PRAKTEK
POLIGAMI DALAM PERADABAN DUNIA
DAN DALAM
HUKUM PERKAWINAN ISLAM
DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN
SEJARAH
Oleh
:
Roli Pebrianto, SH )*
)*Mahasiswa Program Studi
Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta
A.
PROLOG
Dehumanisasi terhadap kaum perempuan pernah
terjadi dalam panggung sejarah. Bahkan hingga sekarang, kondisi tersebut masih
dapat kita saksikan, betapa perdagangan perempuan, kekerasan dan pelecehan
seksual seakan tidak pernah terlewatkan dalam berita-berita kriminal, baik
melalui media masa maupun melalui media elektronik.
Islam memberikan
perlindungan kepada perempuan dengan cara memberikan hak-haknya sebagaimana
diberikannya kepada laki-laki dan menghapus diskiminasi antara perempuan dan
laki-laki dalam memenuhi hak-haknya karena derajat perempuan sama dengan
derajat laki-laki disisi Allah swt., kecuali hal-hal yang bersifat fungsi utama
sesuai dengan kodrat masing-masing, itulah yang berbeda, tapi perbedaan itu
tidaklah dijadikan sebagai hal yang bertentangan, bahkan itu saling melengkapi
dan saling tolong menolong.
Islam telah memberikan toleransi dalam
hal perlindungan terhadap kaum perempuan, namun diskriminasi dan anggapan bahwa
kaum perempuan sebagai kelas dua (second class), sehingga belum ada
kesetaraan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor; Pertama, budaya patriarkhi
yang sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor
politik, yang belum sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan. Ketiga, faktor
ekonomi dimasa sistem kapitalisme global yang melanda dunia, sering kali justru
mengekploitasi kaum perempuan. Keempat, faktor intepretasi teks-teks
agama, yang selama ini ditafsirkan secara patriarkhi.
Salah satu masalah fikih munakahat
yang banyak didiskusikan di masyarakat kita adalah poligami. Poligami adalah
masalah yang sangat pelik yang dihadapi kaum perempuan dan Islam. bahkan,
kalangan pengamat luar Islam (islamisis) menganggap dibolehkannya
poligami ini membuktikan bahwa Islam sangat mengabaikan konsep demokrasi dan
hak-hak asasi manusia (perempuan)
tanpa toleransi, dan ini dianggap sebagai sebuah diskriminasi terhadap kaum
perempuan (isteri).
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam
perjalanan peradaban manusia, poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan
yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial yang ditolak dengan berbagai
macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu
dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Jauh sebelum Agama Islam, poligami
hampir terjadi di seluruh belahan bumi.
Ahli-ahli sejarah dan para ilmuwan antropologi
mengemukakan bahwa poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam
tahap-tahap awal dari sejarah manusia, dan bahwasannya poligami muncul pertama
kali sebagai akibat dari perbudakan perempuan dan sikap kaum yang kuat dan kaya
yang menjadikan banyak perempuan untuk bersenang-senang, sebagai pelayan dan
sebagai simbol kebesaran dan kemegahan. Oleh karena itu, pemilikan banyak
perempuan biasanya khusus bagi para raja, para menteri dan pembesar-pembesar,
dan bagi sebagian mereka hal itu hanya semata sebagai perbudakan.
Tidak ada catatan bahwa agama-agama terdahulu
melarang poligami, sejak zaman Nabi Ibrahim bahkan hal itu dibolehkan secara
hukum dan dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan. Begitu pula dalam bangsa
Arab, poligami adalah sesuatu yang dibolehkan tanpa syarat dan tanpa ikatan,
bahkan mereka mempraktekkannya dalam batasan yang tidak terhingga.
Poligami
adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di
dunia, sejak jaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Sebelum Islam, poligami sudah dikenal oleh
orang-orang Hindu, Bangsa Israil, Persia, Arab, Romawi, Babilonia, Tunisia, dan
lain-lain.
Bangsa Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum
kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia
selama masa itu. Kitab-Kitab Suci agama-agama Samawi dan buku-buku sejarah
menyebutkan bahwa dikalangan para pemimpin maupun orang-orang awam disetiap
bangsa, bahkan diantara para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang
asing ataupun tidak disukai.
Dalam kitab suci agama Yahudi dan Nasrani,
poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan
dalam Talmud, perjanjian lama, dan Al-Qur’an, beristri lebih dari seorang,
kecuali Yesus/Nabi Isa as. Bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan
poligami tanpa batas.
Bentuk poligami ini telah dikenal di antara
orang-orang Medes, Babilonia, Abbesinia dan Persia. Nabi Muhammad S.A.W
membolehkan poligamidiantara masyarakat karena sudah dipraktekkan juga oleh
orang-orang Yunani yang diantaranya seorang istri bukan hanya dapat
dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan secara lazim diantara mereka.
Poligami merupakan kebiasaan di antara suku-suku Bangsa di Afrika, Australia
serta Mormon di Amerika. Bahkan ajaran Hindu di India tidak melarang poligami.
Bangsa Arab Jahiliyah biasa kawin dengan sejumlah
perempuan dan menganggap mereka sebagai harta kekayaan, bahkan dalam sebagian
besar kejadian, poligami itu seolah-olah bukan seperti perkawinan. Karena
perempuan-perempuan itu dapat dibawa. Dimiliki dan dijualbelikan sekehendak
hati orang laki-laki.
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai
Nabi terakhir di negara Arab, telah melarang perzinaan dan bentuk-bentuk lain
yang menganggap perempuan bagaikan barang dan hewan yang dimiliki. Islam tidak
mengharamkan poligami secara mutlak, tetapi diberi batasan dan bersyarat.
Kedatangan Islam dengan ayat-ayat tentang poligami
(Q.S. an-Nisa‘ ayat 3 dan 129) tidak menghapus praktek poligami, namun Islam
membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat
yang ketat pula seperti keharusan adil di antara istri. Menurut hukum Islam (fiqh), kebolehan hukum poligami telah
menjadi kesepakatan ulama walaupun dengan persyaratan yang ketat, yaitu harus
berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Berdasarkan uraian
tersebut diatas, terdapat perbedaan azas
poligami sebelum dan
sesudah datangnya Islam. Oleh karena itu, Penulis
tertarik untuk
menulis makalah yang berjudul “PRAKTEK POLIGAMI DALAM PERADABAN DUNIA DAN DALAM
HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA : SEBUAH TINJAUAN SEJARAH”
B.
PERMASALAHAN
Dari latar belakang
diatas, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tinjauan sejarah perkembangan praktek
poligami dalam sejarah peradaban dunia ketika masa pra Islam dan masa Islam ?
2. Bagaimanakah tinjauan sejarah praktek poligami dalam hukum perkawinan Islam di
Indonesia ?
C. DEFINISI
POLIGAMI
Secara etimologi, poligami
berasal dari bahasa Yunani yaitu Polus
yang artinya Banyak dan Gamos yang
artinya Perkawinan. Jadi poligami dapat diartikan sebagai perkawinan yang
banyak atau lebih seorang. Adapun menurut Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia,
poligami adalah adat seorang laki-laki beristri lebih dari seorang.
Sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia, poligami adalah system perkawinan
bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang istri dalam suatu saat.
Dalam terminologi Islam,
poligami disebut ta`addud al-zaujat. Sedangkan menurut Fiqih Munakahat, yang
dimaksud dengan poligami adalah seorang laki-laki beristri lebih dari seorang,
tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang. Karena melebihi dari empat
berarti mengingkari kebaikan yang disyariatkan Allah bagi kemaslahatan hidup
suami istri.
D.
PRAKTEK
POLIGAMI SEBELUM MASA ISLAM
Praktek
poligami menurut
catatan sejarah sudah dikenal dan dilakukan jauh
sebelum masa Islam datang. Hampir seluruh bangsa di dunia mengenal praktek ini.
Bangsa Arab telah mempraktekkan poligami jauh sebelum kedatangan Islam,
demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia selama masa itu.
Kitab-kitab suci agama-agama samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa
dikalangan para pemimpin maupun orang awam disetiap bangsa, bahkan di antara
para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang asing atau tidak disukai.
Sejarah
mencatat dalam Code Hammurabi, bidang hukum keluarga dan
perkawinan terdapat Pasal yang mengatur tentang diperbolehkannya poligami,
yaitu Pasal 144,145, dan 148 yang berbunyi: “seorang
suami tidak boleh kawin lagi (berpoligami) jika isterinya dapat melayaninya,
dapat melahirkan anak, dan tidak sakit. Namun, jika isterinya tidak melahirkan
anak, maka suaminya dapat kawin lagi (berpoligami) dan membawa isteri keduanya
ke rumah tersebut, tetapi isteri kedua tetap tidak mempunyai kedudukan yang
sama dengan isteri pertamanya.”
Selanjutnya,
hukum Hindu dalam bidang-bidang hukum tertentu sangat kuat bertahan, seperti
dalam hukum keluarga dan hukum perkawinan. Dalam bidang-bidang hukum keluarga
misalnya terdapat ketentuan-ketentuan yang membolehkan poligami.
