ANOTASI
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI
JAKARTA UTARA
Nomor:
1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr, tanggal 9 Mei 2017
Dalam Perkara Tindak Pidana Penodaan
Agama atas nama Terdakwa: Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok
Oleh:
Roli Pebrianto, S.H
I. PENGANTAR
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor: 1537/Pid.B/ 2016/PN.Jkt.Utr
adalah putusan yang telah dikeluarkan terhadap tindak pidana penodaan
(penistaan) agama yang didakwakan terhadap Gubernur DKI Jakarta Ir. Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok. Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana sebagaimana diatur
dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a atau Pasal 156 KUHP. Kemudian, oleh
Jaksa Penuntut Umum (selanjutnya disingkat JPU) Terdakwa dituntut dengan Pasal
156 KUHP dan oleh Pengadilan Terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan
meyakinkan melakukan tindak pidana Penodaan
Agama sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a KUHP dan
menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa dengan pidana penjara selama 2 (dua)
tahun.
Kontroversi sehubungan dengan adanya perkara
ini, ternyata menurut sejumlah kalangan juga terlihat dalam putusan
tersebut, termasuk juga pro kontra yang terjadi dikalangan ahli yang diajukan
oleh Jaksa JPU dan Terdakwa atau Kuasanya. Oleh karena itu, untuk mendapatkan
gambaran yang lebih jernih mengenai hal ini dan mengingat begitu strategisnya
kasus ini, mendorong Anator untuk melakukan legal annotation sebagai
berikut.
II. KASUS
POSISI
Pada tanggal 27 September 2016 Gubernur DKI
Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias
Ahok melakukan kunjungan kerja ke Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pulau
Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Selatan, Kabupaten
Administrasi Kepuluan Seribu, Propinsi DKI Jakarta dalam rangka panen ikan
kerapu. Pada saat melakukan kunjungan tersebut, Terdakwa telah terdaftar
sebagai salah satu calon Gubernur DKI
Jakarta yang pemilihannya akan dilakukan pada Februari 2017.
Kunjungan tersebut tidak ada kaitannya
dengan agenda politik atau agenda kampanye, namun ketika Terdakwa memberikan
sambutannya dengan sengaja memasukkan kalimat yang berkaitan dengan agenda
pemilihan Gubernur dengan mengaitkan Surat Al-Maaidah ayat 51, yang antara lain
menatakan sebagai berikut:
....pasti Ahok programnya bubar, engga........saya sampai
Oktober 2017, jadi
jangan
percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan dibohongi pakai
surat Al-Maidah 51, macem-macem itu, itu hak bapak ibu yah jadi kalo bapak ibu perasaan gak bisa
kepilih nih karena
saya
takut masuk neraka karna dibodohin gitu ya enga papa....
Dengan perkataan Terdakwa tersebut seolah-olah Surat
Al-Maaidah ayat 51 telah dipergunakan oleh orang lain untuk membohongi dan
membodohi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah, sehingga dipandang sebagai
penodaan terhadap Al-Qur’an sebagai kitab suci Umat Islam serta sejalan dengan
Pendapat dan Sikap Keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 11 Oktober
2016 pada angka 4 yang menyatakan bahwa kandungan Surat Al-Maaidah ayat 51 yang
berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah
kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap Al-Qur’an. Pada angka
5 Pendapat dan Sikap Keagamaan MUI menyatakan bahwa “yang menyatakan bohong
terhadap ulama yang menyampaikan dalil Surat Al-Maaidah ayat 51 tentang
larangan non muslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat
Islam.”
III. TENTANG
DAKWAAN DAN TUNTUTAN JAKSA PENUNTUT UMUM
Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam perkara ini
mendakwa Terdakwa dengan dakwaan alternatif, yakni:
Pertama:
Perbuatan Terdakwa
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156a huruf a KUHP;
atau
Kedua:
Perbuatan Terdakwa sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 156 KUHP.
Adapun tuntutan JPU yang pada pokoknya
menuntut supaya Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara yang memeriksa
dan mengadili perkara ini memutuskan:
1. Menyatakan,
Terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok terbukti bersalah melakukan tindak pidana di muka umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu
golongan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP dalam dakwaan
alternatif kedua;
2. Menjatuhkan
pidana terhadap Terdakawa Ir. Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dengan masa percobaan 2 (dua) tahun;
3. Menyatakan:
a. Barang
bukti nomor satu sampai dengan 11 dan nomor 13, tetap terlampir dan menjadi
bagian yang tak terpisahkan dalam berkas perkara.
b. Barang
bukti nomor 12 dan nomor 14 dikembalikan kepada penasihat hukum Terdakwa;
4. Menetapkan
supaya Terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp. 10.000,- (sepuluh ribu
rupiah).
IV. FAKTA-FAKTA
HUKUM
a. Hari Selasa tanggal 27
September 2016 sekira pukul 08.30 WIB, Terdakwa selaku Gubernur DKI Jakarta
periode tahun 2014-2017, mengadakan kunjungan kerja di Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) Pulau Pramuka, Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Pulau Seribu Selatan
Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta, dalam program
kerjasama Pemprov DKI Jakarta dengan Sekolah Tinggi Perikanan (STP);
b. Kemudian Terdakwa
berpidato menyampaikan sambutannya di hadapan para nelayan, masyarakat serta
aparat setempat kira-kira berjumlah 100 orang lebih. Materi pidato yang
disampaikan Terdakwa antara lain tentang program budidaya ikan Kerapu. Selain
itu Terdakwa juga mengucapkan:
“...jadi saya ingin cerita ini supaya
bapak ibu semangat, jadi ga usah pikiran ah nanti kalau ga kepilih, pasti Ahok
programnya bubar, engga saya sampai Oktober 2017, jadi jangan percaya sama
orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan
dibohongi pakai surat Al Maidah 51 macem-macem itu, itu hak bapak ibu, yah,
jadi kalo bapak ibu perasaan gak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka
dibodohin gitu ya, nggak papa, karna inikan panggilan pribadi bapak ibu,
program ini jalan saja, jadi bapak ibu nggak usah merasa gak enak, dalam
nuraninya ga bisa milih Ahok, gak suka sama Ahok nih, tapi programnya gua kalo
terima ngga enak dong jadi utang budi jangan bapak ibu punya perasaan ngga enak
nanti mati pelan-pelan loh kena stroke”;
c. Kegiatan Terdakwa
tersebut telah diliput dan direkam oleh Diskominfomas Provinsi DKI Jakarta.
