Selasa, 10 Juli 2018

PERLINDUNGAN HAM TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MENJALANKAN TUGAS (Kajian Terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)

PERLINDUNGAN HAM TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MENJALANKAN TUGAS
(Kajian Terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)

OLEH:
ROLI PEBRIANTO, S.H

A.      PENGANTAR
Sebelum lebih jauh membahas judul diatas, Penulis mengucapkan selamat HUT Polri ke 72 (1 Juli 2018). Diusia yang hampir 1 (satu) abad ini, tuntutan terhadap kinerja Polri agar menjadi lebih baik terus berdatangan dari berbagai pihak, terutama tuntutan mengenai kinerja Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Selain itu, sebagai pemelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (selanjutnya disingkat Kamtibmas), Polri juga dituntut untuk menciptakan kondisi serta memelihara rasa aman yang menjadi kebutuhan hakiki dalam masyarakat.
Polri sebagai  penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, dengan tidak mengeyampingkan faktor–faktor yang juga berpengaruh pada penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Faktor-faktor tersebut ialah: peraturan hukum itu sendiri, masyarakat tempat hukum tersebut ditegakkan, keteladanan para aparat penegak hukumnya, sarana dan prasarana penegakan hukum.
Apa yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto jika dikorelasikan dengan kondisi saat ini dan tentang reformasi  yang sedang berlangsung di tubuh Polri, maka sebenarnya masyarakat belum merasakan adanya perubahan yang signifikan, sikap dan perilaku anggota kepolisian masih belum banyak berubah. “Menembak salah, tidak menembak salah, ditembakpun salah,” demikian kira-kira situasi yang yang dihadapi polisi kita.  Pemberitaan tentang polisi yang melakukan penembakan sering menjadi perhatian publik, terlebih terhadap polisi yang salah tembak. Tidak sedikit polisi yang kemudian diperiksa, ditindak, dan diajukan ke sidang pengadilan atau kode etik profesi.
Beberapa catatan dari lembaga Ombudsman Republik Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa Polri masih menjadi lembaga yang sering melakukan mala-administrasi sehingga menjadikan institusi ini mendominasi pengaduan dari masyarakat.  Pada tahun 2015 saja, lembaga ini menerima pengaduan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran mala-adminsitrasi oleh kepolisian sebanyak 6.859 pengaduan. Data yang diterbitkan oleh Ombudsman ini diperkuat lagi dengan data yang diterbitkan oleh Divisi Propam Mabes Polri. Terdapat bukti jika anggota Polri melakukan pelanggaran kode etik, pelanggaran disiplin  dan pelanggaran pidana. Sebagai contoh pada tahun 2015 terdapat pelanggaran kode etik sebanyak 1.041 kasus, pelanggaran disiplin 8.147 kasus dan pelanggaran pidana 394 kasus.
Namun disisi lain, Polri sebagai lembaga terdepan dalam melakukan penegakan hukum, juga perlu mendapatkan perlindungan hukum dan dijamin hak-hak asasinya oleh Negara terutama bagi anggota Polri yang bertugas dilapangan terlebih lagi di daerah-daerah rawan konflik.

B.       HAK ASASI MANUSIA DAN POLRI
Isu tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan “barang” yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni didalam Alinea 1 Pembukaan UUD 1945, yang isinya menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu...dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat disebut sebagai negara yang berdasar ats hukum. Rasionya, bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut: (1) Asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) Asas legalitas, (3) Asas pembagian kekuasaan, (4) Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan (5) Asas kedaulatan rakyat.[1]
Sebagaimana diketahui bahwa Polri merupakan pelindung Hak Asasi Manusia.
C.      REALITAS TUGAS POLRI DI LAPANGAN
Tugas Polri dirasakan semakin kompleks dan risiko yang bertambah rawan. Untuk itu, dipandang semakin mendesak pentingnya merevisi Undang-Undang Polri No 2 Tahun 2002 agar pasal tentang keselamatan anggota Polri bisa diakomodir. Pada periode 2011-2016, ada sebanyak 146 polisi tewas dan 203 luka-luka akibat ulah para kriminal. Hal ini menunjukkan bahwa tugas seorang anggota Polri  semakin rawan.
Indonesia Police Watch pun menilai sudah waktunya Undang-undang Polri No 2 Tahun 2002 direvisi agar pasal tentang keselamatan anggota Polri bisa diakomodir. Ketua Presidium IPW, Neta S Pane menilai keberadaan polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat harus disikapi dengan adil agar keselamatan anggota Polri saat bertugas di lapangan tetap terjaga. Menurut Neta S Pane:
“IPW berharap, ke depan perlindungan terhadap Polisi, terutama yang bertugas di lapangan, khususnya lagi yang bertugas di daerah konflik sangat diperlukan. Tugas polisi sangat berbeda dengan tugas aparatur yang lain. Melihat perkembangan yang ada sekarang ini, dimana makin banyak polisi tewas dibunuh pelaku kriminal, sudah saatnya UU Polri no 2 thn 2002 direvisi untuk dilengkapi agar Jaminan Perlindungan bagi Anggota Polri terakomodir."[2]

