Selasa, 25 September 2018


TINJAUAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA
(Analisis Putusan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel).

OLEH:
ROLI PEBRIANTO, S.H

A.           PROLOG
Hukum pidana adalah bagian dari ilmu hukum. Sebagaimana dikatakan oleh Pompe, bahwa hukum pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang menentukan perbuatan-perbuatan apa yang daiancam dengan pidana dan dimana pidana itu menjelma. Dengan demikian, maka unsur pidana itu ada dua, yakni pertama, berupa peraturan hukum yang menentukan perbuatan apa yang diancam dengan pidana, dan kedua peraturan hukum tentang pidana, berat dan jenisnya, dan kemudian cara menerapkannya.[1] Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana dibagi menjadi dua jenis, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formiil.
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh J.M van Bemmelen, bahwa hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang berturut-turut, peraturan umum  yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana pidan seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.[2]
Kemudian Tirtaatmadja menjelaskan hukum pidana materiil dan hukum pidana formiil sebagai berikut:
“Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum yang menentukan pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang yang dapat dihukum, dan menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. hukum pidana formiil adalah kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, atau dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan sehingga diperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan hakim.”[3]

Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum pidana materiil pada hakikatnya berisi larangan atau perintah yang jika tidak dipatuhi diancam dengan sanksi. Sedangkan hukum pidana formiil pada hakikatnya adalah aturan hukum yang mengatur cara menegakkan hukum pidana materiil. Dalam konteks hukum pidana Indonesia, hukum pidana formiil adalah KUHP, sedangkan hukum pidana materiil adalah KUHAP.
Dalam KUHP Indonesia (hukum pidana materiil) diatur mengenai berbagai tindak pidana atau perbuatan yang dilarang, salah satu diantaranya ialah tindak pidana pencurian. Tindak pidana pencurian merupakan salahsatu tindak pidana yang paling sering terjadi, biasanya modus operandi yang bermacam-macam dan dilatar belakangi oleh keadaan hidup pelaku sehari-hari, misalnya keadaan ekonomi atau tingkat pendapatannya yang tergolong rendah sehingga tidak dapat memenuhi biaya kebutuhan hidup sehari-hari serta di pengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah.
Dalam KUHP, tindak pidana pencurian dibedakan dengan berbagai kualifikasi diantaranya sebagaimana diatur dalam 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP yaitu pencurian dengan kekerasan. Pencurian dengan kekerasan merupakan kejahatan terhadap harta benda. Kekerasan yang dilakukan dalam pencurian tersebut mempunyai tujuan untuk menyiapkan atau mempermudah pencurian atau jika tertangkap ada kesempatan bagi si pelaku untuk melarikan diri supaya barang yang dicuri tersebut tetap berada di tangan pelaku.
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365 KUHP juga  merupakan gequalificeerde diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu pencurian dengan unsur-unsur memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang, dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian kekerasan terhadap orang.[4]
Pencurian dengan kekerasan dalam perspektif hukum merupakan salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan dan merugikan masyarakat. Perihal tentang yang  disebut kekerasan itu, Simons sebagaimana dikutip Lamintang mengatakan: “Onder geweld zal ook hier mogen worden verstan, elke uitoefening van lichamelijke kracht van niet al te geringe betekenis”. Artinya: “Dapat dimasukkan dalam pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.”[5]
Salah satu contoh kasus pencurian dengan kekerasan, yakni sebagaimana yang diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel tanggal 13 Maret 2013. Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disingkat JPU), Terdakwa I Anton Sembiring dan Terdakwa II Hendra Ginting didakwa dengan dakwaan alaternatif, yakni Dakwaan Alternatif Pertama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP dan Dakwaan Alternatif Kedua sebagaimana diatur dan diancam pidana  dalam Pasal 368 ayat (2) ke-2 KUHP.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa I dan Terdakwa II dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama. Dengan demikian, menurut Majelis Hakim unsur-unsur dari Pasal 362 ayat (2) ke-2 KUHP yang dikualifikasi sebagai delik pencurian dengan kekerasan telah terbukti. Sedangkan unsur-unsur dalam Pasal 368 ayat (2) ke-2 KUHP yang dikualifikasi sebagai delik pemerasan (apfersing) tidak terpenuhi.
Berdasarkan uraian diatas dan dengan mengacu kepada konstruksi dari pertimbangan Majelis Hakim pada perkara a quo, maka terdapat perbedaan secara teoritis mengenai delik pencurian dengan kekerasan (sebagaimana diatur dalam Pasal 362 ayat (2) ke-2 KUHP) dengan delik pemerasan dengan kekerasan (sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (2) ke-2 KUHP).

