KEABSAHAN ELECTRONIC EVIDENCE
DALAM HUKUM ACARA PIDANA
(Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
20/PUU-XIV/2016)
Oleh:
Roli Pebrianto, S.H.,M.H
Pada Anotasi Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor: 20/PUU-XIV/2016, Tanggal 7 September 2016 dalam Perkara
Pengujian UU ITE dan UU Tipikor terhadap UUD NRI Tahun 1945 ini, Anator akan
membahas pokok-pokok permasalahan dalam sub-sub sebagai berikut:
I.
PENDAHULUAN;
II. KASUS POSISI;
III. LEGAL
STANDING PEMOHON;
IV. PERMOHONAN DAN ALASAN-ALASAN PERMOHONAN;
V. PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH;
VI. ANALISIS; dan
VII.KESIMPULAN
I.
PENDAHULUAN
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga negara pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka (independent
and impartial), sebagaimana Mahkamah Agung dan pengadilan yang berada di
bawahnya, yang tugas pokoknya menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan. Salah satu kewenangan MK adalah mengadili pada tingkat pertama
dan terkahir yang putusannya bersifat final terhadap pengujian
konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI Tahun 1945). Salah satu
perkara pengujian konstitusionalitas undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945
ialah sebagaimana dalam Putusan nomor: 20/PUU-XIV/2016 tanggal 7 September 2016.
Putusan MK tersebut mengundang berbagai reaksi,
terutama dikalangan para ahli hukum sebagaimana terlihat dalam keterangan
ahlinya yang didengar dalam perkara tersebut. Hal ini disebabkan oleh sifat
dari setiap putusan Mahkamah Konstitusi yang final dan mengikat seluruh penyelenggara
negara dan masyarakat. Dikatakan final karena tidak
ada upaya hukum yang tersedia atas putusan tersebut.
Dengan demikian, setelah putusan ini diucapkan,
langsung berkekuatan hukum tetap dan dapat dikatakan telah menjadi
yurisprudensi. Selain itu, menurut Ahmad
Falil Sumadi (dalam buku Politik Hukum Konstitusi dan Mahkamah
Konstiitusi, 2013, halaman 132) putusan Mahkamah
Konstitusi mengenai pengujian konstitusionalitas undang-undang berlaku mengikat
secara hukum (erga omnes) sebagaimana
Undang-Undang, sehingga dalam perspektif ini fungsi Mahkamah Konstitusi disebut
legislator yang bersifat negatif (negative
legislator).
Putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final
dan mengikat (final and binding)
mengandung beberapa makna hukum, yaitu: a.) Untuk mewujudkan kepastian hukum
sesegera mungkin bagi para pihak yang bersengketa; b) Mahkamah Konstitusi
sebagai pengadilan konstitusional, berbeda halnya dengan pengadilan
konvensional yang menerapkan ruang untuk menempuh upaya hukum; c) bermakna
sebagai perekayasa hukum dalam artian, Mahkamah Konstitusi melalui
putusan-putusannya, diharapkan mampu merekayasa hukum sesuai yang telah
digariskan oleh UUD NRI Tahun 1945 sebagai konstitusi (gronwet); dan d) Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga dan penafsir
tunggal konstitusi.
Dengan demikian, kehadiran Mahkamah Konstitusi
dalam sistem ketatanegaraan Indonesia diharapkan mampu menjaga stabilitas
segenap elemen negara untuk tetap sejalan dengan amanat konstitusi. Kedua,
putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (binding),
melahirkan sejumlah akibat hukum dalam penerapannya yang digolongkan ke dalam 2
(dua) garis besar, yakni putusan Mahkamah Konstitusi yang menimbulkan akibat
hukum yang bermakna positif dan akibat hukum yang bermakna negatif. Adapun
akibat hukum yang bermakna positif, yaitu: mengakhiri suatu sengketa hukum;
Menjaga prinsip checks and balances
dan Mendorong terjadinya proses politik. Sedangkan akibat hukum yang
ditimbulkan putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat (final and binding) dalam makna negatif,
yaitu: tertutupnya akses upaya hukum dan terjadinya kekosongan hukum.