Menurutnya ada empat poin yang harus dilengkapi berkaitan dengan perlindungan anggota Polri. Pertama, perlunya asuransi dan jaminan perlindungan keselamatan untuk anggota Polri. Kedua, anggota Polri yang bertugas di lapangan dan di daerah konflik dan bisa bertugas 24 jam penuh, perlu diberikan uang lembur dan ekstra makanan kesehatan agar kesehatannya terjaga.
Ketiga, perlunya pelatihan intensif dan dilengkapi peralatan yang memadai agar bisa melindungi dirinya sendiri maupun orang lain, saat bertugas di lapangan. Keempat, sudah saatnya dibuat aturan tentang sanksi yang berat bagi para kriminal yang membunuh anggota Polri. Misalnya, mengacu ke konsep Police Protection Act milik AS yang menetapkan 30 tahun penjara hingga hukuman mati bagi pembunuh seorang anggota polisi.[3]

D.     INDONESIA PERLU KONSEP “POLICE PROECTION ACT”
Mengacu ke konsep Police Protection Act milik AS yang menetapkan 30 tahun penjara hingga hukuman mati bagi pembunuh seorang anggota polisi. Sanksi ini sangat diperlukan mengingat polisi adalah pelindung, pengayom dan pengayom masyarakat. Melihat perkembangan yang ada sekarang ini, dimana makin banyak polisi tewas dibunuh pelaku kriminal, sudah saatnya UU No. 2 Tahun 2002 direvisi untuk dilengkapi agar Jaminan Perlindungan bagi Anggota Polri terakomodir.
Penulis telah menghimpun dari berbagai sumber, bahwa sebanyak 146 polisi tewas dan 203 lainnya luka-luka akibat ulah kriminal selama 2011 hingga 2016. Terakhir, tiga polisi tewas dalam serangan bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam. Kasus di Kampung Melayu itu adalah yang paling menonjol selama 2017.
Pada 2011 ada 20 polisi tewas. Selanjutnya, 2012 tewas 29 dan luka 14. Pada 2013 ada 27 polisi yang tewas dan luka 72. Berikutnya, 2014 jumlah tewas sebanyak 41 polisi dan luka 42. Kemudian, 2015 yang tewas mencapai 18 orang, dengan luka 75 orang. Tahun lalu, ada 11 polisi yang tewas. Selama kurun waktu itu, tidak ada yang tewas karena bom.
Data terbaru, menurut pengamatan Penulis yakni anggota Polri yang meninggal dunia karena ditembaki oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua dalam rangka mengamankan Pilkada Serentak 2018. Menyikapi makin rawannya tugas seorang polisi, sekali lagi Penulis tegaskan bahwa sudah waktunya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri direvisi, terutama terkait Pasal Keselamatan Anggota Polri. Menurut Penulis, keberadaan polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat harus disikapi dengan adil agar keselamatan anggota Polri saat bertugas di lapangan tetap terjaga.
Perlindungan terhadap Anggota Polri kedepan, terutama yang bertugas di lapangan, khususnya lagi yang bertugas di daerah konflik sangat diperlukan. Mengingat tugas polisi sangat berbeda dengan tugas aparatur yang lain. Polisi yang bertugas di lapangan selalu berhadapan dengan ancaman keamanan dirinya sendiri, sehingga resiko keselamatannya sangat rentan.