B.            PERMASALAHAN
1.        Bagaimana bentuk ajaran penyertaan terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam KUHP ?
2.        Bagaimana pertimbangan hakim terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama dalam Putusan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel ?
  
C.           LANDASAN TEORI
Dalam KUHP, pencurian dirumuskan pada Pasal 362-367 dan digolongkan kedalam delik terhadap kekayaan (Vermogens Delicten). Pasal 362 KUHP berbunyi: “Barangsiapa mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebgaian kepunyaan orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Berdasarkan bunyi Pasal 362 KUHP, Andi Hamzah menguraikan bagian inti delik (delictsbestandellen) sebagai berikut: 1) Mengambil suatu barang (enig goed); 2) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; 3) Dengan maksud untuk memilikinya secara; dan 4) Melawan hukum.[6] Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur delik pencurian sebagaimana dikemukakan diatas seluruhnya harus diuraikan dalam dakwaan dan dilakukan dengan cara melawan hukum.
Mengenai melawan hukum dalam tindak pidana pencurian, menurut Moeljatno ialah:
“Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum”.

Mengenai pendapat yang disampaikan oleh Moeljatno diatas, sesuai dengan teori-teori berikut:
1.      Teori kontrektasi (contrectatie theorie), teori ini mengatakan bahwa untuk adanya suatu perbuatan “mengambil” disyaratkan dengan sentuhan fisik, yakni pelaku telah memindahkan benda yang bersangkutan dari tempatnya semula;
2.      Teori ablasi (ablatie theorie), menurut teori ini untuk selesainya perbuatan “mengambil” itu disyaratkan benda yang bersangkutan harus telah diamankan oleh pelaku;
3.      Teori aprehensi (apprehensie theorie), berdasdarkan teori ini adanya perbuatan “mengambil” itu disyaratkan bahwa pelaku harus membuat benda yang bersangkutan berada dalam penguasaannya yang nyata.[7]

Oleh sebab itu, berdasarkan keterangan diatas maka jelas kita ketahui bahwa pencurian adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan pihak tertentu, dan dalam mengungkap suatu tindak pidana pencurian, aparat penegak hukum perlu melakukan beberapa tindakan yaitu seperti penyelidikan dan penyidikan.
Kemudian, dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan, putusan hakim, sampai pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan harus memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum. Salah seorang teoretikus hukum, Gustav Radbruch menyatakan bahwa hukum memiliki tiga aspek, yakni keadilan, finalitas, dan kepastian. Lebih lanjut ia menyatakan:
Aspek keadilan menunjuk pada “kesamaan hak di depan hukum”. Aspek finalitas menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menunjuk pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat dikatakan, dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum. Sedangkan aspek ketiga (kepastian) merupakan kerangka operasional hukum.”[8]

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Oleh karena itu, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang harus diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechttigkeit).[9]
Kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk mentertibkan masyarakat. Sebaliknya, masyarakat mengharapkan manfaat atau kegunaan dalam pelaksanaan penegakan hukum. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat.[10]
Unsur ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan diperhatikan. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa :
Membicarakan hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian, setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Kita tidak dapat membicarakan hukum hanya sampai kepada wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal. Kita juga perlu melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan dalam masyarakat.[11]

Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Dalam menegakkan hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut.[12]
Kemudian dalam hukum acara pidana menurut Andi Hamzah, bertujuan untuk mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.[13] Selain itu, menurut Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan”.

D.           BENTUK AJARAN PENYERTAAN DALAM KUHP
Mengenai bentuk-bentuk penyertaan menurut Adami Chazawi[14]  terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP. Pasal 55 KUHP mengenai golongan yang disebut dengan mededader (disebut para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 KUHP mengenai medeplichtige (pembuat pembantu). Pasal 55 KUHP  merumuskan sebagai berikut:
a.         Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:
1)        Mereka yang melakukan yang menyuruh melakukan, dan yang turut  serta melakukan perbuatan;
2)        Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
b.        Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Sedangkan Pasal 56 KUHP merumuskan sebagai berikut: “Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1.        Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2.        Mereka yang sengaja member kesempatan, sarana atau keterangan untuk   melakukan kejahatan.

