negara
Asing. Negara adalah wilayah dengan rakyatnya yang berdiam di situ beserta
pemerintah yang diakui sah oleh rakyatnya. Bermusuhan atau perang lihat pasal
96. Dalam hubungan ini lihat pula pasal 128 dan 165. Mengadakan perhubungan,
misalnya mengajukan atau menerima usul-usul kepada atau dari Negara Asing itu
(pemerintah atau delegasinya, jadi sembarang orang dari Negara Asing itu).”
[33]
Penjelasan Pasal 124 (3) KUHP. “Yang diancam hukuman dalam pasal ini
ialah perbuatan-perbuatan: pada waktu perang sengaja memberi
pertolongan kepada musuh dan sengaja merugikan negara bagi
keuntungan musuh. Penjelasan mengenai perbuatan memberi
pertolongan kepada musuh dan merugikan negara bagi keuntungan
musuh, diuraikan dalam ayat (2), yakni: a) memberitahukan atau
menyerahkan peta, rencana, gambar atau penulisan mengenai bangunan-bangunan
tentara kepada musuh; b) menjadi mata-mata musuh atau memberi pondokan kepada
mata-mata.”
[34]
Penjelasan Pasal 140 (3) KUHP. “untuk dapatnya dituntut dengan pasal ini
maka pembunuhan atau perampasan kemerdekaan itu harus dilakukan terhadap kepala
negara, baik ia sebagai kaisar, raja, presiden atau kepala negara lainnya dari
negara yang bersahabat dengan Indonesia. Untuk memenuhi unsure yang terkandung
dalam pasal ini, pada waktu pelaku melakukan kejahatan ini, ia harus tahu
benar, bahwa ia berhadapan dengan seorang kepala negara dari negara sahabat.
Ayat (2) dan (3) menetapkan hukuman yang lebih berat, apabila kejahatan itu
menyebabkan si korban mati atau kejahatan itu direncanakan terlebih dahulu.”
[35]
Penjelasan Pasal 185 KUHP. “Biasanya orang yang menantang berkelahi
seorang lawan seorang kepada lawannya, selain menyampaikan maksudnya, ia
menyampaikan pula syarat-syarat umpamanya mengenai tempat, waktu, senjata yang
dipakai, cara berkelahi dan lain sebagainya. Agar seorang dengan lainnya tidak
curang-mencurangi, maka mereka mengangkat saksi yang terdiri dari empat orang (dua
orang dari yang satu dan dua orang dari yang lain). Bahkan setengahnya ada yang
mengangkat seorang wasit, yang tugasnya mengawasi kalau-kalau ada yang berlaku
curang. Menurut pasal ini, kalau syarat perkelahian itu tidak diatur lebih
dahulu atau kalau saksi perkelahian itu tidak ada atau pula salah seorang
melakukan tipu muslihat (curang), maka pelakunya dikenakan ketentuan tentang
pembunuhan yang direncanakan, pembunuhan biasa atau penganiayaan.”
[36]
Penjelasan Pasal 365 ayat (4) KHUP. “Isi pasal ini adalah pencurian
dengan kekerasan. Tindak pidana yang diancam dengan hukuman mati yang dimaksud
dalam pasal ini: pencurian yang dilakukan dimalam hari di dalam rumah atau
pekarangan tertutup yang ada rumahnya, atau di jalan umum, atau pula di dalam
kereta api atau tram yang sedang berjalan, perbuatan itu dilakukan bersama-sama
oleh dua orang atau lebih, apabila si pelaku masuk ke tempat melakukan
kejahatan itu dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian
palsu, dan apabila kejahatan itu mengakibatkan ada orang luka berat serta
kematian seseorang. Kematian itu harus hanya sebagai akibat belaka dari
pencurian ini, dan tidak merupakan tujuan semula dari si pelaku, maka ia
dikenakan Pasal 339. Yang dimaksud rumah di sini ialah bangunan yang dipergunakan
sebagai tempat tinggal siang dan malam. Gudang dan toko yang tidak di diami
pada waktu siang dan malam, tidak masuk pengertian rumah. Yang dimaksud dengan
perkarang tertutup di sini ialah dataran tanah yang pada sekelilingnya ada
pagarnya (tembok, bambu, pagar tumbuh-tumbuhan yang hidup). Luka berat di sini
ialah penyakit atau luka yang tak mungkin dapat sembuh dengan sempurna atau
dapat mendatangkan bahaya maut; selalu tidak cakap lagi melakukan jabatan atau
pekerjaan; tidak dapat menggunakan salah satu pancaindera; perubahan tubuh
menjadi buruk atau karena kehilangan atau rusak anggota tubuhnya; tidak dapat
menggerakkan anggota tubuh (lumpuh); berubah pikiran lebih dari empat minggu.