Selain itu, Putusan Mahkamah Konstitusi juga
sarat dengan sengketa akademik keilmuan. Setiap pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar (judicial
review), tidak cukup apabila hanya dipandang dari kacamata Hukum Tata
Negara atau Ilmu Perundang-undangan, tetapi sangat tergantung pula dari
substansi undang-undang yang sedang diujimaterilkan.
Apabila uji materil menyangkut undang-undang
pidana, maka pertimbangan hukum juga harus mengacu pada teori dan doktrin yang
berkembang dalam hukum pidana. Selain itu, seperti pada umumnya suatu putusan
pengadilan, putusan Mahkamah Konstitusi juga harus diputuskan melalui suatu
proses dan prosedur acara yang layak (due
process), karena dari sinilah dapat dipertanggungjawabkan validitasnya.
II.
KASUS POSISI
Putusan Mahkamah Konstitusi ini adalah putusan atas
permohonan Setya Novanto yang
mengajukan uji materil atas Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 Tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
(selanjutnya disingkat UU ITE) dan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU Tipikor) terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Dalam permohonannya, didalilkan oleh Pemohon bahwa
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 huruf b UU ITE; serta Pasal 26 A UU
Tipikor bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 28 D ayat (1) dan ayat (2),
dan Pasal 28 G ayat (1) UUD NRI Tahun 1945. Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 44 huruf b UU ITE mengatur tentang alat bukti informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah. Dengan ini didalilkan oleh Pemohon bahwa informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang merupakan alat bukti hukum yang sah yang hanya didasarkan pada
rekaman yang tidak sah (illegal) yang
dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan untuk itu (bukan
penyidik).
Oleh karenanya didalilkan oleh Pemohon bahwa
perekaman yang dilakukan secara diam-diam secara jelas melanggar hak privasi (a reasonable expectation of privacy)
dari orang yang pembicaraannya direkam sehingga bukti rekaman tersebut tidak
dapat dijadikan sebagai alat bukti karena diperoleh secara illegal (illegally obtained) bahkan sekalipun
yang melakukan perekaman tersebut adalah aparat penegak hukum, jika tidak
berdasarkan surat perintah perekaman yang sah sesuai dengan undang-undang yang
berlaku, maka tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti.
Kemudian dalam
amar putusannya, Mahkamah mengabulkan sebagian dari permohonan Pemohon bahwa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 44 huruf b UU ITE, serta Pasal 26 A UU
Tipikor harus dimaknai sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan
hukum atas permintaan Kepolisian, Kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum
lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.
III.
TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON
Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
dan Pasal 44 huruf b Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik dan Pasal 26A Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam permohononnya, secara tegas Pemohon menyatakan kualifikasinya
“selaku perorangan warga negara,” sebagaimana tercantum dalam angka 5, halaman
5 putusan a quo mengenai kedudukan
hukum (legal standing) pemohon, yang
lengkapnya dinyatakan sebagai berikut:
“...kalaupun saat ini Pemohon juga merupakan Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), namun dalam permohonan a quo, Pemohon tidak bertindak dalam
kedudukan Pemohon sebagai Anggota DPR RI yang memiliki hak konstitusional yang
berbeda dengan perorangan warga negara yang bukan anggota DPR RI. Substansi uji
materi yang diajukan oleh Pemohon dalam perkara a quo merupakan hak konstitusional Pemohon selaku pribadi warga
negara Indonesia menurut UUD 1945.”
IV.
TENTANG PERMOHONAN DAN ALASAN-ALASAN
PERMOHONAN
1.
NORMA MATERIIL
a.
Dalam UU ITE:
1) Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2):
(1)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
(2)
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di
Indonesia.
2) Pasal 44 huruf b:
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang
pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: b. alat bukti lain berupa Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka
1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
b.
Dalam UU Tipikor:
Pasal 26A:
Alat bukti yang sah dalam bentuk
petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga
dapat diperoleh dari :
a.
alat bukti lain yang berupa informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara
elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf,
tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
2.
NORMA UUD NRI TAHUN 1945
a.
Pasal
1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945: “Negara
Indonesia adalah negara hukum.”
b.
Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2) UUD NRI Tahun 1945:
(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta
mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
c.
Pasal 28G ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi..”