Dari kedua Pasal (Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP pembagian golongan peserta terhadap tindak pidana penyertaan ini, yaitu:
a.        Mereka yang Melakukan (Pembuat Pelaksana/Pleger)
Menurut Adami Chazawi, pleger adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana itu, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksana ini tindak pidana itu tidak akan terwujud, maka dari sudut pandang ini pleger harus sama dengan syarat dader. Perbuatan seorang pleger juga harus memenuhi semua unsur tindak pidana, sama dengan perbuatan seorang dader. Perbedaan pleger dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih diperlukan keterlibatannya minimal seorang lainnya baik secara psikis maupun fisik, misalnya dengan peserta atau pembuat pembantu.[15]
Sementara itu, menurut Amir Ilyas, pembuat adalah orang yang mewujudkan suatu peristiwa pidana secara sempurna. Jadi sebagai pembuat adalah orang yang melakukan peristiwa pidana seorang diri telah berbuat mewujudkan semua unsur-unsur atau elemen dari tindak pidana.[16]
Adapun menurut Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah pelaku adalah seorang yang memenuhi unsur-unsur delik, baik yang dinyatakan secara express verbis maupun yang diterima secara diam-diam (stilzwigende element) atau yang berkewajiban untuk mengakhiri keadaan yang dilarang oleh undang-undang pidana, baik yang dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang pidana maupun yang diterima secara diam-diam.[17]

b.        Mereka yang Menyuruh Melakukan (Doen Pleger)
Wujud penyertaan (deelneming) yang pertama-tama disebutkan oleh Pasal 55 KUHP adalah menyuruh melakukan perbuatan (doen plegen). Menurut E.Y Kanter dan S.R Sianturi,[18] penyuruh adalah merupakan tindak yang melakukan suatu tindak pidana dengan memperalat orang lain untuk melakukannya, yang pada orang  lain itu tiada kesalahan, karena tidak disadarinya, ketidaktahuan, kekeliruannya atau dipaksa.
Sementara itu menurut Wirjono Projodikoro, menyuruh melakukan ini biasa terjadi apabila seseorang menyuruh sipelaku melakukan perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa hal sipelaku itu tidak dikenal hukuman pidana. Jadi sipelaku seolah-olah cuma menjadi alat belaka yang dikendalikan oleh sipenyuruh. Pelaku semacam ini dalam ilmu pengerahuan hukum dinamakan manus manistra (tangan yang dikuasai), dan si penyuruh dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).[19]

c.         Mereka yang Turut Serta Melakukan (Medepleger)
Dalam hukum pidana/KUHP tidak memberikan penerusan bila manakah dapat dikatakan sebagai orang turut serta melakukan suatu tindak pidana tetapi hal ini timbul didalam praktek-praktek pendapat, melalui putusan pengadilan maupun doktrin dari pakar hukum pidana.
Pendapat beberapa ahli tentang medepleger, dapat dikemukakan sebagai berikut:[20]
1)        Menurut MvT: Orang yang turut serta melakukan (medepleger) ialah orang yang dengan sengaja, turut berbuat atau turut serta mengerjakan terjadinya sesuatu.
2)        Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya sesuatu tindak pidana”itu ada tiga kemungkinan:
-            Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan delik. Misal dua orang dengan bekerjasama melakukan pencurian disebuah gudang beras.
-            Salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang lain tidak. Misal dua orang pencopet (A dan B) saling  bekerjasama, A yang menabrak orang yang menjadi sasaran, sedang B yang mengambil dompet orang itu.
-            Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. Misal dalam pencurian dengan merusak (Pasal 363 ayat 1 ke-5 KUHP salah seorang melakukan penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah dan mengambil barang-barang yang kemudian diterimakan kepada kawannnya yang menggansir tadi.

d.        Orang yang Sengaja Menganjurkan (Uitlokker)
Menurut Adami Chazawi, orang yang sengaja mengajurkan (pembuat penganjur, disebut juga auctor intelellectualis), seperti juga pada orang yang menyuruh melakukan, tidak mewujudkan tindak pidana secara materil, tetapi melalui orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam Pasal 55 ayat (1) dengan sangat singkat, ialah yan menyuruh melakukan (doen plegen), tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan ini dirumuskan dengan lebih lengkap, dengan menyebutkan unsur objektif yang sekaligus unsur subjektif.[21]
Rumusan ini selengkapnya ialah “mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, sengaja mengajurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”
Apabila rumusan itu hendak dirinci, maka unsur-unsurnya adalah:[22]
1)        Unsur-unsur objektif yang terdiri terdiri dari:
-            Unsur perbuatan, ialah menganjurkan orang lain melakukan perbuatan;
-            Caranya, ialah dengan memberikan sesuatu; dengan menjanjikan sesuatu; dengan menyalahgunakan martabat; dengan kekerasan; dengan ancaman; dengan penyertaan; dengan memberi kesempatan; dengan memberikan saran; dengan memberikan kekurangan;
2)        Unsur subjektifnya yakni dengan sengaja.

Dari rumusan tersebut diatas, dapat disimpulkan ada 5 syarat dari seorang pembuat penganjur, ialah:[23]
1)      Pertama, tentang kesengajaan si pembuat, yang harus ditujukan pada 4 hal, yaitu:
a)        Ditujukan pada digunakannya upaya-upaya penganjuran;
b)        Ditujukan pada mewujudkan perbuatan menganjurkan beserta akibatnya;
c)        Ditujukan pada orang lain untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan);dan
d)       Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat dipidana.
2)      Kedua, dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan cara-cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2 tersebut.
3)      Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh si pembuat penganjur.
4)      Keempat, orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) telah melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan (boleh pelaksanaan itu selesai-tindak pidana sempurna atau boleh juga terjadinya percobaannya).
5)      Kelima, orang yang dianjurkan adalah orang memiliki kemampuan bertanggung jawab.


e.         Pembantuan (Medeplichtige)
Pasal 56 KUHP berbunyi sebagai berikut:
1.         Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan dilakukan (diwujudkan).
2.         Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan daya upaya (sarana) atau keterangan untuk melakukan (mewujudkan) kejahatan.


Dari uraian Pasal 56 KUHP tersebut dapatlah disimpulkan bahwa ada dua jenis pembantuan, yaitu dengan sengaja memberi bantuan pada saat kejahatan diwujudkan dan dengan sengaja memberikan bantuan untuk melakukan atau mewujudkan kejahatan. Menurut MvT, hanya terhadap pembantu jenis kedua batas-batas perbuatan bantuan yang ditetapkan oleh undang-undang.[24]
Dalam memahami Pasal 56 KUHP, perlu diperhatikan lebih dahulu rumusan Pasal 57 KUHP ayat 4 yang berbunyi: “Untuk menentukan hukum bagi pembantu, hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan oleh pembantu serta akibatnya.”
Dimaksud rumusan “dengan sengaja memudahkan” adalah perbuatan yang memudahkan si pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut, yang terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik materil maupun immaterial. Dalam hal ini perlu diperhatikan pendapat M.H. Tirtaamidjaja[25] yang menyatakan suatu bantuan yang tidak berarti tidak dapat dipandang sebagai bantuan yang dapat dihukum.
Kemudian, Simons menyatakan bahwa “membantu” harus memenuhi dua unsur, yakni unsur objektif dan subjektif. Hal tersebut diutarakan sebagai berikut:
-            Perbuatan seseorang yang membantu itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang bersifat objektif apabila perbuatan yang telah dilakukannya tersebut memang telah ia maksudkan untuk mempermudah atau untuk mendukung dilakukannya suatu kejahatan. Dalam hal ini seseorang yang membantu telah menyerahkan alat-alat untuk melakukan kejahatan kepada seorang pelaku, namun ternyata alat-alat tersebut tidak digunakan oleh si pelaku, yang membantu tersebut juga tidak dapat dihukum.
-            Perbuatan seseorang yang membantu dapat disebut memenuhi unsur-unsur  yang bersifat subjektif apabila si pembantu memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat ,mendukung dilakukannya suatu kejahatan.[26]

Semua yang telah diuraikan diatas adalah “membantu” suatu kejahatan dengan perbuatan yang bersifat aktif. Adakalanya perbuatan “membantu” dilakukan tanpa berbuat atau bersifat passif. Hal ini dapat terjadi jika seorang berkewajiban untuk berbuat “tetapi tidak berbuat.”[27]
Adapun perbuatan “membantu” dianggap oleh KUHP sebagai perbuatan atau tindak pidana yang berdiri sendiri., antara lain seperti dimuat dalam Pasal 106, 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal 236, dan Pasal 237 KUHP. Pertanggungjawaban dari “membantu” diatur dalam Pasal 57 KUHP yang berbunyi:
(1)     Maksimum hukuman pokok yang diancamkan atas kejahatan, dikurangi sepertiga dari si pembantu.
(2)     Jika kejahatan itu dapat dihukum dengan hukuman mati atau hukuman seumur hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
(3)     Hukuman tambahan untuk kejahatan dan membantu melakukan kejahatan itu sama saja.
(4)     Untuk menentukan hukuman bagi pembantu hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu serta akibatnya.


E.            TINDAK PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA (Analisis Putusan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel).
1.             Kasus Posisi
Pada hari Sabtu tanggal 24 November 2012, sekitar pukul 22.45 Wib Terdakwa I Anton Sembiring anak dari J.S Pelawi Sembiring dan Terdakwa II Hendra Ginting anak dari Sudirman Ginting, ketika sedang melintas didepan Rukan Permata Senayan Jl. Tentara Pelajar, Kelurahan Grogol Utara, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk mengembalikan sepeda motor Yamaha Mio J warna putih hijau No.Pol B 3851 SGX kepada saksi Dwi Yulianto, Para Terdakwa melihat saksi Adud Suryadi sedang berdiri didepan Rukan Permata Senayan Jl. Tentara Pelajar, Kelurahan  Grogol  Utara,  Kecamatan  Kebayoran Lama, Jakarta Selatan  timbul  niat dan  rencana para  terdakwa untuk  mengambil  barang milik  saksi Adud Suryadi.
Untuk mewujudkan rencana tersebut Para Terdakwa memanggil saksi Adud Suryadi dan menanyakan kepada saksi Adud Suryadi “kamu orang  sini bukan ?” dijawab saksi Adud Suryadi tidak tahu dan Terdakwa II Hendra Ginting turun dari motor bertanya kepada saksi Adud Suryadi “tadi liat  nggak ada orang kena tusuk?” dijawab saksi Adud Suryadi  tidak  tahu dan terjadi pertengkaran mulut antara Para Terdakwa dengan saksi Adud Suryadi.
Kemudian Para Terdakwa menggeledah saksi Adud Suryadi, Terdakwa I Anton Sembiring mengambil karter warna merah yang berada dikantong celana yang dipakai oleh saksi Adud Suryadi dan karter tersebut ditodongkan ke perut saksi Adud Suryadi. Sedangkan Terdakwa II Hendra Ginting mengambil dompet yang disimpan dikantong celana bagian depan yang dipakai saksi Adud Suryadi kemudian mengambil uang yang berada didompet sebesar Rp. 450.000,- (empat ratus lima puluh ribu rupiah), untuk kemudian akan dibagi dua, sedangkan dompetnya dibuang ke jalan.
Setelah itu, Saksi Adud Suryadi melakukan perlawanan dengan memegang tangan Terdakwa I dan menghampiri  sepeda motor yang digunakan oleh Para  Terdakwa kemudian mengambil kunci kontaknya, setelah itu saksi Adud Suryadi lari ke pos satpam dan dengan dibantu oleh satpam yang sedang bertugas berhasil  menangkap Para Terdakwa, selanjutnya Para Terdakwa besertata barang bukti  diserahkan ke Polsek Kebayoran Lama.
a.        Dakwaan dan Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum
Dakwaan Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, mendakwa Para Terdakwa dengan dakwaan yang bersifat alternatif, yakni:
1)      Pertama: “Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke 2 KUHP.”
2)      Kedua: “Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 368 ayat (2) ke 2 KUHP.”

Sedangkan tuntutan Jaksa/Penuntut Umum berbunyi sebagai berikut:
1)      Menyatakan Terdakwa I Anton Sembiring anak dari J.S Pelawi Sembiring dan Terdakwa II Hendra Ginting anak dari Sudirman Ginting telah bersalah melakukan tindak pidana ”Pencurian dengan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama“ sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat  (2) ke 2 sebagaimana dalam dakwaan Kesatu;
2)      Menjatuhkan pidana terhadap mereka terdakwa terdakwa I Anton Sembiring anak  dari J.S. Pelawi Sembiring dan terdakwa II Hendra Ginting anak dari Sudirman Ginting dengan pidana penjara masing-masing selama: 1 (satu) Tahun  dikurangi selama para terdakwa menjalani masa tahanan sementara dan perintah agar  terdakwa tetap  ditahan.
3)      Menyatakan barang bukti berupa.:...”

b.        Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Pada amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel, tanggal 13 Maret 2013 menyatakan bahwa:

M  E  N  G  A  D I   L  I

1)        Menghukum Terdakwa I ANTON SEMBIRING anak dari JS PELAWI SEMBIRING dan Terdakwa II HENDRA GINTING anak dari SUDIRMAN GINTING terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama;
2)        Menjatuhkan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam masa tahanan sementara;
3)        Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan;
4)        Menetapkan barang bukti berupa:.....
5)        Membebankan biaya perkara kepada terdakwa sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).

