Minggu, 15 April 2018

ANOTASI PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI NOMOR: 79 PK/Pid/2013 Dalam Perkara Tindak Pidana Malpratek Medis/Medical Malpractice


ANOTASI
PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI NOMOR: 79 PK/Pid/2013
Dalam Perkara Tindak Pidana Malpratek Medis/Medical Malpractice atas nama Terpidana:  dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI, dr. HENDRY SIMANJUNTAK, dan dr. HENDY SIAGIAN

Oleh: Roli Pebrianto, SH

I.          Pendahuluan
Putusan yang akan dianotasi ialah Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 79 PK/Pid/2013, tanggal 7 Februari 2014, yang dimohonkan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian. Sebelumnya pada tingkat pertama, perkara diperikssa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Negeri Manado Nomor: 90/PID.B/2011/ PN.MDO, tanggal 22 September 2011, yang menyatakan bahwa Para Terpidana tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana dalam dakwaan Kesatu Primer dan Subsidair, dakwaan Kedua, dan dakwaan Ketiga Primair dan Subsidair, sehingga Para Terpidana dibebaskan dari segala dakwaan (Vrijspraak). Selanjutnya pada tingkat Kasasi sebagaimana dalam Putusan Nomor: 365 K/Pid/2012 tanggal 18 September 2012 yang membatalkan Putusan Pengadilan tingkat pertama, menyatakan bahwa Para Terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang”, kemudian menjatuhkan pidana terhadap Para Terpidana dengan pidana penjara masing-masing 10 (sepuluh) bulan.
Para Terpidana kemudian melakukan upaya hukum Peninjauan Kembali, yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh Majelis Hakim PK, dengan Nomor Putusan: 79 PK/PID/2013, tanggal 7 Februari 2014, yang membatalkan Putusan Kasasi Nomor: 365 K/Pid/2012, tanggal 18 September 2012, yang menyatakan bahwa Para Terpidana tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh JPU, sehingga Para Terpidana dibebaskan dari dakwaan tersebut.
Kontroversi sehubungan dengan adanya perkara ini, ternyata menurut sejumlah kalangan juga terlihat dalam putusan tersebut. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jernih mengenai hal ini dan mengingat begitu strategisnya kasus ini, mendorong anator untuk melakukan anotasi terhadap putusan tersebut. Untuk itu, dapat dikemukakan legal annotation sebagai berikut:

  II.     Kasus Posisi
Pada pokok perkara tindak pidana malapraktek medis sebagaimana telah diperiksa, diadili, dan diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Negeri Manado No. 90/PID.B/ 2011/PN.MDO, pada tingkat Kasasi No. 365 K/Pid/2012, dan pada tingkat Peninjauan Kembali No. 79 PK/PID/2013, Para Terpidana dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian didakwa melakukan malpraktek medis/medical malpractice terhadap tindakan operasi Cito Secsio Sesaria pada korban Siska Maketay. Sebelum operasi dilakukan, Para Terpidana tidak pernah menyampaikan kepada keluarga korban tentang kemungkinan terburuk yang terjadi terhadap korban. Para Terpidana juga tidak melakukan pemeriksaan penunjang sebelum korban dilakukan anestesi/pembiusan.
Setelah terdapat indikasi untuk dilakukan operasi Cito Secsio Sesaria pada pukul 18.30 Wita terhadap korban, Terpidana III dr. Hendy Siagian menyerahkan surat tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi kepada korban Siska Maketay untuk ditandatangani oleh korban yang disaksikan oleh Terpidana I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terpidana II dr. Hendry Simanjuntak, dan saksi dr. Helmi. Kemudian berdasarkan surat tersebut Para Terpidana melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban.
Kemudian Terpidana I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani mengiris dinding perut korban lapis demi lapis sampai pada rahim, kemudian bayi yang ada didalam rahim korban diangkat, kemudian rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan dan dibersihkan dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut korban dijahit kembali. Berdasarkan hasil medical record, pada saat korban masuk RSU Prof. R.D Kandou Manado, keadaan umum korban lemah dan status penyakit korban berat. Para Terpidana sebagai dokter dalam melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksanaan operasi sehingga terjadi emboli udara yang masuk kedalam bilik kanan jantung korban yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik Cabang Makassar dan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik tanggal 9 Juni 2010 NO.LAB.: 509/DTF/2011, yang menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Maketay alias Julia Fransiska Maketay pada surat tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi a quo berbeda dengan yang berada dalam KTP dan kartu Askes milik korban, sehingga tanda tangan tersebut adalah tanda tangan karangan/”Spurious Signature”.
Berdasarkan uraian diatas, maka Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Manado mendakwa dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian, dengan dakwaan sebagai berikut:
1.      Kesatu
-          Primair: Perbuatan Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP Jis. Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
-          Subsidair: Perbuatan Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
2.      Kedua: : Perbuatan Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3.      Ketiga
-          Primair: Perbuatan Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
-          Subsidair: Perbuatan Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263 ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