Adapun yang
menjadi alasan permohonan Pemohon ialah bahwa pada saat mengajukan Permohonan
ini, Pemohon telah dipanggil dan dimintai keterangan oleh Penyidik Kejaksaan Agung Republik Indonesia dalam
kasus dugaan tindak pidana korupsi permufakatan jahat atau percobaan melakukan
tindak pidana korupsi dalam perpanjangan kontrak PT. Freeport Indonesia,
berdasarkan Surat Perintah Penyelidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda
Tindak Pidana Khusus Nomor: Print 133/F.2/Fd.1/11/2015 Tanggal 30 Nopember
2015, Nomor: Print-134/F.2/Fd.1/12/2015 Tanggal 02 Desember 2015, Nomor: Print 135/F.2/Fd.1/01/2016
Tanggal 4 Januari 2016.
Keberadaan norma
dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dan Pasal
44 huruf b UU 11/2008 tidak mengatur secara tegas mengenai alat bukti yang sah
adalah berkaitan dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang untuk
melakukan perekaman. Tidak adanya pengaturan yang dapat menciptakan situasi
seperti yang dialami Pemohon dapat saja dianggap dan dikatakan telah melakukan
tindak pidana atau melakukan perbuatan menyalahgunakan kewenangan, menerima
pemberian atau janji, hanya didasarkan pada hasil rekaman yang tidak sah (illegal) yang dilakukan oleh setiap
orang yang tidak memiliki kewenangan untuk itu tanpa kecuali dalam hal ini
hasil rekaman yang dilakukan oleh Ma’roef Sjamsudin.
Sehingga menurut
Pemohon, perekaman illegal tersebut jelas
telah melanggar hak privasi (a reasonable
expectation of privacy) dari orang yang pembicaraannya direkam sehingga
bukti rekaman tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti karena
diperoleh secara illegal (illegally obtained) bahkan sekalipun
yang melakukan perekaman tersebut adalah aparat penegak hukum.
V.
TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM MAHKAMAH
1.
Pertimbangan Mahkamah Mengenai
Kewenangan Mahkamah
Dalam pertimbangan
hukumnya, Mahkamah berpendapat bahwa Mahkamah berwenang mengadili permohonan
pemohon. Hal ini sebagaimana disebutkan
pada paragraf [3.2] halaman 84, yang menyatakan bahwa: “Menimbang bahwa oleh karena permohonan
Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang, in casu UU ITE
dan UU Tipikor terhadap UUD 1945 maka Mahkamah berwenang mengadili
permohonan Pemohon.”
2.
Pertimbangan Mahkamah Mengenai Legal Standing Pemohon
Dalam
pertimbangannya pada paragraf [3.4] halaman 85, Mahkamah mengutip Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 006/PUU-III/2005, tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor: 11/PUU-V/2007, tanggal 20 September 2007, serta
putusan-putusan selanjutnya, Mahkamah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan
konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus
memenuhi lima syarat, yaitu:
a. Adanya hak dan/atau kewenangan
konstitusional yang Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945;
b. Hak dan/atau kewenangan konstitusional
tersebut oleh pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang
dimohonkan pengujian;
c. Kerugian konstitusional tersebut harus
bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang
menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d. Adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud
dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e. Adanya kemungkinan bahwa dengan
dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan
tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Dalam pertimbangannya pada paragraf
[3.6.1] halaman 87-88, Mahkamah berpendapat bahwa warga negara Indonesia yang
juga anggota DPR-RI memiliki hak konstitusional yang ditentukan dalam UUD 1945
sehingga Pemohon memiliki legal standing untuk
mengajukan permohonan a quo.Kemudian,
pada paragraf [3.6.2] halaman 88 putusan a
quo, sebagaimana dalil pemohon selaku warga negara Indonesia yang juga
merupakan anggota DPR-RI memiliki hak konstitusional yang yang ditentukan dalam
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
menyatakan: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan
yang sama dihadapan hukum”. Sedangkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945
menyatakan: “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”
Dengan demikian menurut Mahkamah,
Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 inilah yang menjadi dasar
pembenaran legal standing pemohon,
sehingga menurut Mahkamah, Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagaimana diuraikan
pada paragraf [3.6.3] halaman 88-89 putusan a
quo:
“...Pemohon selaku warga negara Indonesia yang juga
merupakan anggota DPR RI memiliki hak konstitusional yang ditentukan dalam UUD
1945 yang secara aktual dirugikan oleh berlakunya frasa “informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik” yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
dan Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26 A UU Tipikor. Akibat ketidakjelasan
frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” yang termuat
dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26 A
UU Tipikor, Kejaksaan Agung telah menggunakan alat bukti informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik untuk melakukan penyelidikan dan pemanggilan
terhadap Pemohon, padahal alat bukti informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik tersebut dilakukan oleh orang atau lembaga yang tidak
berwenang untuk itu. Kerugian konstitusional Pemohon tersebut memiliki hubungan
sebab akibat dengan berlakunya frasa informasi elektronik dan/atau dokumen
elektronik yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal
44 huruf b UU ITE dan Pasal 26 A UU Tipikor.
