PEMAKZULAN/IMPEACHMENT PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN KARENA KEBIJAKAN PENANGANAN COVID-19 DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945
Oleh:
Roli Pebrianto, S.H., M.H
I.
Pengantar
Indonesia merupakan negara hukum, hal itu sebagaimana tercermin pada
ketentuan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945). Artinya, semua hal harus mengacu dan
tunduk pada ketentuan hukum, salah satunya pemberhentian Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Setelah
dilakukannya amandemen UUD NRI 1945, telah banyak merubah sistem ketatanegaraan
Indonesia secara mendasar, terutama terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian
Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pertama tidak lagi menempatkan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara,[1]
termasuk tidak lagi memiliki kekuasaan tunggal untuk mengangkat dan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, karena sesuai dengan ketentuan
Pasal 7B UUD NRI 1945.
Sebelum
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diputus oleh MPR, DPR terlebih
dahulu mengajukan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada
MPR dengan terlebih dahulu meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi tentang
kesimpulan dan pendapat dari DPR.
Sebelum amandemen UUD NRI 1945, dasar hukum impeachment secara implisit dapat ditemukan dalam Penjelasan UUD
NRI 1945 dan dijelaskan lebih rinci di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat (TAP MPR).[2] Setelah
Amandemen IV UUD NRI 1945, Indonesia memiliki aturan main yang baru bagi
mekanisme impeachment. Selain kejelasan proses dan mekanismenya, impeachment
yang diatur dalam Pasal 7 B UUD NRI 1945 juga terkesan lebih yuridis
ketimbang politis. Secara intitusional masalah impeachment kewenangan yudikasi-nya
dipegang oleh Mahkamah Konstituasi, kemudian pada proses akhirnya nanti keputusan
politisnya berada di tangan MPR.
Memperhatikan keadaan ketatanegaraan Indonesia saat ini ditengah pandemi Covid-19, ada isu-isu yang kemudian berkembang di masyarakat mengenai lambatnya pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk penanganan penyebaran Covid-19, yang kemudian berujung pada adanya permintaan kepada Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini tidak hanya berakhir sampai disitu berbagai diskusi ilmiah pun diadakan untuk menjawab persoalan ini. Dalam tulisan ini juga akan dibahas mengenai persoalan tersebut. Sehingga, pertanyaan yuridis yang dapat diajukan ialah apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan ditengah jabatannya karena kebijakan dalam penanganan Covid-19 ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka akan dijabarkan pada pembahasan berikutnya.
II.
Alasan-Alasan
yang digunakan dalam Proses Impeachment dalam UUD
NRI 1945
Presiden merupakan organ yang penting
dalam sebuah negara terutama yang menganut sistem presidensial. Keberadaan
presiden dengan kekuasaan yang sangat besar dalam sistem presidensial menjadi
syarat utama bagi negara tersebut. Selain itu, ciri sistem presidensial yang lain
adalah masa jabatan presiden yang tetap (fixed term government)
yang menyebabkan presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya.[3]
Dalam konteks Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945,
bahwa Presiden dan/wakil Presiden dapat di-Impeach
di tengah masa jabatannya. Impeachment
merupakan bentuk pengawasan luar biasa dari parlemen terhadap eksekutif.
Sehingga menyebabkan seolah-olah Presiden dan/atau Wakil Presiden bergantung
kepada parlemen sebagai lembaga pengawas. Dalam sistem presidensiil, seorang
Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan
umum dan mempunyai masa jabatan yang pasti apakah 4 (empat) tahun seperti di
Amerika Serikat atau 5 (lima) tahun seperti di Indonesia bahkan ada juga yang
mengatur masa jabatan 6 (enam) tahun seperti
Filipina.[4]
Oleh karena itu,
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem pemerintahan presidensiil
memiliki kedudukan yang sangat kuat. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dependent
terhadap parlemen, tetapi satu dengan yang lainnya berdiri sendiri dalam menjalankan
tugas dan fungsi masing-masing. Namun dalam ketatanegaraan modern, ke-independent-an
tersebut juga dibatasi oleh adanya hubungan fungsional antara parlemen dan
eksekutif.[5]
Ketentuan
mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya
dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal
24C ayat (2) UUD NRI 1945. Kewenangan
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya masih
diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang juga merupakan
lembaga yang berwenang untuk pelantikan atas jabatan tersebut.
Selanjutnya
alasan-alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya diatur dalam ketentuan Pasal 7A yang menyatakan bahwa:
“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”
Dengan demikian,
maka alasan-alasan yang digunakan dalam proses Impeachment dalam UUD NRI 1945 adalah: melakukan pengkhianatan terhadap
negara; melakukan tindak pidana penyuapan; melakukan tindak pidana korupsi; melakukan
tindak pidana berat; melakukan perbuatan tercela; dan tidak lagi memenuhi
syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
III.
Mekanisme Impeachment Dalam UUD NRI 1945
Ketentuan mengenai mekanisme Impeachment diatur pada Pasal 7 B UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:
(1) Usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu
mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau
pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat
Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan
Dewan Perwakilan Rakyat.
(3)
Pengajuan
permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan
Rakyat yang hadir dalam siding paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya
2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah
Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah
permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.
(5) Apabila
Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden
dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan
usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat.
(6)
Majelis
Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan
Rakyat menerima usul tersebut.
(7)
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya
2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden
diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
Selanjutnya dalam Pasal 24C ayat (2)
UUD NRI 1945 menjadi dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk berperan serta
dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa
jabatannya, yaitu untuk wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
menurut Undang-Undang Dasar.
IV.
Pemakzulan/Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden di Tengah Masa
Jabatannya Karena Kebijakan Penanganan Covid-19
Pertanggungjawaban pemerintah terhadap
kebijakannya sering kali dikaitkan dengan sanksi berupa pemberhentian dari jabatannya
apabila terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan dalam
pemerintahannya. Indonesia mengenal pemberhentian dalam masa jabatan sebagai impeachment
atau pemakzulan, yang berdasarkan Pasal 7B UUD NRI 1945 dilakukan karena:
(1)
Melakukan
pengkhianatan terhadap negara;
(2)
Melakukan
tindak pidana penyuapan;
(3)
Melakukan
tindak pidana korupsi;
(4)
Melakukan
tindak pidana berat;
(5)
Melakukan
perbuatan tercela; dan
(6)
Tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Alasan pemberhentian tersebut dicantumkan
secara tegas dalam UUD NRI 1945 dengan keinginan untuk memperkuat sistem
pemerintahan presidensial yang dianut di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal
7B UUD NRI 1945 tersebut, maka pemberhentian/ pemakzulan/impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden secara limitatif hanya
dilakukan berdasarkan pada 6 (enam) alasan tersebut. UUD NRI 1945 tidak menyebutkan Presiden dan/atau
Wakil Presiden dapat diberhentikan karena kebijakannya, terlebih lagi dalam
konteks kebijakan penanganan Covid-19. Lambatnya penanganan pandemi Covid-19
tidak menjadi alasan untuk dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil
Presiden dalam masa jabatan, karena bukan merupakan salah satu diantara 6
(enam) kriteria tersebut.
V.
Kesimpulan
Berdasarkan pertanyaan yang diajukan pada bagian pengantar, yakni apakah
Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan ditengah jabatannya karena
kebijakan dalam penanganan Covid-19 ?, dan berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan
dapat disimpulkan bahwa: Berdasarkan ketentuan Pasal 7B UUD NRI 1945 tersebut,
maka pemberhentian/ pemakzulan/impeachment
Presiden dan/atau Wakil Presiden secara limitatif hanya dilakukan berdasarkan
pada alasan:
(1)
Melakukan
pengkhianatan terhadap negara;
(2)
Melakukan
tindak pidana penyuapan;
(3)
Melakukan
tindak pidana korupsi;
(4)
Melakukan
tindak pidana berat;
(5)
Melakukan
perbuatan tercela; dan
(6)
Tidak
lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Adapun mengenai alasan lambatnya penanganan pandemi Covid-19 tidak
menjadi alasan untuk dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam
masa jabatannya, karena bukan merupakan salah satu diantara 6 (enam) kriteria
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7B UUD NRI 1945.
Wallahua’lam Bisshowab.
DAFTAR PUSTAKA
Jimly
Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara, Jakarta: Rajagrafindo Persada.
Indarwati, 2005,
“Pemberhentian Presiden (Impeachment)
dalam Sistem ketatanegaraan di Indonesia,” Tesis, Pascasarjana Universitas
Widyagama Malang.
Ryan Muthiara
Wasti, “Mekanisme Impeachment di
Negara Dengan Sistem Presidensial: Studi Perbandingan Mekanisme Impeachment di Indonesia dan Korea
Selatan,” Jurnal Mimbar Hukum, Volume
31, Nomor 2, Juni 2019.
Syofyan
Hadi, ‘Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Studi Perbandingan Antara
Indonesia, Amerika Serikat, dan Filipina)’, DIH,
Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 12, No. 23 Februari 2016.
[1] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 298.
[2] Indarwati,
“Pemberhentian Presiden (Impeachment)
dalam Sistem ketatanegaraan di Indonesia,” Tesis, Pascasarjana Universitas
Widyagama Malang, 2005, hlm. 25.
[3] Ryan
Muthiara Wasti, “Mekanisme Impeachment
di Negara Dengan Sistem Presidensial: Studi Perbandingan Mekanisme Impeachment di Indonesia dan Korea
Selatan,” Jurnal Mimbar Hukum, Volume
31, Nomor 2, Juni 2019, hlm. 238.
[4] Syofyan Hadi, ‘Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Studi
Perbandingan Antara Indonesia, Amerika Serikat, dan Filipina)’, DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 12, No. 23
Februari 2016, hlm. 3.
[5] Ibid.