E.       PENUTUP
Sebagai penutup tulisan ini, Penulis mengutip pendapat Frederick Julius Stahl tentang konsep rechtstaat (yang disepadankan dengan Indonesia. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtstaat) adalah:
1.      Perlindungan hak asasi manusia;
2.      Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
3.      Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
4.      Adanya peradilan Administrasi.[4]

Pada saat yang bersamaan, muncul pula konsep negara hukum (rule of law) dari A.V Dicey yang lahir dalam naungan sistem hukum Anglo Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut:
1.      Supremasi aturan hukum (supremacy of law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absency of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
2.      Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; dan
3.      Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.[5]

Mengacu kepada pandangan Stahl dan Dicey diatas, menurut Ali Taher Parasong, bahwa perlindungan hak asasi manusia merupakan unsur yang penting dalam negara hukum. Jika dalam suatu negara hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulakn tidak dapat diselesaikan secara adil, maka negara tersebut belum sepenuhnya menjadi negara hukum.[6]
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan Indonesia sebagai negara hukum, maka negara harus menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk anggota Polri yang sedang melaksanakan tugas. Salah satu cara menjamin dan melindungi HAM anggota Polri yang sedang menjalankan tugas ialah dengan melakukan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dengan menambah BAB atau ataupun Pasal-Pasal mengenai perlindungan hukum terhadap anggota Polri yang menjalankan tugas, terlebih lagi yang bertugas di daerah-daerah rawan konflik agar keselamatan anggota Polri saat bertugas di lapangan tetap terjaga. Jika perlu, menurut Penulis, Indonesia harus mencontoh Police Protection Act-nya Amerika Serikat.

WALLAHUA’LAM

                                                                                    Jakarta, 1 Juli 2018
                                                                                    Penulis



                                                                                        ROLI PEBRIANTO, S.H



[1] Lili Rasjidi dan B. Arief Shidarta, Filsafat Hukum; Mazhab dan Refleksinya, (Bandung: Remadja Karya, 1989), hlm. 185.
[2] Siaran Pers Neta S Pane Jumat, 26 Mei 2017
[4] Syaiful Bakhri, Ilmu Negara Dalam Konteks Negara Hukum Modern, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hlm. 133.
[5] Ibid, hlm. 134.
[6] Ali Taher Parasong, Mencegah Runtuhnya Negara Hukum, (Jakarta: Grafindo Books Media, 2014), hlm. 198.

ANOTASI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG Nomor: 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg, tanggal 14 Nopember 2017 Dalam Perkara Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik Atas Nama Terdakwa: Buni Yani


ANOTASI
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BANDUNG
Nomor: 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg, tanggal 14 Nopember 2017
Dalam Perkara Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik
Atas Nama Terdakwa: Buni Yani

Oleh: Roli Pebrianto, S.H

I.       PENGANTAR
Putusan Pengadilan Negeri Banduung Nomor: 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg, tanggal 14 Nopember 2017 adalah putusan terhadap Terdakwa Buni Yani yang dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana bidang Informasi dan Transaksi Elektronik yakni “dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik.”
Dalam perkara ini, Terdakwa terbukti mengubah atau mengedit video pidato Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat melakukan kunjungan kerja ke Tempat Pelelangan Ikan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Kemudian Terdakwa mengupload video yang telah diedit tersebut ke akun Facebooknya (Buni Yani).
Atas perbuatannya tersebut, Terdakwa dihukum dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dana 6 (enam) bulan. Putusan ini menjadi kontroversial di berbagai kalangan, dikarenakan putusan pemidaan tersebut tidak disertai dengan perintah agar Terdakwa ditahan. Untuk itu, Anator akan melakukan anotasi hukum (legal anotatation) terhadap putusan tersebut, sebagai berikut:

II.     KASUS POSISI
Pada hari Kamis, 6 Oktober 2016 sekira jam 00:28 WIB, bertempat di Kalibaru Permai Blok B, Rt.02 Rw. O7, Kelurahan Kalibaru, Kecamatan Cilegon, Kota Depok, Terdakwa Buni Yani dengan menggunakan Hp merk Asus Zenfone 2 warna hitam putih dengan IMEI 353027070713488 dan IMEI 353027070713496 dengan dua simcard yang terdiri dari simcard Telkomsel dan 3 (tri), telah mengunggah tapa seizin dari Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi DKI Jakarta selaku pemilik rekaman sekaligus pemilik akun video rekaman pidato Basuki T. Purnama alias Ahok selaku gubernur DKI Jakarta yang pada tanggal 27 September 2016 melakukan kunjungan kerja ke Tempat Pelelangan Ikan Pulau Pramuka, Kep. Seribu.
Terdakwa mengunggah video tersebut ke akun Facebook Terdakwa BUNI YANI dengan link url: https://www.Facebook.com/Buni Yani?fref=ts, dengan durasi delama 30 detik pada potongan video dari pidato Basuki T. Purnama alias Ahok pada saat mengatakan: “...jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu ga bisa pilih saya, ya kan dibohongi pakai surat Al Maidah 51 macem-macem itu, itu hak bapak ibu, yah, jadi kalo bapak ibu perasaan gak bisa pilih nih karena saya takut masuk neraka dibodohin gitu ya, nggak papa, karna inikan panggilan pribadi bapak ibu, program ini jalan saja, jadi bapak ibu nggak usah merasa gak enak, dalam nuraninya ga bisa milih Ahok, gak suka sama Ahok nih, tapi programnya gua kalo terima ngga enak dong jadi utang budi jangan bapak ibu punya perasaan ngga enak nanti mati pelan-pelan loh kena stroke...”, serta menambahkan caption: “keliatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini”.
Terdakwa Buni Yani dalam hal ini telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE, yang berbunyi:  “Setiap oarang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik.” Perbuatan Terdakwa oleh Majelis Hakim dainggap terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah dan telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE, sehingga Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.

III.  TENTANG DAKWAAN DAN TUNTUTAN JAKSA/PENUNTUT UMUM
A.    Dakwaan
Terdakwa Buni Yani didakwa dengan dakwaan alternatif, yakni:
Pertama: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 32 ayat (1) jo. Pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Atau

Kedua: Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 28 ayat (2) jo. Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo. Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

B.     Tuntutan
Adapun tuntutan JPU berbunyi sebagai berikut:
“M E N U N T U T
1.      Menyatakan Terdakwa BUNI YANI bersalah melakukan Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik berupa melakukan dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum menambah, mengurangi, menghilangkan suatu informasi Elektronik dan atau Dokumen elektronik milik orang lain atau milik publik sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam ketentuan Pasal 32 ayat (1) Jo Pasal 48 ayat (1) UU RI No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Jo UU RI No.19 tahum 2016 tentang Perubahan atas UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam Dakwaan Pertama;
2.      Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Buni Yani dengan pidana penjara selama 2 (dua) tahun dengan perintah agar Terdakwa ditahan dan denda sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) subsidair 3 (tiga) bulan kuruangan
3.      Menyatakan barang bukti berupa:....”

IV.   TENTANG PERTIMBANGAN HAKIM
A. Pertimbangan Hakim Mengenai Unsur “Tanpa Hak atau Melawan Hukum”
-   Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa dalam tindak pidana ITE terdapat frasa “dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum”. Dengan didahului oleh kata sengaja sebelum melawan hukum, maka melawan hukumnya perbuatan berarti melawan hukum objektif dan sekaligus melawan hukum subjektif. Mengenai pertimbangan sifat melawan hukum objektif, Majelis Hakim memberikan pertimbangan:
Menimbang, sesuai dengan pendapat Drs. Adami Chazawi, SH dan Ardi Ferdian, SH.,M.Kn, dalam buku karangannya yang berjudul “Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik” pada halaman 162-163 menegaskan: secara objektif perbuatan yang dilakukan dalam Pasal 36 ayat (1) UU ITE terdapat pada unsur obyek Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik milik orang lain. Untuk menjadi melawan hukum objektif dari perbuatan mengubah dan lain-lain harus tidak ada izin dari si pemiliknya. Mengenai keadaan tanpa izin tidak dicantumkan dalam rumusan, namun tidak ada izin dari pemiliknya harus ditafsirkan terhadapnya dan harus dibuktikan jika ada izin dari si pemilik, maka perbuatan itu tidak bersifat melawan hukum.”

-   Kemudian, mengenai sifat melawan hukum subjektif, Majelis Hakim memberikan pertimbangan:
“Menimbang, bahwa sifat melawan hukum subjektif adalah merupakan gambaran mengenai keadaan batin si pembuat terhadap sifat melawan hukum objektif perbuatan. Si pembuat mengerti bahwa perbuatan yang hendak diperbuatnya in casu mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan dengan cara apapun suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik sebagai perbuatan yang tercela.”