3.
Pertimbangan Mahkamah Mengenai
Alasan-alasan Permohonan Pemohon
Pada pertimbangan hukum mengenai
alasan-alasan Pemohon, sehubungan dengan penyadapan telah diatur dalam beberapa
Undang-Undang, diantaranya:
a. Pasal 40 UU No.36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi;
b. Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE;
c. Pasal 12 ayat 1 UU No. 30 Tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi;
d. Pasal 75 huruf i UU No. 35 Tahun 2009
tentang Narkotika;
e. Pasal 31 ayat (1) huruf b UU No. 15
Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang;
f. Pasal 31 UU No. 17 Tahun 2011 tentang
Intelijen Negara;
Pasal-Pasal sebagaimana yang diatur
dalam berbagai Undang-Undang tersebut menurut Pemohon pada intinya menyatakan
bahwa penyadapan untuk kepentingan hukumpun harus dilaksanakan berdasarkan prosedur
hukum yang telah ditentukan oleh Undang-Undang, oleh karena itu penyadapan yang
dilakukan tanpa melalui prosedur yang ditentukan oleh Undang-Undang adalah
tidak dapat dibenarkan agar tidak terjadi pelanggaran HAM sebagaimana telah
dijamin oleh UUD 1945.
Terhadap uraian diatas, sebagaimana
dalam pertimbangan pada paragraf [3.1.0] halaman 95-96 Mahkamah
mempertimbangkan sebagai berikut:
“...untuk mengisi kekuranglengkapan hukum tentang
penyadapan yang termasuk di dalamnya perekaman agar tidak semua orang dapat
melakukan penyadapan yang termasuk didalamnya perekaman maka penafsiran
bersyarat yang dimohonkan oleh Pemohon terhadap frasa “informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik” yang termuat dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2)
dan Pasal 44 huruf b UU ITE dan Pasal 26 A UU Tipikor beralasan hukum sepanjang
dimaknai frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” sebagai alat
bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian,
kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) UU ITE.
...Oleh karena itu, Mahkamah dalam amar putusan dibawah
ini akan menambahkan kata atau frasa “khususnya”
terhadap frasa yang dimohonkan pengujian oleh Pemohon agar tidak terjadi
penafsiran bahwa putusan ini akan mempersempit makna atau arti yang terdapat di
dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) UU ITE.”
VI.
ANALISIS
1.
Analisis Terhadap Kewenangan Mahkamah
Sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, bahwa: “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji undangundang terhadap UndangUndang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”
Selanjutnya, Pasal
10 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta Pasal 29
ayat (1) huruf a UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, pada
pokoknya menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap UUD NRI Tahun 1945.
Berdasarkan uraian
diatas, maka menurut Anator Mahkamah berwenang mengadili permohonan Pemohon,
karena permohonan a quo adalah
permohonan pengujian konstitusionalitas norma Undang-Undang terhadap UUD NRI
Tahun 1945, in casu UU ITE dan UU
Tipikor.
2.
Analisis Terhadap Legal Standing Pemohon
Berdasarkan ketentuan Pasal 51 ayat
(1) UU MK, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD NRI Tahun 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD NRI Tahun 1945 dirugikan oleh
berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu:
a. Perorangan warga negara Indonesia
(termasuk kelompok orang yang mempunyai kepantingan yang sama);
b. Kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c. Badan hukum publik atau privat; atau
d. Lembaga negara.
Berdasarkan uraian diatas, maka
Pemohon dapat dikategorikan sebagai “Perorangan warga negara Indonesia”.
Meskipun dalam hal ini terdapat dua hakim Konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinion), yakni Hakim
Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Hakim Konstitusi Suhartoyo. Hakim Konstitusi
I Dewa Gede Palguna berpendapat bahwa pemohon tidak mempunyai legal standing dengan alasan bahwa
Mahkamah hanya menerima kedudukan hukum anggota DPR dalam pengujuan UU terhadap
UUD 1945, dalam hal-hal yang sangat khusus, yaitu:
1) Apabila materi norma UU yang
dimohonkan pengujian adalah menyangkut hak anggota DPR untuk menyatakan
pendapat (Putusan Nomor: 23-26/PUU/VIII/ 2010, tanggal 12 Januari 2011);
2) Apabila materi norma UU yang
dimohonkan pengujian berkenaan dengan hak seseorang untuk menjadi wakil rakyat
(Putusan Nomor: 38/PUU-VIII/2010, tanggal 11 Maret 2011;
3) Apabila materi norma UU yang
dimohonkan pengujian berkenaan dengan berakhirnya masa jabatan anggota DPR
(Putusan Nomor: 39/PUU-XI/2013, tanggal 31 Juli 2013;
4) Apabila materi norma UU yang
dimohonkan pengujian berkenaan dengan mekanisme pemilihan DPRD kabupaten/kota
(Putusan Nomor: 93/PUU-XII/2014, tanggal 24 Maret 2015).
Sementara itu, materi norma UU yang dimohonkan pengujian
dalam permohonan a quo tidaklah
termasuk kedalam salah satu dari materi norma UU sebagaimana dimaksud pada
angka 1) sampai dengan angka 4) diatas.
Berdasarkan
pendapat dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna diatas, maka Anator akan
menganalisis dilihat dari perspektif HAM. Menurut ketentuan Pasal 24C UUD NRI
1945, memperlihatkan beberapa peran penting MK dalam rangka mewujudkan tujuan
gagasan negara hukum yang mengagungkan perlindungan HAM, hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh Ni’matul Huda (dalam
bukunya Lembaga Negara dalam Masa
Transisi Demokrasi, 2007, halaman 256):
a. Sebagai penjaga demokrasi (the guardian of constitution) sekaligus
sebagai pelindung hak konstitusional warga negara (the protector of the citizen’s constitutional rights), serta
pelindung HAM (the protector of human
rights); dan
b. Sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), dan
pada saat yang bersamaan sekaligus berperan penafsir konstitusi (the sole of interpreter of the constitution)
terhadap konstitusi sebagai hukum tertinggi (the supreme law of the land).
Selanjutnya menurut
Muhammad Fauzan Azim (dalam
Dri Utari Christina R, dan Ismail Hasani, dalam buku yang berjudul Masa Depan Mahkamah Konstitusi RI,
2013, halaman 309), fungsi MK
sebagai pelindung HAM merupakan konsekuensi dari keberadaan HAM sebagai materi
muatan konstitusi itu sendiri. Sehingga kewenangan MK dalam menguji
undang-undang terhadap UUD NRI 1945 harus dipandang sebagai bentuk upaya
melindungi HAM yang dijamin UUD NRI 1945 agar tidak dilanggar oleh ketentuan
undang-undang.
Berdasarkan uraian
diatas, jika dihubungkan dengan legal
standing Pemohon a quo sebagai
“perseorangan warga negara” yang wajib dilindungi hak-hak konstitusionalnya
oleh negara, Pemohon a quo telah
memenuhi syarat kualifikasi sebagai pihak yang memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan pengujian UU a quo sebagaimana dimaksudkan dalam
Pasal 51 ayat (1) UU MK.
3.
Analisis Terhadap Alasan-alasan
Permohonan Pemohon
Alasan yang menjadi dasar Permohonan
Pemohon adalah bahwa mengenai ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal
44 huruf b UU ITE dan Pasal 26A UU Tipikor tentang alat bukti informasi
elektronik dan/atau dokumen elektronik, yang diperoleh dengan cara yang
tidak sah (illegal).
Dalam permohonan a quo, Pemohon ingin menggabungkan antara “alat bukti” atau “barang
bukti” dengan “cara memperolehnya.” Menurut Anator, antara alat bukti atau
barang bukti dengan cara memperolehnya merupakan hal yang harus dipisahkan.
Dengan kata lain, semua informasi elektronik atau dokumen elektronik beserta
hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah, adapun tentang cara
memperolehnya adalah persoalan yang lain, yakni persoalan pembuktian di
persidangan.
Kemudian, mengenai rekaman yang
berkenaan dengan kasus Pemohon, menurut Anator, bukan Pasal 5 ayat (1) dan ayat
(2) UU ITE yang diujimaterilkan oleh Pemohon. UU ITE pada dasarnya sudah
melarang setiap orang untuk melakukan penyadapan (intersepsi), yang apabila
dilanggar akan dikenakan sanksi pidana, sebagaimana dalam Pasal 31 ayat (1) dan
(2) jo. Pasal 47 UU ITE. Menurut
Anator, justru Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) telah mengakomodir dan memberi
perlindungan hukum kepada setiap warga negara yang dilanggar hak privasinya,
serta telah memberikan kepastian hukum bahwa informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik serta hasil cetakannya adalah alat bukti yang sah.
Selanjutnya, yang menjadi permasalahan
dalam putusan a quo ialah seharusnya
Mahkamah hanya memberi makna terhadap “keabsahan” suatu informasi dan dokumen
elektronik sebagai alat bukti, bukan persoalan makna “informasi dan dokumen
elektroniknya,” karena problem keabsahan adalah problem dalam hukum pembuktian.
Dengan kata lain, informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik adalah suatu
“bahan baku” sedangkan mengenai “keabsahan” informasi elektronik dan/atau
dokumen elektronik sebagai suatu alata bukti atau barang bukti adalah “output”
yang hanya bisa dinilai oleh hakim dalam proses pembuktian di sidang
pengadilan.
Putusan a quo telah menyamakan antara perekaman yang dilakukan secara
diam-diam atau tanpa izin dengan hasil intersepsi atau penyadapan (vide Pasal
31 UU ITE). Menurut Anator, putusan ini adalah putusan yang keliru, karena pada
prinsipnya keduanya adalah hal yang berbeda. Kegiatan mererkam dalam konteks
yang umum (objeknya bukan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik)
adalah bukan merupakan kegiatan intersepsi atau penyadapan sebagaimana yang
dimaksud pasal 31 UU ITE dan oleh karenanya setiap orang dapat melakukan perekaman.
Namun khusus untuk intersepsi (penyadapan) yang objeknya adalah informasi dan
atau dokumen elektronik, hanya dapat dilakukan dalam rangka penegakan hukum
oleh Aparat Penegak Hukum.
Permasalahan selanjutnya ialah
mengenai kedudukan alat bukti informasi elektronik dan/atau dokumen eletronik
dalam beberapa UU lainnya, seperti UU Narkotika, UU Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme, dan UU Intelijen Negara. Menurut Anator, bukti elektronik
sebagaimana dalam putusan a quo
dipersempit hanya terbatas pada UU ITE dan UU Tipokor. Sehingga menurut Anator,
Permohonan Pemohon a quo harus
ditolak oleh Mahkamah.
4.
Putusan Dilihat Dari Perspektif Hukum
Acara Pidana
Pasal-pasal
yang diuji ini berada pada ranah hukum acara pidana (hukum pidana formil). Menurut
Andi Hamzah, hukum acara pidana
memiliki beberapa tujuan,
yaitu a) mencari kebenaran materiil; b) melindungi hak-hak dan kemerdekaan
orang serta warga negara; c) orang dalam
keadaan yang sama dan dituntut untuk delik yang sama harus diadili dengan
ketentuan yang sama pula;
d) mempertahankan sistem konstitusional terhadap pelanggaran kriminal; dan e) mempertahankan
perdamaian, keamanan kemanusiaan dan mencegah kejahatan. Tujuan hukum acara pidana tersebut
adalah untuk mencegah kesewenang-wenangan dari aparatur negara,
yaitu aparat penegak hukum yang dimiliki oleh Negara karena hukum acara
pidana memiliki sifat dan karakter mengekang hak asasi manusia.
Kemudian,
Pasal-Pasal yang diujikan tersebut secara spesifik berada dalam
ranah hukum pembuktian. Dalam
konteks hukum pidana, pembuktian merupakan inti dari persidangan perkara pidana
karena yang dicari dalam hukum pidana adalah kebenaran materiil. Sebelum menelaah lebih jauh, menurut
Anator perlu dilakukan pendekatan konseptual yang lebih spesifik, yakni tentang
sistem pembuktian yang dianut KUHAP.