Pikiran terganggu, kacau, tidak dapat berpikir normal; gugurnya atau matinya
anak yang dikancung seorang ibu. Jalan umum adalah dataran tanah yang
dipergunakan untuk lalu-lintas umum, baik milik pemerintah maupun swasta, asal
dipergunakan untuk umum. pencurian yangdimaksud dalam pasal ini (pencurian
dengan kekerasan) yang dilakukan di dalam kereta api atau tram (bukan otobis)
yang sedang berjalan, masuk dalam pasal ini. Tetapi apabila dilakukan di dalam
kereta api atau tram yang sedang berhenti, tidak termasuk di sini.”
[37]
Penjelasan Pasal 444 KUHP. “Apabila pembajakan di lautan bebas,
perairan yang masuk wilayah Indonesia, pantai, pesisir atau di sungai itu
mengakibatkan matinya orang yang berada di atas kapal yang dibajak tersebut,
maka nahkoda, pemimpin atau kepala kapal dan semua orang yang turut serta dalam
pembajakan itu, dihukum menurut pasal ini.”
[38]
Penjelasan Pasal 479k (2) KUHP. “apabila perbuatan-perbuatan dimaksud
oleh Pasal 479 (1), ancaman hukumannya diperberat menjadi hukuman seumur hidup
atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun. Apabila perbuatan itu mengakibatkan
matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara tersebut, maka hukumannya
ditentukan oleh ayat (2) pasal ini.”
[39]
Penjelasan Pasal 479 o (2) KUHP. “Apabila perbuatan-perbuatan dimaksud
oleh pasal 479 huruf l samapi 479 huruf m dan pasal 479 huruf n mengakibatkan
matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara iut, maka hukumannya hukuman
mati atau hukuman seumur hidup atau pula hukuman penjara selama-lamanya dua
puluh tahun.”
[42]
Rifyal Ka’bah, “Kodifikasi Hukum Islam Melalui Undang-Undang Negara Di
Indonesia,” Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Kerja Sama Fakultas Syari’ah
IAIN Sumatera Utara Dengan Mahkamah Agung RI, 27 Oktober 2007, hlm. 1.
[43]
M. Atho Muzhar, “Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Produk Pemikiran
Hukum Islam,” dalam Jurnal Mimbar Hukum
No. 4 tahun II (Jakarta: A1-Hikmah dan Ditbinbapera Islam, 1991.
[44]
Ibid.
[45]
Lihat Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 178.
[46]
Lihat Al-Qur’an Surat Al-Maaidah ayat 33.
[47]
Lihat Hadits Rasulullah SAW riwayat Abu Daud yang berbunyi: Khudzuu ‘annie (3x), al-bikru bil bikri jaldatu mi’atin wa nafyu
sanatin, wats-tsayyibu bits-tsayyibi rajamun bil hijaarati hattal mauti.
Artinya: Ambillah hukum dariku (wahai ummatku) yaitu bahwa pezina laki-laki dan
perempuan yang ghoiru mukhshan (belum
beristri/bersuami) hukumannya adalah dicambuk seratus kali dan ditambah dengan hukuman
pembuangan/pengasingan selama satu tahun. Sedangkan untuk pezina mukhshan (yang
telah bersuami/beristri) hukumannya adalah dirajam hingga mati.
[48]
Lihat Hadits Rasulullah SAW riwayat Bukhori-Muslim yang berbunyi: Man baddala dienahu faqtuluuhu. Artinya,
barangsiapa (seorang muslim) sengaja meninggalkan/mengganti agamanya dengan
agama lain maka bunuhlah dia. Cermati pula hadits lain dengan rawi yang sama
yang berbunyi: Laa yahillu daamun imri’in
muslimin illa min tsalaatsin, …at-taariku li diinihi al mufaariqi lil
jamaa’ati. Artinya: Tidak dihalalkan membunuh seorang muslim, kecuali oleh
beberapa sebab sebagai berikut : (1) ... (2) …dan (3) orang muslim yang keluar
meninggalkan agamanya dan kemudian melakukan desersi (menyeberang kepada
kelompok musuh Islam sehingga dapat mengancam/membahayakan eksistensi Islam dan
ummat muslim).
[49]
Ali Ash-Shaabuni, Rawaai’ul Bayaani
Tafsieru Aayaatil Ahkaami, dalam M. Abdul Kholiq, “Kontroversi Hukuman Mati Dan Kebijakan Regulasinya Dalam
RUU KUHP (Studi Komparatif Menurut Hukum Islam),” Jurnal Hukum No. 2 Vol. 14 April, 2007, hlm. 203-204.
[52]
Imam Syaukani dan A. Ahsin
Thohari, Politik Hukum, (Jakarta:
Rajawali Press, 2013), hlm. 22.
[53]
Padmo Wahjono dalam Imam
Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Ibid,
hlm. 26.
[55]
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Ke-VI, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 1.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar