TINJAUAN TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN
DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA
(Analisis Putusan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel).
OLEH:
ROLI PEBRIANTO, S.H
A.
PROLOG
Hukum pidana adalah bagian dari ilmu hukum. Sebagaimana
dikatakan oleh Pompe, bahwa hukum pidana adalah keseluruhan aturan hukum yang
menentukan perbuatan-perbuatan apa yang daiancam dengan pidana dan dimana
pidana itu menjelma. Dengan demikian, maka unsur pidana itu ada dua, yakni
pertama, berupa peraturan hukum yang menentukan perbuatan apa yang diancam
dengan pidana, dan kedua peraturan hukum tentang pidana, berat dan jenisnya,
dan kemudian cara menerapkannya.[1]
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa hukum pidana dibagi menjadi dua
jenis, yakni hukum pidana materiil dan hukum pidana formiil.
Sebagaimana pendapat yang dikemukakan oleh J.M van Bemmelen,
bahwa hukum pidana materiil terdiri atas tindak pidana yang berturut-turut,
peraturan umum yang dapat diterapkan
terhadap perbuatan itu, dan pidana yang diancamkan terhadap perbuatan itu.
Hukum pidana formil mengatur cara bagaimana pidan seharusnya dilakukan dan
menentukan tata tertib yang harus diperhatikan pada kesempatan itu.[2]
Kemudian Tirtaatmadja menjelaskan hukum pidana materiil dan
hukum pidana formiil sebagai berikut:
“Hukum pidana materiil adalah kumpulan aturan hukum
yang menentukan pelanggaran pidana; menetapkan syarat-syarat bagi pelanggaran
pidana untuk dapat dihukum, menunjukkan orang yang dapat dihukum, dan
menetapkan hukuman atas pelanggaran pidana. hukum pidana formiil adalah
kumpulan aturan hukum yang mengatur cara mempertahankan hukum pidana materiil
terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh orang-orang tertentu, atau
dengan kata lain mengatur cara bagaimana hukum pidana materiil diwujudkan
sehingga diperoleh keputusan hakim serta mengatur cara melaksanakan keputusan
hakim.”[3]
Berdasarkan pendapat para pakar tersebut, secara sederhana
dapat dikatakan bahwa hukum pidana materiil pada hakikatnya berisi larangan
atau perintah yang jika tidak dipatuhi diancam dengan sanksi. Sedangkan hukum
pidana formiil pada hakikatnya adalah aturan hukum yang mengatur cara
menegakkan hukum pidana materiil. Dalam konteks hukum pidana Indonesia, hukum
pidana formiil adalah KUHP, sedangkan hukum pidana materiil adalah KUHAP.
Dalam KUHP Indonesia (hukum pidana materiil) diatur mengenai
berbagai tindak pidana atau perbuatan yang dilarang, salah satu diantaranya
ialah tindak pidana pencurian. Tindak pidana pencurian merupakan salahsatu
tindak pidana yang paling sering terjadi, biasanya modus operandi yang
bermacam-macam dan dilatar belakangi oleh keadaan hidup pelaku sehari-hari,
misalnya keadaan ekonomi atau tingkat pendapatannya yang tergolong rendah
sehingga tidak dapat memenuhi biaya kebutuhan hidup sehari-hari serta di
pengaruhi oleh tingkat pendidikan yang rendah.
Dalam KUHP, tindak pidana pencurian dibedakan dengan
berbagai kualifikasi diantaranya sebagaimana diatur dalam 363 KUHP dan Pasal
365 KUHP yaitu pencurian dengan kekerasan. Pencurian dengan kekerasan merupakan
kejahatan terhadap harta benda. Kekerasan yang dilakukan dalam pencurian
tersebut mempunyai tujuan untuk menyiapkan atau mempermudah pencurian atau jika
tertangkap ada kesempatan bagi si pelaku untuk melarikan diri supaya barang
yang dicuri tersebut tetap berada di tangan pelaku.
Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 363 KUHP dan Pasal 365
KUHP juga merupakan gequalificeerde
diefstal atau suatu pencurian dengan kualifikasi ataupun merupakan suatu
pencurian dengan unsur-unsur memberatkan. Dengan demikian maka yang diatur
dalam Pasal 365 KUHP sesungguhnya hanyalah satu kejahatan, dan bukan dua
kejahatan yang terdiri atas kejahatan pencurian dan kejahatan pemakaian
kekerasan terhadap orang, dari kejahatan pencurian dengan kejahatan pemakaian
kekerasan terhadap orang.[4]
Pencurian dengan kekerasan dalam perspektif hukum merupakan
salah satu tindak pidana (delict) yang meresahkan dan merugikan
masyarakat. Perihal tentang yang disebut
kekerasan itu, Simons sebagaimana dikutip Lamintang mengatakan: “Onder
geweld zal ook hier mogen worden verstan, elke uitoefening van lichamelijke
kracht van niet al te geringe betekenis”. Artinya: “Dapat dimasukkan dalam
pengertian kekerasan yakni setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu
ringan.”[5]
Salah satu contoh kasus pencurian dengan kekerasan, yakni
sebagaimana yang diperiksa, diadili dan diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel tanggal 13 Maret 2013. Dalam dakwaan
Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disingkat JPU), Terdakwa I Anton Sembiring dan
Terdakwa II Hendra Ginting didakwa dengan dakwaan alaternatif, yakni Dakwaan
Alternatif Pertama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat
(2) ke-2 KUHP dan Dakwaan Alternatif Kedua sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 368 ayat (2) ke-2
KUHP.
Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa I
dan Terdakwa II dinyatakan secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama. Dengan
demikian, menurut Majelis Hakim unsur-unsur dari Pasal 362 ayat (2) ke-2 KUHP
yang dikualifikasi sebagai delik pencurian dengan kekerasan telah terbukti.
Sedangkan unsur-unsur dalam Pasal 368 ayat (2) ke-2 KUHP yang dikualifikasi
sebagai delik pemerasan (apfersing)
tidak terpenuhi.
Berdasarkan uraian diatas dan dengan mengacu kepada
konstruksi dari pertimbangan Majelis Hakim pada perkara a quo, maka terdapat perbedaan secara teoritis mengenai delik pencurian
dengan kekerasan (sebagaimana diatur dalam Pasal 362 ayat (2) ke-2 KUHP) dengan
delik pemerasan dengan kekerasan (sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (2)
ke-2 KUHP).
B.
PERMASALAHAN
1.
Bagaimana bentuk
ajaran penyertaan terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan dalam KUHP ?
2.
Bagaimana pertimbangan
hakim terhadap tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang dilakukan secara
bersama-sama dalam Putusan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel ?
C.
LANDASAN
TEORI
Dalam KUHP, pencurian dirumuskan pada Pasal 362-367 dan
digolongkan kedalam delik terhadap kekayaan (Vermogens Delicten). Pasal 362 KUHP berbunyi: “Barangsiapa
mengambil suatu barang yang seluruhnya atau sebgaian kepunyaan orang lain
dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
Berdasarkan bunyi Pasal 362 KUHP, Andi Hamzah menguraikan
bagian inti delik (delictsbestandellen)
sebagai berikut: 1) Mengambil suatu barang (enig
goed); 2) Yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain; 3) Dengan
maksud untuk memilikinya secara; dan 4) Melawan hukum.[6]
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa unsur-unsur delik pencurian sebagaimana
dikemukakan diatas seluruhnya harus diuraikan dalam dakwaan dan dilakukan
dengan cara melawan hukum.
Mengenai melawan hukum dalam tindak pidana pencurian,
menurut Moeljatno ialah:
“Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud
memiliki itu ditunjukan pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak
melakukan perbuatan mengambil benda, ia sudah mengetahui dan sudah sadar
memiliki benda orang lain itu adalah bertentangan dengan hukum”.
Mengenai pendapat yang disampaikan oleh Moeljatno diatas,
sesuai dengan teori-teori berikut:
1.
Teori kontrektasi (contrectatie theorie), teori ini mengatakan bahwa untuk adanya
suatu perbuatan “mengambil” disyaratkan dengan sentuhan fisik, yakni pelaku
telah memindahkan benda yang bersangkutan dari tempatnya semula;
2.
Teori ablasi (ablatie theorie), menurut teori ini untuk selesainya perbuatan
“mengambil” itu disyaratkan benda yang bersangkutan harus telah diamankan oleh
pelaku;
3.
Teori aprehensi (apprehensie theorie), berdasdarkan teori ini adanya perbuatan
“mengambil” itu disyaratkan bahwa pelaku harus membuat benda yang bersangkutan
berada dalam penguasaannya yang nyata.[7]
Oleh sebab itu, berdasarkan keterangan diatas maka jelas
kita ketahui bahwa pencurian adalah suatu perbuatan melawan hukum yang dapat
merugikan pihak tertentu, dan dalam mengungkap suatu tindak pidana pencurian,
aparat penegak hukum perlu melakukan beberapa tindakan yaitu seperti
penyelidikan dan penyidikan.
Kemudian, dalam proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
putusan hakim, sampai pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan harus
memperhatikan dan mempertimbangkan prinsip-prinsip keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan hukum. Salah seorang teoretikus hukum, Gustav Radbruch menyatakan bahwa hukum memiliki
tiga aspek, yakni keadilan, finalitas, dan kepastian. Lebih lanjut ia
menyatakan:
Aspek keadilan menunjuk pada “kesamaan hak di depan hukum”.
Aspek finalitas menunjuk pada tujuan keadilan, yaitu memajukan kebaikan dalam
hidup manusia. Aspek ini menentukan isi hukum. Sedangkan kepastian menunjuk
pada jaminan bahwa hukum (yang berisi keadilan dan norma-norma yang memajukan
kebaikan), benar-benar berfungsi sebagai peraturan yang ditaati. Dapat
dikatakan, dua aspek yang disebut pertama merupakan kerangka ideal dari hukum.
Sedangkan aspek ketiga (kepastian) merupakan kerangka operasional hukum.”[8]
Hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Oleh karena itu, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan
hukum dapat berlangsung secara normal dan damai, tetapi dapat terjadi juga
karena pelanggaran hukum. Dalam menegakkan hukum ada 3 (tiga) unsur yang harus
diperhatikan, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechttigkeit).[9]
Kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang
akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Hukum
bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk mentertibkan
masyarakat. Sebaliknya, masyarakat mengharapkan manfaat atau kegunaan dalam
pelaksanaan penegakan hukum. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan
atau ditegakkan timbul keresahan didalam masyarakat.[10]
Unsur ketiga adalah keadilan. Masyarakat sangat
berkepentingan bahwa dalam pelaksanaan atau penegakan hukum keadilan
diperhatikan. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa :
Membicarakan
hukum adalah membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar
manusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian, setiap pembicaraan
mengenai hukum, jelas atau samar-samar, senantiasa merupakan pembicaraan
mengenai keadilan pula. Kita tidak dapat membicarakan hukum hanya sampai kepada
wujudnya sebagai suatu bangunan yang formal. Kita juga perlu melihatnya sebagai
ekspresi dari cita-cita keadilan dalam masyarakat.[11]
Kalau dalam menegakkan hukum hanya diperhatikan
kepastian hukum saja, maka unsur-unsur lainnya dikorbankan. Dalam menegakkan
hukum harus ada kompromi antara ketiga unsur tersebut. Ketiga unsur itu harus
mendapat perhatian secara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak
selalu mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga
unsur tersebut.[12]
Kemudian dalam hukum acara
pidana menurut Andi Hamzah, bertujuan untuk mencari kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir
sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keadilan,
dan kesejahteraan dalam masyarakat.[13]
Selain itu, menurut Pasal 54 ayat (3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa: “Putusan pengadilan dilaksanakan dengan
memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan”.
