Sabtu, 20 Oktober 2018


HUKUM ACARA PIDANA MILITER INDONESIA DALAM PERSPEKTIF POLITIK HUKUM*)

Disusun Oleh:
Roli Pebrianto, Didi Nahtadi, Samatrin, Brinna Listiyani, Raden Aditiya Barkah**)

A.      PROLOG
Perubahan atau Pembaruan hukum pidana di Indonesia dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia. Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan: Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini. Diadakannya peraturan peralihan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan hukum. Hal ini berarti bahwa peraturan-peraturan yang ada pada zaman penjajahan masih tetap berlaku dimana pemberlakuan peraturan-peraturan tersebut disesuaikan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka.[1]
Dalam perkembangannya, hukum dapat kita lihat sebagai hasil dari suatu proses yang dinamis, hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa hukum itu terjadi sebagai suatu perencanaan dari situasi tertentu menuju kepada suatu tujuan yang akan dicapai.[2] Dalam memaknai adanya pembaruan hukum tersebut, Roeslan Saleh juga mengemukakan bahwa:
“Pembaruan hukum adalah mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum yang hingga kini masih berlaku, tetapi dipandang tidak sesuai dengan jiwa dan pandangan falsafah bangsa Indonesia atau dilihat dari alasan kelahirannya, semangat dan jiwanya, kemajuan-kemajuan yang terjadi, yang menjadikan tidak mampu lagi memenuhi tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, dan terlebih lagi mengenai kemampuannya mengantisipasi segala kehidupan yang disebut dengan “memodernkan” Indonesia.”[3]

Dalam konteks pembaruan hukum pidana, menurut Barda Nawawi Arief, latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum).[4] Lebih lanjut Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:
“Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat, dapatlah dikatakan pembaruan hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (“policy-oriented approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).[5]

Selanjutnya, Beccaria memberi pernyataan bahwa: “hanya undang-undanglah yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi apakah dan atas perbuatan-perbuatan mana pula yang dapat dijatuhkan, dan bagaimana tepatnya peradilan pidana harus terjadi”.[6] Dengan demikian, maka hukum pidana tidak hanya dimaknai sebagai hukum yang mengatur dan menentukan bentuk-bentuk tidak pidana dan sanksinya (hukum pidana formil), melainkan mengatur juga tentang bagaimana penegak hukum bekerja menegakkan hukum (hukum pidana formil).
Dalam perspektif yang lain, Jimly Asshidiqqie menyatakan bahwa: “ruang lingkup pengertian pembaruan hukum pidana sebenarnya meliputi pembaruan terhadap bidang hukum pidana baik yang menyangkut substansinya (hukum pidana materiil), hukum acaranya (hukum pidana formiil), maupun terhadap ketentuan-ketentuan yang menyangkut pelaksanaan pidananya (straftvolls treckung-gesetz).”[7]
Secara menyeluruh pembaruan hukum pidana dan hukum acara pidana juga tidak dapat dipisahkan dari upaya tercapainya kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmasigheit), dan keadilan (Gerechttigheit).[8] Dengan demikian maka berbagai pembaruan yang dilakukan dapat sejalan dengan tujuan dari penegakan hukum secara menyeluruh, termasuk juga pembaruan dalam bidang Hukum Acara Pidana Militer Indonesia.
Secara normatif, Hukum Acara Pidana Militer Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU Peradilan Militer). Keberadaan peradilan militer sebagai satu kesatuan hukum dalam sistem peradilan pidana militer telah melembaga dan telah tertata segala perangkat-perangkat yang diperlukan untuk menjalankan sistem peradilan militer. Hukum militer Indonesia berpangkal tolak dari tugas militer Indonesia (TNI) dan adalah merupakan bagian dan merupakan salah satu sistem dari hukum nasional Indonesia. Karenanya hukum militer Indonesia mempunyai landasan, sumber-sumber dan cakupan yang sejalan dengan hukum nasional.[9]
Pembahasan mengenai perubahan atau pembaruan Hukum Acara Militer Indonesia mulai mengemuka sejak dikeluarkannya TAP MPR Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR Nomor: VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Pembahasan yang dianggap krusial yakni mengenai ketentuan Pasal 3 ayat (4a) dan ayat (4b) TAP MPR Nomor: VIIMPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, yang menyatakan bahwa:
“a. Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
 b.   Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (4a) Pasal ini
tidak berfungsi maka prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang yang diatur dengan undang-undang.”[10]

Selanjutnya, mengenai penundukan prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum pada yurisdiksi peradilan umum dan pada peradilan militer dalam hal prajurit TNI melakukan tidak pidana militer juga telah diatur dalam Pasal 65 ayat 2 jo. Pasal 74 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI (selanjutnya disingkat UU TNI), namun belum bisa dilaksanakan karena UU Peradilan Militer belum diadakan perubahan. Pasal 65 ayat (2) UU TNI menyatakan bahwa:
“Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.”

Kemudian Pasal 74 UU TNI menyatakan bahwa:
(1)   Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan.
(2)   Selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Menurut Barda Nawawi Arief, sepanjang hukum pidana materiel untuk militer (KUHPM) belum diubah, sulit untuk mengaplikasikan ide atau “putusan politik” yang tertuang dalam TAP MPR VII/2000, bahwa terhadap “Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum”.[11]

Menarik kemudian untuk diteliti mengenai politik hukum pidana dalam upaya perubahan atau pembaruan hukum acara pidana militer Indonesia, hal ini dikarenakan sampai saat ini belum ada pelaksanaan dari TAP MPR No. VII/MPR/2000, serta belum adanya undang-undang perubahan dari UU Peradilan Militer. Dengan demikian, maka disusnlah rumusan masalah sebagai berikut:
1.   Bagaimana hubungan antara politik hukum dengan upaya pembaruan hukum di Indonesia ?
2.    Bagaimana perkembangan Hukum Acara Pidana Militer Indonesia dalam perspektif politik hukum ?

B.      TINJAUAN PUSTAKA
1.    Pengertian Politik Hukum
Perdebatan mengenani hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Kalangan penganut aliran positivisme hukum beranggapan hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain kalangan yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum sesuai kenyataan-kenyataan sosial yang dalam dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.[12]
Dalam mencari pola hubungan antara hukum dan politik ini, terutama berangkat dari dua perspektif yang bertolak belakang, perlu dicermati dengan saksama Daniel S. Lev yang mengungkapkan bahwa: “hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik.[13] Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu : (i) Hukum determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. (ii) Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa kenyataannya, baik prodek normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. (iii) Politik dan Hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung, seperti bunyi adagium “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi lumpuh.”[14]
Selanjutnya, politik hukum menurut Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kpemimpinan, dan cara bertindak dalam hukum.[15]
Menurut Padmo Wahjono, mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan artikelnya di majalah Forum Keadilan yang berjudul “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan”. Dalam artikel tersebut, Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini, kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.[16]
Dari kedua definisi yang diberikan oleh Padmo Wahjono, dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat dasar dalam menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang (ius constituendum).[17]
Sedangkan menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.[18]
Politik hukum sebagai bagian dari ilmu hukum, yang meneliti perubahan hukum yang berlaku, yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntunan baru kehidupan masyarakat, penyelidikan-penyelidikan dari politik hukum, terhadap segala perubahan, apakah yang harus diadakan oleh hukum yang ada sekarang, supaya dapat memenuhi syarat-syarat baru dari hidup kemasyarakatan. Hukum yang lama dapat dipertimbangkan untuk kaidah-kaidah dan stelsel hukum yang akan datang. Sehingga dapat juga dimaknai bahwa hukum sebagai dessein ditetapkan oleh politik.[19]

2.    Politik Hukum Pidana
Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa depan.[20]
Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana. Penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya, bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif).
Kebijakan legislatif merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena pada saat peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi. Menurut Sudarto,[21] kriminalisasi dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipindana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.
Politik hukum pidana (legal policy) adalah arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.[22]
Pengertian politik kriminal (Criminele Politiek, Criminal Policy), yakni kebijakan pemerintah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan.[23] Dalam kaitan itu, maka dikenal pula beberapa pengertian yang saling berkaitanantara kebijakan kriminal yaitu: kriminalisasi, penalisasi. Sehingga politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy” yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Garis kebijakan hukum pidana adalah untuk menentukan:
a.   Seberapa jauh ketenuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui;
b.      Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c.    Bagaimana cara penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.[24]

Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non-penal policy).[25]
Pada dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan represif adalah tindakan yang dilakukan setelah kejadian terjadi untuk menekan agar kejadian tidak meluas atau menjadi parah.[26]
Sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan prefentif sebelum terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan prefentif adalah tindakan yang mengutamakan pencegahan sebelum terjadinya kejadian. Menurut pandangan dari sudut politik kriminil secara makro, non-penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah me-nangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.[27]

3.     Hukum Acara Pidana Militer Indonesia
Secara normatif, Hukum Acara Pidana Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU Peradilan Militer). Menurut Moh. Faisal Salam, bahwa Hukum Acara Pidana Militer merupakan hukum acara khusus bagi tentara. Walaupun sebagai Warga Negara Republik Indonesia, Tentara bukan merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota Tentara adalah juga sebagai anggota masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Angkatan Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan Negara.[28]
Lebih lanjut Moh. Faisal Salam menyatakan bahwa:
“Untuk itu, maka diperlukan suatu pemeliharaan ketertiban yang lebih/berdisiplin dalam organisasinya, sehingga seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai/melaksanakan tujuan tugasnya yang pokok, untuk itu diperlukan suatu hukum yang khusus dan peradilan yang tersendiri yang terpisah dari peradilan umum. Kekhususan itu ialah, bahwa masyarakat tentara itu adalah pengkhususan daripada masyarakat umum.”[29]

Peradilan Militer adalah peradilan khusus yang menyangkut kejahatan yang dilakukan oleh anggota militer ataupun yang melibatkan anggota militer atas terjadinya kejahatan. Peradilan ini berlaku sejak adanya kemerdekaan berlanjut serta berkembang hingga sekarang dengan menyesuaika prinsip-prinsip negara hukum Indonesia.[30]
Disamping berlaku khusus untuk tentara, kekhususan Pengadilan Militer juga terletak pada kewenangan penuntutan dan penyidikan yang tidak dilakukan oleh Kejaksaan, tetapi Atasan Yang Berhak Menghukum (ANKUM), Polisi Militer, dan Oditurat, ditambah penyidik pembantu yang terdiri dari Provos Tentara Nasional Angkatan Darat, Provos Tentara Nasional Angkatan Laut, dan Provos Tentara Nasional Angkatan Udara.[31]

C.   HUBUNGAN ANTARA POLITIK HUKUM DENGAN UPAYA PEMBARUAN     HUKUM DI INDONESIA
1.    Timbal Balik Antara Politik dan Hukum
Titik pertemuan antara hukum dan politik antara lain dapat dicari dalam bidang hukum tata negara (constitutional law). Bidang ini mempelajari segi-segi formil dari struktur politik tertentu sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang ada serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang melengkapinya. Ia menelaah tentang bagaimana kekuasaan politik diatur dan dibagi, apa-apa fungsi lembaga-lembaga tertentu, apa saja hak dan kewajiban politik anggota-anggota masyarakat (warga negara), bagaimana peraturan permainan politik yang sebenarnya berlaku.[32]
Kemudian, titik temu antara hukum dan politik dapat dikatakan bahwa hukum adalah produk politik. Menurut Moh. Mahfud MD, secara metodologis-ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut, tergantung pada asumsi dan konsep yang dipergunakan. Dengan asumsi dan konsep tertentu suatu pandangan ilmiah dapat mengatakan bahwa hukum adalah produk politik, tetapi dengan asumsi dan konsep tertentu yang lain suatu pandangan ilmiah dapat mengatakan sebaliknya, bahwa politik adalah produk hukum.[33]
Menurut Mahfud MD, bahwa pernyataan “hukum sebagai produk politik” adalah benar jika didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan bahwa hukum sebagai undang-undang. Dalam faktanya, jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorangpun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik. Namun, jika didasarkan pada das sollen atau jika hukum tidak diartikan sebagai undang-undang, maka pernyataan “hukum sebagai produk politik” akan menjadi lain atau bahkan akan menjadi salah.[34]
Dalam makalah ini, Penulis mendasarkan pengertian “hukum sebagai produk politik” pada das sein dengan mengonsepkan bahwa yang dimaksud hukum disini ialah hukum acara pidana militer yang secara normatif diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang dimana UU ini merupakan produk pergulatan politik di lembaga legislatif.