-  Kemudian, pada pertimbangan selanjutnya, Majelis Hakim menyatakan:
“...pada tanggal 6 Oktober 2016, Terdakwa tanpa izin pemilik dokumen video Pemprov DKI Jakarta telah mengunggah video rekaman pidato Ahok pada tanggal 27 September 2016 yang berdurasi 30 detik melalui akun Facebook Terdakwa serta menambahkan caption yaitu “Penistaan Agama bapak/ibu pemilih muslim dibohongi surat Al-Maidah 51 dan masuk neraka juga bapak/ibu dibodohi, kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dengan video ini,” dengan demikian unsur tanpa hak atau melawan hukum telah terpenuhi.”

B. Pertimbangan Mengenai Unsur “Dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”
-     Bahwa ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU ITE mengenai unsur “dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” merupakan beberapa perbuatan yang bersifat alternatif, artinya salah satu unsur perbuatan saja yang dibuktikan untuk dapat dipidananya pembuat.
-   Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan mengubah video asli yang diunggah oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Propinsi DKI Jakarta yang berdurasi 1:48:33 hanya menjadi 30 detik saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan, yang menyatakan bahwa:
“...telah terjadi pengurangan durasi, dari durasi yang semula 1:48:33 yang dapat berakibat isi data rekaman video tersebut menjadi berkurang, tidak lagi seperti isi data semula berakibat isi data video tersebut menjadi hilang sebagaian atau hapus dari sistem elektronik semula dan berakibat pula isi video tersebut menjadi berkurang.”

-   Dalam pertimbangan selanjutnya, Majelis Hakim menyatakan bahwa:
“...dengan telah terjadinya unggahan video yang berdurasi 30 detik dilakukan oleh Terdakwa dalam akun facebooknya terhadap video publik akun Youtube Pemprov DKI Jakarta, maka telah terjadi pengiriman atau penerusan pesan kepada orang atau pihak lain yang memunculkan berbagai gambaran bagi orang yang menerimanya dan telah terjadi perpindahan isi dari data Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik ke benda dan/atau sistem elektronik.”

C. Pertimbangan Mengenai Unsur “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik Milik Orang Lain atau Milik Publik”
-   Dalam mempertimbangkan unsur ini, Majelis Hakim terlebih dahulu memberi pengertian tentang apa yang dimaksud dengan “Publik”. Majelis Hakim memberikan pengertian bahwa menurut ketentuan umum yang dimaksud dengan publik adalah masyarakat luas atau siapapun yang dengan demikian Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik publik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) UU ITE yang dapat diakses oleh siapapun.
-  Dengan demikian, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik publik tersebut tidak bersifat rahasia karena dimaksudkan untuk kepentingan publik, sehingga mengakses Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik bukan merupakan larangan. Namun demikian, perbuatan yang dilarang dalam Pasal tersebut adalah perbuatan mengubah, menambah mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik jika dilakukan tanpa izin oleh pemilik dokumen tersebut. Selanjutnya Majelis Hakim mempertimbangkan bahwa:
“..dengan demikian, telah dapat disimpulkan bahwa pemilik akun rekaman sekaligus pemilik akun Youtube tersebut adalah Pemprov DKI Jakarta. Menimbang, bahwa video yang berdurasi 30 (tiga puluh) detik ini adalah asal mula bersumber dari video rekaman yang berdurasi 1:48:33 milik pemerintah DKI Jakarta.”

V.           PUTUSAN
-  Pada bagian amar Putusan Nomor 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg, tanggal 14 Nopember 2017 menyatakan bahwa:
“M E N G A D I L I  :
1.  Menyatakan Terdakwa BUNI YANI  telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik  “Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi dan menghilangkan suatu Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik Publik;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Buni Yani  oleh karena itu dengan pidana penjara selama  1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan;
3.   Menyatakan barang bukti berupa:...”