D.
BENTUK
AJARAN PENYERTAAN DALAM KUHP
Mengenai bentuk-bentuk penyertaan menurut Adami Chazawi[14] terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan
56 KUHP. Pasal 55 KUHP mengenai golongan yang disebut dengan mededader (disebut
para peserta, atau para pembuat), dan Pasal 56 KUHP mengenai medeplichtige (pembuat
pembantu). Pasal 55 KUHP merumuskan
sebagai berikut:
a.
Dipidana
sebagai pembuat tindak pidana:
1)
Mereka
yang melakukan yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
2)
Mereka
yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan.
b.
Terhadap
penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan,
beserta akibat-akibatnya.
Sedangkan Pasal 56
KUHP merumuskan sebagai berikut: “Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1.
Mereka
yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2.
Mereka
yang sengaja member kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Dari kedua Pasal
(Pasal 55 KUHP dan Pasal 56 KUHP) tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut
KUHP pembagian golongan peserta terhadap tindak pidana penyertaan ini, yaitu:
a.
Mereka
yang Melakukan (Pembuat Pelaksana/Pleger)
Menurut Adami
Chazawi, pleger adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan
tindak pidana itu, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksana ini tindak pidana itu
tidak akan terwujud, maka dari sudut pandang ini pleger harus sama
dengan syarat dader. Perbuatan seorang pleger juga harus memenuhi
semua unsur tindak pidana, sama dengan perbuatan seorang dader. Perbedaan
pleger dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih
diperlukan keterlibatannya minimal seorang lainnya baik secara psikis maupun
fisik, misalnya dengan peserta atau pembuat pembantu.[15]
Sementara itu,
menurut Amir Ilyas, pembuat adalah orang yang mewujudkan suatu peristiwa pidana
secara sempurna. Jadi sebagai pembuat adalah orang yang melakukan peristiwa
pidana seorang diri telah berbuat mewujudkan semua unsur-unsur atau elemen dari
tindak pidana.[16]
Adapun
menurut Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah pelaku adalah seorang yang memenuhi
unsur-unsur delik, baik yang dinyatakan secara express verbis maupun
yang diterima secara diam-diam (stilzwigende element) atau yang
berkewajiban untuk mengakhiri keadaan yang dilarang oleh undang-undang pidana,
baik yang dinyatakan secara tegas di dalam undang-undang pidana maupun yang
diterima secara diam-diam.[17]
b.
Mereka
yang Menyuruh Melakukan (Doen Pleger)
Wujud penyertaan (deelneming) yang
pertama-tama disebutkan oleh Pasal 55 KUHP adalah menyuruh melakukan perbuatan
(doen plegen). Menurut E.Y Kanter dan S.R Sianturi,[18]
penyuruh adalah merupakan tindak yang melakukan suatu tindak pidana dengan memperalat
orang lain untuk melakukannya, yang pada orang lain itu tiada kesalahan, karena tidak
disadarinya, ketidaktahuan, kekeliruannya atau dipaksa.
Sementara itu menurut Wirjono Projodikoro, menyuruh
melakukan ini biasa terjadi apabila seseorang menyuruh sipelaku melakukan
perbuatan yang biasanya merupakan tindak pidana, tetapi oleh karena beberapa
hal sipelaku itu tidak dikenal hukuman pidana. Jadi sipelaku seolah-olah cuma
menjadi alat belaka yang dikendalikan oleh sipenyuruh. Pelaku semacam ini dalam
ilmu pengerahuan hukum dinamakan manus manistra (tangan yang dikuasai),
dan si penyuruh dinamakan manus domina (tangan yang menguasai).[19]
c.
Mereka
yang Turut Serta Melakukan (Medepleger)
Dalam hukum pidana/KUHP tidak memberikan penerusan
bila manakah dapat dikatakan sebagai orang turut serta melakukan suatu tindak
pidana tetapi hal ini timbul didalam praktek-praktek pendapat, melalui putusan
pengadilan maupun doktrin dari pakar hukum pidana.
Pendapat beberapa ahli tentang medepleger,
dapat dikemukakan sebagai berikut:[20]
1)
Menurut MvT: Orang yang turut serta melakukan (medepleger)
ialah orang yang dengan sengaja, turut berbuat atau turut serta mengerjakan
terjadinya sesuatu.
2)
Menurut Pompe, “turut mengerjakan terjadinya
sesuatu tindak pidana”itu ada tiga kemungkinan:
-
Mereka masing-masing memenuhi semua unsur dalam rumusan
delik. Misal dua orang dengan bekerjasama melakukan pencurian disebuah gudang
beras.
-
Salah seorang memenuhi semua unsur delik, sedang yang
lain tidak. Misal dua orang pencopet (A dan B) saling bekerjasama, A yang menabrak orang yang menjadi
sasaran, sedang B yang mengambil dompet orang itu.
