ANOTASI
PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI NOMOR: 79
PK/Pid/2013
Dalam Perkara Tindak Pidana Malpratek
Medis/Medical Malpractice atas nama
Terpidana: dr. DEWA AYU SASIARY PRAWANI,
dr. HENDRY SIMANJUNTAK, dan dr. HENDY SIAGIAN
Oleh: Roli Pebrianto, SH
I.
Pendahuluan
Putusan yang akan dianotasi ialah Putusan Peninjauan Kembali Nomor: 79
PK/Pid/2013, tanggal 7 Februari 2014, yang dimohonkan oleh dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian. Sebelumnya pada
tingkat pertama, perkara diperikssa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan
Negeri Manado Nomor: 90/PID.B/2011/ PN.MDO, tanggal 22 September 2011, yang
menyatakan bahwa Para Terpidana tidak terbukti secara sah melakukan tindak
pidana dalam dakwaan Kesatu Primer dan Subsidair, dakwaan Kedua, dan dakwaan
Ketiga Primair dan Subsidair, sehingga Para Terpidana dibebaskan dari segala
dakwaan (Vrijspraak). Selanjutnya
pada tingkat Kasasi sebagaimana dalam Putusan Nomor: 365 K/Pid/2012 tanggal 18
September 2012 yang membatalkan Putusan Pengadilan tingkat pertama, menyatakan
bahwa Para Terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang”,
kemudian menjatuhkan pidana terhadap Para Terpidana dengan pidana penjara
masing-masing 10 (sepuluh) bulan.
Para Terpidana kemudian melakukan upaya hukum
Peninjauan Kembali, yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh Majelis Hakim PK,
dengan Nomor Putusan: 79 PK/PID/2013, tanggal 7 Februari 2014, yang membatalkan
Putusan Kasasi Nomor: 365
K/Pid/2012, tanggal 18 September 2012, yang menyatakan bahwa Para Terpidana
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan oleh JPU, sehingga Para Terpidana dibebaskan dari dakwaan tersebut.
Kontroversi sehubungan dengan adanya
perkara ini, ternyata menurut sejumlah kalangan juga terlihat dalam
putusan tersebut. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jernih mengenai hal ini
dan mengingat begitu strategisnya kasus ini, mendorong anator untuk melakukan anotasi
terhadap putusan tersebut. Untuk itu, dapat dikemukakan legal
annotation sebagai berikut:
II. Kasus Posisi
Pada pokok perkara tindak pidana malapraktek medis
sebagaimana telah diperiksa, diadili, dan diputus pada tingkat pertama oleh
Pengadilan Negeri Manado No. 90/PID.B/ 2011/PN.MDO, pada tingkat Kasasi No. 365 K/Pid/2012, dan pada
tingkat Peninjauan Kembali No. 79 PK/PID/2013, Para Terpidana dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy Siagian didakwa melakukan malpraktek medis/medical malpractice terhadap tindakan operasi
Cito Secsio Sesaria pada korban Siska Maketay. Sebelum operasi
dilakukan, Para Terpidana tidak pernah menyampaikan kepada keluarga korban
tentang kemungkinan terburuk yang terjadi terhadap korban. Para Terpidana juga
tidak melakukan pemeriksaan penunjang sebelum korban dilakukan
anestesi/pembiusan.
Setelah
terdapat indikasi untuk dilakukan operasi Cito Secsio Sesaria pada pukul 18.30 Wita terhadap korban,
Terpidana III dr. Hendy Siagian
menyerahkan surat tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi
kepada korban Siska Maketay untuk
ditandatangani oleh korban yang disaksikan oleh Terpidana I dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani, Terpidana
II dr. Hendry Simanjuntak, dan saksi
dr. Helmi. Kemudian berdasarkan
surat tersebut Para Terpidana melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban.
Kemudian Terpidana I dr.
Dewa Ayu Sasiary Prawani mengiris dinding perut korban lapis demi lapis
sampai pada rahim, kemudian bayi yang ada didalam rahim korban diangkat,
kemudian rahim korban dijahit sampai tidak terdapat pendarahan dan dibersihkan
dari bekuan darah, selanjutnya dinding perut korban dijahit kembali. Berdasarkan
hasil medical record, pada saat
korban masuk RSU Prof. R.D Kandou Manado, keadaan umum korban lemah dan status
penyakit korban berat. Para Terpidana sebagai dokter dalam melakukan operasi Cito Secsio Sesaria terhadap korban
lalai dalam menangani korban pada saat masih hidup dan saat pelaksanaan operasi
sehingga terjadi emboli udara yang masuk kedalam bilik kanan jantung korban
yang menghambat darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru
dan selanjutnya mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.
Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan Laboratorium Forensik
Cabang Makassar dan hasil pemeriksaan Laboratoris Kriminalistik tanggal 9 Juni
2010 NO.LAB.: 509/DTF/2011, yang menyatakan bahwa tanda tangan atas nama Siska Maketay alias Julia Fransiska Maketay pada surat
tindakan khusus dan persetujuan pembedahan dan anestesi a quo berbeda dengan yang berada dalam KTP dan kartu Askes milik
korban, sehingga tanda tangan tersebut adalah tanda tangan karangan/”Spurious
Signature”.
Berdasarkan uraian diatas, maka Jaksa Penuntut Umum pada
Kejaksaan Negeri Manado mendakwa dr. Dewa Ayu Sasiary
Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy
Siagian, dengan dakwaan sebagai berikut:
1. Kesatu
-
Primair: Perbuatan
Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 359 KUHP Jis.
Pasal 361 KUHP, Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
-
Subsidair:
Perbuatan Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
2. Kedua: : Perbuatan Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 76 Undang-Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
3. Ketiga
-
Primair:
Perbuatan Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263
ayat (1) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
-
Subsidair:
Perbuatan Para Terpidana sebgaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 263
ayat (2) KUHP jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
III.
Tentang
Legal Standing Pemohon Peninjauan
Kembali (Syarat Formal)
Mengenai orang yang berhak mengajukan Permohonan
Peninjauan Kembali, ditegaskan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah Terpidana
atau Ahli Warisnya. Dalam pokok perkara sebagaimana telah diperiksa, diadili,
dan diputus oleh Majelis Hakim PK dengan nomor: 79 PK/PID/2013, Pemohon PK
adalah Para Terpidana yakni: dr. Dewa Ayu Sasiary
Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy
Siagian. Para Pemohon/Para Terpidana telah diputus bersalah melakukan
tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya orang”
berdasarkan Putusan Kasasi No. 365 K/Pid/2012, dan dipidana dengan pidana
penjara masing-masing selama 10 (sepuluh) bulan.
Sebagaimana
diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala
tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat
mengajukan permintaan peninjauan
kembali kepada Mahkamah Agung,” maka legal standing (kedudukan
hukum) Para Pemohon/Para Terpidana sebagai syarat formal pengajuan Permohonan
PK telah terpenuhi.
IV.
Tentang
Alasan Permohonan Peninjauan Kembali
Adapun yang menjadi alasan
Permohonan Para Pemohon PK yakni sebagai berikut:
1.
Mahkamah
Agung telah menghukum Para Terpidana/Para Terpidana secara Prematur
Dakwaan dan Tuntutan Penuntut Umum masing-masing
dalam Pasal 359 jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP harus dinyatakan “tidak terbukti secara sah dan meyakinkan”,
karena unsur “karena salahnya menyebabkan
matinya orang”, tidak terbukti karena Para
Pemohon telah melakukan secara benar dan sesuai dengan SOP serta sesuai
dengan aturan Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK).
Oleh karena tuduhan Jaksa/Penuntut Umum prematur,
serta Judex Juris Mahkamah Agung telah menerima, mengadili, dan memutus perkara
a quo dengan menjatuhkan hukuman
penjara kepada Para Terpidana juga prematur, maka dakwaan dalam perkara a quo harus ditolak dan Para Terpidana
harus dibebaskan.
Putusan bebas oleh Judex Facti Pengadilan Negeri
Manado, adalah BEBAS MURNI dan sudah tepat sehingga Putusan Judex Juris
Mahkamah Agung harus dibatalkan dengan pertimbangan Pasal 244 KUHAP: “Terhadap putusan perkara pidana yang
diberikan pada tingkat pertama dan terakhir oleh Pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, Terdakwa atau Penuntut Umum dapat mengajukan
pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”
Ketentuan sebagaimana diatas diabaikan baik oleh Jaksa/Penuntut
Umum maupun oleh Judex Juris Mahkamah Agung, oleh karenanya telah salah
menerapkan hukum, maka putusan Judex Juris Mahkamah Agung a quo harus dibatalkan.
2.
Judex
Juris Mahkamah Agung tidak menerapkan azas Audi
et Alteram Partem
Terdapat kekhilafan dan kekeliruan yang nyata yang
terjadi karena pertimbangan hukum Majelis Hakim Mahkamah Agung tidak secara
jelas, tidak cermat mempertimbangkan dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, bahkan tidak
mempertimbangkan bukti-bukti yang telah terungkap di persidangan termasuk
saksi-saksi yang merupakan keterangan saksi fakta maupun saksi ahli, tetapi
langsung saja menyatakan dakwaan Subsidair Pasal 359 KUHP jo. Pasal 55 ayat (1)
KUHP terbukti secara sah dan meyakinkan.
Putusan dan pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi
sangat membingungkan dan sama sekali tidak berdasarkan hukum karena dalam amar
putusannya menyatakan bahwa Para Terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan
melakukan tindak pidana “perbuatan yang karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain” dan menjatuhkan pidana penjara masing-masing selama 10 (sepuluh)
bulan. Akan tetapi dalam amar putusan Majelis Hakim Kasasi tidak dinyatakan atau
memerintahkan supaya Terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan (Vide
Pasal 197 ayat (1) huruf k), oleh karenanya putusan Judex Juris Majelis Hakim
Kasasi tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum.
Tindakan yang dilakukan oleh Para Terpidana sudah
sesuai dengan tujuan dari SOP, yang berdasarkan bunyi Pasal 1 dan Pasal 11 ayat
(1) dan (2) Permenkes RI No. 521/ MenKes/PER/IV/2007 tentang Izin Praktek dalam
Melaksanakan Praktek Kedokteran. Selain itu, Majelis Kasasi juga tidak
mempertimbangkan niat baik dari Para Terpidana dan Rumah Sakit dengan
memberikan biaya duka cita sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), Para
Terpidana juga merupakan dokter-dokter muda dan masih menjalani pendidikan
Dokter Spesialis Kebidanan, dengan adanya putusan tersebut mengakibatkan masa
depan Para Terpidana sirna. Oleh karenanya, putusan Majelis Kasasi harus
dibatalkan demi hukum dan demi kepentingan umum.
Selanjutnya, Judex Juris juga salah dalam menerapkan
hukum acara (misbruik van proses recht)
juga tidak cermat dalam membuat pertimbangan hukum terhadap dalil-dalil dan
fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan.
Berdasarkan alasan-alasan Pemohon PK a quo, maka dapat dianalisis sebagai berikut:
1.
Tentang
syarat sah diterimanya Permohonan Peninjauan Kembali
Permohonan PK harus didasarkan pada beberapa alasan
yang diatur didalam KUHAP, yakni Pasal 263 ayat (2) yang berbunyi:
“Permintaan
Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar:
a.
Apabila
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah
diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan;
b.
Apabila
dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau sebagai keadaan dasar dan alasan putusan yang telah terbukti
itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c.
Apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kehilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Dengan demikian, menurut M. Yahya Harahap alasan pertama
yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan Peninjauan Kembali adalah
“keadaan baru” atau novum. Keadaan
baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan ialah keadaan baru
yang telah mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat.” (Lihat M.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan
Peninjauan Kembali¸ Edisi ke-2, Cetakan ke-10, Jakarta: Sinar Grafika, 2008,
hlm. 619).
Berdasarkan alasan-alasan Pemohon PK sebagaimana telah
diuraikan diatas, maka dapat dilihat bahwa tidak dapat menunjukkan bahwa adanya
novum atau bukti baru. Kalaupun SOP
yang dikeluarkan oleh Majelis Kehormatan dan Etika Kedokteran (MKEK) dianggap
sebagai “novum”, hal ini juga tidak
dapat dibenarkan. Putusan MKEK bisa saja dikesampingkan karena sifatnya
pendapat (bukan fakta), karena itu tidak mengandung kebenaran absolut. Hal ini
sebagaimana dinyatakan oleh hakim yang berbeda pendapat (dissenting opinion) Prof. Dr. Surya Jaya, S.H.,M.Hum, yang
menyatakan bahwa: “Hakim boleh saja menolak atau tidak dapat menerima pendapat
ahli yang berada pada MKEK, apabila menurut pendapat dan keyakinan hakim yang
bisa diterima dan dipertanggungjawabkan kebenarannya secara teori dan akal
sehat (common sesnce) serta
keyakinan. Hakim bisa saja menggunakan pendapat ahli lain yang berbeda (second opinion) sebagai pendapat
sendiri.”
Selain itu, prosedur pemeriksaan standar profesi yang
harus diputus melalui MKEK, tidak sejalan dan bertentangan dengan putusan MK
No. 49/PUU-X/2012, tanggal 28 Mei 2013 yang bermaksud untuk mengapuskan atau
menghilangkan segala bentuk proteksi terhadap anggota profesi dalam menjalankan
tugasnya. Perlindungan terhadap profesi sangat mencederai prinsip Equality Before the Law yang dinjunjung
tinggi oleh negera hukum Indonesia. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
tidak ada novum atau bukti baru yang
dapat menimbulkan dugaan kuat, sehingga permohonan Para Pemohon PK harus ditolak.
Alasan yang kedua adalah “adanya suatu putusan yang saling
bertentangan”. Berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan, tidak
ditemukan adanya berbagai putusan yang saling bertentangan satu dengan lainnya.
Sehingga, alasan Permohonan Peninjauan Kembali Para Pemohon seharusnya ditolak oleh Majelis Hakim
PK;
Alasan ketiga adalah “terdapat kekeliruan yang nyata atau
kekhilafan hakim”. Bahwa alasan PK Para Pemohon tentang Putusan Judex Juris
yang tidak mencantumkan perintah “supaya Para Terpidana tetap ditahan, atau
tetap dalam tahanan, atau dibebaskan” dianggap sebagai suatu kekhilafan atau
kekeliruan yang nyata, juga harus ditolak. Sebagaimana diketahui bahwa putusan
Judex Juris adalah putusan yang berkekuatan hukum tetap, tidak memerintahkan
Terdakwa untuk ditahan atau tetap berada dalam tahanan, serta bersifat
eksekutorial terhadap pidana yang dijatuhkan. Oleh karena itu alasan Pemohon PK
tentang adanya kekeliruan atau kehilafan hakim yang nyata juga harus ditolak.
2.
Tentang
Kelalaian Para Terpidana
Dalam berbagai literatur hukum pidana Indonesia,
kelalaian disebut juga sebagai Kealpaan (delik culpoos/kulpa). Menurut Prof. Mr. Roeslan Saleh dalam bukunya yang
berjudul: Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, cetakan ke-3 tahun 1983,
pada halaman 109, beliau menyatakan bahwa: kealpaan adalah suatu bentuk
kesalahan yang lebih ringan daripada kesengajaan. Karena itulah maka dalam KUHP
ada delik-delik, disamping delik dolus sebagai jenisnya yang lebih berat, ada
delik culpoos sebagai jenisnya yang lebih ringan.
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan perkara a quo, maka perbuatan sebagaimana yang
didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam Dakwaan Kesatu Primair dan Subsidair kepada
para Terpidana adalah “perbuatan yang dilarang karena kealpaan pembuatnya”. Hal
ini sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Chairul Huda dalam bukunya: Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju
Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, cetakan ke 6 tahun
2015, halaman 57, beliau menyatakan sebagai berikut:
Demikian pula halnya dengan
perbuatan-perbuatan yang dilarang karena kealpaan pembuatnya. Dalam hal ini
sifat melawan hukum akan ada jika individu diwajibkan berbuat lain. Berbuat
lain disini, termasuk berbuat untuk memperkecil timbulnya atau bahkan
menghindarkan resiko tersebut. Dengan demikian, kesalahan, apakah bentuknya
kesalahan ataupun kealpaan pembuatnya, selalu ditujukan kepada sifat melawan
hukumnya perbuatan.
Kemudian, dalam berbagai literatur hukum kedokteran
dikatakan bahwa seorang dokter baru dapat dipersalahkan dan digugat menurut
hukum apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat, yakni: (1) Duty (kewajiban); (2) Derelictios
of duty (penyimpangan kewajiban); (3) Demage
(kerugian); dan (4) Direct causal
relationship (berkaitan langsung). Duty
(kewajiban), maksudnya ialah kewajiban dokter untuk bekerja menurut standar
profesi. Kewajiban dokter pula untuk memperoleh informed consent/persetujuan tindakan kedokteran, dalam arti wajib
memberikan informasi yang cukup dan mengerti sebelum mengambil tindakannya.
Sehingga untuk membuktikan adanya kelalaian seorang dokter, harus dibuktikan
terlebih dahulu dokter itu telah melakukan “breach
of duty”. Kemudian Demage (kerugian),
berarti kerugian yang diderita oleh pasien itu, baik berbentuk fisik,
finansial, emosional, atau berbagai kategori kerugian lainnya. Sedangkan Direct causal relationship/causality
(kausalitas/actus reus), yakni suatu perbuatan yang menjadi sebab terjadinya
suatu akibat.
Berdasarkan uraian diatas menurut hemat Annator, yang
menjadi duty (kewajiban) para
Terpidana adalah mengadakan pemeriksaan lanjutan, mengingat waktu yang cukup
panjang sejak pasien/korban Siska Maketay masuk ke RSU Prof. Dr. Kandow. Hal
ini sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan Majelis Hakim pada tingkat Kasasi
No. 365 K/Pid/2012 pada halaman 22 menyatakan bahwa:
“.....sejak Terdakwa I (satu)
mengawasi korban pada pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA tindakan
yang dilakukan Terdakwa I (satu) hanya pemeriksaan tambahan dengan “USG
(Ultrasonografi)” dan sebagian tindakan medis yang telah dilakukan tidak
dimasukkan ke dalam rekam medis dan Terdakwa I (satu) sebagai ketua residen
yang bertanggungjawab saat itu tidak mengikuti seluruh tindakan medis beserta
rekam medis termasuk Terdakwa I (satu) tidak mengetahui pemasangan infus yang
telah dilakukan terhadap korban.”
Dengan demikian, maka Annator berpendapat bahwa Para
Terpidana telah melakukan Derelictios of
duty (penyimpangan kewajiban), yakni tidak melakukan pemeriksaan penunjang
(seperti pemeriksaan jantung, foto rontgen dada, dan pemeriksaan penunjang
lainnya) karena tekanan darah sebelum korban dianestesi sedikit tinggi, yaitu
160/70. Selain itu, dimungkinkan pula untuk melakukan pemeriksaan penunjang
karena waktu yang cukup lama sejak korban masuk RSU Prof. Dr. Kandow, yakni
pukul 09.00 WITA sampai dengan pukul 18.00 WITA. Dengan demikian, sekali lagi
para Terpidana telah lalai yang kemudian menyebabkan penyimpangan terhadap
kewajibannya (breach of duty) oleh
karena Para Terpidana mampu berbuat lain, namun Para Terpidana tidak berbuat
lain untuk menghindari terjadinya resiko. Sehingga Para Terpidana dapat
dikatakan lalai karena tidak berbuat lain sebagaimana dimaksud diatas.
Selain itu, perlu Annator uraikan juga mengenai demage (kerugian) yang diderita oleh
pasien itu, yaitu akibat dari perbuatan Para Terpidana yang lalai/karena
kealpaannya menyebabkan matinya korban Siska Maketay. Hal ini berhubungan
dengan syarat keempat, yakni Direct
causal relationship/causality (kausalitas/actus reus), perbuatan Para
Terpidana yang menjadi sebab meninggalnya korban Siska Maketay. Hal ini
sebagaimana diuraikan dalam Putusan pada tingkat Kasasi No. 365 K/Pid/2012 pada
halaman 23, yang menyatakan bahwa:
“....berdasarkan keterangan Ahli JOHANNIS F.
MALLO, SH. Sp.F.