Kemudian pada tanggal 28 September 2016 Diskominfomas Provinsi DKI Jakarta
mempublikasikan kegiatan Terdakwa tersebut dengan cara mengunggah rekaman video
kegiatan Terdakwa tersebut dengan berdurasi 1 jam 48 menit ke akun youtube
Pemprov DKI Jakarta, sehingga dapat diakses oleh masyarakat secara luas;
d. Bahwa pada rekaman video
tersebut sekira menit ke 24:00 sampai dengan menit ke 25:00, Terdakwa
mengucapkan kata-kata:
“...jadi saya ingin cerita ini supaya
bapak ibu semangat, jadi ga usah pikiran ah nanti kalau ga ke pilih, pasti Ahok
programnya bubar, engga saya sampai Oktober 2017, jadi jangan percaya sama
orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan
dibohongi pakai surat Al Maidah 51 macem-macem itu, itu hak bapak ibu, yah,
jadi kalo bapak ibu perasaan gak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka
dibodohin gitu ya, nggak papa, karna inikan panggilan pribadi bapak ibu,
program ini jalan saja, jadi bapak ibu nggak usah merasa gak enak, dalam
nuraninya ga bisa milih Ahok, gak suka sama Ahok nih, tapi programnya gua kalo
terima ngga enak dong jadi utang budi jangan bapak ibu punya perasaan ngga enak
nanti mati pelan-pelan loh kena stroke”;
e. Berdasarkan
Berita Acara Pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik Barang Bukti No.LAB.:
4138/FKF/2016, No.LAB.: 4182/FKF/2016, No.LAB.: 4233/FKF/2016, dari BARESKRIM
POLRI-PUSAT LABORATORIUM FORENSIK tertanggal 22
November 2016 disimpulkan pada rentang frame-frame tersebut adalah bersifat
wajar dan kontinyu yang saling bersesuaian dengan momen di tiap-tiap frame,
dalam arti pada rentang frame-frame tersebut tidak ditemukan adanya penyisipan
maupun pemotongan frame;
f. Sebelumnya, pada tahun 2007 di Provinsi Bangka Belitung, Terdakwa
bersama Dr. EKO CAHYONO, M.,Eng, mengikuti Pilkada Bangka Belitung sebagai
Calon Gubernur dan calon Wakil Gubernur Provinsi Bangka Belitung. Pada masa
kampanye, banyak anjuran terkait Surat Al Maidah 51 baik pada saat Sholat Jumat
maupun dengan media tulisan berupa selebaran-selebaran yang beredar antara lain
selebaran yang berjudul “PERINGATAN UNTUK UMAT ISLAM 18 Februari 2007” yang
pada pokoknya berisi larangan memilih pemimpin yang tidak seagama atau seiman
dengan mengacu kepada Al-Quran Surat Al Maidah 51;
g. Pada tanggal 18 Agustus 2008, Terdakwa telah membuat sebuah buku
yang berjudul “MERUBAH INDONESIA (The
Story Of Basuki Tjahaja Purnama)”, pada halaman 40 buku tersebut, Terdakwa
menulis : “Selama karir politik
saya dari mendaftarkan diri menjadi anggota partai baru, menjadi ketua cabang,
melakukan verifikasi, sampai mengikuti Pemilu, kampanye pemilihan Bupati,
bahkan sampai Gubernur, ada ayat yang sama yang saya begitu kenal digunakan
untuk memecah belah rakyat, dengan tujuan memuluskan jalan meraih puncak
kekuasaan oleh oknum yang kerasukan “roh kolonialisme”. Ayat ini sengaja
disebarkan oleh oknum-oknum elit, karena tidak bisa bersaing dengan visi misi
program, dan integritas pribadinya. Mereka berusaha berlindung dibalik
ayat-ayat suci itu, agar rakyat dengan konsep “seiman” memilihnya. Dari oknum
elit yang berlindung dibalik ayat suci agama Islam, mereka menggunakan surat Al
Maidah 51. Isinya, melarang rakyat, menjadikan kaum Nasrani dan Yahudi menjadi
pemimpin mereka, dengan tambahan, jangan pernah memilih kafir menjadi pemimpin.