III.     Tentang Legal Standing Pemohon Peninjauan Kembali (Syarat Formal)
Mengenai orang yang berhak mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali, ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah Terpidana atau Ahli Warisnya. Dalam pokok perkara sebagaimana telah diperiksa, diadili, dan diputus oleh Majelis Hakim PK dengan nomor: 79 PK/PID/2013, Pemohon PK adalah Para Terpidana yakni: dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian. Para Pemohon/Para Terpidana telah diputus bersalah melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang” berdasarkan Putusan Kasasi No. 365 K/Pid/2012, dan dipidana dengan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,” maka legal standing (kedudukan hukum) Para Pemohon/Para Terpidana sebagai syarat formal pengajuan Permohonan PK telah terpenuhi.


IV.     Tentang Alasan Permohonan Peninjauan Kembali
Adapun yang menjadi alasan Permohonan Para Pemohon PK yakni sebagai berikut:
1.         Mahkamah Agung telah menghukum Para Terpidana/Para Terpidana secara Prematur
Dakwaan dan Tuntutan Penuntut Umum masing-masing dalam Pasal 359 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP harus dinyatakan “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”, karena unsur “karena salahnya menyebabkan matinya orang”, tidak terbukti karena Para Pemohon telah melakukan secara benar dan sesuai dengan SOP serta sesuai dengan aturan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Oleh karena tuduhan Jaksa/Penuntut Umum prematur, serta Judex Juris Mahkamah Agung telah menerima, mengadili, dan memutus perkara a quo dengan menjatuhkan hukuman penjara kepada Para Terpidana juga prematur, maka dakwaan dalam perkara a quo harus ditolak dan Para Terpidana harus dibebaskan.
Putusan bebas oleh Judex Facti Pengadilan Negeri Manado, adalah BEBAS MURNI dan sudah tepat sehingga Putusan Judex Juris Mahkamah Agung harus dibatalkan dengan pertimbangan Pasal 244 KUHAP: “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat pertama dan terakhir oleh Pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Ketentuan sebagaimana diatas diabaikan baik oleh Jaksa/Penuntut Umum maupun oleh Judex Juris Mahkamah Agung, oleh karenanya telah salah menerapkan hukum, maka putusan Judex Juris Mahkamah Agung a quo harus dibatalkan.

2.         Judex Juris Mahkamah Agung tidak menerapkan azas Audi et Alteram Partem
Terdapat kekhilafan dan kekeliruan yang nyata yang terjadi karena pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak secara jelas, tidak cermat mempertimbangkan dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, bahkan tidak mempertimbangkan bukti-bukti yang telah terungkap di persidangan termasuk saksi-saksi yang merupakan keterangan saksi fakta maupun saksi ahli, tetapi langsung saja menyatakan dakwaan Subsidair Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) KUHP terbukti secara sah dan meyakinkan.
Putusan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi sangat membingungkan dan sama sekali tidak berdasarkan hukum karena dalam amar putusannya menyatakan bahwa Para Terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain” dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan. Akan tetapi dalam amar putusan Majelis Hakim Kasasi tidak dinyatakan atau memerintahkan supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan (Vide Pasal 197 ayat (1) huruf k), oleh karenanya putusan Judex Juris Majelis Hakim Kasasi tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Tindakan yang dilakukan oleh Para Terpidana sudah sesuai dengan tujuan dari SOP, yang berdasarkan bunyi Pasal 1 dan Pasal 11 ayat (1) dan (2) Permenkes RI No. 521/ MenKes/PER/IV/2007 tentang Izin Praktek dalam Melaksanakan Praktek Kedokteran. Selain itu, Majelis Kasasi juga tidak mempertimbangkan niat baik dari Para Terpidana dan Rumah Sakit dengan memberikan biaya duka cita sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), Para Terpidana juga merupakan dokter-dokter muda dan masih menjalani pendidikan Dokter Spesialis Kebidanan, dengan adanya putusan tersebut mengakibatkan masa depan Para Terpidana sirna. Oleh karenanya, putusan Majelis Kasasi harus dibatalkan demi hukum dan demi kepentingan umum.
Selanjutnya, Judex Juris juga salah dalam menerapkan hukum acara (misbruik van proses recht) juga tidak cermat dalam membuat pertimbangan hukum terhadap dalil-dalil dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.

Berdasarkan alasan-alasan Pemohon PK a quo, maka dapat dianalisis sebagai berikut:
1.      Tentang syarat sah diterimanya Permohonan Peninjauan Kembali
Permohonan PK harus didasarkan pada beberapa alasan yang diatur didalam KUHAP, yakni Pasal 263 ayat (2) yang berbunyi:
“Permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar:
a.      Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b.      Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau sebagai keadaan dasar dan alasan putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c.       Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kehilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
                          
Dengan demikian, menurut M. Yahya Harahap alasan pertama yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan Peninjauan Kembali adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan ialah keadaan baru yang telah mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat.” (Lihat M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali¸ Edisi ke-2, Cetakan ke-10, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 619).
Berdasarkan alasan-alasan Pemohon PK sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat dilihat bahwa tidak dapat menunjukkan bahwa adanya novum atau bukti baru. Kalaupun SOP yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan dan Etika Kedokteran (MKEK) dianggap sebagai “novum”, hal ini juga tidak dapat dibenarkan. Putusan MKEK bisa saja dikesampingkan karena sifatnya pendapat (bukan fakta), karena itu tidak mengandung kebenaran absolut. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) Prof. Dr. Surya Jaya, S.H.,M.Hum, yang menyatakan bahwa: “Hakim boleh saja menolak atau tidak dapat menerima pendapat ahli yang berada pada MKEK, apabila menurut pendapat dan keyakinan hakim yang bisa diterima dan dipertanggungjawabkan kebenarannya secara teori dan akal sehat (common sesnce) serta keyakinan. Hakim bisa saja menggunakan pendapat ahli lain yang berbeda (second opinion) sebagai pendapat sendiri.”
Selain itu, prosedur pemeriksaan standar profesi yang harus diputus melalui MKEK, tidak sejalan dan bertentangan dengan putusan MK No. 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013 yang bermaksud untuk mengapuskan atau menghilangkan segala bentuk proteksi terhadap anggota profesi dalam menjalankan tugasnya. Perlindungan terhadap profesi sangat mencederai prinsip Equality Before the Law yang dinjunjung tinggi oleh negera hukum Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa tidak ada novum atau bukti baru yang dapat menimbulkan dugaan kuat, sehingga permohonan Para Pemohon PK harus ditolak.
Alasan yang kedua adalah “adanya suatu putusan yang saling bertentangan”. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, tidak ditemukan adanya berbagai putusan yang saling bertentangan satu dengan lainnya. Sehingga, alasan Permohonan Peninjauan Kembali Para Pemohon seharusnya ditolak oleh Majelis Hakim PK;
Alasan ketiga adalah “terdapat kekeliruan yang nyata atau kekhilafan hakim”. Bahwa alasan PK Para Pemohon tentang Putusan Judex Juris yang tidak mencantumkan perintah “supaya Para Terpidana tetap ditahan, atau tetap dalam tahanan, atau dibebaskan” dianggap sebagai suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata, juga harus ditolak. Sebagaimana diketahui bahwa putusan Judex Juris adalah putusan yang berkekuatan hukum tetap, tidak memerintahkan Terdakwa untuk ditahan atau tetap berada dalam tahanan, serta bersifat eksekutorial terhadap pidana yang dijatuhkan. Oleh karena itu alasan Pemohon PK tentang adanya kekeliruan atau kehilafan hakim yang nyata juga harus ditolak.