-
Tidak seorangpun memenuhi unsur-unsur delik
seluruhnya, tetapi mereka bersama-sama mewujudkan delik itu. Misal dalam
pencurian dengan merusak (Pasal 363 ayat 1 ke-5 KUHP salah seorang melakukan
penggangsiran, sedang kawannya masuk rumah dan mengambil barang-barang yang
kemudian diterimakan kepada kawannnya yang menggansir tadi.
d.
Orang yang
Sengaja Menganjurkan (Uitlokker)
Menurut Adami Chazawi, orang yang sengaja
mengajurkan (pembuat penganjur, disebut juga auctor intelellectualis),
seperti juga pada orang yang menyuruh melakukan, tidak mewujudkan tindak pidana
secara materil, tetapi melalui orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan
dalam Pasal 55 ayat (1) dengan sangat singkat, ialah yan menyuruh melakukan (doen
plegen), tetapi pada bentuk orang yang sengaja menganjurkan ini dirumuskan
dengan lebih lengkap, dengan menyebutkan unsur objektif yang sekaligus unsur
subjektif.[21]
Rumusan ini selengkapnya ialah “mereka yang dengan
memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, sengaja mengajurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan.”
1)
Unsur-unsur objektif yang terdiri terdiri dari:
-
Unsur perbuatan, ialah menganjurkan orang lain melakukan
perbuatan;
-
Caranya, ialah dengan memberikan sesuatu; dengan
menjanjikan sesuatu; dengan menyalahgunakan martabat; dengan kekerasan; dengan
ancaman; dengan penyertaan; dengan memberi kesempatan; dengan memberikan saran; dengan memberikan kekurangan;
2)
Unsur subjektifnya yakni
dengan sengaja.
Dari rumusan tersebut diatas, dapat disimpulkan ada 5 syarat dari
seorang pembuat penganjur, ialah:[23]
1) Pertama, tentang kesengajaan si pembuat, yang harus ditujukan
pada 4 hal, yaitu:
a)
Ditujukan pada digunakannya
upaya-upaya penganjuran;
b)
Ditujukan pada mewujudkan
perbuatan menganjurkan beserta akibatnya;
c)
Ditujukan pada orang lain
untuk melakukan perbuatan (apa yang dianjurkan);dan
d) Ditujukan pada orang lain yang mampu bertanggung jawab atau dapat
dipidana.
2) Kedua, dalam melakukan perbuatan menganjurkan harus menggunakan
cara-cara menganjurkan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1)
angka 2 tersebut.
3) Ketiga, terbentuknya kehendak orang yang dianjurkan (pembuat
pelaksananya) untuk melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang dianjurkan
adalah disebabkan langsung oleh digunakannya upaya-upaya penganjuran oleh si
pembuat penganjur.
4) Keempat, orang yang dianjurkan (pembuat pelaksananya) telah
melaksanakan tindak pidana sesuai dengan yang dianjurkan (boleh pelaksanaan itu
selesai-tindak pidana sempurna atau boleh juga terjadinya percobaannya).
5)
Kelima, orang yang
dianjurkan adalah orang memiliki kemampuan bertanggung jawab.
e.
Pembantuan (Medeplichtige)
Pasal 56 KUHP berbunyi sebagai berikut:
1.
Mereka yang dengan sengaja memberi bantuan pada
saat kejahatan dilakukan (diwujudkan).
2.
Mereka yang dengan sengaja memberi kesempatan daya upaya
(sarana) atau keterangan untuk melakukan (mewujudkan) kejahatan.
Dari uraian Pasal 56 KUHP tersebut dapatlah
disimpulkan bahwa ada dua jenis pembantuan, yaitu dengan sengaja memberi bantuan
pada saat kejahatan diwujudkan dan dengan sengaja memberikan bantuan untuk
melakukan atau mewujudkan kejahatan. Menurut MvT, hanya terhadap
pembantu jenis kedua batas-batas perbuatan bantuan yang ditetapkan oleh
undang-undang.[24]
Dalam memahami Pasal 56 KUHP, perlu diperhatikan
lebih dahulu rumusan Pasal 57 KUHP ayat 4 yang berbunyi: “Untuk menentukan
hukum bagi pembantu, hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja
memudahkan oleh pembantu serta akibatnya.”
Dimaksud rumusan “dengan sengaja memudahkan” adalah
perbuatan yang memudahkan si pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut, yang
terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik materil maupun immaterial. Dalam
hal ini perlu diperhatikan pendapat M.H. Tirtaamidjaja[25]
yang menyatakan suatu bantuan yang tidak berarti tidak dapat dipandang sebagai
bantuan yang dapat dihukum.
Kemudian, Simons menyatakan bahwa “membantu” harus
memenuhi dua unsur, yakni unsur objektif dan subjektif. Hal tersebut diutarakan
sebagai berikut:
-
Perbuatan seseorang yang membantu itu dapat disebut
telah memenuhi unsur yang bersifat objektif apabila perbuatan yang telah
dilakukannya tersebut memang telah ia maksudkan untuk mempermudah atau untuk
mendukung dilakukannya suatu kejahatan. Dalam hal ini
seseorang yang membantu telah menyerahkan alat-alat untuk melakukan kejahatan
kepada seorang pelaku, namun ternyata alat-alat tersebut tidak digunakan oleh
si pelaku, yang membantu tersebut juga tidak dapat dihukum.
-
Perbuatan seseorang yang
membantu dapat disebut memenuhi unsur-unsur
yang bersifat subjektif apabila si pembantu memang mengetahui bahwa
perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat ,mendukung dilakukannya suatu
kejahatan.[26]
Semua yang telah diuraikan
diatas adalah “membantu” suatu kejahatan dengan perbuatan yang bersifat aktif.
Adakalanya perbuatan “membantu” dilakukan tanpa berbuat atau bersifat passif.
Hal ini dapat terjadi jika seorang berkewajiban untuk berbuat “tetapi tidak
berbuat.”[27]
Adapun perbuatan “membantu”
dianggap oleh KUHP sebagai perbuatan atau tindak pidana yang berdiri sendiri.,
antara lain seperti dimuat dalam Pasal 106, 107, Pasal 108, Pasal 110, Pasal
236, dan Pasal 237 KUHP. Pertanggungjawaban dari “membantu” diatur dalam Pasal
57 KUHP yang berbunyi:
(1) Maksimum hukuman pokok yang diancamkan atas kejahatan, dikurangi
sepertiga dari si pembantu.
(2) Jika kejahatan itu dapat dihukum dengan hukuman mati atau hukuman
seumur hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara selama-lamanya 15 tahun.
(3) Hukuman tambahan untuk kejahatan dan membantu melakukan kejahatan
itu sama saja.
(4) Untuk menentukan hukuman bagi pembantu hanya diperhatikan
perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu serta
akibatnya.
E.
TINDAK
PIDANA PENCURIAN DENGAN KEKERASAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMA-SAMA (Analisis
Putusan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel).
1.
Kasus
Posisi
Pada hari Sabtu tanggal 24 November 2012, sekitar pukul
22.45 Wib Terdakwa I Anton Sembiring anak dari J.S Pelawi Sembiring dan
Terdakwa II Hendra Ginting anak dari Sudirman Ginting, ketika sedang melintas
didepan Rukan Permata Senayan Jl. Tentara Pelajar, Kelurahan Grogol Utara,
Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan untuk mengembalikan sepeda motor
Yamaha Mio J warna putih hijau No.Pol B 3851 SGX kepada saksi Dwi Yulianto,
Para Terdakwa melihat saksi Adud Suryadi sedang berdiri didepan Rukan Permata
Senayan Jl. Tentara Pelajar, Kelurahan
Grogol Utara, Kecamatan
Kebayoran Lama, Jakarta Selatan
timbul niat dan rencana para
terdakwa untuk mengambil barang milik
saksi Adud Suryadi.
Untuk mewujudkan rencana tersebut Para Terdakwa memanggil
saksi Adud Suryadi dan menanyakan kepada saksi Adud Suryadi “kamu orang sini bukan ?” dijawab saksi Adud Suryadi
tidak tahu dan Terdakwa II Hendra Ginting turun dari motor bertanya kepada
saksi Adud Suryadi “tadi liat nggak ada
orang kena tusuk?” dijawab saksi Adud Suryadi
tidak tahu dan terjadi
pertengkaran mulut antara Para Terdakwa dengan saksi Adud Suryadi.
Kemudian Para Terdakwa menggeledah saksi Adud Suryadi,
Terdakwa I Anton Sembiring mengambil karter warna merah yang berada dikantong
celana yang dipakai oleh saksi Adud Suryadi dan karter tersebut ditodongkan ke
perut saksi Adud Suryadi. Sedangkan Terdakwa II Hendra Ginting mengambil dompet
yang disimpan dikantong celana bagian depan yang dipakai saksi Adud Suryadi
kemudian mengambil uang yang berada didompet sebesar Rp. 450.000,- (empat ratus
lima puluh ribu rupiah), untuk kemudian akan dibagi dua, sedangkan dompetnya
dibuang ke jalan.
Setelah itu, Saksi Adud Suryadi melakukan perlawanan dengan
memegang tangan Terdakwa I dan menghampiri
sepeda motor yang digunakan oleh Para
Terdakwa kemudian mengambil kunci kontaknya, setelah itu saksi Adud
Suryadi lari ke pos satpam dan dengan dibantu oleh satpam yang sedang bertugas
berhasil menangkap Para Terdakwa,
selanjutnya Para Terdakwa besertata barang bukti diserahkan ke Polsek Kebayoran Lama.
a.
Dakwaan
dan Tuntutan Jaksa/Penuntut Umum
Dakwaan Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan, mendakwa Para Terdakwa dengan dakwaan yang bersifat alternatif, yakni:
1)
Pertama: “Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 365 ayat (2) ke 2 KUHP.”
2)
Kedua: “Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 368 ayat (2) ke 2 KUHP.”
Sedangkan tuntutan Jaksa/Penuntut Umum berbunyi sebagai
berikut:
1)
Menyatakan Terdakwa I Anton Sembiring anak dari
J.S Pelawi Sembiring dan Terdakwa II Hendra Ginting anak dari Sudirman Ginting
telah bersalah melakukan tindak pidana ”Pencurian dengan kekerasan yang
dilakukan secara bersama-sama“ sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 365 ayat (2) ke 2 sebagaimana
dalam dakwaan Kesatu;
2)
Menjatuhkan pidana terhadap mereka terdakwa
terdakwa I Anton Sembiring anak dari
J.S. Pelawi Sembiring dan terdakwa II Hendra Ginting anak dari Sudirman Ginting
dengan pidana penjara masing-masing selama: 1 (satu) Tahun dikurangi selama para terdakwa menjalani masa
tahanan sementara dan perintah agar
terdakwa tetap ditahan.
3)
Menyatakan barang bukti berupa.:...”
b.
Putusan
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Pada amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor:
195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel, tanggal 13 Maret 2013 menyatakan bahwa:
M E N
G A D I L I
1)
Menghukum Terdakwa I ANTON SEMBIRING anak dari
JS PELAWI SEMBIRING dan Terdakwa II HENDRA GINTING anak dari SUDIRMAN GINTING
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pencurian
dengan kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama;
2)
Menjatuhkan pidana penjara selama 10 (sepuluh)
bulan dikurangi selama Terdakwa berada dalam masa tahanan sementara;
3)
Memerintahkan terdakwa tetap berada dalam
tahanan;
4)
Menetapkan barang bukti berupa:.....
5)
Membebankan biaya perkara kepada terdakwa
sebesar Rp.2.000,- (dua ribu rupiah).
2.
Analisis
Putusan
Untuk dapat dipidananya seseorang, tidak cukup apabila
orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum, melainkan
harus memenuhi syarat adanya kesalahan. Sudarto menyatakan bahwa:
“Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang
itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum. Jadi meskipun pembuatnya memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan (an
objective breach of a penal provision), namun hal tersebut belum memenuhi
syarat untuk menjatuhkan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat,
bahwa orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjective guild).”[28]
Dengan demikian, untuk dapat mempertanggungjawabkan Para Terdakwa pada kasus a quo, harus terpenuhi unsur kesalahan
diri pada Terdakwa. Kesalahan memiliki arti penting sebagai asas tak tertulis
dalam hukum positif Indonesia yang menyatakan “ tiada pidana tanpa kesalahan”.
Kesalahan bukan hanya menentukan “dapat
dipertanggungjawabkannya pembuat”, tetapi juga “dapat dipidananya pembuat”.
Makna kesalahan dalam dua hal diatas sangat berlainan. Sebagaimana yang
diuraikan oleh Chairul Huda, bahwa:
“Kesalahan yang menentukan dapat dipertanggungjawabkan
pembuat merupakan cara pandang yang yang melihat kebelakang. Dalam hal ini,
kesalahan pembuat pada masa lampau yang dipersoalkan. Artinya, apakah terhadap
seseorang dapat diterapkan sanksi pidana karena perbuatannya dimasa yang lalu.
Sementara itu, kesalahan yang menentukan dapat dipidananya pembuat merupakan
cara pandang yang bersifat kedepan. Dalam hal ini, masa depan pembuat yang
dipersoalkan, apakah yang sebaiknya dilakukan terhadap seseorang yang melakukan
tindak pidana dan bersalah kepadanya.[29]
Mengingat begitu pentingnya konsepsi tentang kesalahan dalam
konteks dapat dipidananya pembuat, sehingga dalam analisis putusan ini, Penulis
menggunakannya untuk menguji apakah putusan tersebut sudah sesuai atau tidak
berdasarkan konsepsi ini.
a.
Analisis
Mengenai Penentuan Unsur Tindak Pidana
Dalam hal penentuan unsur tindak pidana, Majelis Hakim pada
halaman 12 putusan a quo mempertimbangkan
bahwa:
Menimbang, bahwa terdakwa-terdakwa didakwa oleh Penuntut
Umum melanggar pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
1)
Barang siapa ;
2)
Mengambil barang milik orang lain;
3)
Dengan maksud memiliki secara melawan hukum.
Melihat konstruksi dalam pertimbangan untuk menentukan
unsur dari Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, Majelis Hakim a quo hanya mempertimbangkan unsur-unsur dari Pasal 362 KUHP
sebagai delik pencurian biasa. Padahal Jaksa Penuntut Umum mendakwa para Terdakwa
dengan dakwaan melanggar Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, namun unsur-unsurnya
tidak dipertimbangkan.
Majelis Hakim tidak memasukkan atau tidak mempertimbangkan
unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP yang merupakan pemberatan dari Pasal
362 KUHP yakni unsur “dengan kekerasan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
dengan bersekutu”. Dengan demikian, konstruksi pemikiran Majelis Hakim dalam
menentukan unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP merupakan konstruksi pemikiran
yang tidak tepat dan menyesatkan, dan akan menjadi preseden buruk bagi
putusan-putusan yang akan datang.
b.
Analisis
Mengenai Unsur “Barangsiapa”
Pada umumnya, rumusan suatu delik didalam undang-undang
dimulai dengan subyek (normadressaat)
atau pelaku delik yang dirumuskan itu. Sebagian besar memulai dengan
“Barangsiapa” (dalam bahasa Belanda: Hij
die...”).[30]
Begitu pula dalam delik pencurian, dimulai dengan subyek “Barangsiapa”.
Bahwa, kata-kata “Barangsiapa” dalam suatu rumusan tindak
pidana merupakan isyarat pembentuk undang-undang tentang siapakah yang dituju
dari norma (addressaat norm) suatu tindak pidana. Dengan
demikian tidak tepat apabila Majelis Hakim mendalilkan hal ini sekedar
berarti “siapa saja” yang didakwa melakukan tindak pidana. Hal ini
ternyata dari dari pertimbangannya bahwa: ”menimbang, bahwa yang dimaksud
barang siapa adalah siapa saja yang didakwa sebagai subyek atau pelaku dari
suatu perbuatan” (halaman 12).
Bahwa sekalipun demikian, karena telah dinyatakan sebagai
unsur tindak pidana maka sebagai konsekuensinya, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan harus dapat membuktikan Terdakwa I Anton Sembiring anak
dari JS Pelawi Sembiring dan Terdakwa II Hendra Ginting anak dari Sudirman
Ginting termasuk dalam pengertian tersebut. Oleh karenanya, majelis hakim dalam
pertimbangannya tersebut tidak sungguh-sungguh dalam mempertimbangkan dan
membuktikan unsur “Barangsiapa.”
c.