Intinya, mereka mengajak agar memilih pemimpin dari kaum yang seiman. Padahal,
setelah saya tanyakan kepada teman-teman, ternyata ayat ini diturunkan pada
saat adanya orang-orang muslim yang ingin membunuh Nabi besar Muhammad, dengan
cara membuat koalisi dengan kelompok Nasrani dan Yahudi di tempat itu. Jadi,
jelas, bukan dalam rangka memilih kepala pemerintahan, karena di NKRI, kepala
pemerintahan, bukanlah kepala agama/Imam kepala. Bagaimana dengan oknum elit
yang berlindung, dibalik ayat suci agama Kristen? Mereka menggunakan ayat di
surat Galatia 6:10. Isinya, selama kita masih ada kesempatan, marilah kita
berbuat baik kepada semua orang, tetapi terutama kepadakawan-kawan kita seiman”;
h. Pada tahun 2015 ketika melakukan briefing di Balaikota Jakarta, Terdakwa
mengatakan tentang pembangunan suatu masjid dengan halamanyang luas dan
dilengkapi suatu wifi, karena saat itu teringat pernah ada demoyang menolak
dipimpin oleh gubernur kafir, maka dengan maksud meledek parapendemo, Terdakwa
mengatakan akan memasang wifi dengan nama “Al Maidah 51” dan dengan password
“kafir”;
i. Pada
tanggal 21 September 2016, Terdakwa telah terdaftar sebagai bakal calon
Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 berpasangan dengan Drs. H. DJAROT
SYAIFUL HIDAYAT, M.Si selaku bakal calon Wakil Gubernur DKI Jakarta di Komisi
Pemilihan Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta;
j. Pada
tanggal Tgl 21 September 2016, di kantor DPP NASDEM, padasaat deklarasi
pencalonan Terdakwa sebagai calon Gubernur DKI Jakartaperiode 2017-2022,
memberikan sambutan yang pada pokoknya antara lainTerdakwa meminta lawan
politiknya untuk tidak menggunakan Surat Al Madiah51 dalam berkompetisi;
k. Bahwa Al Qur‟an Surat Al Maidah ayat 51 mempunyai terjemahan “Hai
orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan Nasrani
menjadi “auliya‟ bagimu sebagian mereka adalah “auliya‟ bagi
sebagian yang lain, barang siapa diantara kamu mengambil mereka sebagai “auliya‟
maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesunguhnya Allah tidak
memberikan petunjuk kepada orang-orang yang dzalim”, dimana lafadz atau
kata “auliya‟ dalam Surat Al Maidah ayat 51 tersebut memiliki makna
lebih dari satu (jamak), kata “auliya” diterjemahkan sebagai “wali”,
“pemimpin”, “teman setia”, “orang yang dekat”, “orang kepercayaan”,
“pelindung”, “penolong” dan “pengurus”;
l. Pada
tanggal 9 Oktober 2016 Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, mengeluarkan
surat teguran kepada Terdakwa yang isinya:
1. Tidak melakukan perbuatan dan pernyataan atau komentar yang dapat
meresahkan kehidupan masyarakat DKI Jakarta Umumnya, dan kaum muslimin
khususnya;
2. Tidak masuk ke area perbincangan yang bukan menjadi kewenangan
tugasnya, seperti pernyataan yang dikategorikan penghinaan dan hasutan serta
penyebaran kebencian dikalanganumat Islam khususnya, dan warga DKI Jakarta
umumnya;
3. Tidak
lagi melakukan tindakan atau menyampaikan perkataan yang dianggap meremehkan
umat Islam dan para Ulamanya, seperti menyatakan bahwa umat Islam dibohongi
dengan Al Qur‟an Surat Al Maidah ayat 51. Para Ulama atau pendakwah telah
menyampaikan apa yang digariskan oleh Al Qur‟an yang tafsirnya disepakati oleh
mayoritas ulama, sehingga tidak dapat dipandang sebagai pembohongan atau
pembodohan serta bukan bentuk politisasi ayat, tetapi bagian dari tugas para
ulama untuk menyampaikan kebenaran Al Qur’an;
4. Menarik
perkataannya yang menganggap bahwa musabaqoh tilawatil Qur‟an (MTQ) sebagai
pelecehan yang dilakukan umat Islam;
5. Agar
saudara Gubernur lebih fokus kepada tugas utama yang di embannya untuk memajukan
kota DKI Jakarta, dan meningkatankesejahteraan warga DKI Jakarta, jasmaniah
maupun rohaniahnya.
m. Kemudian pada tanggal
11 Oktober 2016 Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Pendapat dan Sikap
Keagamaan Majelis Ulama Indonesia nomor : Kep-981-a/MUI/X/2016 yang berbunyi:
“Sehubungan dengan pernyataan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Basuki Tjahaja
Purnama di Kepulaan Seribu pada hari Selasa, tanggal 27 September 2016 yang
antara lain menyatakan, “…Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa saja dalam
hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih
saya, ya kan dibohongi pakai surat al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak bapak
ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih karena saya takut neraka,
dibodohin gitu ya..,” yang telah meresahkan masyarakat, maka Majelis Ulama
Indonesia, setelah melakukan pengkajian, menyampaikan sikap keagamaan sebagai
berikut:
- Kesatu, Al-Quran surah Al Maidah ayat
51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai
pemimpin. Ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non Muslim
sebagai pemimpin.
- Kedua, Ulama wajib menyampaikan isi
surah Al Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin muslim adalah
wajib.
- Ketiga, Setiap orang Islam wajib
meyakini kebenaran isi surah Al Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih
pemimpin.
- Keempat, Menyatakan bahwa kandungan
surah Al Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani
sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan
terhadap Al-Quran.
- Kelima, Menyatakan bohong terhadap
ulama yang menyampaikan dalil Surah al Maidah ayat 51 tentang larangan
menjadikan non muslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan
umat Islam. Berdasarkan hal di atas, maka pernyataan Basuki Tjahaja Purnama
diketagorikan (1) menghina Al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki
konsekuensi hukum. Untuk itu Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan:
1.
Pemerintah dan masyarakat wajib menjaga
harmoni kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
2.
Pemerintah wajib mencegah setiap
penodaan dan penistaan Al-Quran dan agama Islam dengan tidak melakukan
pembiaran atas perbuatan itu;
3.
Aparat penegak hukum wajib menindak
tegas setiap orang yang melakukan penodaan dan penistaan Al-Quran dan ajaran
agamaIslam serta penghinaan terhadap ulama dan umat Islam sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
4.
Aparat penegak hukum diminta proaktif
melakukan penegakan hukum secara tegas, cepat, proporsional dan professional
dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat, agar masyarakat memiliki kepercayaan
terhadap penegakan hukum;
5.
Masyarakat diminta untuk tetap tenang
dan tidak melakukan aksi main hakim sendiri serta menyerahkan penanganannya
kepada aparat penegak hukum, disamping tetap mengawasi aktivitas penistaan
agama dan melaporkan kepada yang berwenang;
V. TENTANG
PENENTUAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
Dalam
pertimbangannya pada halaman 592-593 putusan a quo, Majelis Hakim dengan memperhatikan fakta-fakta persidangan
langsung memilih dakwaan alternatif pertama untuk dipertimbangkan:
“Menimbang, bahwa Terdakwa diajukan ke persidangan oleh
Penuntut Umum dengan dakwaan yang disusun sebagai berikut:
PERTAMA: Melanggar Pasal 156 a hurf a KUHP;
ATAU
KEDUA: Melanggar Pasal 156 KUHP.
Menimbang, bahwa Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut
Umum dengan dakwaan yang berbentuk alternatif, sehingga Pengadilan dengan
memperhatikan fakta-fakta hukum diatas memilih langsung dakwaan alternatif
Pertama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 a huruf a KUHP yang rumusannya
adalah sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima
tahun baang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau
melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan,
atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Menimbang, bahwa dari rumusan delik tersebut, maka
Pasal 156 a huruf a KUHP unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:
a.
Barang siapa;
b.
Dengan sengaja;
c.
Dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.”
VI. PUTUSAN
HAKIM
Dalam putusan ini, unsur “dimuka umum
mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat
permusuahan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di
Indonesia” menurut Majelis Hakim dinyatakan terbukti. Oleh karena itu, tindak
pidana yang didakwakan kepada Terdakwa tebukti secara sah dan meyakinkan. Berdasarkan
hal itu, dalam Amar Putusan Pengadilan Negeri Jakarta
Utara Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr, yang diucapkan pada hari Selasa Tanggal
9 Mei 2017, berbunyi:
M E N G A D I L I:
- Menyatakan Terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama alias AHOK terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana Penodaan Agama;
- Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena
itu dengan dengan pidana penjara selama 2 (dua) Tahun;
- Memerintahkan agar Terdakwa ditahan.
VII. ANALISIS
A. Analisis Terhadap Surat Dakwaan dan
Tuntutan JPU
Bahwa JPU menyusun dakwaan secara
alternatif, yakni dakwaan alternatif pertama dan dakwaan alternatif kedua. Pada
dakwaan alternatif pertama, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana
sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156 a huruf a KUHP.
Sedangkan dakwaan alternatif kedua, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana
sebagaimana yang diatur dan diancam pidana dalam Pasal 156 KUHP.
Pasal 156 a huruf a KUHP berbunyi:
“Dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun barangsiapa dengan
sengaja dimuka umum mengeluakan perasaan atau melakukan pebuatan yang pada
pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu
agama yang dianut di Indonesia”. Adapun unsur-unsurnya ialah:
1.
Barangsiapa;
2.
Sengaja; dan
3.
Dimuka umum mengeluakan perasaan atau melakukan
pebuatan: yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan
terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Sedangkan Pasal 156 KUHP berbunyi:
“Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau
merendahkan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Adapun unsur-unsurnya ialah:
1.
Barangsiapa;
2.
Di muka umum;
3.
Menyatakan perasaan permusuhan, kebencian, atau
merendahkan; dan
4.
Terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat
Indonesia.
Kemudian, tuntutan pidana (requisitor) dari JPU berbunyi:
1. Menyatakan,
Terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama
alias Ahok terbukti bersalah melakukan tindak pidana di muka umum
menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap satu
golongan di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 156 KUHP dalam dakwaan
alternatif kedua;
2. Menjatuhkan
pidana terhadap Terdakawa Ir. Basuki
Tjahaja Purnama alias Ahok dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dengan masa percobaan 2 (dua) tahun;
Melihat dakwaan dan tututan a quo, menurut Anator JPU berupaya menggiring perkara dari
penodaan agama menjadi hanya ujaran kebencian melalui Pasal 156 tersebut. Dalam hal ini, tuntutan JPU menyangkut tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 156 KUHP dan bukan tindak pidana sebagaimana dimaskud dalam Pasal
156a huruf a KUHP.
Kemudian, mengenai tuntutan JPU dalam perkara a quo menurut Anator keliru secara yuridis. Hal ini dikarenakan dalam Pasal 14c KUHP yang dapat
menjatuhkan pidana bersyarat (hukuman
percobaan) adalah kewenangan hakim dan bukan kewenangan jaksa. Jadi seharusnya JPU tidak boleh menuntut percobaan.
Sedangkan JPU menyatakan Terdakwa terbukti melanggar Dakwaan Kedua yaitu Pasal
156 KUHP dengan tuntutan pidana penjara selama satu tahun dengan masa percobaan selama dua tahun. Pasal 14c KUHP berbunyi:
(1) Dengan
perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain
menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana,
hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana, hakim dapat
menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih
pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Apabila
hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana kurungan
atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506, dan
536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku
terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari
masa percobaan.
(3) Syarat-syarat
tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau kemerdekaan
berpolitik terpidana.
B. Analisis Mengenai Kedudukan Saksi Pelapor
Mengenai keterangan para saksi
pelapor, Penasehat Hukum
Terdakwa menolak keterangan para saksi pelapor a quo dikarenakan
saksi-saksi tersebut tidak melihat secara langsung di lokasi kejadian, tetapi hanya mendengar dari
orang lain, sehingga keterangannya merupakan testimonium de auditu yang tidak mempunyai nilai pembuktian sebagai
seorang saksi.
Kemudian mengenai nilai keterangan
saksi de auditu, Andi Hamzah menyatakan bahwa: “kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula
dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula
untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, dimana keterangan seorang
saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya, maka
kesaksian de auditu atau hearsay efidence, patut tidak dipakai di
Indonesia pula.”[1]
Selanjutnya, jika dikaitkan dengan
perkara a quo, yang menjadi
pertanyaan adalah apakah keterangan para saksi pelapor yang mendapat informasi
mengenai dugaan penodaan agama yang dilakukan oleh Terdakwa di Kepulauan Seribu
melalui grup Whatsapp, Facebook, TV, serta media-media lainnya dapat
dikategorikan sebagai keterangan saksi de
auditu ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Anator mengutip pendapat Pengadilan pada halaman 600-601:
“Menimbang,
bahwa sebagaimana diuraikan dalam keterangan para saksi pelapor di atas, memang
awalnya para saksi mendapatkan informasi dari orang lain tentang adanya dugaan
penodaan agama yang dilakukan oleh Terdakwa saat melakukan kunjungan ke
Kepulauan Seribu, yaitu ada yang mendapat informasi itu melalui grup WA
(WhatsApp), ada yang memperoleh informasi melalui Facebook, ada yang memperoleh
informasi melalui pemberitaan di Televisi, ada yang memperoleh informasi dari
jamaah masjid, dan ada yang memperoleh informasi dari cerita teman, akan tetapi
tidak hanya berdasar atas informasi yang diperoleh itu para saksi melaporkan ke
Kepolisian, melainkan para saksi berusaha untuk mencari tahu kebenarannya
melalui media sosial Youtube, dan setelah para saksi melihat di Youtube memang
ada video yang berisi tentang kunjungan Terdakwa di Kepulauan Seribu yang
diunggah oleh Pemprov DKI, maka para saksi mengunduh video tersebut dari
Youtube, kemudian berdasar atas apa yang dilihat di video Youtube tersebut para
saksi melaporkan kepada Kepolisian dengan menyerahkan video hasil unduhan dari
Youtube tersebut sebagai barang bukti, dan dari beberapa barang bukti video
yang diserahkan oleh para saksi tersebut setelah dilakukan pemeriksaan secara
laboratories kriminalistik di Puslabfor Mabes Polri, ternyata tidak ditemukan
adanya penyisipan ataupun pengurangan frame. Hal ini menunjukkan bahwa bagian
yang ada pada video hasil unduhan tersebut sesuai dengan video yang versi resmi
yang diperoleh Polisi dari Diskominfo Pemprov DKI, dan setelah barang bukti
video tersebut diputar di persidangan, ternyata video tersebut juga dibenarkan
oleh Terdakwa bahwa video itu adalah video kunjungan Terdakwa di Pulau Pramuka
Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016. Dengan demikian keterangan
para saksi pelapor tersebut menurut Pengadilan bukanlah merupakan kesaksian de auditu seperti yang dimaksud oleh
Penasehat Hukum;”
Dengan kata lain, kedudukan saksi
pelapor dalam perkara a quo bukan
sebagai testimonium de auditu, karena
bagaimanapun hasil rekaman video yang kemudian diunggah ke Youtube dapat
diakses oleh publik, sehingga dapat dikategorikan sebagai unsur “dimuka umum”,
dan siapapun yang melihat atau mengaksesnya dapat dikatakan sebagai saksi. Lagi
pula, Pendapat Pengadilan
mengenai kesaksian para saksi pelapor tersebut sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010
tanggal 8 Agustus 2011 yang amarnya berbunyi:
“Menyatakan
Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal 65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); serta
Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang pengertian saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan angka 27; Pasal
65; Pasal 116 ayat (3) dan ayat (4); Pasal 184 ayat (1) huruf a Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 dan Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3209), tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan,
penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”
Dengan demikian arti penting saksi bukan terletak pada apakah dia
melihat, mendengar, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana, melainkan
pada relevansi kesaksiannya dengan perkara pidana yang sedang diproses.
C. Analisis Mengenai Penahanan
Bahwa semenjak dilakukan Penyelidikan
dan Penyidikan sampai ditetapkan sebagai Tersangka, Terdakwa tidak ditahan oleh
Penyidik. Meskipun memang tidak ada ketentuan yang menyatakan bahwa setiap
tersangka pasti ditahan. Berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KUHAP, perintah
penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan
tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dilakukan dalam hal:
1)
Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka akan melarikan diri;
2)
Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka akan merusak atau menghilangkan barang bukti; dan
3)
Adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran
bahwa tersangka akan mengulangi tindak pidana.
Ketiga hal diatas disebut sebagai alasan subjektif. Sedangkan alasan objektif diatur dalam Pasal 21
ayat (4) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan
terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau
percobaan maupun pembenian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
1)
tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara
lima tahun atau lebih;
2)
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
282 ayat (3), Pasal 296, Pasal
335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378,
Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal
506 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran terhadap
ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang
Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara
Tahun 1955 Nomor 8), Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47,
dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran
Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran Negara Nomor 3086).”
Kemudian, jika dikaitkan dengan
perkara a quo, Terdakwa dapat ditahan
jika merujuk paada ketentuan Pasal 21 ayat (4) mengenai tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Mengingat dakwaan JPU
adalah Pasal 156a huruf a dan Pasal 156 KUHP, dimana Pasal 156a huruf a KUHP
ancaman hukumannya adalah penjara paling lama lima tahun, maka sekali lagi
dengan merujuk kepada Pasal 21 ayat (4), ketika ditetapkan sebagai tersangka seharusnya
ditahan oleh penyidik.
Kemudian, dalam amar putusannya, Pengadilan memerintahkan agar
terdakwa ditahan dengan pertimbangan pada halaman 615-616:
“Menimbang
bahwa selama penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan perkara ini terhadap
Terdakwa tidak dilakukan penahanan, dan terhadap penahanan terdakwa,
dipertimbangkan bahwa berdasarkan ketentuan pasal 193 ayat (2) a KUHAP yang
menyebutkan:” Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak
ditahan, dapat memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi
ketentuan pasal 21 dan terdapat alasan cukup untuk itu”, dan Penjelasannya yang
menyebutkan bahwa perintah penahanan terdakwa yang dimaksud adalah bilamana
hakim pengadilan tingkat pertama yang memberi putusan berpendapat perlu dilakukannya
penahanan tersebut karena dikhawatirkan bahwa selama putusan belum mempunyai
kekuatan hukum tetap, terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan
barang bukti atau pun mengulangi tindak pidana lagi;
Menimbang
bahwa pasal 21 ayat (4) a KUHAP menyebutkan: Penahanan tersebut hanya dapat
dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan
atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal
tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
Menimbang
bahwa berdasarkan pertimbangan Pengadilan, terdakwa telah dinyatakan terbukti
melakukan tindak pidana sebagaimana tersebut dalam pasal 156 a huruf a KUHP
dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya lima tahun;
Menimbang
bahwa pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP menyebutkan bahwa Surat putusan pemidanaan
menyebutkan perintah supaya terdakwa ditahan, atau tetap dalam tahanan
atau dibebaskan;
Menimbang
bahwa pasal 197 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa tidak dipenuhinya ketentuan dalam
ayat (1) huruf a,b,c,d,e,f,h,j,k, dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi
hukum;
Menimbang
bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas, Pengadilan menetapkan agar Terdakwa
ditahan”.
Bahwa terhadap hal ini para ahli hukum sempat berpolemik soal status
penahanan terdakwa Ir. Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Utara menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada
terdakwa dalam kasus penodaan agama pada 9 Mei lalu dan langsung memerintahkan
terdakwa segera ditahan pada hari itu juga. Hal ini memicu gerakan massa yang
meminta penahanan terdakwa ditangguhkan dan yang meminta terdakwa langsung
ditahan.
Ada masalah hukum acara pidana di sini. Apakah mutlak perintah penahanan
dicantumkan dalam amar putusan sebagaimana ditekankan Pasal 197 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana paralel dengan Pasal 193 ayat 1 huruf (a)
KUHAP? Bagaimana jika terdakwa itu tidak pernah ditahan di tingkat penyidikan,
penuntutan, dan persidangan tingkat pertama seperti yang dialami Terdakwa ?
Putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan bagi terdakwa yang
sebelumnya tidak ditahan tidaklah batal demi hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi
No. 69/PUU-X/2012 yang menyatakan putusan pengadilan yang tidak memenuhi Pasal
197 ayat (1) KUHAP, khususnya tentang perintah penahanan, tidak batal demi
hukum, melainkan tetap sah secara hukum.
Sesungguhnya kewenangan menahan atau tidaknya terdakwa adalah kewenangan
diskresioner. Pasal 20 ayat (3) dan 28 ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa (1) kewenangan
untuk menahan itu sifatnya diskresioner dan (2) hanya diperlukan selama untuk
kepentingan pemeriksaan. Selama proses persidangan, hakim tingkat pertama hanya
diberikan kewenangan menahan terdakwa selama 30 hari + 60 hari. Apabila lewat
dari itu, sekalipun belum selesai proses pemeriksaannya, terdakwa harus
dikeluarkan dari tahanan sambil menunggu proses pemeriksaan perkara.
D. Putusan Tidak Menganut Teori Dualistis
Putusan a quo juga dapat dikatakan tidak menganut teori dualistis.
Sebagaimana diketahui bahwa teori dualistis merupakan teori yang memisahkan
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Teori ini berpangkal tolak dari
pandangan bahwa unsur pembentuk tindak pidana adalah perbuatan. Menurut Chairul Huda, jika dilihat dari
istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak
pidana. Sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut
menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.[2]
Perbuatan pidana hanya menunjuk
kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu
kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan
pebuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan
perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.
Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan
perbuatan yang telaang dan tercela, dia tentu tidak dipidana.[3]
Hal ini sebagaimana asas yang menyatakan geen
straft zonder schuld (tidak dipidana jika tidak ada kesalahan). Menurut Roeslan Saleh, asas ini adalah asas
garansi, suatu asas yang dikenal mengenai nilainya sebagai kerangka referensi
dan metoda pentafsiran guna melindungi hak-hak individu.[4]
Kembali kepada putusan a quo, dalam petimbangan Majelis Hakim
masih terdapat beberapa kekeliruan dan kerancuan, yakni pertimbangan Majelis
Hakim yang mencampuradukkan antara “perbuatan pidana” dan “kesalahan” Terdakwa.
Hal ini sebagaimana dalam pertimbangan mengenai unsur “dimuka umum mengeluarkan
perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan,
penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia”
halaman 605, yakni:
"Menimbang,
bahwa dari uraian pertimbangan di atas, oleh karena ucapan Terdakwa di hadapan
warga masyarakat Kepulauan Seribu tersebut telah merendahkan, melecehkan dan
menghina Kitab Suci Al Quran yang merupakan Kitab Suci Agama Islam, maka dalam
hal ini menurut pendapat Pengadilan bahwa ucapan Terdakwa yang mengatakan “jadi jangan percaya sama orang, kan bisa
aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan dibohongi pakai surat
Al Maidah 51 macem-macem itu”, adalah merupakan ucapan yang pada pokoknya
telah mengandung sifat penodaan terhadap agama Islam sebagai salah satu agama
yang dianut di Indonesia;"
Jika melihat uraian pertimbangan diatas, Majelis
Hakim berpendapat bahwa kesalahan Terdakwa adalah terhadap kata-kata “jadi jangan percaya sama orang, kan bisa
aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan dibohongi pakai surat
Al Maidah 51 macem-macem itu” yang dianggap mengandung sifat penodaan
terhadap agama Islam. Hal ini menuert Anator, Majelis Hakim mempertimbangkan
kesalahn Terdakwa tidak ditujukan kepada sifat melawan hukum tindak pidana yang
didakwakan. Dengan demikian, Majelis Hakim telah “menjatuhkan pidana tanpa
kesalahan”.
Kemudian pada bagian pertimbangan yang
lain, Majelis Hakim mendasarkan pertimbangannya hanya pada ungkapan Terdakwa
yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaan yang pada pokoknya mengandung
sifat penodaan terhadap agama Islam. Hal ini sebagaimana diuraikan pada halaman
606:
"Menimbang,
bahwa dari uraian pertimbangan di atas, oleh karena ucapan Terdakwa tersebut adalah
merupakan ungkapan pikiran dan perasaan yang pada pokoknya mengandung sifat penodaan
terhadap agama Islam yang merupakan salah satu agama yang dianut di Indonesia,
dan ucapan tersebut disampaikan oleh Terdakwa dalam acara sosialisasi budidaya
ikan Kerapu di Pulau Pramuka Kepulauan Seribu yang dihadiri oleh banyak orang,
antara lain dihadiri oleh tokoh masyarakat dan warga masyarakat Kepulauan
Seribu yang jumlahnya sekitar 100 orang lebih dan acara tersebut juga bersifat
terbuka untuk umum, maka dengan demikian Pengadilan berpendapat bahwa unsur
yang ke 3 telah terpenuhi;"
Kemudian, mengenai unsur “dengan
sengaja”, Majelis Hakim berpendapat
bahwa haus dilihat niat dari Tedakwa yang merupakan pejabat publik sehingga tentu
Terdakwa mengetahui kalau selama ini persoalan yang menyangkut agama adalah
persoalan yang sensitif, sehingga Terdakwa harusnya menghindari kata-katanya.
Hal ini dipertegas pada pertimbangannya halaman 609, menyatakan:
“Menimbang, bahwa persoalan niat adalah persoalan hati,
oleh karena itu untuk menilai apakah Terdakwa ada niat atau tidak untuk
menghina surat Al Maidah 51, maka Pengadilan akan melihat dan menilai
kondisi-kondisi yang meliputi saat Terdakwa melakukan perbuatannya tersebut;
Menimbang, bahwa Terdakwa adalah seorang Pejabat
Publik, Gubernur DKI Jakarta, dan sebagai seorang Pejabat Publik tentu Terdakwa
mengetahui kalau selama ini persoalan yang menyangkut agama adalah persoalan
yang sensitif, yang mudah menimbulkan gesekan antar umat beragama, karena persoalan
agama adalah persoalan iman, persoalan rasa dan keyakinan, oleh karena itu
apabila Terdakwa ingin membicarakan persoalan yang terkait dengan agama,
seharusnya Terdakwa berusaha untuk menghindari penggunaan kata-kata atau
susunan kata-kata yang bersifat merendahkan, melecehkan atau menghina suatu
agama...”
Dari pertimbangan hukum sebagaimana diatas, tampak jelas Majelis Hakim
dalam perkara a quo berpandangan
bahwa kesengajaan Terdakwa adalah kesengajaan sebagai kemungkinan (perbuatan
pidana tidak terpaksa dilakukan, tetapi hanya suatu kemungkinan saja). Artinya
dari perkataannya, Terdakwa tidak menghindari untuk tidak menggunakan kata-kata
yang bersifat merendahkan, melecehkan, artau menghina suatu agama. Hal ini
dipertegas dalam pertimbangan pada halaman 610, Majelis Hakim menyatakan:
“bahwa
Terdakwa sebagai bagian dari umat yang beragama, apabila ingin menyebut ataupun
membicarakan tentang simbol-simbol
keagamaan di depan umum, seharusnya Terdakwa berhati-hati dan harus menghindari
penggunaan kata-kata yang berkonotasi negatif yang bersifat merendahkan,
melecehkan ataupun menghina simbol-simbol keagamaan tertentu, baik itu agama
lain maupun agama Terdakwa sendiri, karena hal itu bisa menimbulkan
ketersinggungan dan menimbulkan keresahan di kalangan umat beragama, kecuali
hal itu dilakukan dalam forum kajian ilmiah yang terbatas”;
Melihat konstruksi yang demikian,
maka Anator perlu menguraikan teori mengenai pengertian kesengajaan yang
dikenal dalam kepustakaan. Pertama, “teori
kehendak”, yaitu yang memandang bahwa tiap-tiap bentuk daripada kesengajaan
dapat diterangkan dari proses kehendak. Menurut teori kehendak, yang dapat
diliputi oleh kesengajaan itu hanyalah apa yang dikehendaki oleh pembuatnya. Kedua, “teori pengetahuan”, menurut
teori ini yang dipentingkan adalah apakah yang dibayangkan atau diketahui oleh
pembuatnya ketika melakukan perbuatan itu.[5]
Menurut Roeslan Saleh, kehendak adalah merupakan arah. Ini berhubung dengan
motif (yaitu apa yang mendorong untuk berbuat) dan tujuannya. Konsekuensinya
adalah bahwa untuk menentukan sesuatu perbuatan dikehendaki oleh terdakwa,
haruslah dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat
dan tujuan yang hendak dicapainya. Antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada
hubungan kausal.[6]
Kemudian, masih menurut Roeslan Saleh, jika kita mengikuti
teori pengetahuan, untuk membuktikan tentang kesengajaan kita dapat menempuh
dua jalan:
1)
Membuktikan adanya hubungan kausal dalam bathin
terdakwa antara motif dan tujuannya; atau
2)
Membuktikan adanya penginsyafan atau pengertian
terhadap apa yang dilakukan beserta akibat-akibat dan keadaan-keadaan yang
menyertainya.[7]
Selanjutnya, jika memperhatikan
putusan a quo, menurut hemat Anator,
konstruksi seperti ini tidak ada dalam pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim.
Majelis Hakim hanya mepertimbangkan terpenuhinya unsur-unsur delik dalam Pasal
156a huruf a dengan ucapan Terdakwa yang dikuatkan dengan keterangan para saksi
dan keterangan ahli. Dalam pertimbangan halaman 610 menyatakan:
“...sedangkan dari rekaman video saat Terdakwa
mengucapkan kata-kata tersebut diputar di persidangan, Pengadilan tidak melihat
ada usaha dari Terdakwa untuk menghindari penggunaan kata-kata yang bersifat
merendahkan atau menghina nilai dari ayat suci Surat Al Maidah 51 sebagai bagian
dari Kitab Suci agama Islam, bahkan diulangi dengan menyebut kata “dibodohi”
maka dalam hal ini menurut Pengadilan bahwa pada saat Terdakwa mengucapkan
kata-kata “ya kan dibohongi pakai surat Al Maidah 51 macem-macem itu”, ada niat
dengan sengaja merendahkan atau menganggap rendah atau menghina nilai kesucian
dari Surat Al maidah 51 sebagai bagian dari Kitab Suci agama Islam;
Menimbang, bahwa Terdakwa sebagai bagian dari umat
yang beragama, apabila ingin menyebut ataupun membicarakan tentang simbol simbol
keagamaan di depan umum, seharusnya Terdakwa berhati-hati dan harus menghindari
penggunaan kata-kata yang berkonotasi negatif yang bersifat merendahkan, melecehkan
ataupun menghina simbol-simbol keagamaan tertentu, baik itu agama lain maupun
agama Terdakwa sendiri, karena hal itu bisa menimbulkan ketersinggungan dan
menimbulkan keresahan di kalangan umat beragama, kecuali hal itu dilakukan
dalam forum kajian ilmiah yang terbatas;"
Berdasarkan pertimbangan tersebut,
Majelis Hakim hanya “berkutat” pada ketidakhati-hatian Terdakwa dalam
mengucapkan kata-kata yang dianggap melecehkan agama Islam. Majelis Hakim tidak
menggali lebih dalam mengenai motif yang mendorong Terdakwa mengeluarkan
kata-kata tersebut dan apa tujuan dari Terdakwa mengeluarkan kata-kata seperti
itu. Jika motif dan tujuan Terdakwa mengeluarkan kata-kata tersebut ditujukan
hanya kepada politisi yang menggunakan dalil agama untuk berkampanye, maka menurut
Anator tidak ada pelanggaran delik penodaan agama disitu.