DFM.
bahwa 30 menit sebelum pelaksanaan operasi sudah terdapat 35 cc udara di dalam tubuh korban. Bahwa
pada saat pelaksanaan operasi, Terdakwa I (satu) melakukan sayatan sejak dari kulit, otot, uterus serta
rahim dan pada bagian-bagian tersebut terdapat pembuluh darah yang sudah pasti ikut
terpotong dan saat bayi lahir, plasenta keluar/terangkat sehingga pembuluh
darah yang berhubungan dengan plasenta yaitu pembuluh darah arteri dan
pembuluh darah balik terbuka dan udara bisa masuk dari plasenta. Berdasarkan hasil
Visum et Repertum disebutkan bahwa udara yang ditemukan pada bilik kanan jantung korban,
masuk melalui pembuluh darah balik yang terbuka pada saat korban masih hidup. Pembuluh
darah balik yang terbuka pada korban terjadi pada pemberian cairan obat-obatan
atau infus, dan dapat terjadi akibat komplikasi dari persalinan itu sendiri. Sebab kematian
si korban adalah akibat masuknya udara ke dalam bilik kanan jantung yang menghambat
darah masuk ke paru-paru sehingga terjadi kegagalan fungsi paru dan selanjutnya
mengakibatkan kegagalan fungsi jantung.....”
Dengan demikian Para Terpidana lalai untuk melakukan
sesuatu tindakan atau untuk tidak melakukan sesuatu tindakan tertentu terhadap
pasien tertentu pada situasi dan kondisi yang tertentu, Para Terpidana telah
melakukan penyimpangan kewajiban (breach
of duty), Para Terpidana telah menimbulkan kerugian dengan tindakan
kedokteran yang telah dilakukan oleh Para Terpidana terhadap korban.
Selain itu, Para Terpidana telah menimbulkan suatu
hubungan sebab akibat (kausalitas/actus
reus) yang nyata yaitu terdapatnya tindakan kedokteran dari Para Terpidana
dengan suatu keadaan korban yang dikatakan darurat. Kemudian sejak diketahuinya
ketuban dari korban yang telah pecah sejak di Puskesmas, medical records
yang tidak dibuat sepenuhnya dalam setiap tindakan medis yang dilakukan,
pemasangan infus dengan jenis obat yang tidak diketahui oleh Para Terpidana
sampai dengan
dikeluarkannya resep obat secara berulang kali hingga ditolak oleh pihak
apotik, tidak
terdapatnya koordinasi yang baik di dalam tim melakukan tindakan medis.
Selanjutnya terdapatnya "25 informed consent". Sedangkan Para Terpidana berpendapat bahwa
tindakan kedokteran yang dilakukan adalah tindakan CITO/ darurat, tidak adanya
tindakan persiapan jika korban secara tiba-tiba mengalami keadaan darurat
seperti EKG/pemeriksaan jantung baru dilakukan setelah korban selesai dioperasi
dengan kondisi gawat, sehingga seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan oleh
Para Terpidana tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap korban yaitu korban
meninggal dunia.
3.
Rumah
Sakit Prof. Dr. Kandow Manado Memberikan Izin Kepada Para Terpidana Untuk
Melakukan Operasi
Yang tidak kalah penting untuk dianotasi terhadap
putusan PK No. 79 PK/PID/2013 ialah mengenai Rumah Sakit Umum Prof. Dr. Kandow
Manado (secara kelembagaan) yang memberikan izin kepada dokter yang notabene
adalah mahasiswa Dokter Spesialis Kebidanan tanpa pengawasan dan tanggungjawab
dari pembimbing. Menurut Annator, Pembimbing harus hadir dan mendampingi Para
Terpidana pada saat operasi dilakukan.
Berdasarkan keterangan para saksi dan ahli dalam
persidangan pada tingkat pertama di Pengadilan Negeri Manado, Annator dapat
menghimpun bahwa para Terpidana belum diusulkan oleh Dekan Fakultas Kedokteran
Unsrat kepada Kepala Dinas Kesehatan Kota Manado untuk mendapatkan Surat Izin Praktek
secara kolektif bagi dokter Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS).
Selanjutnya dokter boleh melakukan tindakan kedokteran setelah memiliki Surat
Tanda Registrasi (STR) dan wajib memiliki Surat Izin Praktek (SIP). Terpidana I
dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani sudah
mengurus SIP sebagai dokter umum pada tahun 2010, namun dokter PPDS tidak bisa mendapat izin sebagai dokter
umum, namun hanya melaksanakan tugas delegasi dari dokter yang melakukan
praktek.