Analisis
Mengenai Unsur “Mengambil Barang Milik Orang Lain”
Dalam mempertimbangkan unsur “mengambil barang milik orang
lain,” Majelis Hakim menyatakan bahwa:
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi ADUD SURYADI
dan saksi ROHMAT BUDIYANTO saksi YUDI SUSANTO bin SUTARNO dan saksi RUDI
RESTIANDI, dan keterangan terdakwa maka
saling bersesuaian bahwa terdakwa tersebut dengan telah mengambil barang berupa
1 (satu) buah sepeda motor Yamaha Mio J warna putih hijau
No.Pol B-3851SGX dikembalikan
kepada saksi RUDI RESTIADI;”
Dari pertimbangan tersebut, majelis hakim tidak
sungguh-sungguh mempertimbangkan unsur ini. Majelis Hakim langsung
menyimpulkan, tanpa mempertimbangkan apa sebenarnya esensi dari mengambil
barang milik orang lain ini. Mengambil barang milik orang lain merupakan bentuk
“kesengajaan” yang harus dibuktikan oleh Majelis Hakim.
Dengan demikian, Majelis Hakim memandang kesalahan Para
Terdakwa telah terbentuk dengan sendirinya ketika semua unsur tindak pidana
telah terbukti. Dengan demikian, pendapat Majelis Hakim masih mengikuti teori
kesalahan psikologis, yaitu kesalahan terdeskripsi dari perbuatan yang melawan
hukum. Sehingga asas “tiada pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan” belum
menjadi dasar “dapat dipertanggungjawabkannya” para terdakwa dalam putusan a quo.
d.
Analisis
Mengenai Unsur “Dengan Maksud Memiliki Secara Melawan Hukum”
Mengenai unsur ini, Majelis Hakim hanya mengambil alaih
pertimbangan mengenai unsur “mengambil barang milik orang lain” sebagaimana
nyata dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa: “menimbang, bahwa
berdasarkan pertimbangan tersebut
diatas maka unsur kedua
mengambil barang milik orang lain telah
terpenuhi; menimbang, berdasarkan perkembangan
tersebut diatas maka
unsur ketiga dengan maksud memiliki secara melawan hukum telah
terpenuhi.”
Pertimbangan seperti ini merupakan pertimbangan yang
keliru. Dikatakan demikian, karena Majelis Hakim tidak mempertimbangkan bentuk
melawan hukum dari perbuatan para terdakwa mengambil barang milik orang lain.
Pemaknaan terhadap unsur “secara melawan
hukum”, Majelis Hakim tidak memperhatikan dengan baik perkembangan
asas-asas hukum pidana Indonesia, yang diantaranya menghendaki pembatasan
penggunaan ajaran melawan hukum materil hanya dalam fungsinya yang negatif, dan
tidak menggunakan ajaran tersebut dalam fungsinya yang positif karena lebih
membawa kepada ketidakpastian hukum daripada keadilan.
Oleh karena itu, pertimbangan Majelis Hakim yang hanya
mengambil alih pertimbangan pada unsur sebelumnya, merupakan suatu pertimbangan
yang dapat menjadi preseden buruk bagi putusan-putusan selanjutnya. Sehingga,
pertimbangan yang demikian merupakan pertimbangan yang keliru dan menunjukkan
Majelis Hakim telah salah dalam menerapkan hukum.
e.
Analisis
Mengenai Unsur “Dilakukan Oleh Dua Orang atau Lebih dengan Bersekutu”
Bahwa unsur terpenting dari Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP
adalah unsur “dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu” yang
merupakan suatu bentuk pengkhususan dari Pasal 362 KUHP. Dengan kata lain,
Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP merupakan pemberatan ancaman hukuman dari Pasal
362 KUHP.
Dengan digunakannya kata geepleegd (dilakukan), bukan kata begaan (diadakan) dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, maka Pasal
ini hanya berlaku apabila ada dua orang atau lebih yang masuk istilah medeplegen (turut melakukan) dari Pasal
55 ayat (1) nomor 1 KUHP dan memenuhi syarat bekerja sama.[31]
Bahwa dalam putusan a
quo, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan unsur ini, yang merupakan
pemberatan dari Pasal 362 KUHP. Sebagaimana terlihat dalam putusan a quo, Majelis Hakim hanya
mempertimbangkan unsur dari Pasal 362 KUHP saja. Sehingga tidak mungkin
menyatakan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “pencurian dengan kekerasan” jika majelis hakim tidak
mempertimbangkan dan tidak membuktikan unsur “dilakukan oleh dua orang atau
lebih dengan bersekutu.”
Demikian juga, para terdakwa tidak dapat dihukum
berdasarkan pasal ini, jika tidak dipertimbangkan unsur “dilakukan oleh dua
orang atau lebih dengan bersekutu” oleh majelis hakim. Dalam putusan a quo, Majelis Hakim dalam
mempertimbangkan semua unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP hanya
berdasarkan asusmsi dan dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Majelis Hakim tidak
menerapkan hukum pembuktian dengan semestinya. Sehingga, jelas putusan ini
merupakan putusan yang keliru dan Majelis Hakim tidak mempertimbangkan
asas-asas keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum.
F.
KESIMPULAN
Berdasarkan
permasalahan yang menjadi perhatian dalam penelitian yang telah diuraikan dalam
bab-bab sebelumnya, maka dengan mencermati putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan Nomor: 195/Pid/B/2013/PN.Jkt.Sel, tanggal 13 Maret 2013, Penulis berkesimpulan sebagai
berikut:
1.
Penyertaan dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP
merupakan unsur yang penting dan merupakan unsur pemberat pidana terhadap
tindak pidana pencurian dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Bentuk ajaran
penyertaan dalam Pasal ini adalah medeplegen
(turut melakukan). Dengan digunakannya kata geepleegd (dilakukan), bukan kata begaan (diadakan) dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, maka Pasal
ini hanya berlaku apabila ada dua orang atau lebih yang masuk istilah medeplegen (turut melakukan) dari Pasal
55 ayat (1) nomor 1 KUHP dan memenuhi syarat bekerja sama.
2.
Dalam pertimbangan Majelis Hakim khususnya
mengenai unsur-unsur Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP, menunjukkan terjadinya
kekeliruan hakim dalam menilai dan mempertimbangkan unsur-unsur tersebut.
Majelis Hakim hanya mengambil alih dakwaan Jaksa Penentut Umum yang kemudian
digunakan untuk menilai unsur-unsur dalam Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHP. Mejelis
Hakim tidak mempertimbangkan lebih jauh dalam menilai dan membuktikan
unsur-unsur pasal yang didakwakan dan dituntut oleh JPU. Dengan kata lain,
Majelis Hakim tidak menerapkan hukum acara pidana dan hukum pembuktian di
sidang pengadilan secara maksimal; Majelis Hakim juga mengabaikan asas-asas
keadilan, kepastian, dan kemanfaatn hukum; serta putusan tersebut merupakan
putusan yang keliru.
G.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Z. Abidin dan Andi Hamzah, 2010, Pengantar Dalam Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: PT. Yarsif
Watampone.
Adami Chazawi, 2011, Percobaan Dan Penyertaan, Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada.
Amir Ilyas, et.al, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana II, Yogyakarta:
Rangkang Education Yogyakarta & PuKAPIndonesia.
Andi Hamzah, 2015, Delik-Delik
Tertentu (Speciale Delicten) Didalam KUHP, Edisi Kedua, Cet. Ke-1, Jakarta:
Sinar Grafika.
Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, 2006, Bentuk-Bentuk
Khusus Perwujudan Delik dan Hukum Penitensier, Jakarta: PT.RajaGrafindo
Persada.
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutantak, dan Markus Y. Hage,
2013, Teori Hukum; Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Cetakan ke-IV, Yogyakarta: Genta
Publishing.
Chairul Huda, 2006, Dari
Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana, Jakarta: Prenadamedia Group.
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum
Pidana Di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika.
Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia, Bandung:
Refika Aditama.
Leden Marpaung, 2012, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cet. Ke-VII,
Jakarta: Sinar Grafika.
P.A.F. Lamintang, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan
Melanggar Norma Kesusilaan dan Norma Kepatutan, Jakarta: Sinar Grafika.
___________________ dan C. Djisman Samosir, 1979, Delik-Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan
Terhadap Hak Milik Dan Lain-Lain Hak Yang Timbul Dari Hak Milik, Bandung:
Tarsito.
Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, Cet.Ke-VI, Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti.
Simons, 2005, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sudarto, 1983, Hukum
Dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru.
Sudikno Mertokusumo, 1991, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Yogyakarta:
Liberty.
Wirjono Prodjodikoro, 2003,
Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama.
___________________, 2010, Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Cet. Ke-III, (Jakarta:
PT. Refika Aditama.
[1]
A. Z. Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar
Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010), hlm.
1.
[2]
Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum
Pidana, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 2.
[3]
Ibid, hlm. 2-3.
[4]
Simons, Leerboek van het Nederlandse Strafrecht II, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2005), hlm. 106.
[5]
P.A.F. Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Melanggar Norma Kesusilaan dan
Norma Kepatutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm. 130.
[6]
Andi Hamzah, Delik-Delik Tertentu
(Speciale Delicten) Didalam KUHP, Edisi Kedua, Cet. Ke-1, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015), hlm. 92.
[7]
P.A.F Lamintang dan C. Djisman Samosir, Delik
Delik Khusus Kejahatan Yang Ditujukan Terhadap Hak Milik Dan Lain Lain Hak Yang
Timbul Dari Hak Milik, (Bandung: Nuansa Aulia, 2010), hlm 15.
[8]
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjutantak, dan Markus Y. Hage, Teori Hukum ; Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Cetakan ke-IV, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2013),
hlm. 118.
[9]
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, (Yogyakarta
: Liberty, 1991), hlm. 145.
[11]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Cet.Ke-VI,( Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 159.
[12]
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit, hlm. 146.
[13]
Andi Hamzah, Op. Cit, hlm. 9.
[14]
Adami Chazawi, Percobaan Dan Penyertaan, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 80-82.
[15]
Ibid, hlm. 85.
[16]
Amir Ilyas, et.al, Asas-Asas Hukum Pidana II, (Yogyakarta: Rangkang Education Yogyakarta &
PuKAPIndonesia, 2012), hlm. 60.
[17]
Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Bentuk-Bentuk Khusus Perwujudan Delik
dan Hukum Penitensier, (Jakarta:
PT.Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 178.
[18]
E.Y. Kanter dan S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia dan
Penerapannya, (Jakarta: Storia
Grafika, 2002), hlm.
[19]
Wirjono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2003), hlm. 118.
[20]
Amir Ilyas, et.al, Op. Cit, hlm.
69-70.
[21]
Adami Chazawi, Op.Cit, hlm. 112.
[22]
Ibid.
[23]
Ibid.
[24]
Andi Zainal Abidin dan Andi Hamzah, Op.
Cit, hlm. 224.
[25]
M.H Tirtaatmadja dalam Laden Marpaung, Asas Teori Praktek Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.
83.
[26]
Leden Marpaung, Ibid.
[27]
Ibid.
[28]
Sudarto, Hukum Dan Perkembangan
Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru 1983), hlm. 85.
[29]
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan;
Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2006), hlm. 130.
[30]
A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Loc. Cit, hlm.
121.
[31]
Wirjono Prodjodikoro, Loc. Cit, hlm. 23.