2.         Tentang Kelalaian Para Terpidana
Dalam berbagai literatur hukum pidana Indonesia, kelalaian disebut juga sebagai Kealpaan (delik culpoos/kulpa). Menurut Prof. Mr. Roeslan Saleh dalam bukunya yang berjudul: Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, cetakan ke-3 tahun 1983, pada halaman 109, beliau menyatakan bahwa: kealpaan adalah suatu bentuk kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Karena itulah maka dalam KUHP ada delik-delik, disamping delik dolus sebagai jenisnya yang lebih berat, ada delik culpoos sebagai jenisnya yang lebih ringan.
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan perkara a quo, maka perbuatan sebagaimana yang didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam Dakwaan Kesatu Primair dan Subsidair kepada para Terpidana adalah “perbuatan yang dilarang karena kealpaan pembuatnya”. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Chairul Huda dalam bukunya: Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, cetakan ke 6 tahun 2015, halaman 57, beliau menyatakan sebagai berikut:
Demikian pula halnya dengan perbuatan-perbuatan yang dilarang karena kealpaan pembuatnya. Dalam hal ini sifat melawan hukum akan ada jika individu diwajibkan berbuat lain. Berbuat lain disini, termasuk berbuat untuk memperkecil timbulnya atau bahkan menghindarkan resiko tersebut. Dengan demikian, kesalahan, apakah bentuknya kesalahan ataupun kealpaan pembuatnya, selalu ditujukan kepada sifat melawan hukumnya perbuatan.

Kemudian, dalam berbagai literatur hukum kedokteran dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut hukum apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat, yakni: (1) Duty (kewajiban); (2) Derelictios of duty (penyimpangan kewajiban); (3) Demage (kerugian); dan (4) Direct causal relationship (berkaitan langsung). Duty (kewajiban), maksudnya ialah kewajiban dokter untuk bekerja menurut standar profesi. Kewajiban dokter pula untuk memperoleh informed consent/persetujuan tindakan kedokteran, dalam arti wajib memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya. Sehingga untuk membuktikan adanya kelalaian seorang dokter, harus dibuktikan terlebih dahulu dokter itu telah melakukan “breach of duty”. Kemudian Demage (kerugian), berarti kerugian yang diderita oleh pasien itu, baik berbentuk fisik, finansial, emosional, atau berbagai kategori kerugian lainnya. Sedangkan Direct causal relationship/causality (kausalitas/actus reus), yakni suatu perbuatan yang menjadi sebab terjadinya suatu akibat.
Berdasarkan uraian diatas menurut hemat Annator, yang menjadi duty (kewajiban) para Terpidana adalah mengadakan pemeriksaan lanjutan, mengingat waktu yang cukup panjang sejak pasien/korban Siska Maketay masuk ke RSU Prof. Dr. Kandow. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Majelis Hakim pada tingkat Kasasi No. 365 K/Pid/2012 pada halaman 22 menyatakan bahwa:
“.....sejak Terdakwa I (satu) mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan yang dilakukan Terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan “USG (Ultrasonografi)” dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak dimasukkan ke dalam rekam medis dan Terdakwa I (satu) sebagai ketua residen yang bertanggungjawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta rekam medis termasuk Terdakwa I (satu) tidak mengetahui pemasangan infus yang telah dilakukan terhadap korban.”

Dengan demikian, maka Annator berpendapat bahwa Para Terpidana telah melakukan Derelictios of duty (penyimpangan kewajiban), yakni tidak melakukan pemeriksaan penunjang (seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada, dan pemeriksaan penunjang lainnya) karena tekanan darah sebelum korban dianestesi sedikit tinggi, yaitu 160/70. Selain itu, dimungkinkan pula untuk melakukan pemeriksaan penunjang karena waktu yang cukup lama sejak korban masuk RSU Prof. Dr. Kandow, yakni pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA. Dengan demikian, sekali lagi para Terpidana telah lalai yang kemudian menyebabkan penyimpangan terhadap kewajibannya (breach of duty) oleh karena Para Terpidana mampu berbuat lain, namun Para Terpidana tidak berbuat lain untuk menghindari terjadinya resiko. Sehingga Para Terpidana dapat dikatakan lalai karena tidak berbuat lain sebagaimana dimaksud diatas.
Selain itu, perlu Annator uraikan juga mengenai demage (kerugian) yang diderita oleh pasien itu, yaitu akibat dari perbuatan Para Terpidana yang lalai/karena kealpaannya menyebabkan matinya korban Siska Maketay. Hal ini berhubungan dengan syarat keempat, yakni Direct causal relationship/causality (kausalitas/actus reus), perbuatan Para Terpidana yang menjadi sebab meninggalnya korban Siska Maketay. Hal ini sebagaimana diuraikan dalam Putusan pada tingkat Kasasi No. 365 K/Pid/2012 pada halaman 23, yang menyatakan bahwa:
“....berdasarkan keterangan Ahli JOHANNIS F. MALLO, SH. Sp.F.
DFM. bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban. Bahwa pada saat pelaksanaan operasi, Terdakwa I (satu) melakukan sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta rahim dan pada bagian-bagian tersebut terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut terpotong dan saat bayi lahir, plasenta keluar/terangkat sehingga pembuluh darah yang berhubungan dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta. Berdasarkan hasil Visum et Repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban, masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. Sebab kematian si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.....”


Dengan demikian Para Terpidana lalai untuk melakukan sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu, Para Terpidana telah melakukan penyimpangan kewajiban (breach of duty), Para Terpidana telah menimbulkan kerugian dengan tindakan kedokteran yang telah dilakukan oleh Para Terpidana terhadap korban.
Selain itu, Para Terpidana telah menimbulkan suatu hubungan sebab akibat (kausalitas/actus reus) yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari Para Terpidana dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat. Kemudian sejak diketahuinya ketuban dari korban yang telah pecah sejak di Puskesmas, medical records
yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan, pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terpidana sampai dengan
dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak apotik, tidak
terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis.

Selanjutnya terdapatnya "25 informed consent". Sedangkan Para Terpidana berpendapat bahwa tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan CITO/ darurat, tidak adanya tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat seperti EKG/pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi dengan kondisi gawat, sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para Terpidana tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban meninggal dunia.