Berdasarkan uraian diatas, Annator berpendapat bahwa
Rumah Sakit Prof. Dr. Kandow Manado secara kelembagaan juga telah lalai, dalam
hal ini melakukan pembiaran terhadap tindakan kedokteran yang dilakukan oleh
Para Terpidana yang notabene adalah mahasiswa PPDS dalam melakukan operasi Cito kepada korban tanpa didampingi oleh
dokter senior, sehingga menurut Annator Rumah Sakit secara kelembagaan dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana. Dalam hal ini, Annator melihat bahwa
kesalahan Jaksa adalah dalam menentukan Terdakwa. Sekali lagi, seharusnya Rumah
Sakit secara kelembagaan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
V.
Akibat
Hukum Putusan PK
Secara filosofis, upaya
hukum Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum luar biasa yang ditujukan untuk
kepentingan Terpidana, bukan untuk kepentingan negara atau korban. Peninjauan
Kembali secara sosiologis berdasar bahwa negara telah salah dengan menjatuhkan
pidana kepada warga negara yang tidak bersalah (miscarriage of justice) yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan
upaya hukum biasa.
Akibat dari putusan PK
No. 79 PK/PID/2013, selain membebaskan Para Terpidana dr. Dewa Ayu
Sasiary Prawani, dr. Hendry Simanjuntak, dan dr. Hendy
Siagian, juga memulihkan hak Para Terpidana dalam kemampuan, kedudukan,
serta harkat dan martabatnya. Yang dimaksud dengan “memulihkan hak Para
Terpidana dalam kemampuan, kedudukan, serta harkat dan martabatnya” adalah Para
Terpidana dapat menjalankan profesi sehari-harinya, yakni sebagai dokter di RSU
Prof. Dr. R.D. Kandow Manado.
Selain Para Terpidana
dibebaskan dari putusan pidana pada tingkat Kasasi, akibat hukum lain dari
putusan PK ialah Para Terpidana juga dapat dan berhak untuk menuntut ganti
kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) dan ayatb (3) KUHAP:
(1)
Tersangka,
Terdakwa, atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan,
dituntut, dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang
berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum
yang diterapkan.
(3)
Tuntutan
ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa,
terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara
yang bersangkutan.
VI.
Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP
yang mengatur tentang syarat-syarat mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali,
ditentukan bahwa terdapat dua syarat yakni syarat formal dan syarat materiil.
Syarat formal berkaitan dengan legal
standing (kedudukan hukum) Pemohon PK sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
263 ayat (1) KUHAP: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.”
Sedangkan syarat materiil
berkaitan dengan alasan-alasan PK, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 263 ayat
(2): “Permintaan peninjauan kembali
dilakukan atas dasar: a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan
ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa
sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan
alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang
lain; dan c.
apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau
suatu kekeliruan
yang nyata”.
Dalam pokok perkara Peninjauan
Kembali No. 79 PK/PID/2013, jika dilihat dari syarat materiil, maka permohonan
PK Pemohon harus dinyatakan tidak dapat diterima. Pemohon PK tidak menguraikan
tentang adanya “novum” atau bukti
baru yang mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat.” Selain itu,
Para Pemohon juga tidak menguraikan adanya berbagai putusan yang saling
bertentangan satu dengan lainnya, serta tidak menguraikan dengan jelas adanya
kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Sehingga menurut anator,
Permohonan PK Para Pemohon harus
ditolak oleh Majelis Hakim PK.
Selain itu, untuk dapat dipertanggungjawabkan seorang
dokter menurut hukum apabila telah memenuhi 4 (empat) syarat, yakni: (1) Duty (kewajiban); (2) Derelictios of duty (penyimpangan
kewajiban); (3) Demage (kerugian);
dan (4) Direct causal relationship (berkaitan
langsung/harus ada hubungan sebab akibat atau actus reus yakni sebab dari tindakan dokter yang menyebabkan
kematian korban). Selanjutnya secara kelembagaan, Rumah Sakit dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana. Annator melihat, terdapat kesalahan yang dilakukan
oleh Jaksa dalam hal ini yakni menentukan Terdakwa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar