ANOTASI
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG
Nomor: 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg, tanggal
14 Nopember 2017
Dalam Perkara Tindak Pidana Informasi
dan Transaksi Elektronik
Atas Nama Terdakwa: Buni Yani
Oleh: Roli Pebrianto, S.H
I. PENGANTAR
Putusan Pengadilan Negeri Banduung Nomor: 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg,
tanggal 14 Nopember 2017 adalah putusan terhadap Terdakwa Buni Yani yang
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
bidang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni “dengan sengaja dan tanpa hak
atau melawan hukum mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik.”
Dalam perkara ini, Terdakwa terbukti mengubah atau mengedit
video pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat melakukan
kunjungan kerja ke Tempat Pelelangan Ikan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
Kemudian Terdakwa mengupload video yang telah diedit tersebut ke akun
Facebooknya (Buni Yani).
Atas perbuatannya tersebut, Terdakwa dihukum dengan pidana
penjara selama 1 (satu) tahun dana 6 (enam) bulan. Putusan ini menjadi
kontroversial di berbagai kalangan, dikarenakan putusan pemidaan tersebut tidak
disertai dengan perintah agar Terdakwa ditahan. Untuk itu, Anator akan
melakukan anotasi hukum (legal
anotatation) terhadap putusan tersebut, sebagai berikut:
II. KASUS
POSISI
Pada hari Kamis,
6 Oktober 2016 sekira jam 00:28 WIB, bertempat di Kalibaru Permai Blok B, Rt.02
Rw. O7, Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilegon, Kota Depok, Terdakwa Buni Yani
dengan menggunakan Hp merk Asus Zenfone 2 warna hitam putih dengan IMEI
353027070713488 dan IMEI 353027070713496 dengan dua simcard yang terdiri dari
simcard Telkomsel dan 3 (tri), telah mengunggah tapa seizin dari Dinas
Komunikasi dan Informatika Provinsi DKI Jakarta selaku pemilik rekaman
sekaligus pemilik akun video rekaman pidato Basuki T. Purnama alias Ahok selaku
gubernur DKI Jakarta yang pada tanggal 27 September 2016 melakukan kunjungan
kerja ke Tempat Pelelangan Ikan Pulau Pramuka, Kep. Seribu.
Terdakwa
mengunggah video tersebut ke akun Facebook Terdakwa BUNI YANI dengan link url:
https://
www.Facebook.com/Buni Yani?fref=ts,
dengan durasi delama 30 detik pada potongan video dari pidato Basuki T. Purnama
alias Ahok pada saat mengatakan: “...
jadi
jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa
pilih saya, ya kan dibohongi pakai surat Al Maidah 51 macem-macem itu, itu hak
bapak ibu, yah, jadi kalo bapak ibu perasaan gak bisa pilih nih karena saya
takut masuk neraka dibodohin gitu ya, nggak papa, karna inikan panggilan
pribadi bapak ibu, program ini jalan saja, jadi bapak ibu nggak usah merasa gak
enak, dalam nuraninya ga bisa milih Ahok, gak suka sama Ahok nih, tapi
programnya gua kalo terima ngga enak dong jadi utang budi jangan bapak ibu
punya perasaan ngga enak nanti mati pelan-pelan loh kena stroke...”,
serta menambahkan caption: “keliatannya
akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini”.
Terdakwa Buni
Yani dalam hal ini telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan
dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi:
“Setiap oarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan
cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik.” Perbuatan Terdakwa oleh
Majelis Hakim dainggap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan telah
memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE, sehingga Terdakwa dijatuhi
pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
III. TENTANG DAKWAAN DAN TUNTUTAN JAKSA/PENUNTUT
UMUM
A. Dakwaan
Terdakwa Buni Yani didakwa dengan dakwaan alternatif, yakni:
Pertama:
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 32 ayat
(1) jo. Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Atau
Kedua:
Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 28 ayat
(2) jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
B. Tuntutan
Adapun tuntutan JPU berbunyi sebagai berikut:
“M
E N U N T U T
1.