2.    Politik Hukum Sebagai Alat Untuk Melakukan Perubahan Hukum
Hukum adalah produk politik, sehingga ketika membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum. Hukum adalah hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk hukum.[35]
Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek sebagai sebuah proses dalam pembentukan ius contitutum (hukum positif) dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.[36]
Hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena perbenturan dan pergumulan antar kepentingan.[37]
Badan pembuat undang-undang merupakan representasi konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat. Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang.[38]
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa politik hukum sebagai kebijakan (policy) dapat dikatakan sebagai alat untuk mengubah atau mengadakan pembaruan terhadap perubahan atau pembaruan ius contitutum (hukum positif) kepada ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat.

D.  PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PIDANA MILITER INDONESIA DALAM PERSPEKTIF POLITIK HUKUM
1.        Kebijakan Legislatif dalam Perubahan Hukum Acara Pidana Militer Indonesia
Sebelum membahas mengenai kebijakan legislatif, terlebih dahulu penulis akan menguraikan mengenai kebijakan hukum pidana. Menurut Barda Nawawi Arief,[39] istilah kebijakan diambil dari istilah “policy” (Inggris) atau “Politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana” dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah “penal policy”, “criminal law policy”, atau “strafrechtpolitiek”.[40]
Menurut Sudarto, dengan melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang.[41] Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.[42] Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy” yang dikemukakan oleh Marc Ancel sebagaimana dikutif oleh Barda Nawawi Arief, yang menyatakan bahwa:
Penal Policy merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian, yang dimaksud dengan “peraturan hukum positif” (the positive rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah “kebijakan atau politik hukum pidana.” [43]

Hubungan yang erat antara hukum dan politik, telah terjadi intervensi politik terhadap hukum dalam realitanya, hukum tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik seringkali melakukan intervensi terhadap pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga muncul pula pertanyaan tentang sistem mana yang lebih suprematif apakah subsistem politik ataukah subsistem hukum. Bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, mengapa politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang dapat yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter tertentu dan sebagainya.[44]
Produk legislasi adalah produk politik, hasil tarik menarik berbagai kepentingan politik yang mengejawantah dalam hukum. Hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan dengan demikian, medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan pergumulan kepentingan-kepentingan.[45] Hal ini juga sebagaimana dikemukakan oleh Jazuni sebagaimana dikutip Syaiful Bakhri, yang menyatakan bahwa:
Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat, karena pembuatan undang-undang modern bukan sekedar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Kekuatan dan kepentingan dalam pembentukan undang-undang, intervensi dari luar tidak dapat diabaikan dalam pembentukan undang-undang terutama oleh golongan yang memiliki kekuasaan dan kekuatan secara sosial, politik, maupun ekonomi, sehingga politik hukum mencakup pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.[46]

Sejak awal era reformasi telah menuntut adanya transparansi, kebebasan, demokratisasi dan persamaan hak, yang berimbas kepada penyelenggaraan peradilan. Prinsip equality before the law menghendaki tidak ada warga Negara yang mendapat prevelege apalagi dalam bidang peradilan. Oleh karena  itu tuntutan bahwa militer yang melakukan tindak pidana umum diadili di peradilan umum terus bergaung dan puncaknya adalah dikeluarkannya TAP MPRI RI Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 jo. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan bahwa anggota militer yang melakukan kejahatan umum di bawa ke pengadilan sipil.
Sedangkan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer mengatakan tindak pidana yang dilakukan anggota militer baik tindak pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan perundang-undangan pidana lainnya, juga tindak pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM semuanya diadili di peradilan militer. Melihat semangat yang terkandung dalam TAP MPR RI dan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usul inisiatif perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan alasan supaya terjadi sinkronisasi dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Terkait dengan sistem peradilan pidana, secara sederhana dapat diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh negara terhadap orang-orang yang melanggar hukum pidana, yang dimulai dari kepolisian, kejaksaan, dan akhirnya pengadilan. Para penegak hukum dalam sistem peradillan pidana dalah terpadu dan tidak dapat dipisahkan.[47] Istilah sistem peradilan pidana (criminal justice system) menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan dasar pendekatan sistem. Juga diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan pidana, sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, atau juga merupakan setiap tahap dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam proses yang membawanya kepada penuntutan pidana baginya.[48]
Kemudian, mengenai sistem peradilan militer, secara yuridis eksistensi peradilan militer dimuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi: kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkunagan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usahan Negara dan oleh sebuah mahkamah Konstitusi.
Peradilan militer merupakan peradilan khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan rakyat tertentu (prajurit TNI atau yang dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM mengatakan penerapan KUHP ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada peradilan militer yang melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM diterapkan KUHP.
Keberadaan/eksistensi peradilan militer memang harus dipertahankan, tetapi permasalahannya apakah lingkup kewenangannya tetap mengadili pelanggaran tindak pidana umum dan tindak pidana militer yang dilakukan oleh prajurit TNI atau hanya mengadili tindak pidana militer, sedangkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI dilakukan di peradilan sipil/umum.
Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2000 khususnya Pasal 3 ayat (4) huruf a berbunyi: “Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran pidana umum. Kemudian RUU Perubahan Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang peradilan militer menghendaki bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI diadili di peradilan umum.”
Untuk mengurangi permasalahan ini, maka pembaruan hukum harus diarahkan kepada pembangunan sistem hukum, yang meliputi struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum. Sinkronisasi perlu dilakukan sebelum terbentuknya undang-undang peradilan pidana militer yang baru yaitu UUD 1945, Undang-undang kekuasaan kehakiman, Undang-undang Mahkamah Agung dan Undang-undang pemasyarakatan.
Adanya kesepakatan antara Pemerintah dengan DPR untuk melanjutkan pembahasan RUU Peradilan Militer merupakan sebuah langkah maju dalam reformasi sektor keamanan, khususnya reformasi peradilan militer. Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU Peradilan Militer di tingkat Panitia Kerja (Panja), di mana telah dibahas beberapa hal antara lain tentang pengadilan koneksitas, serta definisi tindak pidana umum yang dilakukan prajurit Tentara Nasional Indonesia.[49]
Pada periode 2004-2009, DPR RI pernah membahas revisi UU Peradilan Militer. Namun semuanya tidak dapat terlaksana karena TNI bersikeras belum siap bila prajurit dipaksa tunduk kepada rezim pengadilan umum.[50] Kemudian, pada tahun 2015, pembahasan terhadap RUU perubahan atas UU Peradilan Militer kembali dilakukan oleh DPR dan Pemerintah.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI waktu itu, Tantowi Yahya, menyatakan semua fraksi di DPR RI sudah kompak mendukung dilaksanakannya revisi UU Peradilan Militer, demi memastikan tunduknya prajurit TNI kepada rezim pengadilan sipil ketika melakukan tindak pidana umum.[51]

2.    Beberapa Hal Yang Perlu Diadakan Perubahan Dalam UU Peradilan Militer
Hal-hal yang perlu dilakukan pembenahan, pertama adalah merekonstruksi sub sistem peradilan pidana yang bisa mencakup semua unsur peradilan yang selama ini ada misalnya bagaimana menyatukan penyidik dengan polisi militer, papera, dan ankum, kemudian jaksa dengan otmil serta pengadilan dengan Dilmil. Sehingga kalau ini sudah beres dengan sendirinya peradilan koneksitas tidak diperlukan lagi. Termasuk pembenahan dalam hukum acara pidana adalah pembenahan tentang lembaga penahanan (baik yang ada di polisi, polisi militer, Rutan, dan RTM) sampai kepada lembaga pemasyarakatan (militer).
Merujuk kepada UU Peradilan Militer, terlihat beberapa pengaturan yang tumpang tindih, misalnya pasal  tentang tata usaha militer seharusnya tidak diatur dalam undang-undang ini mengingat militer merupakan bagian dari Negara dan ini sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Ada beberapa usulan untuk melakukan penyesuaian terhadap KUHP, KUHAP, dan KUHP Militer sebelum aturan tentang Peradilan Militer direvisi. Mencermati perkembangan tersebut, tim advokasi Imparsial merasa menyampaikan beberapa hal, yaitu:
a. Sebagai perangkat dasar bagi warga negara untuk memperoleh dan mempertahankan hak-haknya, sekaligus juga untuk menjaga dan melindungi kualitas kewarganegaraan yang demokratis, harus ada kejelasan mengenai jurisdiksi peradilan, serta independensi dan fairness dari pengadilan. Dengan demikian sebuah sistem peradilan yang independen, tidak terkooptasi oleh kekuasaan lain, serta menjamin due process of law, merupakan conditio sine qua non bagi perlindungan hak asasi manusia;
b.   Dengan tercapainya kesepakatan mengenai jurisdiksi peradilan militer, menjadi tidak relevan untuk membahas peradilan koneksitas. Penghapusan mekanisme perkara koneksitas tidak hanya dengan mencabut perkara koneksitas dalam undang-undang tentang peradilan militer, tetapi juga harus dibarengi dengan menghapus seluruh ketentuan-ketentuan yang bersifat internal dari TNI dan menghapus seluruh ketentuan-ketentuan perihal penggunaan perkara koneksitas di seluruh peraturan perundang-undangan yang mengaturnya;
c.  Reformasi peradilan militer dengan membatasi jurisdiksi peradilan militer, sebagai bagian dari perbaikan kualitas demokrasi dan politik kewarganegaraan kita, tidak serta merta menghapus kebutuhan akan sebuah peradilan militer yang kuat dan independen. Peradilan militer tetap diperlukan sebagai mekanisme kontrol internal terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh prajurit TNI;
d.  Tentara Nasional Indonesia, sebagai sebuah institusi yang selama ini menjadi tulang punggung Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus tetap menjunjung tinggi keadilan dengan menempatkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI sebagai tanggung jawab personal. Dengan demikian, institusi TNI akan semakin kuat, bersih dan berwibawa;
e.  Di tataran teknis perundang-undangan, tidak ada perubahan mendesak yang harus dilakukan terhadap KUHP, mengingat di dalam KUHP kita tidak ada pengaturan khusus ataupun pengecualian terhadap subyek hukum tertentu, khususnya prajurit TNI;
f.  KUHAP Militer selama ini merupakan bagian dari UU no. 31/1997 tentang Peradilan Militer. Dengan demikian, pembahasan RUU Peradilan Militer mencakup pula revisi terhadap KUHAP Militer. Akan menjadi lebih baik apabila KUHAP Militer ini ditempatkan sebagai aturan tersendiri yang terpisah dari UU Peradilan Militer, sehingga UU Peradilan Militer sepenuhnya mengatur mengenai organisasi, struktur dan fungsi peradilan militer;
g.   KUHP Militer yang kita miliki saat ini adalah Wetboek van Militair Strafrecht voor Nederlands Indie (Stb. 1934 Nr. 167) yang kemudian diubah menjadi UU No. 39 Tahun 1947. UU tersebut sudah diberlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Hindia Belanda sejak tanggal 1 Oktober 1934 dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 25 Maret No. 35 Bbl. 1934 Nr. 337. Dengan demikian, memang sudah selayaknya kita menyusun KUHP Militer yang baru;
h.   Presiden harus segera menyampaikan surat resmi sebagai jawaban atas surat DPR sekaligus untuk mempertegas posisi Pemerintah terhadap RUU Peradilan Militer. Dengan demikian, Pansus Peradilan Militer serta Departemen Pertahanan dan Departemen Hukum dan HAM dapat melanjutkan tugasnya dalam Panitia Kerja RUU Peradilan Militer untuk membahas hal-hal lain yang juga harus segera dituntaskan dalam proses reformasi peradilan militer ini;
i.   Penegasan Panglima TNI mengenai doktrin baru TNI Tri Dharma Eka Karma, memperkuat kembali signifikansi penegasan jusrisdiksi peradilan militer sesuai dengan fungsi dasar TNI sebagai alat pertahanan Negara.[52]

E.      PENUTUP
1.    Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a.   Titik temu antara hukum dan politik dapat dikatakan bahwa hukum adalah produk politik, hal ini jika didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan bahwa hukum sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorangpun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik. Dengan demikian, yang dimaksud hukum disini ialah hukum acara pidana militer yang secara normatif diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang dimana UU ini merupakan produk pergulatan politik di lembaga legislatif, sehingga melahirkan sebuah politik hukum. Sehingga politik hukum dapat dikatakan sebagai alat untuk melakukan perubahan atau pembaruan hukum.
b.  Perkembangan Hukum Acara Pidana Militer Indonesia dapat dilihat semenjak berpisahnya TNI dan Polri, dimana TNI tetap tunduk pada yurisdiksi Peradilan Militer sedangkan Polri tunduk pada Peradilan Umum. Upaya pembaruan hukum acara pidana militer sebagai sebuah keputusan atau kebijakan politik seperti hanya “berjalan ditempat”. Politik Hukum Pidana dalam upaya pembaruan hukum acara pidana militer tidak dijalankan dengan baik. Misalnya dalam ketentuan Pasal 65 UU TNI menyatakan bahwa parajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer tunduk kepada peradilan militer, sedangkan prajurit yang melakukan tindak pidana umum tunduk pada peradilan umum. Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 74 UU TNI baru berlaku setelah adanya pembaruan atau revisi terhadap UU Peradilan Militer.

2.    Saran
a.    Perlu segera dilakukan pembenahan hukum acara pidana militer Indonesia terutama mengenai yurisdiksi pengadilan militer. Untuk itu, maka dibutuhkan suatu kebijakan hukum pidana (politik hukum pidana) guna menentukan arah perubahan tersebut;

b.   Guna mendukung politik hukum pidana dalam upaya pembaruan hukum acara pidana militer tersebut, maka kebijakan legislatif sebagai lembaga pembentuk UU dalam hal ini sangatlah besar perannya. Lembaga legislatif sebagai lembaga politik tentunya juga harus menyerap aspirasi-aspirasi dari rakyat untuk mengadakan perubahan isu-isu krusial dalam hukum acara pidana militer (UU Peradilan Militer).


F.            DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Alfian, 1978, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia; Kumpulan Karangan, Jakarta: Gramedia.
Andi Hamzah, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Barda Nawawi Arief, 2008, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
_________________, 2011, Bunga Rampai Kebijkan Hukum Pidana, Cet. Ke-III, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Chairul Huda, 2013, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Ke-V,  Jakarta: Kencana.
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, 1985, Hukum Pidana Militer di Indonesia, cet.2, Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM.
Eddy O.S Hiariej, 2013, Beberapa Catatan RUU KUHAP dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana Terpadu; Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional R.I.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2013, Politik Hukum, Jakarta: Rajawali Press.
Jimly Ashiddiqie, 1995, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa.
M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Impelementasinya, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2017, Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat Tepublik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat  Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Cet. Ke-17, Jakarta, Sekretariat MPR-RI.
Moh. Faisal Salam, 2002, Hukum Acara Pidana Militer Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta:Aksara Baru.
____________, 1992, Perkembangan Pokok-Pokok Pemikiran Dalam Konsep KUHP, Pekanbaru: IUR Press.
____________, 1996, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, Jakarta: Karya Dunia Fikir.
S. R. Sianturi, 1985, Hukum Pidana Militer Indonesia, Edisi Revisi, Cet. Ke-2, Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM.
Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni.
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung: Sinar Baru.
Sudikno Mertokusumo, 2013, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya.
Syaiful Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media.
____________, 2014, Sistem Peradilan Pidana Indonesia dala Perspektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
____________, 2015, Nutrisi Keilmuan dalam Pusaran Hukum Pidana, Yogyakarta: Kreasi Total Media.
____________, 2018, Dinamika Hukum Pembuktian dalam Capaian Keadilan, Depok: Rajawali Pers.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebiajakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tongat, 2008, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN:
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER
UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR: VI/MPR/2000 TENTANG PEMISAHAN TNI DAN POLRI
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR: VII/MPR/2000 TENTANG PERAN TNI DAN POLRI

SUMBER LAIN:
Markus Junianto Sihaloho, “Semua Fraksi di DPR Sudah Setuju Revisi UU Peradilan Militer”, (Senin, 5 Oktober 2015, Pukul: 16:23 WIB), http://www.beritasatu.com/politik/312057-semua-fraksi-di-dpr-sudah-setuju-revisi-uu-peradilan-militer.html, diakses pada Kamis 31 Mei 2018.
Rezafaraby, “Kedudukan dan Peran Peradilan Militer di Indonesia” (Semarang: Pengadilan Militer II-10 Semarang, 1 April 2011), http://dilmil-semarang.go.id/artikel/detail/2, diakses pada Kamis, 31 Mei 2018.
Sri Wahyuni, 2003, “Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam)”, Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah.




*) Makalah Disampaikan Pada Diskusi Mata Kuliah Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Dosen Pengampuh: Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH., MH dan Dr. Achmad Cholidin, SH.,MH. Sabtu, 2 Juni 2018 M/18 Ramadhan 1439 H.
**) Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, T.A 2018/2019.
[1] Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta:Aksara Baru,1983), hlm. 9-10.
[2] Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996), hlm. 1.
[3] Roeslan Saleh, Perkembangan Pokok-Pokok Pemikiran Dalam Konsep KUHP, (Pekanbaru: IUR Press, 1992), hlm. 12.
[4] Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijkan Hukum Pidana, Cet. Ke-III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011), hlm. 29.
[5] Ibid.
[6] Beccaria dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cet. Ke-V,  (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 20-21.
[7] Jimly Ashiddiqie, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1995), hlm. 16.
[8] Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2013), hlm. 1.
[9] E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, cet.2, (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985), hlm. 9.
[10] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat Tepublik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat  Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002, Cet. Ke-17, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 2017), hlm. 175-176.
[11] Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana Terpadu, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2008), hlm. 67
[12] Syaiful Bakhri, Nutrisi Keilmuan Dalam Pusaran Ilmu Hukum Pidana, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2015), hlm. 172.
[13] Ibid.
[14] Moh Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum dalam Syaiful Bakhri, Ibid, hlm. 173.
[15] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Politik Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 22.
[16] Padmo Wahjono dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Ibid, hlm. 26.
[17] Ibid, hlm. 26-27.
[18] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Ke-VI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 1.
[19] Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 6-7
[20] M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan Impelementasinya, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 1.
[21] Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 39-40.
[22] Tongat, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang: UMM Press, 2008), hlm. 47
[23] Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 90.
[24] Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hlm. 15.
[25] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian Kebiajakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 39.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Moh. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana Militer di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 14.
[29] Ibid.
[30] Syaiful Bakhri, Dinamika Hukum Pembuktian dalam Capaian Keadilan, (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 65.
[31] Ibid, hlm. 69.
[32] Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia; Kumpulan Karangan, (Jakarta: Gramedia, 1978), hlm. 249-250.
[33] Moh. Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 4.
[34] Ibid, hlm. 5.
[35] Sri Wahyuni, “Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam)”, Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah, 2003, hlm: 74
[36] Ibid.
[38] Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Op.Cit, hlm. 37.
[39] Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 26.
[40] Ibid.
[41] Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 93.
[42] Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 26-27.
[43] Ibid, hlm. 27.
[44] Satya Arinanto dalam Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Op. Cit, hlm. 37.
[45] Syaiful Bakhri, Ibid.
[46] Ibid, hlm. 37-38.
[47] Eddy O.S Hiariej, Beberapa Catatan RUU KUHAP dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana Terpadu; Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: Komisi Hukum Nasional R.I, 2013), hlm. 78-79.
[48] Syaiful Bakhri, Sistem Peradilan Pidana Indonesia dala Perspektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 8-9.
[49] Rezafaraby, “Kedudukan dan Peran Peradilan Militer di Indonesia” (Semarang: Pengadilan Militer II-10 Semarang, 1 April 2011), http://dilmil-semarang.go.id/artikel/detail/2, diakses pada Kamis, 31 Mei 2018.
[50] Markus Junianto Sihaloho, “Semua Fraksi di DPR Sudah Setuju Revisi UU Peradilan Militer”, (Senin, 5 Oktober 2015, Pukul: 16:23 WIB), http://www.beritasatu.com/politik/312057-semua-fraksi-di-dpr-sudah-setuju-revisi-uu-peradilan-militer.html, diakses pada Kamis 31 Mei 2018.
[51] Ibid.
[52] Ibid.

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...