3.         Rumah Sakit Prof. Dr. Kandow Manado Memberikan Izin Kepada Para Terpidana Untuk Melakukan Operasi
Yang tidak kalah penting untuk dianotasi terhadap putusan PK No. 79 PK/PID/2013 ialah mengenai Rumah Sakit Umum Prof. Dr. Kandow Manado (secara kelembagaan) yang memberikan izin kepada dokter yang notabene adalah mahasiswa Dokter Spesialis Kebidanan tanpa pengawasan dan tanggungjawab dari pembimbing. Menurut Annator, Pembimbing harus hadir dan mendampingi Para Terpidana pada saat operasi dilakukan.
Berdasarkan keterangan para saksi dan ahli dalam persidangan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Manado, Annator dapat menghimpun bahwa para Terpidana belum diusulkan oleh Dekan Fakultas Kedokteran Unsrat kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Manado untuk mendapatkan Surat Izin Praktek secara kolektif bagi dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS). Selanjutnya dokter boleh melakukan tindakan kedokteran setelah memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dan wajib memiliki Surat Izin Praktek (SIP). Terpidana I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani sudah mengurus SIP sebagai dokter umum pada tahun 2010, namun dokter PPDS tidak bisa mendapat izin sebagai dokter umum, namun hanya melaksanakan tugas delegasi dari dokter yang melakukan praktek.
Berdasarkan uraian diatas, Annator berpendapat bahwa Rumah Sakit Prof. Dr. Kandow Manado secara kelembagaan juga telah lalai, dalam hal ini melakukan pembiaran terhadap tindakan kedokteran yang dilakukan oleh Para Terpidana yang notabene adalah mahasiswa PPDS dalam melakukan operasi Cito kepada korban tanpa didampingi oleh dokter senior, sehingga menurut Annator Rumah Sakit secara kelembagaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini, Annator melihat bahwa kesalahan Jaksa adalah dalam menentukan Terdakwa. Sekali lagi, seharusnya Rumah Sakit secara kelembagaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.

V.        Akibat Hukum Putusan PK
Secara filosofis, upaya hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang ditujukan untuk kepentingan Terpidana, bukan untuk kepentingan negara atau korban. Peninjauan Kembali secara sosiologis berdasar bahwa negara telah salah dengan menjatuhkan pidana kepada warga negara yang tidak bersalah (miscarriage of justice) yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya hukum biasa.
Akibat dari putusan PK No. 79 PK/PID/2013, selain membebaskan Para Terpidana dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian, juga memulihkan hak Para Terpidana dalam kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabatnya. Yang dimaksud dengan “memulihkan hak Para Terpidana dalam kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabatnya” adalah Para Terpidana dapat menjalankan profesi sehari-harinya, yakni sebagai dokter di RSU Prof. Dr. R.D. Kandow Manado.
Selain Para Terpidana dibebaskan dari putusan pidana pada tingkat Kasasi, akibat hukum lain dari putusan PK ialah Para Terpidana juga dapat dan berhak untuk menuntut ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) dan ayatb (3) KUHAP:
(1)      Tersangka, Terdakwa, atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(3)   Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.

VI.     Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang mengatur tentang syarat-syarat mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali, ditentukan bahwa terdapat dua syarat yakni syarat formal dan syarat materiil. Syarat formal berkaitan dengan legal standing (kedudukan hukum) Pemohon PK sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
Sedangkan syarat materiil berkaitan dengan alasan-alasan PK, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 263 ayat (2): “Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”.

Dalam pokok perkara Peninjauan Kembali No. 79 PK/PID/2013, jika dilihat dari syarat materiil, maka permohonan PK Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima. Pemohon PK tidak menguraikan tentang adanya “novum” atau bukti baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat.” Selain itu, Para Pemohon juga tidak menguraikan adanya berbagai putusan yang saling bertentangan satu dengan lainnya, serta tidak menguraikan dengan jelas adanya kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Sehingga menurut anator, Permohonan PK Para Pemohon harus ditolak oleh Majelis Hakim PK.
Selain itu, untuk dapat dipertanggungjawabkan seorang dokter menurut hukum apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat, yakni: (1) Duty (kewajiban); (2) Derelictios of duty (penyimpangan kewajiban); (3) Demage (kerugian); dan (4) Direct causal relationship (berkaitan langsung/harus ada hubungan sebab akibat atau actus reus yakni sebab dari tindakan dokter yang menyebabkan kematian korban). Selanjutnya secara kelembagaan, Rumah Sakit dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Annator melihat, terdapat kesalahan yang dilakukan oleh Jaksa dalam hal ini yakni menentukan Terdakwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...