Adapun sistem
pembuktian yang dianut KUHAP yaitu “Pembuktian Menurut Undang-undang Secara
Negatif/Negative Wettelijk Bewijs”.
Hal ini sesuai ketentuan dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi: “Hakim tidak
boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”. Dengan demikian Pasal 183 KUHAP mengatur, untuk menentukan salah
atau tidaknya seorang terdakwa dan untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa,
harus:
a)
Kesalahan
terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”,
b)
atas
keterbuktian dengan sekurang-kurangnnya dua alat bukti yang sah, hakim “memperoleh
keyakinan” bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Selain itu adanya
frasa “alat bukti sah” memberi pembatasan pada hakim dalam meletakakan alat
bukti yang diajukan selama persidangan berlangsung, majelis hakim dalam mencari
dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan
alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang secara “limitatif”
sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Kaitannya dengan rekaman, rekaman
hanya dapat memiliki kedudukan sebagai alat bukti sah dalam KUHAP jika dapat
diinduksi dalam alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP.
Namun, dari lima
alat bukti yang ditentukan secara limitatif dalam Pasal 184 KUHAP yang meliputi
Keterangan Saksi, Keterangan Ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan Terdakwa, rekaman
ataupun Alat Bukti Elektronik jelas tidak disebutkan secara tegas sehingga
diperlukan metode penemuan hukum sebagai bagian dari kreativitas hakim dalam
upaya memecahakan isu hukum yang dihadapi.
Dalam
hal ini, sebagaimana dikemukakan oleh M.
Yahya Harahap (dalam buku Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), 2010, halaman 292) yang menggunakan istilah “tambahan” alat bukti
serta “dapat menguatkan keyakinan hakim.” Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah, bukan merupakan alat bukti. Namun Pasal 161 ayat (2) menilai keterangan tersebut “dapat menguatkan keyakinan hakim” apabila pembuktian yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian.
Sebagaimana
keterangan saksi yang diberikan tanpa
sumpah yang bukan merupakan alat bukti sah, penjelasan Pasal 171 telah menentukan pembuktian yang melekat pada keterangan demikian, “dapat” dipakai sebagai “petunjuk”. Namun penggunan rekaman sebagai petunjuk
lebih dikarenakan pada kedudukannya yang melekat pada
keterangan saksi maupun keterangan terdakwa. Sebab keterangan saksi ataupun terdakwa yang ditunjang dan disempurnakan oleh rekaman akan menjadi satu kesatuan, sehingga secara bersama-sama dapat digunakan sebagai petunjuk oleh hakim, dengan syarat yang juga berlaku bagi keterangan saksi yang diberikan
tanpa sumpah, yaitu:
a)
Harus lebih dulu telah ada alat bukti yang sah, atau harus melekat pada alat bukti yang sah;
b)
Alat bukti yang sah itu telah memenuhi batas minimum pembuktian, yakni telah ada sekurang-kurangnnya dua alat bukti sah;
c)
Kemudian antara rekaman dengan alat bukti yang sah, terdapat saling persesuaian.
Hal ini tidak bertentangan atau telah sesuai
dengan ketentuan Pasal 188 ayat (2), bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari
keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa.
Kemudian, sebagaimana keterangan saksi yang
diberikan tanpa sumpah, hakim sama sekali tidak
terikat untuk mempergunakan rekaman, tergantung
kepada penilaian
hakim, dalam arti:
a)
Hakim “bebas”
untuk mempergunakannya. Ia “dapat” memepergunakannya tapi sebaliknya dapat mengesampingkannya.
b)
Hakim tidak terikat
untuk menilainya. Ia dapat menilai dan dapat diperguanakan sebagai tambahan alat bukti atau menguatkan
keyakinan hakim
maupun sebgai petunjuk. Dengan kata lain, tidak ada kewajiban mesti menilainya.
Kemudian,
sebagai lembaga sah satu-satunya yang melakukan
penafsiran
konstitusi (the sole interpreter of constitution) atas legalitas undang-undang, di sini MK melakukan penafsiran sendiri agar tidak
terjadi tindakan kewenang-wenangan (tidak sah) terutama
oleh aparat penegak hukum dalam
mengajukan alat bukti elektronik.
Bila
membaca amar putusan a quo, menurut
Anator maksud putusannya juga tidak begitu jelas. Artinya,
putusan tersebut masih menimbulkan hal yang
multitafsir juga, walaupun sudah ditafsirkan final oleh MK. Formulasi amar putusan dimaksud membingungkan. Tanpa
melibatkan konteks (pertimbangan hakim), pemahaman amar
putusan bisa menyesatkan.
Dalam
pertimbangannya, MK menyebutkan bahwa penyadapan/perekaman
merupakan bentuk pelanggaran privasi dan melanggar HAM
sehingga harus dilakukan dengan/berdasarkan prosedur yang sah agar tidak terjadi kesewenang-wenangan. Bila dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) di atas, amar putusan
tersebut sebenarnya hendak menyatakan bahwa
alat bukti hukum (digital/bukti elektronik) yang sah adalah “…alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum
atas permintaan kepolisian, kejaksaan dan/atau institusi
penegak hukum lainnya”.
Menurut
Anator, MK memukul rata pengertian dari penyadapan, pokoknya termasuk dengan perekaman. Padahal, penyadapan (informasi
elektronik) di sini bukan selalu persoalan perekaman.
Sementara, tidak semua perekaman itu illegal jadinya.
Tempat umum juga bukanlah ranah privasi. Dalam hal ini, misalnya CCTV bukanlah alat penyadapan (intersepsi), melainkan alat pengawasan
sehingga CCTV bukanlah bagian dari pelanggaran privasi
bila berada di tempat umum. Bila dipahami, CCTV
adalah perpanjangan dari petugas/security.
Akhirnya
yang dapat dimaknai khusus dalam rangka penegakan hukum, bukti elektronik haruslah yang diperoleh atas permintaan
(dimintakan oleh/melibatkan) aparat penegak hukum dan sekali
lagi tak ada kaitannya dengan cara pembuatan
alat bukti, melainkan siapa yang berwenang untuk
mengajukannya.
Bagaimanapun, bukti elektronik haruslah yang dapat diverifikasi keutuhannya sehingga yang berwenang melakukannya
adalah aparat penegak hukum itu sendiri.
Pendapat bahwa alat bukti elektronik haruslah
yang direkam
oleh aparat penegak hukum adalah pendapat yang keliru. Orang per orang tidak
dapat membawa
bukti elektronik diajukan dalam proses penyelidikan, penyidikan, hingga proses
penuntutan dalam persidangan, jika tanpa permintaan aparat penegak hukum, baik itu kepolisian,
kejaksaan, KPK, hakim maupun aparat penegak hukum lain (dan harusnya juga termasuk
advokat). Terhadap hal ini, sepertinya MK masih harus menerangkan tafsiran dari penafsiran mereka
sendiri.
VII. KESIMPULAN
Berdasarkan hal-hal yang telah Anator
paparkan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Mengenai masalah legal standing Pemohon, Permohonan dan Alasan-alasan Permohonan
Pemohon, serta Kewenangan Mahkamah dalam mengadili perkara a quo, Anator tidak mempermasalahkannya karena hal ini sudah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (UU MK);
2.
Dalam
amar putusan a quo, menurut Anator,
putusan ini adalah putusan yang keliru, seharusnya Mahkamah hanya memberi makna
terhadap “keabsahan” suatu informasi dan dokumen elektronik sebagai alat bukti,
bukan persoalan makna “informasi dan dokumen elektroniknya,” karena problem
keabsahan adalah problem dalam hukum pembuktian;
3.
Selanjutnya,
dalam konteks hukum pembuktian, rekaman hanya dapat memiliki kedudukan sebagai
alat bukti sah dalam KUHAP jika dapat diinduksi dalam alat bukti yang
ditentukan dalam Pasal 184 KUHAP. Bukti
elektronik sebagaimana dalam putusan a
quo dipersempit hanya terbatas pada UU ITE dan UU Tipokor. UU ITE
sebenarnya telah mengatur tentang larangan melakukan perekaman atau intersepsi
yang diancam dengan pidana sebagaimana dalam Pasal 31 UU ITE, sehingga
Permohonan a quo harus ditolak oleh
Mahkamah.