Menyatakan Terdakwa BUNI YANI bersalah melakukan
Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik berupa melakukan dengan
sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum menambah, mengurangi, menghilangkan
suatu informasi Elektronik dan atau Dokumen elektronik milik orang lain atau
milik publik sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam ketentuan Pasal 32
ayat (1) Jo Pasal 48 ayat (1) UU RI No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik Jo UU RI No.19 tahum 2016 tentang Perubahan atas UU No.11
tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Dakwaan Pertama;
2.
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Buni Yani
dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dengan perintah agar Terdakwa
ditahan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 3
(tiga) bulan kuruangan
3.
Menyatakan barang bukti berupa:....”
IV. TENTANG
PERTIMBANGAN HAKIM
A. Pertimbangan Hakim Mengenai Unsur “Tanpa
Hak atau Melawan Hukum”
- Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan
bahwa dalam tindak pidana ITE terdapat frasa “dengan sengaja dan tanpa hak atau
melawan hukum”. Dengan didahului oleh kata sengaja sebelum melawan hukum, maka
melawan hukumnya perbuatan berarti melawan hukum objektif dan sekaligus melawan
hukum subjektif. Mengenai pertimbangan sifat melawan hukum objektif, Majelis
Hakim memberikan pertimbangan:
Menimbang, sesuai dengan pendapat Drs. Adami Chazawi, SH
dan Ardi Ferdian, SH.,M.Kn, dalam buku karangannya yang berjudul “Tindak Pidana
Informasi dan Transaksi Elektronik” pada halaman 162-163 menegaskan: secara
objektif perbuatan yang dilakukan dalam Pasal 36 ayat (1) UU ITE terdapat pada
unsur obyek Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik milik orang lain.
Untuk menjadi melawan hukum objektif dari perbuatan mengubah dan lain-lain
harus tidak ada izin dari si pemiliknya. Mengenai keadaan tanpa izin tidak
dicantumkan dalam rumusan, namun tidak ada izin dari pemiliknya harus
ditafsirkan terhadapnya dan harus dibuktikan jika ada izin dari si pemilik, maka
perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum.”
- Kemudian, mengenai sifat melawan hukum
subjektif, Majelis Hakim memberikan pertimbangan:
“Menimbang, bahwa sifat melawan hukum subjektif adalah
merupakan gambaran mengenai keadaan batin si pembuat terhadap sifat melawan
hukum objektif perbuatan. Si pembuat mengerti bahwa perbuatan yang hendak
diperbuatnya in casu mengubah,
menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan dengan cara apapun suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik milik orang lain atau milik publik sebagai perbuatan yang tercela.”
- Kemudian, pada pertimbangan selanjutnya, Majelis
Hakim menyatakan:
“...pada tanggal 6 Oktober 2016, Terdakwa tanpa izin
pemilik dokumen video Pemprov DKI Jakarta telah mengunggah video rekaman pidato
Ahok pada tanggal 27 September 2016 yang berdurasi 30 detik melalui akun
Facebook Terdakwa serta menambahkan caption yaitu “Penistaan Agama bapak/ibu pemilih muslim dibohongi surat Al-Maidah 51
dan masuk neraka juga bapak/ibu dibodohi, kelihatannya akan terjadi sesuatu
yang kurang baik dengan video ini,” dengan demikian unsur tanpa hak atau
melawan hukum telah terpenuhi.”
B. Pertimbangan Mengenai Unsur “Dengan cara
apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik”
- Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU ITE
mengenai unsur “dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan
transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” merupakan beberapa perbuatan yang
bersifat alternatif, artinya salah satu unsur perbuatan saja yang dibuktikan
untuk dapat dipidananya pembuat.
- Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan
bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan mengubah video asli yang diunggah oleh
Dinas Komunikasi dan Informatika Propinsi DKI Jakarta yang berdurasi 1:48:33
hanya menjadi 30 detik saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan,
yang menyatakan bahwa:
“...telah terjadi pengurangan durasi, dari durasi yang
semula 1:48:33 yang dapat berakibat isi data rekaman video tersebut menjadi
berkurang, tidak lagi seperti isi data semula berakibat isi data video tersebut
menjadi hilang sebagaian atau hapus dari sistem elektronik semula dan berakibat
pula isi video tersebut menjadi berkurang.”
- Dalam pertimbangan selanjutnya, Majelis Hakim
menyatakan bahwa:
“...dengan telah terjadinya unggahan video yang
berdurasi 30 detik dilakukan oleh Terdakwa dalam akun facebooknya terhadap
video publik akun Youtube Pemprov DKI Jakarta, maka telah terjadi pengiriman
atau penerusan pesan kepada orang atau pihak lain yang memunculkan berbagai
gambaran bagi orang yang menerimanya dan telah terjadi perpindahan isi dari
data Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ke benda dan/atau sistem
elektronik.”
C. Pertimbangan Mengenai Unsur “Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik Milik Orang Lain atau Milik Publik”
- Dalam mempertimbangkan unsur ini, Majelis Hakim
terlebih dahulu memberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan “Publik”.
Majelis Hakim memberikan pengertian bahwa menurut ketentuan umum yang dimaksud
dengan publik adalah masyarakat luas atau siapapun yang dengan demikian
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik publik sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang dapat diakses oleh siapapun.
- Dengan demikian, Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik milik publik tersebut tidak bersifat rahasia karena
dimaksudkan untuk kepentingan publik, sehingga mengakses Informasi Elektronik
dan/atau Dokumen Elektronik bukan merupakan larangan. Namun demikian, perbuatan
yang dilarang dalam Pasal tersebut adalah perbuatan mengubah, menambah
mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang
lain atau milik publik jika dilakukan tanpa izin oleh pemilik dokumen tersebut.
Selanjutnya Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa:
“..dengan demikian, telah dapat disimpulkan bahwa pemilik
akun rekaman sekaligus pemilik akun Youtube tersebut adalah Pemprov DKI
Jakarta. Menimbang, bahwa video yang berdurasi 30 (tiga puluh) detik ini adalah
asal mula bersumber dari video rekaman yang berdurasi 1:48:33 milik pemerintah
DKI Jakarta.”
V.
PUTUSAN
- Pada bagian amar Putusan Nomor
674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg, tanggal 14 Nopember 2017 menyatakan bahwa:
“M E
N G A D I L I :
1. Menyatakan Terdakwa BUNI YANI telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Informasi
dan Transaksi Elektronik “Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi dan menghilangkan suatu
Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik
Publik;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Buni
Yani oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan 6 (enam) bulan;
3. Menyatakan barang bukti berupa:...”
VI.
ANALISIS
1. Analisis
Mengenai Unsur “Tanpa Hak atau Melawan Hukum”
- Sifat melawan hukum merupakan salah
satu unsur dari tindak pidana, Kedudukan sifat melawan hukum sebagai salah satu
unsur tindak pidana begitu sangat penting, sehingga dikatakan perhatian utama
hukum pidana yaitu perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, karena
perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam pidana. Menurut
Langemeyer, untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dan yang
tidak dipandang keliru, tentunya tidak masuk akal.
- Dari berbagai rumusan tindak pidana,
Moeljatno menyimpulkan dan membagi unsur melawan hukum menjadi 2 (dua) macam,
yakni melawan hukum yang objektif dan melawan hukum yang subjektif. Secara
ringkas, melawan hukum yang objektif menurut Moeljatno adalah melawan hukum
yang berkaitan dengan perbuatannya sehingga menjadikan perbuatan tersebut
terlarang, apakah melawan hukum dijadikan unsur tersendiri atau tidak.
Sedangkan melawan hukum yang subjektif merupakan melawan hukum yang berkaitan
dengan segala sesuatu yang ada dalam diri pelaku, maksudnya adalah suatu
perbuatan baru akan menjadi terlarang apabila adanya niat yang buruk dari
pelaku perbuatan tersebut. Sifat melawan hukumnya tidak dinyatakan dari hal-hal
lahir, tetapi digantungkan kepada sikap bathin pelaku.
- Sedangkan menurut Lamintang,
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid.
b. Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai
seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau
keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam
kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana
sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.
Sedangkan
unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus
atau Culpa).
b. Maksud atau Voornemen pada
suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti
yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan,
pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte
raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal
340 KUHP.
e. Perasaan takut yang antara lain terdapat
di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
- Berdasarkan pendapat P.A.F Lamintang
diatas, dihubungkan dengan perkara a quo,
menurut Anator, Terdakwa tidak memenuhi unsur objektif dari suatu tindak
pidana. Kausalitas (actus reus) dari
Pasal 32 ayat (1) UU ITE tidak terbukti pada Terdakwa. Tidak ada perbuatan
terdakwa yang dapat menyebabkan berubah, bertambah, berkurang, tejadinya
transmisi, rusaknya, hilangnya, berpindah, tersembunyinya suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik.
Tidak terbukti didalam persidangan bahwa Terdakwa yang melakukan proses editing
terhadap video Ahok sehingga hanya berdurasi 30 detik saja.
- Kemudian mengenai unsur subjektif
mengenai kesengajaan sebagai mens rea.
Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda, bahwa kesalahan
adalah dapat dicelanya pembuattindak pidana, karena dilihat dari segi
masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan
tersebut.
Salah satu bentuk kesalahan adalah kesengajaan. Dalam fakta-fakta persidangan,
menurut Anator tidak terbukti adanya kesengajaan dari Terdakwa untuk melakukan
editing atau mengurangi video yang semula berdurasi 1:48:33 sehingga hanya
berdurasi 30 detik. Terdakwa hanya mengunggah ulang video tersebut ke akun
Facebook Terdakwa dengan menambahkan caption “penistaan agama...kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik
dari video ini.” Sehingga menurut Anator, kesalahan Terdakwa mengenai unsur
“mengubah, menambah,... dan seterusnya“ sebagaimana Pasal 31 ayat (1) UU ITE
tidak terpenuhi. Dengan demikian, pertimbangan Majelis Hakim a quo adalah pertimbangan yang keliru.
- Bahwa pertimbangan Majelis Hakim
mengenai sifat melawan hukum
subjektif adalah merupakan gambaran mengenai keadaan batin si pembuat terhadap
sifat melawan hukum objektif perbuatan, menurut Anator, Majelis hakim
berpandangan monistis. Dikatakan demikian karena unsur subjektif suatu tindak
pidana terdiri dari kesengajaan atau tidak kesengajaan. Sementara, menurut
pandangan dualistis, kesengajaan atau tidak kesengajaan (
dolus/culpos) adalah bentuk dari kesalahan (
mens rea) yang merupakan unsur dari pertanggungjawaban pidana yang
dipisahkan dari perbuatan pidana. dalam pengertian perbuatan pidana tidak
termasuk dalam pertanggungjawaban. Perbuatan pidana merujuk kepada dilarangnya
perbuatan. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana mempunyai kesalahan,
maka tentu ia akan dipidana.
- Dengan demikian, jika dilihat dari teori
dualistis, maka Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan JPU (vrijspraak), karena kesalahan (baik dolus maupun culpos) Terdakwa tidak
terpenuhi.
- Meskipun sifat melawan hukum
merupakan unsur mutlak/essesial dari suatu tindak pidana, namun dalam
kenyataannya tidak semua rumusan tindak pidana yang mencantumkan secara
tegas/eksplisit sifat melawan hukum ini sebagai bagian inti dari rumusan tindak
pidana (bestandellen van het delict). Banyak pula yang menjadikan sifat
melawan hukum ini sebagai elemen dari tindak pidana (elementen van het
delict) atau tidak secara tegas dinyatakan sebagai unsur dalam rumusan
tindak pidana, namun demikian bukanlah berarti perbuatan yang dimaksudkan dalam
rumusan tindak pidana tersebut tidak memiliki sifat melawan hukum. Hal ini
dapat pula diartikan secara sederhana bahwa suatu tindak pidana sebenarnya
merupakan salah satu bentuk tindakan melawan hukum yang mendapat tempat secara
khusus dalam suatu undang-undang hukum pidana.