VI.        ANALISIS
1. Analisis Mengenai Unsur “Tanpa Hak atau Melawan Hukum”
-      Sifat melawan hukum merupakan salah satu unsur dari tindak pidana, Kedudukan sifat melawan hukum sebagai salah satu unsur tindak pidana begitu sangat penting, sehingga dikatakan perhatian utama hukum pidana yaitu perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, karena perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam pidana. Menurut Langemeyer, untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dan yang tidak dipandang keliru, tentunya tidak masuk akal.
-  Dari berbagai rumusan tindak pidana, Moeljatno menyimpulkan dan membagi unsur melawan hukum menjadi 2 (dua) macam, yakni melawan hukum yang objektif dan melawan hukum yang subjektif. Secara ringkas, melawan hukum yang objektif menurut Moeljatno adalah melawan hukum yang berkaitan dengan perbuatannya sehingga menjadikan perbuatan tersebut terlarang, apakah melawan hukum dijadikan unsur tersendiri atau tidak. Sedangkan melawan hukum yang subjektif merupakan melawan hukum yang berkaitan dengan segala sesuatu yang ada dalam diri pelaku, maksudnya adalah suatu perbuatan baru akan menjadi terlarang apabila adanya niat yang buruk dari pelaku perbuatan tersebut. Sifat melawan hukumnya tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi digantungkan kepada sikap bathin pelaku.
-  Sedangkan menurut Lamintang, Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a.   Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid.
b.  Kualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
c. Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.[1]
Sedangkan unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
a.  Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa).
b. Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.
c.  Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
d.  Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.
e.   Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana  menurut Pasal 308 KUHP.[2]

-     Berdasarkan pendapat P.A.F Lamintang diatas, dihubungkan dengan perkara a quo, menurut Anator, Terdakwa tidak memenuhi unsur objektif dari suatu tindak pidana. Kausalitas (actus reus) dari Pasal 32 ayat (1) UU ITE tidak terbukti pada Terdakwa. Tidak ada perbuatan terdakwa yang dapat menyebabkan berubah, bertambah, berkurang, tejadinya transmisi, rusaknya, hilangnya, berpindah, tersembunyinya suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik publik. Tidak terbukti didalam persidangan bahwa Terdakwa yang melakukan proses editing terhadap video Ahok sehingga hanya berdurasi 30 detik saja.
-  Kemudian mengenai unsur subjektif mengenai kesengajaan sebagai mens rea. Menurut Roeslan Saleh sebagaimana dikutip oleh Chairul Huda, bahwa kesalahan adalah dapat dicelanya pembuattindak pidana, karena dilihat dari segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan tersebut.[3] Salah satu bentuk kesalahan adalah kesengajaan. Dalam fakta-fakta persidangan, menurut Anator tidak terbukti adanya kesengajaan dari Terdakwa untuk melakukan editing atau mengurangi video yang semula berdurasi 1:48:33 sehingga hanya berdurasi 30 detik. Terdakwa hanya mengunggah ulang video tersebut ke akun Facebook Terdakwa dengan menambahkan caption “penistaan agama...kelihatannya akan terjadi sesuatu yang kurang baik dari video ini.” Sehingga menurut Anator, kesalahan Terdakwa mengenai unsur “mengubah, menambah,... dan seterusnya“ sebagaimana Pasal 31 ayat (1) UU ITE tidak terpenuhi. Dengan demikian, pertimbangan Majelis Hakim a quo adalah pertimbangan yang keliru.
-  Bahwa pertimbangan Majelis Hakim mengenai sifat melawan hukum subjektif adalah merupakan gambaran mengenai keadaan batin si pembuat terhadap sifat melawan hukum objektif perbuatan, menurut Anator, Majelis hakim berpandangan monistis. Dikatakan demikian karena unsur subjektif suatu tindak pidana terdiri dari kesengajaan atau tidak kesengajaan. Sementara, menurut pandangan dualistis, kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus/culpos) adalah bentuk dari kesalahan (mens rea) yang merupakan unsur dari pertanggungjawaban pidana yang dipisahkan dari perbuatan pidana. dalam pengertian perbuatan pidana tidak termasuk dalam pertanggungjawaban. Perbuatan pidana merujuk kepada dilarangnya perbuatan. Apabila orang yang melakukan perbuatan pidana mempunyai kesalahan, maka tentu ia akan dipidana.[4]
-  Dengan demikian, jika dilihat dari teori dualistis, maka Terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan JPU (vrijspraak), karena kesalahan (baik dolus maupun culpos) Terdakwa tidak terpenuhi.
- Meskipun sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak/essesial dari suatu tindak pidana, namun dalam kenyataannya tidak semua rumusan tindak pidana yang mencantumkan secara tegas/eksplisit sifat melawan hukum ini sebagai bagian inti dari rumusan tindak pidana (bestandellen van het delict). Banyak pula yang menjadikan sifat melawan hukum ini sebagai elemen dari tindak pidana (elementen van het delict) atau tidak secara tegas dinyatakan sebagai unsur dalam rumusan tindak pidana, namun demikian bukanlah berarti perbuatan yang dimaksudkan dalam rumusan tindak pidana tersebut tidak memiliki sifat melawan hukum. Hal ini dapat pula diartikan secara sederhana bahwa suatu tindak pidana sebenarnya merupakan salah satu bentuk tindakan melawan hukum yang mendapat tempat secara khusus dalam suatu undang-undang hukum pidana.
- Dalam praktik peradilan, apabila melawan hukum sebagai bestandellen van het delict atau secara eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana, maka penuntut umum harus mencantumkan dan menguraikannya di dalam dakwaan dan kemudian membuktikannya di persidangan. Ketidakmampuan penuntut umum untuk membuktikan unsur melawan hukum ini maka konsekuensinya adalah terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan penuntut umum (vrijspraak).
-    Berbeda dengan kedudukan melawan hukum sebagai elementen van het delict. Meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan dalam rumusan tindak pidana namun melawan hukum sebagai elementen van het delict disyaratakan harus ada dalam setiap tindak pidana. Dalam praktiknya, penuntut umum dalam hal ini tidak perlu mencantumkan dan menguraikannya dalam surat dakwaan dan tidak ada pula kewajiban untuk membuktikannya di persidangan, melainkan terdakwa-lah yang berusaha untuk membuktikan bahwa perbuatan yang dilakukannya tidak bersifat melawan hukum. Ketika melawan hukum yang menjadi elementen van het delict tidak ditemui pada perbuatan yang didakwakan maka konsekuensinya terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan (onslag van alle rechtsvervolging).