2.             Analisis Putusan
Untuk dapat dipidananya seseorang, tidak cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, melainkan harus memenuhi syarat adanya kesalahan. Sudarto menyatakan bahwa:
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan (an objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guild).”[28]


Dengan demikian, untuk dapat mempertanggungjawabkan Para Terdakwa pada kasus a quo, harus terpenuhi unsur kesalahan diri pada Terdakwa. Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tak tertulis dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan “ tiada pidana tanpa kesalahan”.
Kesalahan bukan hanya menentukan “dapat dipertanggungjawabkannya pembuat”, tetapi juga “dapat dipidananya pembuat”. Makna kesalahan dalam dua hal diatas sangat berlainan. Sebagaimana yang diuraikan oleh Chairul Huda, bahwa:
“Kesalahan yang menentukan dapat dipertanggungjawabkan pembuat merupakan cara pandang yang yang melihat kebelakang. Dalam hal ini, kesalahan pembuat pada masa lampau yang dipersoalkan. Artinya, apakah terhadap seseorang dapat diterapkan sanksi pidana karena perbuatannya dimasa yang lalu. Sementara itu, kesalahan yang menentukan dapat dipidananya pembuat merupakan cara pandang yang bersifat kedepan. Dalam hal ini, masa depan pembuat yang dipersoalkan, apakah yang sebaiknya dilakukan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana dan bersalah kepadanya.[29]

Mengingat begitu pentingnya konsepsi tentang kesalahan dalam konteks dapat dipidananya pembuat, sehingga dalam analisis putusan ini, Penulis menggunakannya untuk menguji apakah putusan tersebut sudah sesuai atau tidak berdasarkan konsepsi ini.
a.        Analisis Mengenai Penentuan Unsur Tindak Pidana
Dalam hal penentuan unsur tindak pidana, Majelis Hakim pada halaman 12 putusan a quo mempertimbangkan bahwa:
Menimbang, bahwa terdakwa-terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum melanggar pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP yang unsur-unsurnya adalah  sebagai berikut :
1)      Barang siapa ;
2)      Mengambil barang milik orang  lain;
3)      Dengan maksud memiliki secara melawan hukum.

Melihat konstruksi dalam pertimbangan untuk menentukan unsur dari Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, Majelis Hakim a quo hanya mempertimbangkan unsur-unsur dari Pasal 362 KUHP sebagai delik pencurian biasa. Padahal Jaksa Penuntut Umum mendakwa para Terdakwa dengan dakwaan melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, namun unsur-unsurnya tidak dipertimbangkan.
Majelis Hakim tidak memasukkan atau tidak mempertimbangkan unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP yang merupakan pemberatan dari Pasal 362 KUHP yakni unsur “dengan kekerasan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu”. Dengan demikian, konstruksi pemikiran Majelis Hakim dalam menentukan unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP merupakan konstruksi pemikiran yang tidak tepat dan menyesatkan, dan akan menjadi preseden buruk bagi putusan-putusan yang akan datang.

b.        Analisis Mengenai Unsur “Barangsiapa”
Pada umumnya, rumusan suatu delik didalam undang-undang dimulai dengan subyek (normadressaat) atau pelaku delik yang dirumuskan itu. Sebagian besar memulai dengan “Barangsiapa” (dalam bahasa Belanda: Hij die...”).[30] Begitu pula dalam delik pencurian, dimulai dengan subyek “Barangsiapa”.
Bahwa, kata-kata “Barangsiapa” dalam suatu rumusan tindak pidana merupakan isyarat pembentuk undang-undang tentang siapakah yang dituju dari norma (addressaat norm) suatu tindak pidana. Dengan demikian tidak tepat apabila Majelis Hakim mendalilkan hal ini sekedar berarti “siapa saja” yang didakwa melakukan tindak pidana. Hal ini ternyata dari dari pertimbangannya bahwa: ”menimbang, bahwa yang dimaksud barang siapa adalah siapa saja yang didakwa sebagai subyek atau pelaku dari suatu perbuatan” (halaman 12). 
Bahwa sekalipun demikian, karena telah dinyatakan sebagai unsur tindak pidana maka sebagai konsekuensinya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus dapat membuktikan Terdakwa I Anton Sembiring anak dari JS Pelawi Sembiring dan Terdakwa II Hendra Ginting anak dari Sudirman Ginting termasuk dalam pengertian tersebut. Oleh karenanya, majelis hakim dalam pertimbangannya tersebut tidak sungguh-sungguh dalam mempertimbangkan dan membuktikan unsur “Barangsiapa.”

c.         Analisis Mengenai Unsur “Mengambil Barang Milik Orang Lain”
Dalam mempertimbangkan unsur “mengambil barang milik orang lain,” Majelis Hakim menyatakan bahwa:
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi ADUD SURYADI dan saksi ROHMAT BUDIYANTO saksi YUDI SUSANTO bin SUTARNO dan saksi RUDI RESTIANDI, dan  keterangan terdakwa maka saling bersesuaian bahwa terdakwa tersebut dengan telah mengambil barang berupa 1 (satu) buah sepeda motor Yamaha Mio J warna putih hijau  No.Pol  B-3851SGX dikembalikan kepada saksi RUDI RESTIADI;

Dari pertimbangan tersebut, majelis hakim tidak sungguh-sungguh mempertimbangkan unsur ini. Majelis Hakim langsung menyimpulkan, tanpa mempertimbangkan apa sebenarnya esensi dari mengambil barang milik orang lain ini. Mengambil barang milik orang lain merupakan bentuk “kesengajaan” yang harus dibuktikan oleh Majelis Hakim.
Dengan demikian, Majelis Hakim memandang kesalahan Para Terdakwa telah terbentuk dengan sendirinya ketika semua unsur tindak pidana telah terbukti. Dengan demikian, pendapat Majelis Hakim masih mengikuti teori kesalahan psikologis, yaitu kesalahan terdeskripsi dari perbuatan yang melawan hukum. Sehingga asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan” belum menjadi dasar “dapat dipertanggungjawabkannya” para terdakwa dalam putusan a quo.

d.        Analisis Mengenai Unsur “Dengan Maksud Memiliki Secara Melawan Hukum”
Mengenai unsur ini, Majelis Hakim hanya mengambil alaih pertimbangan mengenai unsur “mengambil barang milik orang lain” sebagaimana nyata dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa: “menimbang,   bahwa  berdasarkan  pertimbangan   tersebut  diatas   maka unsur kedua mengambil barang milik orang  lain telah terpenuhi; menimbang,   berdasarkan  perkembangan  tersebut  diatas  maka   unsur ketiga dengan maksud memiliki secara melawan hukum telah terpenuhi.”
Pertimbangan seperti ini merupakan pertimbangan yang keliru. Dikatakan demikian, karena Majelis Hakim tidak mempertimbangkan bentuk melawan hukum dari perbuatan para terdakwa mengambil barang milik orang lain.
Pemaknaan terhadap unsur “secara melawan hukum”, Majelis Hakim tidak memperhatikan dengan baik perkembangan asas-asas hukum pidana Indonesia, yang diantaranya menghendaki pembatasan penggunaan ajaran melawan hukum materil hanya dalam fungsinya yang negatif, dan tidak menggunakan ajaran tersebut dalam fungsinya yang positif karena lebih membawa kepada ketidakpastian hukum daripada keadilan.
Oleh karena itu, pertimbangan Majelis Hakim yang hanya mengambil alih pertimbangan pada unsur sebelumnya, merupakan suatu pertimbangan yang dapat menjadi preseden buruk bagi putusan-putusan selanjutnya. Sehingga, pertimbangan yang demikian merupakan pertimbangan yang keliru dan menunjukkan Majelis Hakim telah salah dalam menerapkan hukum.

e.         Analisis Mengenai Unsur “Dilakukan Oleh Dua Orang atau Lebih dengan Bersekutu”
Bahwa unsur terpenting dari Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP adalah unsur “dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu” yang merupakan suatu bentuk pengkhususan dari Pasal 362 KUHP. Dengan kata lain, Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP merupakan pemberatan ancaman hukuman dari Pasal 362 KUHP.
Dengan digunakannya kata geepleegd (dilakukan), bukan kata begaan (diadakan) dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, maka Pasal ini hanya berlaku apabila ada dua orang atau lebih yang masuk istilah medeplegen (turut melakukan) dari Pasal 55 ayat (1) nomor 1 KUHP dan memenuhi syarat bekerja sama.[31]
Bahwa dalam putusan a quo, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan unsur ini, yang merupakan pemberatan dari Pasal 362 KUHP. Sebagaimana terlihat dalam putusan a quo, Majelis Hakim hanya mempertimbangkan unsur dari Pasal 362 KUHP saja. Sehingga tidak mungkin menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “pencurian dengan kekerasan” jika majelis hakim tidak mempertimbangkan dan tidak membuktikan unsur “dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.”
Demikian juga, para terdakwa tidak dapat dihukum berdasarkan pasal ini, jika tidak dipertimbangkan unsur “dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu” oleh majelis hakim. Dalam putusan a quo, Majelis Hakim dalam mempertimbangkan semua unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP hanya berdasarkan asusmsi dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Majelis Hakim tidak menerapkan hukum pembuktian dengan semestinya. Sehingga, jelas putusan ini merupakan putusan yang keliru dan Majelis Hakim tidak mempertimbangkan asas-asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.

F.            KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian yang telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka dengan mencermati putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel, tanggal 13 Maret 2013, Penulis berkesimpulan sebagai berikut:
1.      Penyertaan dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP merupakan unsur yang penting dan merupakan unsur pemberat pidana terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Bentuk ajaran penyertaan dalam Pasal ini adalah medeplegen (turut melakukan). Dengan digunakannya kata geepleegd (dilakukan), bukan kata begaan (diadakan) dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, maka Pasal ini hanya berlaku apabila ada dua orang atau lebih yang masuk istilah medeplegen (turut melakukan) dari Pasal 55 ayat (1) nomor 1 KUHP dan memenuhi syarat bekerja sama.
2.      Dalam pertimbangan Majelis Hakim khususnya mengenai unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, menunjukkan terjadinya kekeliruan hakim dalam menilai dan mempertimbangkan unsur-unsur tersebut. Majelis Hakim hanya mengambil alih dakwaan Jaksa Penentut Umum yang kemudian digunakan untuk menilai unsur-unsur dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP. Mejelis Hakim tidak mempertimbangkan lebih jauh dalam menilai dan membuktikan unsur-unsur pasal yang didakwakan dan dituntut oleh JPU. Dengan kata lain, Majelis Hakim tidak menerapkan hukum acara pidana dan hukum pembuktian di sidang pengadilan secara maksimal; Majelis Hakim juga mengabaikan asas-asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatn hukum; serta putusan tersebut merupakan putusan yang keliru.

G.           DAFTAR PUSTAKA
A. Z. Abidin dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yarsif Watampone.
Adami Chazawi, 2011, Percobaan Dan Penyertaan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.
Amir Ilyas, et.al, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana II, Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta & PuKAPIndonesia.
Andi Hamzah, 2015, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) Didalam KUHP, Edisi Kedua, Cet. Ke-1, Jakarta: Sinar Grafika.
Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, 2006, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier, Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada.
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutantak, dan Markus Y. Hage, 2013, Teori Hukum; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan ke-IV, Yogyakarta: Genta Publishing.
Chairul Huda, 2006, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Prenadamedia Group.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika.
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Refika Aditama.
Leden Marpaung, 2012, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet. Ke-VII, Jakarta: Sinar Grafika.
P.A.F. Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Jakarta: Sinar Grafika.
___________________ dan C. Djisman Samosir, 1979, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, Bandung: Tarsito.
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet.Ke-VI, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Simons, 2005, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudarto, 1983, Hukum Dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru.
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty.
Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama.
___________________, 2010, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cet. Ke-III, (Jakarta: PT. Refika Aditama.


[1] A. Z. Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010), hlm. 1.
[2] Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 2.
[3] Ibid, hlm. 2-3.
[4] Simons, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 106.
[5] P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 130.
[6] Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu (Speciale Delicten) Didalam KUHP, Edisi Kedua, Cet. Ke-1, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), hlm. 92.
[7] P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik Dan Lain Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, (Bandung: Nuansa Aulia, 2010), hlm 15.
[8] Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutantak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan ke-IV, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013), hlm. 118.
[9] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1991), hlm. 145.
[10] Ibid.
[11] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet.Ke-VI,( Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 159.
[12] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 146.
[13] Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 9.
[14] Adami Chazawi, Percobaan Dan Penyertaan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 80-82.
[15] Ibid, hlm. 85.
[16] Amir Ilyas, et.al, Asas-Asas Hukum Pidana II, (Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta & PuKAPIndonesia, 2012), hlm. 60.
[17] Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 178.
[18] E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: Storia Grafika, 2002), hlm.
[19] Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 118.
[20] Amir Ilyas, et.al, Op. Cit, hlm. 69-70.
[21] Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 112.
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 224.
[25] M.H Tirtaatmadja dalam Laden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm. 83.
[26] Leden Marpaung, Ibid.
[27] Ibid.
[28] Sudarto, Hukum Dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru 1983), hlm. 85.
[29] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 130.
[30] A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Loc. Cit, hlm. 121.
[31] Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit, hlm. 23.

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...