- Dalam praktik peradilan, apabila
melawan hukum sebagai bestandellen van het delict atau secara
eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana, maka penuntut umum harus
mencantumkan dan menguraikannya di dalam dakwaan dan kemudian membuktikannya di
persidangan. Ketidakmampuan penuntut umum untuk membuktikan unsur melawan hukum
ini maka konsekuensinya adalah terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan penuntut
umum (vrijspraak).
- Berbeda dengan kedudukan melawan
hukum sebagai elementen van het delict. Meskipun tidak secara
eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana namun melawan hukum
sebagai elementen van het delict disyaratakan harus ada dalam
setiap tindak pidana. Dalam praktiknya, penuntut umum dalam hal ini tidak perlu
mencantumkan dan menguraikannya dalam surat dakwaan dan tidak ada pula kewajiban
untuk membuktikannya di persidangan, melainkan terdakwa-lah yang berusaha untuk
membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak bersifat melawan hukum.
Ketika melawan hukum yang menjadi elementen van het delict tidak
ditemui pada perbuatan yang didakwakan maka konsekuensinya terdakwa harus
dilepaskan dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging).
2. Analisis
Mengenai Unsur “Dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan
transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”
- Mengenai unsur ini, Majelis Hakim menyatakan
bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan mengubah video asli yang diunggah oleh
Dinas Komunikasi dan Informatika Propinsi DKI Jakarta yang berdurasi 1:48:33
hanya menjadi 30 detik saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan,
yang menyatakan bahwa:
“...telah terjadi pengurangan durasi, dari durasi yang
semula 1:48:33 yang dapat berakibat isi data rekaman video tersebut menjadi
berkurang, tidak lagi seperti isi data semula berakibat isi data video tersebut
menjadi hilang sebagaian atau hapus dari sistem elektronik semula dan berakibat
pula isi video tersebut menjadi berkurang.”
- Pertimbangan tersebut menurut Anator juga
merupkan pertimbangan yang keliru. Sebagaimana telah dipaparkan pada analisis
mengenai unsur “Tanpa Hak atau Melawan Hukum” pada angka 1 diatas, bahwa Terdakwa
tidak melakukan editing atau pengurangan durasi video dari durasi yang semula
1:48:33 menjadi hanya berdurasi 30 detik. Ditambah juga dalam pledoii Penasehat
Hukum Terdakwa bahwa Terdakwa tidak mempunyai kemampuan editing. Menurut
Anator, Majelis Hakim hanya memandang akibat dari perbuatan Terdakwa, tanpa
mempertimbangkan kemampuan editing sebagai kegiatan yang dapat membuktikan
kesalahan Terdakwa.
- Dalam hal pertanggungjawaban pidana, majelis
hakim dalam hal ini berpandangan strict
liability (pertanggungjawaban pidana mutlak atau disebut juga liability without fault/pertanggungjawaban
tanpa adanya kesalahan). Jika berdasarkan teori dualistis maka,
pertanggungjawaban pidana yang tanpa didasarkan pada kesalahan Terdakwa adalah
bertentangan dengan asas geen straft
zonder shchuld/tiada pidana tanpa kesalahan.
- Dengan demikian, menurut Anator, unsur “dengan
cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak,
menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik” tidak terbukti.
3. Analisis
Mengenai Unsur “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik Milik Orang
Lain atau Milik Publik”
- Mengenai unsur ini Majelis Hakim menyatakan
bahwa : “..dengan demikian, telah dapat disimpulkan bahwa pemilik akun rekaman
sekaligus pemilik akun Youtube tersebut adalah Pemprov DKI Jakarta. Menimbang,
bahwa video yang berdurasi 30 (tiga puluh) detik ini adalah asal mula bersumber
dari video rekaman yang berdurasi 1:48:33 milik pemerintah DKI Jakarta.”
- Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim
memberikan pengertian mengenai yang dimaksud dengan publik, yaitu masyarakat
luas atau siapapun termasuk Pemprov DKI Jakarta sebagai pemilik akun Youtube.
- Bahwa menurut Anator, siapa saja dapat mengakses
video yang telah diunggah ole Pemprov DKI Jakarta tersebut, sehingga dapat
dikonsumsi oleh publik. Mengenai perbuatan “mengubah, menambah, mengurangi,
melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” menurut Majelis Hakim harus
mendapat izin dari pemilik akun. Menurut Anator, pertimbangan Majelis Hakim yang
demikian merupakan pertimbangan yang tidak tepat. Bagaimana video yang telah
diunggah ke Youtube untuk dipublikasikan kepada publik diperlukan izin lagi
agar dapat diperpendek durasi video tersebut. Bagaimana dengan ribuan atau
mungkin jutaan video yang ada di youtube, kemudian dishare kepada publik dengan
cara dipangkas durasinya untuk diunggah ke social media yang lain, apakah perlu
mendapatkan izin juga dari pemilik akun youtube ?.
- Berdasarkan uraian diatas, diharapkan kedepan
Pasal 31 ayat (1) UU ITE terutama mengenai unsur mengubah, menambah,
mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan,
menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” perlu
dilakukan pengkajian ulang dan direvisi, karena menurut Anator Pasal ini rawan
disalahgunakan untuk kepentingan individu, kelompok, maupun untuk kepentingan
politik.
4.
Analisis
Mengenai Amar Putusan
- Dalam Amar Putusan yang menyatakan bahwa Terdakwa
telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Informasi
dan Transaksi Elektronik “Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum
mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi dan menghilangkan suatu
Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik
Publik, sehingga Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun
dan 6 (enam) bulan.
- Jika melihat amar putusan tersebut, Majelis
Hakim tidak memerintahkan Terdakwa untuk ditahan. Ada masalah hukum acara pidana di sini. Apakah
mutlak perintah penahanan dicantumkan dalam amar putusan sebagaimana ditekankan
Pasal 197 ayat (2) KUHAP
paralel dengan Pasal 193 ayat 1 huruf (a) KUHAP ? Bagaimana jika Terdakwa itu tidak pernah ditahan di
tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan tingkat pertama seperti
yang dialami terdakwa ?
- Lagipula Putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan bagi terdakwa yang
sebelumnya tidak ditahan tidaklah batal demi hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi
(MK) No. 69/PUU-X/2012 yang menyatakan putusan pengadilan yang tidak memenuhi
Pasal 197 ayat (1) KUHAP, khususnya tentang perintah penahanan, tidak batal
demi hukum, melainkan tetap sah secara hukum.
- Sesungguhnya
kewenangan menahan atau tidaknya terdakwa adalah kewenangan diskresioner. Pasal
20 ayat (3) dan 28 ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa (1) kewenangan untuk
menahan itu sifatnya diskresioner dan (2) hanya diperlukan selama untuk
kepentingan pemeriksaan. Selama proses persidangan, hakim tingkat pertama hanya
diberikan kewenangan menahan terdakwa selama 30 hari + 60 hari. Apabila lewat
dari itu, sekalipun belum selesai proses pemeriksaannya, terdakwa harus
dikeluarkan dari tahanan sambil menunggu proses pemeriksaan perkara.
- Berdasarkan
pertimbangan tersebut, jika putusan hakim kemudian dijadikan dasar hukum untuk
menahan terdakwa, perintah penahanan itu melanggar hukum. Jika hal itu
dibenarkan, lalu sampai berapa lama lagi masa penahanan itu dilaksanakan
terdakwa? Untuk menghindari polemik tersebut, sebaiknya sebelum diucapkan
putusan, majelis hakim membacakan penetapan penahanan terdakwa. Jika demikian,
amar putusan hakim mutlak mencantumkan agar terdakwa tetap berada dalam
tahanan.
- Frasa
"perintah penahanan" dengan amar putusan "menjalani pidana"
adalah dua hal yang
berbeda. Perintah penahanan hanya diperlukan selama terdakwa menjalani
pemeriksaan, dari penyidikan hingga kasasi, untuk memperlancar proses
pemeriksaan tersebut. Adapun menjalani pidana adalah Terdakwa menjalani
pidana terhadap putusan yang telah memperoleh kekutan hukum tetap.
WALLAHUA’LAM