Namun, perlu juga dilihat mengenai
hubungan kausal dalam batin Terdakwa antara motif dan tujuannya. Keadaan bathin
Terdakwa selama persidangan yang sesekali “minta maaf” dan sesekali “ucapannya
kasar” dihubungkan dengan motif dan tujuan Terdakwa megeluarkan kata-kata yang
bersifat melecehkan Surat Al Maidah 51. Jika keadaan batin Terdakwa yang
terkatang “berkata kasar” dihubungkan dengan motif Terdakwa untuk melecehkan
Surat Al-Maidah 51, maka menurut Anator, ucapan Terdakwa telah melecehkan atau
menghina Surat Al-Maidah 51 yang merupakan bagian dari kitab suci Al-Qur’an,
kitab suci agama Islam.
Selain itu, Terdakwa pernah menulis
buku yang berjudul “Merubah Indonesia” yanag didalamnya juga menyinggung Surat
Al-Maidah 51, yang tentu Terdakwa mengetahui dan menginsyafi terhadap akibat
perbuatannya yang melecehkan Surat Al-Maidah 51.
Konstruksi seperti ini yang tidak ada
dalam putusan a quo. Menurut Anator,
pengadilan hanya berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan Terdakwa
mengeluarkan kata-kata yang bersifat melecehkan Surat Al-Maidah 51 memenuhi
unsur-unsur delik dari Pasal 156a huruf a KUHP. Pengadilan tidak mendalami
lebih jauh ada atau tidaknya hubungan kausal dalam bathin terdakwa antara motif
dan tujuannya, serta ada atau tidaknya penginsyafan atau pengertian terhadap
apa yang Terdakwa lakukan beserta akibat-akibatnya.
VIII. KESIMPULAN
Bahwa sejak pertama kasus ini bergulir,
banyak terjadi kontroversi di berbagai kalangan terutama di kalangan para pakar
hukum, akademisi, dan praktisi hukum. Ada yang mengatakan bahwa kasus ini
adalah kasus yang berkaitan atau berhubungan dengan politik, dalam hal ini
kontestasi dalam Pilgub DKI Jakarta. Namun, terlepas dari politik atau tidak
Anator telah melakukan Anotasi hukum (legal
annotation) terhadap putusan a quo.
Semenjak awal, sebelum putusan a quo dibacakan oleh Majelis Hakim PN
Jakarta Utara, kasus ini telah terjadi banyak penyimpangan-penyimpangan,
terutama di lapangan Hukum Acara Pidana. Bagaimana tidak, sejak dari tingkat
penyelidikan, kemudian ditingkatkan menjadi penyidikan guna menetapkan
tersangka, Terdakwa (yang pada saat penyidikan menjadi tersangka berdasarkan
bukti permulaan yang cukup) tidak ditahan.
Kemudian, pada saat didakwa, Terdakwa didakwa
dengan dakwaan alternatif, yakni dakwaan alternatif pertama dengan Pasal 156a
huruf a KUHP dan dakwaan alternatif kedua yakni dengan Pasal 156 KUHP.
Kemudian, pada saat Penuntutan terdakwa dituntut dengan Pasal 156 KUHP. JPU
dalam hal ini berupaya untuk menggiring perkara ini hanya kepada delik ujaran
kebencian, namun diputus oleh Majelis Hakim dengan dakwaan alternatif pertama,
yakni Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana
penodaan agama berdasarkan Pasal 156a huruf a KUHP.
Menarik bagi Anator, bahwa putusan a quo tidak menganut teori dualistis
(teori yang memisahkan antara perbuatan padana dan pertanggungjawaban pidana)
dimana dalam banyak pertimbangan Majelis Hakim mencampuradukkan antara tindak
pidana dengan kesalahn Terdakwa. Kemudian, Majelis Hakim juga tidak mendalami
mengenai kesengajaan Terdakwa. Majelis Hakim hanya berkutat pada keadaan dimana
Terdakwa tidak berhati-hati dalam mengeluarkan ucapannya, tidak menggali lebih
dalam mengenai kausalitas antara keadaan batin Terdakwa dengan motif dan tujuan
dari perbuatannya.
Selanjutnya, dalam rancangan KUHP kedepan,
delik tentang penodaan agama dan ujaran kebencian harus direvisi. Menurut
Anator, banyak sekali celah untuk menilai secar subjektif perbuatan seseorang
yang dianggap melakukan ujaran kebencian atau penodaan agama sebagaimana
dala Pasal 156 dan 156a KUHP. Terlebih
lagi, agar Pasal ini tidak mudah digunakan dan “ditunggangi” untuk
kepentingan-kepentingan politik.
WALLAHUA’LAM
---RP---
[1]
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,
Edisi Ke-2, Cet. Ke-4, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 264.
[2]
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan;Tinjauan Kritis
Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cet.
Ke-6, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2015), hlm. 15.
[3]
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Cet. Ke-3, (Jakarta:
Aksara Baru, 1983), hlm. 75.
[4]
Roeslan Saleh, Masih Saja Tentang
Kesalahan,(Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994), hlm. 23.
[5]
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana, Op. Cit, hlm. 98-99.
[6]
Ibid, hlm. 99.
[7]
Ibid, hlm. 100.