2. Analisis Mengenai Unsur “Dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik”
- Mengenai unsur ini, Majelis Hakim menyatakan bahwa Terdakwa telah melakukan perbuatan mengubah video asli yang diunggah oleh Dinas Komunikasi dan Informatika Propinsi DKI Jakarta yang berdurasi 1:48:33 hanya menjadi 30 detik saja. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan, yang menyatakan bahwa:
“...telah terjadi pengurangan durasi, dari durasi yang semula 1:48:33 yang dapat berakibat isi data rekaman video tersebut menjadi berkurang, tidak lagi seperti isi data semula berakibat isi data video tersebut menjadi hilang sebagaian atau hapus dari sistem elektronik semula dan berakibat pula isi video tersebut menjadi berkurang.”

- Pertimbangan tersebut menurut Anator juga merupkan pertimbangan yang keliru. Sebagaimana telah dipaparkan pada analisis mengenai unsur “Tanpa Hak atau Melawan Hukum” pada angka 1 diatas, bahwa Terdakwa tidak melakukan editing atau pengurangan durasi video dari durasi yang semula 1:48:33 menjadi hanya berdurasi 30 detik. Ditambah juga dalam pledoii Penasehat Hukum Terdakwa bahwa Terdakwa tidak mempunyai kemampuan editing. Menurut Anator, Majelis Hakim hanya memandang akibat dari perbuatan Terdakwa, tanpa mempertimbangkan kemampuan editing sebagai kegiatan yang dapat membuktikan kesalahan Terdakwa.
-   Dalam hal pertanggungjawaban pidana, majelis hakim dalam hal ini berpandangan strict liability (pertanggungjawaban pidana mutlak atau disebut juga liability without fault/pertanggungjawaban tanpa adanya kesalahan). Jika berdasarkan teori dualistis maka, pertanggungjawaban pidana yang tanpa didasarkan pada kesalahan Terdakwa adalah bertentangan dengan asas geen straft zonder shchuld/tiada pidana tanpa kesalahan.
-   Dengan demikian, menurut Anator, unsur “dengan cara apapun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” tidak terbukti.

3. Analisis Mengenai Unsur “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik Milik Orang Lain atau Milik Publik”
-  Mengenai unsur ini Majelis Hakim menyatakan bahwa : “..dengan demikian, telah dapat disimpulkan bahwa pemilik akun rekaman sekaligus pemilik akun Youtube tersebut adalah Pemprov DKI Jakarta. Menimbang, bahwa video yang berdurasi 30 (tiga puluh) detik ini adalah asal mula bersumber dari video rekaman yang berdurasi 1:48:33 milik pemerintah DKI Jakarta.”
-  Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim memberikan pengertian mengenai yang dimaksud dengan publik, yaitu masyarakat luas atau siapapun termasuk Pemprov DKI Jakarta sebagai pemilik akun Youtube.
-    Bahwa menurut Anator, siapa saja dapat mengakses video yang telah diunggah ole Pemprov DKI Jakarta tersebut, sehingga dapat dikonsumsi oleh publik. Mengenai perbuatan “mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” menurut Majelis Hakim harus mendapat izin dari pemilik akun. Menurut Anator, pertimbangan Majelis Hakim yang demikian merupakan pertimbangan yang tidak tepat. Bagaimana video yang telah diunggah ke Youtube untuk dipublikasikan kepada publik diperlukan izin lagi agar dapat diperpendek durasi video tersebut. Bagaimana dengan ribuan atau mungkin jutaan video yang ada di youtube, kemudian dishare kepada publik dengan cara dipangkas durasinya untuk diunggah ke social media yang lain, apakah perlu mendapatkan izin juga dari pemilik akun youtube ?.
-    Berdasarkan uraian diatas, diharapkan kedepan Pasal 31 ayat (1) UU ITE terutama mengenai unsur mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik” perlu dilakukan pengkajian ulang dan direvisi, karena menurut Anator Pasal ini rawan disalahgunakan untuk kepentingan individu, kelompok, maupun untuk kepentingan politik.

4.        Analisis Mengenai Amar Putusan
-     Dalam Amar Putusan yang menyatakan bahwa Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Informasi dan Transaksi Elektronik  “Dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi dan menghilangkan suatu Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau milik Publik, sehingga Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama  1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan.
-  Jika melihat amar putusan tersebut, Majelis Hakim tidak memerintahkan Terdakwa untuk ditahan. Ada masalah hukum acara pidana di sini. Apakah mutlak perintah penahanan dicantumkan dalam amar putusan sebagaimana ditekankan Pasal 197 ayat (2) KUHAP paralel dengan Pasal 193 ayat 1 huruf (a) KUHAP ? Bagaimana jika Terdakwa itu tidak pernah ditahan di tingkat penyidikan, penuntutan, dan persidangan tingkat pertama seperti yang dialami terdakwa ?
- Lagipula Putusan yang tidak mencantumkan perintah penahanan bagi terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan tidaklah batal demi hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU-X/2012 yang menyatakan putusan pengadilan yang tidak memenuhi Pasal 197 ayat (1) KUHAP, khususnya tentang perintah penahanan, tidak batal demi hukum, melainkan tetap sah secara hukum.
-   Sesungguhnya kewenangan menahan atau tidaknya terdakwa adalah kewenangan diskresioner. Pasal 20 ayat (3) dan 28 ayat (1) KUHAP menunjukkan bahwa (1) kewenangan untuk menahan itu sifatnya diskresioner dan (2) hanya diperlukan selama untuk kepentingan pemeriksaan. Selama proses persidangan, hakim tingkat pertama hanya diberikan kewenangan menahan terdakwa selama 30 hari + 60 hari. Apabila lewat dari itu, sekalipun belum selesai proses pemeriksaannya, terdakwa harus dikeluarkan dari tahanan sambil menunggu proses pemeriksaan perkara.
- Berdasarkan pertimbangan tersebut, jika putusan hakim kemudian dijadikan dasar hukum untuk menahan terdakwa, perintah penahanan itu melanggar hukum. Jika hal itu dibenarkan, lalu sampai berapa lama lagi masa penahanan itu dilaksanakan terdakwa? Untuk menghindari polemik tersebut, sebaiknya sebelum diucapkan putusan, majelis hakim membacakan penetapan penahanan terdakwa. Jika demikian, amar putusan hakim mutlak mencantumkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
-   Frasa "perintah penahanan" dengan amar putusan "menjalani pidana" adalah dua hal yang berbeda. Perintah penahanan hanya diperlukan selama terdakwa menjalani pemeriksaan, dari penyidikan hingga kasasi, untuk memperlancar proses pemeriksaan tersebut. Adapun menjalani pidana adalah Terdakwa menjalani pidana terhadap putusan yang telah memperoleh kekutan hukum tetap.


WALLAHUA’LAM




[1] P.A.F. Lamitang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. (Bandung: Sinar Baru,1990), hlm. 194.
[2] Ibid, hlm. 193.
[3] Roeslan Saleh dalam Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan;Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Cet. Ke-6, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2015), hlm.77.
[4] Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75.

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...