Rabu, 24 Juni 2020

PEMAKZULAN/IMPEACHMENT PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN KARENA KEBIJAKAN PENANGANAN COVID-19 DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

PEMAKZULAN/IMPEACHMENT PRESIDEN DAN/ATAU WAKIL PRESIDEN KARENA KEBIJAKAN PENANGANAN COVID-19 DITINJAU DARI PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Oleh:

Roli Pebrianto, S.H., M.H 


I.              Pengantar

Indonesia merupakan negara hukum, hal itu sebagaimana tercermin pada ketentuan Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI 1945). Artinya, semua hal harus mengacu dan tunduk pada ketentuan hukum, salah satunya pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Setelah dilakukannya amandemen UUD NRI 1945, telah banyak merubah sistem ketatanegaraan Indonesia secara mendasar, terutama terkait dengan pengangkatan dan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pertama tidak lagi menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara,[1] termasuk tidak lagi memiliki kekuasaan tunggal untuk mengangkat dan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 7B UUD NRI 1945.

Sebelum pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden diputus oleh MPR, DPR terlebih dahulu mengajukan usulan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR dengan terlebih dahulu meminta putusan dari Mahkamah Konstitusi tentang kesimpulan dan pendapat dari DPR.

Sebelum amandemen UUD NRI 1945, dasar hukum impeachment secara implisit dapat ditemukan dalam Penjelasan UUD NRI 1945 dan dijelaskan lebih rinci di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (TAP MPR).[2] Setelah Amandemen IV UUD NRI 1945, Indonesia memiliki aturan main yang baru bagi mekanisme impeachment. Selain kejelasan proses dan mekanismenya, impeachment yang diatur dalam Pasal 7 B UUD NRI 1945 juga terkesan lebih yuridis ketimbang politis. Secara intitusional masalah impeachment kewenangan yudikasi-nya dipegang oleh Mahkamah Konstituasi, kemudian pada proses akhirnya nanti keputusan politisnya berada di tangan MPR.

Memperhatikan keadaan ketatanegaraan Indonesia saat ini ditengah pandemi Covid-19, ada isu-isu yang kemudian berkembang di masyarakat mengenai lambatnya pemerintah dalam mengambil kebijakan untuk penanganan penyebaran Covid-19, yang kemudian berujung pada adanya permintaan kepada Presiden Jokowi untuk mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Hal ini tidak hanya berakhir sampai disitu berbagai diskusi ilmiah pun diadakan untuk menjawab persoalan ini. Dalam tulisan ini juga akan dibahas mengenai persoalan tersebut. Sehingga, pertanyaan yuridis yang dapat diajukan ialah apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan ditengah jabatannya karena kebijakan dalam penanganan Covid-19 ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka akan dijabarkan pada pembahasan berikutnya.


II.           Alasan-Alasan yang digunakan dalam Proses Impeachment dalam UUD NRI 1945

Presiden merupakan organ yang penting dalam sebuah negara terutama yang menganut sistem presidensial. Keberadaan presiden dengan kekuasaan yang sangat besar dalam sistem presidensial menjadi syarat utama bagi negara tersebut. Selain itu, ciri sistem presidensial yang lain adalah masa jabatan presiden yang tetap (fixed term government) yang menyebabkan presiden tidak dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya.[3]

Dalam konteks Indonesia sebagaimana diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, bahwa Presiden dan/wakil Presiden dapat di-Impeach di tengah masa jabatannya. Impeachment merupakan bentuk pengawasan luar biasa dari parlemen terhadap eksekutif. Sehingga menyebabkan seolah-olah Presiden dan/atau Wakil Presiden bergantung kepada parlemen sebagai lembaga pengawas. Dalam sistem presidensiil, seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dan mempunyai masa jabatan yang pasti apakah 4 (empat) tahun seperti di Amerika Serikat atau 5 (lima) tahun seperti di Indonesia bahkan ada juga yang mengatur masa jabatan 6 (enam) tahun seperti Filipina.[4]

Oleh karena itu, Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam sistem pemerintahan presidensiil memiliki kedudukan yang sangat kuat. Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dependent terhadap parlemen, tetapi satu dengan yang lainnya berdiri sendiri dalam menjalankan tugas dan fungsi masing-masing. Namun dalam ketatanegaraan modern, ke-independent-an tersebut juga dibatasi oleh adanya hubungan fungsional antara parlemen dan eksekutif.[5]

Ketentuan mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3), Pasal 7A, Pasal 7B, dan Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945.  Kewenangan memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya masih diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang juga merupakan lembaga yang berwenang untuk pelantikan atas jabatan tersebut.

Selanjutnya alasan-alasan pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya diatur dalam ketentuan Pasal 7A yang  menyatakan bahwa:

“Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Dengan demikian, maka alasan-alasan yang digunakan dalam proses Impeachment dalam UUD NRI 1945 adalah: melakukan pengkhianatan terhadap negara; melakukan tindak pidana penyuapan; melakukan tindak pidana korupsi; melakukan tindak pidana berat; melakukan perbuatan tercela; dan tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

 

III.        Mekanisme Impeachment Dalam UUD NRI 1945

Ketentuan mengenai mekanisme Impeachment diatur pada Pasal 7 B UUD NRI 1945 yang menyatakan bahwa:

(1)  Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3)    Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam siding paripurna yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat. 

(4)  Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi.

(5)  Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(6)    Majelis Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.

(7)    Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurangkurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat. 

 

Selanjutnya dalam Pasal 24C ayat (2) UUD NRI 1945 menjadi dasar kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk berperan serta dalam mekanisme pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, yaitu untuk wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

 

IV.        Pemakzulan/Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden di Tengah Masa Jabatannya Karena Kebijakan Penanganan Covid-19

Pertanggungjawaban pemerintah terhadap kebijakannya sering kali dikaitkan dengan sanksi berupa pemberhentian dari jabatannya apabila terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil keputusan dalam pemerintahannya. Indonesia mengenal pemberhentian dalam masa jabatan sebagai impeachment atau pemakzulan, yang berdasarkan Pasal 7B UUD NRI 1945 dilakukan karena:

(1)    Melakukan pengkhianatan terhadap negara;

(2)    Melakukan tindak pidana penyuapan;

(3)    Melakukan tindak pidana korupsi;

(4)    Melakukan tindak pidana berat;

(5)    Melakukan perbuatan tercela; dan

(6)    Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

 

Alasan pemberhentian tersebut dicantumkan secara tegas dalam UUD NRI 1945 dengan keinginan untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang dianut di Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 7B UUD NRI 1945 tersebut, maka pemberhentian/ pemakzulan/impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden secara limitatif hanya dilakukan berdasarkan pada 6 (enam) alasan tersebut. UUD NRI 1945 tidak menyebutkan Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan karena kebijakannya, terlebih lagi dalam konteks kebijakan penanganan Covid-19. Lambatnya penanganan pandemi Covid-19 tidak menjadi alasan untuk dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatan, karena bukan merupakan salah satu diantara 6 (enam) kriteria tersebut.

 

V.           Kesimpulan

Berdasarkan pertanyaan yang diajukan pada bagian pengantar, yakni apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan ditengah jabatannya karena kebijakan dalam penanganan Covid-19 ?, dan berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa: Berdasarkan ketentuan Pasal 7B UUD NRI 1945 tersebut, maka pemberhentian/ pemakzulan/impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden secara limitatif hanya dilakukan berdasarkan pada alasan:

(1)    Melakukan pengkhianatan terhadap negara;

(2)    Melakukan tindak pidana penyuapan;

(3)    Melakukan tindak pidana korupsi;

(4)    Melakukan tindak pidana berat;

(5)    Melakukan perbuatan tercela; dan

(6)    Tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

 

Adapun mengenai alasan lambatnya penanganan pandemi Covid-19 tidak menjadi alasan untuk dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, karena bukan merupakan salah satu diantara 6 (enam) kriteria sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7B UUD NRI 1945.

Wallahua’lam Bisshowab.

 

DAFTAR PUSTAKA

Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Indarwati, 2005, “Pemberhentian Presiden (Impeachment) dalam Sistem ketatanegaraan di Indonesia,” Tesis, Pascasarjana Universitas Widyagama Malang.

Ryan Muthiara Wasti, “Mekanisme Impeachment di Negara Dengan Sistem Presidensial: Studi Perbandingan Mekanisme Impeachment di Indonesia dan Korea Selatan,” Jurnal Mimbar Hukum, Volume 31, Nomor 2, Juni 2019.

Syofyan Hadi, ‘Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Studi Perbandingan Antara Indonesia, Amerika Serikat, dan Filipina)’, DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 12, No. 23 Februari 2016.



[1] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2009), hlm. 298.

[2] Indarwati, “Pemberhentian Presiden (Impeachment) dalam Sistem ketatanegaraan di Indonesia,” Tesis, Pascasarjana Universitas Widyagama Malang, 2005, hlm. 25.

[3] Ryan Muthiara Wasti, “Mekanisme Impeachment di Negara Dengan Sistem Presidensial: Studi Perbandingan Mekanisme Impeachment di Indonesia dan Korea Selatan,” Jurnal Mimbar Hukum, Volume 31, Nomor 2, Juni 2019, hlm. 238.

[4] Syofyan Hadi, ‘Impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden (Studi Perbandingan Antara Indonesia, Amerika Serikat, dan Filipina)’, DIH, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 12, No. 23 Februari 2016, hlm. 3.

[5] Ibid.


KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...