HUKUM ACARA PIDANA MILITER INDONESIA DALAM PERSPEKTIF
POLITIK HUKUM*)
Disusun Oleh:
Roli Pebrianto, Didi Nahtadi, Samatrin, Brinna
Listiyani, Raden Aditiya Barkah**)
A. PROLOG
Perubahan atau Pembaruan hukum pidana di Indonesia
dimulai sejak masa permulaan berdirinya Republik Indonesia. Pasal II Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 menentukan: Segala badan negara dan
peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru
menurut undang-undang dasar ini. Diadakannya peraturan peralihan ini
dimaksudkan untuk menghindari adanya kekosongan hukum. Hal ini berarti bahwa
peraturan-peraturan yang ada pada zaman penjajahan masih tetap berlaku dimana
pemberlakuan peraturan-peraturan tersebut disesuaikan dengan kedudukan Republik
Indonesia sebagai negara yang merdeka.[1]
Dalam perkembangannya, hukum dapat kita lihat sebagai
hasil dari suatu proses yang dinamis, hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa
hukum itu terjadi sebagai suatu perencanaan dari situasi tertentu menuju kepada
suatu tujuan yang akan dicapai.[2]
Dalam memaknai adanya pembaruan hukum tersebut, Roeslan Saleh juga mengemukakan
bahwa:
“Pembaruan hukum adalah mengadakan perubahan-perubahan terhadap hukum
yang hingga kini masih berlaku, tetapi dipandang tidak sesuai dengan jiwa dan
pandangan falsafah bangsa Indonesia atau dilihat dari alasan kelahirannya,
semangat dan jiwanya, kemajuan-kemajuan yang terjadi, yang menjadikan tidak
mampu lagi memenuhi tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia, dan terlebih lagi
mengenai kemampuannya mengantisipasi segala kehidupan yang disebut dengan
“memodernkan” Indonesia.”[3]
Dalam konteks pembaruan hukum pidana, menurut Barda
Nawawi Arief, latar belakang dan urgensi diadakannya pembaruan hukum pidana
dapat ditinjau dari aspek sosiopolitik, sosiofilosofis, sosiokultural, atau
dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan sosial, kebijakan kriminal,
dan kebijakan penegakan hukum).[4]
Lebih lanjut Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:
“Pembaruan hukum pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya
untuk melakukan reorientasi dan reformasi hukum pidana yang sesuai dengan
nilai-nilai sentral sosiopolitik, sosiofilosofis, dan sosiokultural masyarakat
Indonesia yang melandasi kebijakan sosial, kebijakan kriminal, dan kebijakan
penegakan hukum di Indonesia. Secara singkat, dapatlah dikatakan pembaruan
hukum pidana pada hakikatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi
pada kebijakan (“policy-oriented
approach”) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (“value-oriented approach”).[5]
Selanjutnya, Beccaria memberi pernyataan bahwa: “hanya undang-undanglah
yang boleh menentukan perbuatan mana sajakah yang dapat dipidana, sanksi-sanksi
apakah dan atas perbuatan-perbuatan mana pula yang dapat dijatuhkan, dan
bagaimana tepatnya peradilan pidana harus terjadi”.[6]
Dengan demikian, maka hukum pidana tidak hanya dimaknai sebagai hukum yang
mengatur dan menentukan bentuk-bentuk tidak pidana dan sanksinya (hukum pidana
formil), melainkan mengatur juga tentang bagaimana penegak hukum bekerja
menegakkan hukum (hukum pidana formil).
Dalam perspektif yang lain, Jimly Asshidiqqie menyatakan bahwa: “ruang
lingkup pengertian pembaruan hukum pidana sebenarnya meliputi pembaruan
terhadap bidang hukum pidana baik yang menyangkut substansinya (hukum pidana
materiil), hukum acaranya (hukum pidana formiil), maupun terhadap
ketentuan-ketentuan yang menyangkut pelaksanaan pidananya (straftvolls treckung-gesetz).”[7]
Secara menyeluruh pembaruan hukum pidana dan hukum acara pidana juga
tidak dapat dipisahkan dari upaya tercapainya kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (Zweckmasigheit), dan keadilan (Gerechttigheit).[8]
Dengan demikian maka berbagai pembaruan yang dilakukan dapat sejalan dengan
tujuan dari penegakan hukum secara menyeluruh, termasuk juga pembaruan dalam
bidang Hukum Acara Pidana Militer Indonesia.
Secara
normatif, Hukum Acara Pidana Militer Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor
31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (selanjutnya disingkat UU Peradilan
Militer). Keberadaan peradilan militer sebagai satu kesatuan hukum dalam sistem
peradilan pidana militer telah melembaga dan telah tertata segala
perangkat-perangkat yang diperlukan untuk menjalankan sistem peradilan militer.
Hukum militer Indonesia berpangkal tolak dari tugas militer Indonesia (TNI) dan
adalah merupakan bagian dan merupakan salah satu sistem dari hukum nasional
Indonesia. Karenanya hukum militer Indonesia mempunyai landasan, sumber-sumber
dan cakupan yang sejalan dengan hukum nasional.[9]
Pembahasan mengenai perubahan atau
pembaruan Hukum Acara Militer Indonesia mulai mengemuka sejak dikeluarkannya
TAP MPR Nomor: VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dan TAP MPR Nomor:
VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Pembahasan yang dianggap krusial
yakni mengenai ketentuan Pasal 3 ayat (4a) dan ayat (4b) TAP MPR Nomor:
VIIMPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri, yang menyatakan bahwa:
“a. Prajurit
Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal
pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal
pelanggaran hukum pidana umum.
b. Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana
dimaksud pada ayat (4a) Pasal ini
tidak berfungsi maka prajurit Tentara
Nasional Indonesia tunduk dibawah kekuasaan peradilan yang yang diatur dengan
undang-undang.”[10]
Selanjutnya, mengenai penundukan
prajurit TNI yang melakukan tindak pidana umum pada yurisdiksi peradilan umum
dan pada peradilan militer dalam hal prajurit TNI melakukan tidak pidana
militer juga telah diatur dalam Pasal 65 ayat 2 jo. Pasal 74 UU No. 34 Tahun
2004 tentang TNI (selanjutnya disingkat UU TNI), namun belum bisa dilaksanakan
karena UU Peradilan Militer belum diadakan perubahan. Pasal 65 ayat (2) UU TNI
menyatakan bahwa:
“Prajurit tunduk kepada kekuasaan
peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada
kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur
dengan undang-undang.”
Kemudian Pasal 74 UU TNI menyatakan
bahwa:
(1)
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65
berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru
diberlakukan.
(2)
Selama undang-undang peradilan militer yang
baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer.
Menurut Barda Nawawi Arief, sepanjang
hukum pidana materiel untuk militer (KUHPM) belum diubah, sulit untuk mengaplikasikan ide atau “putusan politik”
yang tertuang dalam TAP MPR VII/2000, bahwa terhadap “Prajurit TNI tunduk
kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum”.[11]
Menarik kemudian untuk diteliti mengenai
politik hukum pidana dalam upaya perubahan atau pembaruan hukum acara pidana
militer Indonesia, hal ini dikarenakan sampai saat ini belum ada pelaksanaan
dari TAP MPR No. VII/MPR/2000, serta belum adanya undang-undang perubahan dari
UU Peradilan Militer. Dengan demikian, maka disusnlah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana hubungan antara politik hukum dengan upaya pembaruan
hukum di Indonesia ?
2. Bagaimana perkembangan Hukum Acara Pidana Militer Indonesia
dalam perspektif politik hukum ?
B. TINJAUAN
PUSTAKA
1. Pengertian Politik Hukum
Perdebatan mengenani hubungan
hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Kalangan
penganut aliran positivisme hukum
beranggapan hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada
sisi lain kalangan yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan
undang-undang semata, berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan
umum sesuai kenyataan-kenyataan sosial yang dalam dalam masyarakat dan setiap
kelompok menciptakan hukum yang hidup.[12]
Dalam mencari pola hubungan
antara hukum dan politik ini, terutama berangkat dari dua perspektif yang
bertolak belakang, perlu dicermati dengan saksama Daniel S. Lev yang
mengungkapkan bahwa: “hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik.[13] Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga
asumsi yang mendasarinya, yaitu : (i) Hukum
determinan (menentukan) atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah
dan pengendali semua kegiatan politik. (ii) Politik
determinan atas hukum, dalam arti bahwa kenyataannya, baik prodek normatif
maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. (iii) Politik dan Hukum terjalin dalam hubungan
yang saling bergantung, seperti bunyi adagium “politik tanpa hukum
menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi
lumpuh.”[14]
Selanjutnya, politik hukum
menurut Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari diartikan sebagai rangkaian konsep
dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kpemimpinan, dan cara bertindak dalam hukum.[15]
Menurut Padmo Wahjono,
mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah,
bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat
abstrak dan kemudian dilengkapi dengan artikelnya di majalah Forum Keadilan yang berjudul “Menyelisik Proses Terbentuknya
Perundang-undangan”. Dalam artikel tersebut, Padmo Wahjono mengatakan bahwa
politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini, kebijakan tersebut dapat
berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.[16]
Dari kedua definisi yang
diberikan oleh Padmo Wahjono, dapat disimpulkan bahwa politik hukum adalah
kebijakan penyelenggara negara yang bersifat dasar dalam menentukan arah,
bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut
Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di
masa datang (ius constituendum).[17]
Sedangkan menurut Moh. Mahfud
MD, politik hukum adalah legal policy atau
garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Politik hukum
merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan
tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945.[18]
Politik hukum sebagai bagian
dari ilmu hukum, yang meneliti perubahan hukum yang berlaku, yang harus
dilakukan untuk memenuhi tuntunan baru kehidupan masyarakat,
penyelidikan-penyelidikan dari politik hukum, terhadap segala perubahan, apakah
yang harus diadakan oleh hukum yang ada sekarang, supaya dapat memenuhi
syarat-syarat baru dari hidup kemasyarakatan. Hukum yang lama dapat
dipertimbangkan untuk kaidah-kaidah dan stelsel hukum yang akan datang.
Sehingga dapat juga dimaknai bahwa hukum sebagai dessein ditetapkan oleh politik.[19]
2. Politik Hukum Pidana
Masalah pidana dan
pemidanaan dalam sejarah selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad,
keberadaannya banyak diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut
perkembangan masyarakat, perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia
selalu berupaya untuk memperbaharui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan
di masa depan.[20]
Dalam menentukan suatu
tindak pidana digunakan kebijakan hukum pidana. Penal policy atau
politik (kebijakan) hukum pidana, pada intinya, bagaimana hukum pidana
dirumuskan dengan baik dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat
undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif),
dan pelaksanaan hukum pidana (kebijakan eksekutif).
Kebijakan legislatif
merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena
pada saat peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah
yang hendak dituju atau dengan kata lain perbuatan-perbuatan apa yang dipandang
perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana.
Ini artinya menyangkut proses kriminalisasi.
Menurut Sudarto,[21]
kriminalisasi dapat
diartikan sebagai proses penetapan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dapat
dipindana. Proses ini diakhiri dengan terbentuknya undang-undang, di mana
perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi berupa pidana.
Politik hukum pidana (legal
policy) adalah arah hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai
tujuan negara yang bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian
hukum lama. Dalam arti yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada
tujuan negara dan sistem hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang
dalam konteks Indonesia tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD
1945, khususnya Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.[22]
Pengertian politik kriminal (Criminele Politiek, Criminal Policy),
yakni kebijakan pemerintah dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan
kejahatan.[23] Dalam
kaitan itu, maka dikenal pula beberapa pengertian yang saling berkaitanantara
kebijakan kriminal yaitu: kriminalisasi, penalisasi. Sehingga politik hukum
pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu
perundang-undangan pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam
definisi “penal policy” yang secara
singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan
untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Garis
kebijakan hukum pidana adalah untuk menentukan:
a. Seberapa jauh
ketenuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui;
b. Apa yang dapat
diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Bagaimana cara
penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.[24]
Kebijakan penanggulangan
tindak pidana dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan
penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal
policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan
sarana di luar hukum pidana (non-penal policy).[25]
Pada
dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah
terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan represif adalah tindakan
yang dilakukan setelah kejadian terjadi untuk menekan agar kejadian tidak
meluas atau menjadi parah.[26]
Sedangkan non-penal
policy lebih menekankan pada tindakan prefentif sebelum terjadinya
suatu tindak pidana, yang mana tindakan prefentif adalah tindakan yang
mengutamakan pencegahan sebelum terjadinya kejadian. Menurut pandangan dari
sudut politik kriminil secara makro, non-penal policy merupakan
kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu
dikarenakan, non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan
terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah
me-nangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya
suatu tindak pidana.[27]
3. Hukum
Acara Pidana Militer Indonesia
Secara normatif, Hukum Acara Pidana
Militer diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan
Militer (selanjutnya disingkat UU Peradilan Militer). Menurut Moh. Faisal
Salam, bahwa Hukum Acara Pidana Militer merupakan hukum acara khusus bagi
tentara. Walaupun sebagai Warga Negara Republik Indonesia, Tentara bukan
merupakan kelas tersendiri, karena tiap anggota Tentara adalah juga sebagai
anggota masyarakat biasa, tapi karena adanya beban kewajiban Angkatan
Bersenjata sebagai inti dalam pembelaan dan pertahanan Negara.[28]
Lebih lanjut Moh. Faisal Salam menyatakan
bahwa:
“Untuk itu, maka diperlukan suatu
pemeliharaan ketertiban yang lebih/berdisiplin dalam organisasinya, sehingga
seolah-olah merupakan kelompok tersendiri untuk mencapai/melaksanakan tujuan
tugasnya yang pokok, untuk itu diperlukan suatu hukum yang khusus dan peradilan
yang tersendiri yang terpisah dari peradilan umum. Kekhususan itu ialah, bahwa
masyarakat tentara itu adalah pengkhususan daripada masyarakat umum.”[29]
Peradilan Militer adalah peradilan khusus yang menyangkut kejahatan yang
dilakukan oleh anggota militer ataupun yang melibatkan anggota militer atas
terjadinya kejahatan. Peradilan ini berlaku sejak adanya kemerdekaan berlanjut
serta berkembang hingga sekarang dengan menyesuaika prinsip-prinsip negara
hukum Indonesia.[30]
Disamping berlaku khusus untuk tentara, kekhususan Pengadilan Militer juga
terletak pada kewenangan penuntutan dan penyidikan yang tidak dilakukan oleh
Kejaksaan, tetapi Atasan Yang Berhak Menghukum (ANKUM), Polisi Militer, dan
Oditurat, ditambah penyidik pembantu yang terdiri dari Provos Tentara Nasional
Angkatan Darat, Provos Tentara Nasional Angkatan Laut, dan Provos Tentara
Nasional Angkatan Udara.[31]
C. HUBUNGAN
ANTARA POLITIK HUKUM DENGAN UPAYA PEMBARUAN HUKUM DI INDONESIA
1. Timbal
Balik Antara Politik dan Hukum
Titik pertemuan antara hukum dan politik antara
lain dapat dicari dalam bidang hukum tata negara (constitutional law). Bidang ini mempelajari segi-segi formil dari
struktur politik tertentu sebagaimana dikehendaki oleh konstitusi yang ada
serta undang-undang dan peraturan-peraturan yang melengkapinya. Ia menelaah
tentang bagaimana kekuasaan politik diatur dan dibagi, apa-apa fungsi
lembaga-lembaga tertentu, apa saja hak dan kewajiban politik anggota-anggota
masyarakat (warga negara), bagaimana peraturan permainan politik yang
sebenarnya berlaku.[32]
Kemudian, titik temu antara hukum dan politik
dapat dikatakan bahwa hukum adalah produk politik. Menurut Moh. Mahfud MD,
secara metodologis-ilmiah sebenarnya tidak ada yang salah dengan pernyataan
tersebut, tergantung pada asumsi dan konsep yang dipergunakan. Dengan asumsi
dan konsep tertentu suatu pandangan ilmiah dapat mengatakan bahwa hukum adalah
produk politik, tetapi dengan asumsi dan konsep tertentu yang lain suatu
pandangan ilmiah dapat mengatakan sebaliknya, bahwa politik adalah produk
hukum.[33]
Menurut Mahfud MD, bahwa pernyataan “hukum
sebagai produk politik” adalah benar jika didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan bahwa hukum sebagai undang-undang.
Dalam faktanya, jika hukum dikonsepkan sebagai undang-undang yang dibuat oleh
lembaga legislatif maka tak seorangpun dapat membantah bahwa hukum adalah
produk politik. Namun, jika didasarkan pada das
sollen atau jika hukum tidak diartikan sebagai undang-undang, maka
pernyataan “hukum sebagai produk politik” akan menjadi lain atau bahkan akan
menjadi salah.[34]
Dalam makalah ini, Penulis mendasarkan
pengertian “hukum sebagai produk politik” pada das sein dengan mengonsepkan bahwa yang dimaksud hukum disini ialah
hukum acara pidana militer yang secara normatif diatur dalam UU No. 31 Tahun
1997 tentang Peradilan Militer, yang dimana UU ini merupakan produk pergulatan
politik di lembaga legislatif.
2. Politik
Hukum Sebagai Alat Untuk Melakukan Perubahan Hukum
Hukum adalah produk politik, sehingga ketika
membahas politik hukum cenderung mendiskripsikan pengaruh politik terhadap
hukum atau pengaruh sistem politik terhadap pembangunan hukum. Hukum adalah
hasil tarik-menarik berbagai kekuatan politik yang mengejawantah dalam produk
hukum.[35]
Bellfroid mendefinisikan rechtpolitiek sebagai
sebuah proses dalam pembentukan ius contitutum (hukum positif)
dari ius contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk
memenuhi kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat. Politik hukum
terkadang juga dikaitkan dengan kebijakan publik (public policy) yang
menurut Thomas Dye yaitu : “whatever the government choose to do or not to
do”. Politik hukum juga didefinisikan sebagai pembangunan hukum.[36]
Hukum adalah instrumentasi dari putusan atau
keinginan politik, sehingga pembuatan undang-undang sarat dengan
kepentingan-kepentingan tertentu. Medan pembuatan undang-undang menjadi arena perbenturan
dan pergumulan antar kepentingan.[37]
Badan pembuat undang-undang merupakan
representasi konfigurasi kekuatan dan kepentingan yang ada dalam masyarakat.
Konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam badan pembuat undang-undang menjadi
penting karena pembuatan undang-undang modern bukan sekadar merumuskan materi
hukum secara baku berikut rambu-rambu yuridisnya, melainkan membuat putusan
politik terlebih dahulu. Disamping konfigurasi kekuatan dan kepentingan dalam
badan pembuat undang-undang, intervensi-intervensi dari luar tidak dapat
diabaikan dalam pembentukan undang-undang.[38]
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa
politik hukum sebagai kebijakan (policy)
dapat dikatakan sebagai alat untuk mengubah atau mengadakan pembaruan terhadap
perubahan atau pembaruan ius contitutum (hukum positif) kepada ius
contituendum (hukum yang akan dan harus ditetapkan) untuk memenuhi
kebutuhan perubahan dalam kehidupan masyarakat.
D. PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PIDANA MILITER INDONESIA
DALAM PERSPEKTIF POLITIK HUKUM
1.
Kebijakan
Legislatif dalam Perubahan Hukum Acara Pidana Militer Indonesia
Sebelum membahas mengenai kebijakan legislatif,
terlebih dahulu penulis akan menguraikan mengenai kebijakan hukum pidana.
Menurut Barda Nawawi Arief,[39]
istilah kebijakan diambil dari istilah “policy”
(Inggris) atau “Politiek” (Belanda).
Bertolak dari kedua istilah asing ini, maka istilah “kebijakan hukum pidana”
dapat pula disebut dengan istilah “politik hukum pidana”. Dalam kepustakaan
asing istilah “politik hukum pidana” ini sering dikenal dengan berbagai istilah
“penal policy”, “criminal law policy”,
atau “strafrechtpolitiek”.[40]
Menurut Sudarto, dengan melaksanakan politik
hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang
sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan
datang.[41]
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka politik hukum
pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat atau merumuskan
suatu perundang-undangan pidana yang baik.[42] Pengertian demikian
terlihat pula dalam definisi “penal policy” yang dikemukakan oleh Marc Ancel
sebagaimana dikutif oleh Barda Nawawi Arief, yang menyatakan bahwa:
“Penal Policy merupakan
suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum
positif dirumuskan secara lebih baik. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
“peraturan hukum positif” (the positive
rules) dalam definisi Marc Ancel itu jelas adalah peraturan
perundang-undangan hukum pidana. Dengan demikian, istilah “penal policy” menurut Marc Ancel adalah sama dengan istilah
“kebijakan atau politik hukum pidana.” [43]
Hubungan yang erat antara hukum dan politik,
telah terjadi intervensi politik terhadap hukum dalam realitanya, hukum tidak
steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik seringkali melakukan
intervensi terhadap pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga muncul pula
pertanyaan tentang sistem mana yang lebih suprematif apakah subsistem politik
ataukah subsistem hukum. Bagaimana pengaruh politik terhadap hukum, mengapa
politik banyak mengintervensi hukum, jenis sistem politik yang bagaimana yang
dapat yang dapat melahirkan produk hukum yang berkarakter tertentu dan
sebagainya.[44]
Produk legislasi adalah produk politik, hasil
tarik menarik berbagai kepentingan politik yang mengejawantah dalam hukum.
Hukum adalah instrumentasi dari putusan atau keinginan politik, sehingga
pembuatan undang-undang sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu, dan
dengan demikian, medan pembuatan undang-undang menjadi medan perbenturan dan
pergumulan kepentingan-kepentingan.[45] Hal ini juga sebagaimana
dikemukakan oleh Jazuni sebagaimana dikutip Syaiful Bakhri, yang menyatakan
bahwa:
Badan pembuat undang-undang akan mencerminkan konfigurasi kekuatan
dan kepentingan yang ada dalam masyarakat, karena pembuatan undang-undang
modern bukan sekedar merumuskan materi hukum secara baku berikut rambu-rambu
yuridisnya, melainkan membuat putusan politik terlebih dahulu. Kekuatan dan
kepentingan dalam pembentukan undang-undang, intervensi dari luar tidak dapat
diabaikan dalam pembentukan undang-undang terutama oleh golongan yang memiliki
kekuasaan dan kekuatan secara sosial, politik, maupun ekonomi, sehingga politik
hukum mencakup pengertian bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan cara
melihat konfigurasi yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum.[46]
Sejak awal era reformasi telah menuntut adanya transparansi, kebebasan, demokratisasi dan
persamaan hak, yang berimbas
kepada penyelenggaraan peradilan. Prinsip equality
before the law menghendaki tidak ada warga Negara yang mendapat prevelege apalagi dalam bidang
peradilan. Oleh karena itu tuntutan bahwa militer yang melakukan tindak
pidana umum diadili di peradilan umum terus bergaung dan puncaknya adalah
dikeluarkannya TAP MPRI RI Nomor VI/MPR/2000 dan TAP MPR RI Nomor VIII/MPR/2000 jo. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menegaskan
bahwa anggota militer yang melakukan kejahatan umum di bawa ke pengadilan
sipil.
Sedangkan Undang-undang
Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan
Militer mengatakan tindak pidana yang dilakukan anggota militer baik tindak
pidana umum sebagaimana diatur dalam KUHP dan perundang-undangan pidana lainnya, juga tindak
pidana militer sebagaimana terdapat dalam KUHPM semuanya diadili di peradilan
militer. Melihat
semangat yang terkandung dalam TAP MPR RI dan Undang-undang Nomor 34 tahun 2004
tentang TNI, Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan usul inisiatif perubahan
Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan alasan
supaya terjadi sinkronisasi dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Terkait dengan sistem peradilan pidana, secara
sederhana dapat diartikan sebagai proses yang dilakukan oleh negara terhadap
orang-orang yang melanggar hukum pidana, yang dimulai dari kepolisian,
kejaksaan, dan akhirnya pengadilan. Para penegak hukum dalam sistem peradillan
pidana dalah terpadu dan tidak dapat dipisahkan.[47] Istilah sistem peradilan
pidana (criminal justice system)
menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan kejahatan dengan menggunakan
dasar pendekatan sistem. Juga diartikan sebagai pendekatan sistem terhadap
mekanisme administrasi peradilan pidana, sebagai suatu sistem merupakan hasil
interaksi antara peraturan perundang-undangan, atau juga merupakan setiap tahap
dari suatu putusan yang menghadapkan seorang tersangka kedalam proses yang
membawanya kepada penuntutan pidana baginya.[48]
Kemudian, mengenai sistem peradilan militer, secara yuridis eksistensi peradilan militer
dimuat dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 amandemen keempat yang berbunyi:
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkunagan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usahan Negara
dan oleh sebuah mahkamah Konstitusi.
Peradilan militer
merupakan peradilan khusus baik obyek maupun subyeknya yaitu golongan rakyat
tertentu (prajurit TNI atau yang dipersamakan). Kemudian pasal 1 dan 2 KUHPM
mengatakan penerapan KUHP ke dalam KUHPM dan orang-orang yang tunduk kepada
peradilan militer yang melakukan tindak pidana dan tidak tercantum dalam KUHPM
diterapkan KUHP.
Keberadaan/eksistensi
peradilan militer memang harus dipertahankan, tetapi permasalahannya apakah
lingkup kewenangannya tetap mengadili pelanggaran tindak pidana umum dan tindak
pidana militer yang dilakukan oleh prajurit TNI atau hanya mengadili tindak
pidana militer, sedangkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI
dilakukan di peradilan sipil/umum.
Ketetapan MPR RI Nomor
VII/MPR/2000 khususnya Pasal 3
ayat (4) huruf a berbunyi: “Prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum
dalam hal pelanggaran pidana umum. Kemudian RUU Perubahan Undang-undang Nomor
31 tahun 1997 tentang peradilan militer menghendaki bahwa tindak pidana yang
dilakukan oleh prajurit TNI diadili di peradilan umum.”
Untuk mengurangi
permasalahan ini, maka pembaruan hukum harus diarahkan kepada pembangunan
sistem hukum, yang meliputi struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.
Sinkronisasi perlu dilakukan sebelum terbentuknya undang-undang peradilan pidana
militer yang baru yaitu UUD 1945, Undang-undang kekuasaan kehakiman,
Undang-undang Mahkamah Agung dan Undang-undang pemasyarakatan.
Adanya kesepakatan
antara Pemerintah dengan DPR untuk melanjutkan pembahasan RUU Peradilan Militer
merupakan sebuah langkah maju dalam reformasi sektor keamanan, khususnya
reformasi peradilan militer. Pemerintah dan DPR telah sepakat untuk melanjutkan pembahasan RUU Peradilan
Militer di tingkat Panitia Kerja (Panja), di mana telah dibahas beberapa hal antara lain tentang
pengadilan koneksitas, serta definisi tindak pidana umum yang dilakukan
prajurit Tentara Nasional Indonesia.[49]
Pada periode 2004-2009, DPR
RI pernah membahas revisi UU Peradilan Militer. Namun semuanya
tidak dapat terlaksana karena TNI bersikeras belum siap bila prajurit dipaksa tunduk kepada rezim pengadilan umum.[50]
Kemudian, pada tahun 2015, pembahasan terhadap RUU perubahan atas UU Peradilan
Militer kembali dilakukan oleh DPR dan Pemerintah.
Wakil Ketua Komisi I DPR RI
waktu itu, Tantowi Yahya, menyatakan semua fraksi di DPR RI sudah kompak mendukung dilaksanakannya revisi UU Peradilan Militer, demi
memastikan tunduknya prajurit TNI kepada rezim pengadilan sipil ketika melakukan tindak pidana umum.[51]
2. Beberapa
Hal Yang Perlu Diadakan Perubahan Dalam UU Peradilan Militer
Hal-hal yang perlu dilakukan pembenahan, pertama adalah merekonstruksi sub sistem peradilan
pidana yang bisa mencakup semua unsur peradilan yang selama ini ada misalnya
bagaimana menyatukan penyidik dengan polisi militer, papera, dan ankum,
kemudian jaksa dengan otmil serta pengadilan dengan Dilmil. Sehingga kalau ini sudah beres dengan
sendirinya peradilan koneksitas tidak diperlukan lagi. Termasuk pembenahan
dalam hukum acara pidana adalah pembenahan tentang lembaga penahanan (baik yang
ada di polisi, polisi militer, Rutan, dan RTM) sampai kepada lembaga
pemasyarakatan (militer).
Merujuk
kepada UU Peradilan Militer, terlihat beberapa pengaturan yang tumpang
tindih, misalnya pasal tentang tata usaha militer seharusnya tidak diatur
dalam undang-undang ini mengingat militer merupakan bagian dari Negara dan ini
sudah diatur dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang
Nomor 15 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Ada beberapa
usulan untuk melakukan
penyesuaian terhadap KUHP, KUHAP, dan KUHP Militer sebelum aturan tentang
Peradilan Militer direvisi. Mencermati perkembangan tersebut, tim advokasi Imparsial merasa menyampaikan beberapa hal,
yaitu:
a. Sebagai
perangkat dasar bagi warga negara untuk memperoleh dan mempertahankan
hak-haknya, sekaligus juga untuk menjaga dan melindungi kualitas
kewarganegaraan yang demokratis, harus ada kejelasan mengenai jurisdiksi
peradilan, serta independensi dan fairness dari pengadilan. Dengan demikian
sebuah sistem peradilan yang independen, tidak terkooptasi oleh kekuasaan lain,
serta menjamin due process of law,
merupakan conditio sine qua non bagi
perlindungan hak asasi manusia;
b. Dengan
tercapainya kesepakatan mengenai jurisdiksi peradilan militer, menjadi tidak
relevan untuk membahas peradilan koneksitas. Penghapusan mekanisme perkara
koneksitas tidak hanya dengan mencabut perkara koneksitas dalam undang-undang
tentang peradilan militer, tetapi juga harus dibarengi dengan menghapus seluruh
ketentuan-ketentuan yang bersifat internal dari TNI dan menghapus seluruh
ketentuan-ketentuan perihal penggunaan perkara koneksitas di seluruh peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya;
c. Reformasi
peradilan militer dengan membatasi jurisdiksi peradilan militer, sebagai bagian
dari perbaikan kualitas demokrasi dan politik kewarganegaraan kita, tidak serta
merta menghapus kebutuhan akan sebuah peradilan militer yang kuat dan independen.
Peradilan militer tetap diperlukan sebagai mekanisme kontrol internal terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh prajurit TNI;
d. Tentara
Nasional Indonesia, sebagai sebuah institusi yang selama ini menjadi tulang
punggung Negara Kesatuan Republik Indonesia, harus tetap menjunjung tinggi
keadilan dengan menempatkan tindak pidana umum yang dilakukan oleh anggota TNI
sebagai tanggung jawab personal. Dengan demikian, institusi TNI akan semakin
kuat, bersih dan berwibawa;
e. Di
tataran teknis perundang-undangan, tidak ada perubahan mendesak yang harus
dilakukan terhadap KUHP, mengingat di dalam KUHP kita tidak ada pengaturan
khusus ataupun pengecualian terhadap subyek hukum tertentu, khususnya prajurit
TNI;
f. KUHAP
Militer selama ini merupakan bagian dari UU no. 31/1997 tentang Peradilan
Militer. Dengan demikian, pembahasan RUU Peradilan Militer mencakup pula revisi
terhadap KUHAP Militer. Akan menjadi lebih baik apabila KUHAP Militer ini
ditempatkan sebagai aturan tersendiri yang terpisah dari UU Peradilan Militer,
sehingga UU Peradilan Militer sepenuhnya mengatur mengenai organisasi, struktur
dan fungsi peradilan militer;
g. KUHP
Militer yang kita miliki saat ini adalah Wetboek van Militair Strafrecht voor
Nederlands Indie (Stb. 1934 Nr. 167) yang kemudian diubah menjadi UU No. 39
Tahun 1947. UU tersebut sudah diberlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Hindia
Belanda sejak tanggal 1 Oktober 1934 dengan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda tanggal 25 Maret No. 35 Bbl. 1934 Nr. 337. Dengan demikian, memang
sudah selayaknya kita menyusun KUHP Militer yang baru;
h. Presiden
harus segera menyampaikan surat resmi sebagai jawaban atas surat DPR sekaligus
untuk mempertegas posisi Pemerintah terhadap RUU Peradilan Militer. Dengan
demikian, Pansus Peradilan Militer serta Departemen Pertahanan dan Departemen
Hukum dan HAM dapat melanjutkan tugasnya dalam Panitia Kerja RUU Peradilan
Militer untuk membahas hal-hal lain yang juga harus segera dituntaskan dalam
proses reformasi peradilan militer ini;
i. Penegasan
Panglima TNI mengenai doktrin baru TNI Tri Dharma Eka Karma, memperkuat kembali
signifikansi penegasan jusrisdiksi peradilan militer sesuai dengan fungsi dasar
TNI sebagai alat pertahanan Negara.[52]
E. PENUTUP
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan
diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
a. Titik temu antara hukum dan politik dapat dikatakan
bahwa hukum adalah produk politik, hal ini jika didasarkan pada das sein dengan mengonsepkan bahwa hukum
sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorangpun
dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik. Dengan demikian, yang
dimaksud hukum disini ialah hukum acara pidana militer yang secara normatif
diatur dalam UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, yang dimana UU ini
merupakan produk pergulatan politik di lembaga legislatif, sehingga melahirkan
sebuah politik hukum. Sehingga politik hukum dapat dikatakan sebagai alat untuk
melakukan perubahan atau pembaruan hukum.
b. Perkembangan Hukum Acara Pidana Militer
Indonesia dapat dilihat semenjak berpisahnya TNI dan Polri, dimana TNI tetap
tunduk pada yurisdiksi Peradilan Militer sedangkan Polri tunduk pada Peradilan
Umum. Upaya pembaruan hukum acara pidana militer sebagai sebuah keputusan atau
kebijakan politik seperti hanya “berjalan ditempat”. Politik Hukum Pidana dalam
upaya pembaruan hukum acara pidana militer tidak dijalankan dengan baik.
Misalnya dalam ketentuan Pasal 65 UU TNI menyatakan bahwa parajurit TNI yang
melakukan tindak pidana militer tunduk kepada peradilan militer, sedangkan
prajurit yang melakukan tindak pidana umum tunduk pada peradilan umum.
Ketentuan tersebut berdasarkan Pasal 74 UU TNI baru berlaku setelah adanya
pembaruan atau revisi terhadap UU Peradilan Militer.
2. Saran
a. Perlu segera dilakukan pembenahan hukum acara
pidana militer Indonesia terutama mengenai yurisdiksi pengadilan militer. Untuk
itu, maka dibutuhkan suatu kebijakan hukum pidana (politik hukum pidana) guna
menentukan arah perubahan tersebut;
b. Guna mendukung politik hukum pidana dalam upaya
pembaruan hukum acara pidana militer tersebut, maka kebijakan legislatif
sebagai lembaga pembentuk UU dalam hal ini sangatlah besar perannya. Lembaga
legislatif sebagai lembaga politik tentunya juga harus menyerap
aspirasi-aspirasi dari rakyat untuk mengadakan perubahan isu-isu krusial dalam
hukum acara pidana militer (UU Peradilan Militer).
F.
DAFTAR
PUSTAKA
BUKU:
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Alfian, 1978, Pemikiran dan
Perubahan Politik Indonesia; Kumpulan Karangan, Jakarta: Gramedia.
Andi Hamzah, 2008, Terminologi Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Barda Nawawi Arief, 2008, Kapita
Selekta Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Semarang: Badan Penerbit
Universitas Diponegoro.
_________________, 2011, Bunga
Rampai Kebijkan Hukum Pidana, Cet. Ke-III, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Chairul Huda, 2013, Dari Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan, Cet. Ke-V, Jakarta:
Kencana.
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, 1985, Hukum Pidana Militer di Indonesia, cet.2, Jakarta: Alumni
AHAEM-PETEHAEM.
Eddy O.S Hiariej, 2013, Beberapa
Catatan RUU KUHAP dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Konteks Sistem Peradilan
Pidana Terpadu; Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta:
Komisi Hukum Nasional R.I.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari,
2013, Politik Hukum,
Jakarta: Rajawali Press.
Jimly Ashiddiqie, 1995, Pembaharuan
Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa.
M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar
Double Track System dan Impelementasinya, Jakarta PT. Raja Grafindo
Persada.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2017, Ketetapan Majelis
Permusyawaran Rakyat Tepublik Indonesia Nomor: I/MPR/2003 tentang Peninjauan
Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 sampai dengan
Tahun 2002, Cet. Ke-17, Jakarta, Sekretariat MPR-RI.
Moh. Faisal Salam, 2002, Hukum
Acara Pidana Militer Indonesia, Bandung: Mandar Maju.
Roeslan Saleh, 1983, Stelsel Pidana
Indonesia, Jakarta:Aksara Baru.
____________, 1992, Perkembangan
Pokok-Pokok Pemikiran Dalam Konsep KUHP, Pekanbaru: IUR Press.
____________, 1996, Pembinaan Cita
Hukum dan Asas-Asas Hukum Nasional, Jakarta: Karya Dunia Fikir.
S. R. Sianturi, 1985, Hukum Pidana
Militer Indonesia, Edisi Revisi, Cet. Ke-2, Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM.
Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung:
Alumni.
Sudarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Bandung:
Sinar Baru.
Sudikno Mertokusumo, 2013, Bab-Bab
tentang Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya.
Syaiful Bakhri, 2010, Kebijakan
Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia,
Yogyakarta: Total Media.
____________, 2014, Sistem
Peradilan Pidana Indonesia dala Perspektif Pembaruan, Teori, dan Praktik
Peradilan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
____________, 2015, Nutrisi
Keilmuan dalam Pusaran Hukum Pidana, Yogyakarta: Kreasi Total Media.
____________, 2018, Dinamika Hukum
Pembuktian dalam Capaian Keadilan, Depok: Rajawali Pers.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana: Kajian
Kebiajakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tongat, 2008, Politik
Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN:
UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER
UNDANG-UNDANG NOMOR 34 TAHUN 2004 TENTANG TENTARA NASIONAL INDONESIA
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR: VI/MPR/2000
TENTANG PEMISAHAN TNI DAN POLRI
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT NOMOR: VII/MPR/2000
TENTANG PERAN TNI DAN POLRI
SUMBER LAIN:
https://yessymsari.wordpress.com/2012/10/19/aspek-pengubah-hukum-ditinjau-dari-segi-politik/, diakses
pada Kamis, 31 Mei 2018.
Markus Junianto Sihaloho, “Semua Fraksi di DPR Sudah
Setuju Revisi UU Peradilan Militer”, (Senin, 5 Oktober 2015, Pukul: 16:23 WIB),
http://www.beritasatu.com/politik/312057-semua-fraksi-di-dpr-sudah-setuju-revisi-uu-peradilan-militer.html, diakses
pada Kamis 31 Mei 2018.
Rezafaraby, “Kedudukan dan Peran Peradilan Militer di
Indonesia” (Semarang: Pengadilan Militer II-10 Semarang, 1 April 2011), http://dilmil-semarang.go.id/artikel/detail/2, diakses
pada Kamis, 31 Mei 2018.
Sri Wahyuni, 2003, “Politik Hukum Islam di
Indonesia (Studi terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam)”, Jurnal Mimbar
Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah.
*) Makalah Disampaikan Pada Diskusi Mata Kuliah Aspek-Aspek
Pengubah Hukum, Dosen Pengampuh: Prof. Dr. Syaiful Bakhri, SH., MH dan Dr. Achmad
Cholidin, SH.,MH. Sabtu, 2 Juni 2018 M/18 Ramadhan 1439 H.
**) Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, T.A 2018/2019.
[1]
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia,
(Jakarta:Aksara Baru,1983), hlm. 9-10.
[2]
Roeslan Saleh, Pembinaan Cita Hukum dan
Asas-Asas Hukum Nasional, (Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1996), hlm. 1.
[3]
Roeslan Saleh, Perkembangan Pokok-Pokok
Pemikiran Dalam Konsep KUHP, (Pekanbaru: IUR Press, 1992), hlm. 12.
[4]
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijkan
Hukum Pidana, Cet. Ke-III, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2011),
hlm. 29.
[5]
Ibid.
[6]
Beccaria dalam Chairul Huda, Dari Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan, Cet. Ke-V, (Jakarta:
Kencana, 2013), hlm. 20-21.
[7]
Jimly Ashiddiqie, Pembaharuan Hukum
Pidana Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1995), hlm. 16.
[8]
Sudikno Mertokusumo, Bab-Bab tentang
Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2013), hlm. 1.
[9]
E. Y Kanter dan S.R Sianturi, Hukum
Pidana Militer di Indonesia, cet.2, (Jakarta: Alumni AHAEM-PETEHAEM,
1985), hlm. 9.
[10]
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Ketetapan Majelis Permusyawaran Rakyat Tepublik Indonesia Nomor:
I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960
sampai dengan Tahun 2002, Cet. Ke-17, (Jakarta, Sekretariat MPR-RI, 2017),
hlm. 175-176.
[11]
Barda Nawawi Arief, Kapita Selekta Sistem
Peradilan Pidana Terpadu, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
2008), hlm. 67
[12] Syaiful Bakhri, Nutrisi Keilmuan Dalam Pusaran Ilmu Hukum Pidana, (Yogyakarta:
Kreasi Total Media, 2015), hlm. 172.
[14] Moh Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum dalam Syaiful Bakhri, Ibid, hlm. 173.
[15] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Politik Hukum, (Jakarta: Rajawali Press,
2013), hlm. 22.
[16] Padmo Wahjono dalam Imam Syaukani
dan A. Ahsin Thohari, Ibid, hlm. 26.
[18] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Cet. Ke-VI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2014), hlm. 1.
[19] Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,
2010), hlm. 6-7
[20]
M. Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track
System dan Impelementasinya, (Jakarta PT. Raja Grafindo Persada,
2003), hlm. 1.
[22] Tongat, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2008), hlm. 47
[23] Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 90.
[24] Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hlm. 15.
[25] Teguh Prasetyo dan Abdul Halim
Barkatullah, Politik Hukum Pidana: Kajian
Kebiajakan Kriminalisasi Dan Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2005), hlm. 39.
[28]
Moh. Faisal Salam, Hukum Acara Pidana
Militer di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2002), hlm. 14.
[29]
Ibid.
[30]
Syaiful Bakhri, Dinamika Hukum Pembuktian
dalam Capaian Keadilan, (Depok: Rajawali Pers, 2018), hlm. 65.
[31] Ibid, hlm. 69.
[32]
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik
Indonesia; Kumpulan Karangan, (Jakarta: Gramedia, 1978), hlm. 249-250.
[33]
Moh. Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 4.
[34] Ibid, hlm. 5.
[35] Sri
Wahyuni, “Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi terhadap Legislasi
Kompilasi Hukum Islam)”, Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Th. XIV, al-Hikmah,
2003, hlm: 74
[36] Ibid.
diakses pada
Kamis, 31 Mei 2018.
[38]
Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal
Op.Cit, hlm. 37.
[39]
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 26.
[40]
Ibid.
[41]
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan
Masyarakat, (Bandung: Sinar Baru, 1983),
hlm. 93.
[42]
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm.
26-27.
[43]
Ibid, hlm. 27.
[44]
Satya Arinanto dalam Syaiful Bakhri, Kebijakan
Kriminal Op. Cit, hlm. 37.
[45] Syaiful
Bakhri, Ibid.
[46] Ibid, hlm. 37-38.
[47]
Eddy O.S Hiariej, Beberapa Catatan RUU
KUHAP dan Hakim Pemeriksa Pendahuluan Dalam Konteks Sistem Peradilan Pidana
Terpadu; Problematika Pembaruan Hukum Pidana Nasional, (Jakarta: Komisi
Hukum Nasional R.I, 2013), hlm. 78-79.
[48]
Syaiful Bakhri, Sistem Peradilan Pidana
Indonesia dala Perspektif Pembaruan, Teori, dan Praktik Peradilan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014), hlm. 8-9.
[49]
Rezafaraby, “Kedudukan dan Peran Peradilan Militer di Indonesia” (Semarang:
Pengadilan Militer II-10 Semarang, 1 April 2011), http://dilmil-semarang.go.id/artikel/detail/2,
diakses pada Kamis, 31 Mei 2018.
[50] Markus
Junianto Sihaloho, “Semua Fraksi di DPR Sudah Setuju Revisi UU Peradilan
Militer”, (Senin, 5 Oktober 2015, Pukul: 16:23 WIB), http://www.beritasatu.com/politik/312057-semua-fraksi-di-dpr-sudah-setuju-revisi-uu-peradilan-militer.html,
diakses pada Kamis 31 Mei 2018.
[51] Ibid.
[52] Ibid.