Sebagaimana
disebutkan dalam sejarah, Nabi Sulaiman diriwayatkan mempunyai istri 700 orang
dan 300 selir. Riwayat tersebut tertulis dalam Perjanjian Lama Kitab Raja-Raja
yang pertama. Pada abad ke-5 Masehi, sejarawan Yunani Herodotus menulis tentang
perlakuan terhadap kaum wanita pada masyarakat Babilonia, yang juga menyinggung
tentang praktek poligami, bahwa pada masa tersebut sudah terdapat praktek
poligami. Tulisan peninggalan tersebut diceritakan kembali dalam bentuk lukisan
oleh seorang pelukis asal Inggris pada abad ke-19 bernama Edwin Long. Pada masa
awal Bani Israil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab suci Ibrani bahwa
poligami merupakan praktek yang diterima dan diakui pada masa tersebut.
Pada
masyarakat Romawi sekitar abad ke-7 Masehi, dimana kaum wanita dipandang rendah
yaitu sebagai sesuatu yang dapat dimiliki dan dijual tanpa harkat dan martabat,
juga terdapat praktek dimana seorang lelaki dapat beristri banyak tanpa batasan
jumlah. Demikian juga di jazirah Arab pada masa sebelum kedatangan Islam,
seorang laki-laki dapat memiliki istri banyak, terutama jika ia seorang raja
ataupun bangsawan. Sedangkan pada masyarakat Persia sebelum masa Islam terdapat
penghargaan kepada seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu.
E.
PRAKTEK
POLIGAMI PADA MASA ISLAM
Ketika ajaran Islam hadir oleh
Nabi Muhammad SAW, praktek poligami dalam perkawinan diatur yaitu dibatasi
jumlahnya hanya sampai dengan 4 (empat) orang istri saja. Nabi Muhammad sendiri
hingga akhir hayatnya mempunyai 9 (Sembilan) orang istri, dimana hal tersebut
adalah kekhususan beliau saja sebagai seorang nabi.
Adapun setelah ayat tentang
poligami turun, maka Nabi memerintahkan para sahabat dan ummatnya yang memiliki
istri lebih dari 4 (empat) untuk memilih sebanyak 4 (empat) orang saja dan
menceraikan sisanya, sebagaimana diriwayatkan Abu Daud dalam Bab Talaq
(No.2241) dan Ibnu Majah dalam bab Nikah (No. 1952) dari Qais bin Harits: “aku masuk Islam sedangkan aku memiliki 8
(delapan) istri. Lalu aku menemui Nabi dan menceritakan hal tersebut. Nabi
bersabda : pilihlah dari mereka 4 (empat) istri”.
Dalam
riwayat lainnya yaitu Ahmad (Musnad 2/83), Tirmidzi (Bab Nikah, 1128), Majah
(Bab Nikah, 1953) dan Malik (Muwatta’, Talaq, 1243) dari Abdullah bin Umar
menceritakan :
”Ghailan Al
Tsaqofi masuk Islam sedangkan ia memiliki 10 (sepuluh) istri pada masa
jahiliyah dan mereka semua ikut masuk Islam. Lalu Rasulullah menyuruhnya untuk
memilih 4 (empat) istri dari 10 (sepuluh) istri tersebut (dan menceraikan 6
istri lainnya)”.
Sepanjang
hayatnya, Nabi Muhammad lebih lama bermonogami dari pada berpoligami. Rumah
tangga dengan istri pertama Khadijah binti Khuwailid RA berlangsung selama 28
tahun. Setelah 2 tahun sejak wafatnya Khadijah barulah beliau menikah dengan
Aisyah RA kemudian berpoligami. Kehidupan monogami beliau dilakukan
ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang melakukan dan menganggap lumrah
praktek poligami yang bebas tanpa batasan, juga masyarakat yang memandang
rendah terhadap wanita.
F.
PRAKTEK
POLIGAMI SEBELUM MASA KEMERDEKAAN
Gambaran
mengenai praktek poligami dalam sejarah peradaban dunia sebagaimana yang telah
diuraikan dalam sub bab sebelumnya, adalah sama adanya dengan gambaran praktek
poligami di nusantara, yaitu poligami juga telah menjadi budaya pada masa kerajaan-kerajaan
Hindu-Budha, diantaranya pada masa kerajaan Mataram Kuno sekitar abad 8 Masehi
dan kerajaan Majapahit pada abad 13 Masehi. Poligami pada masa tersebut yang
memperbolehkan seorang raja ataupun petinggi kerajaan untuk memiliki istri
lebih dari satu sebagai symbol kekuasaan, kejayaan dan kemasyhuran.
Raden
Wijaya yang merupakan pendiri dan raja pertama kerajaan Majapahit memiliki 5
(lima) orang istri, yaitu Sri Parameswari, Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri
Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamitha,
Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri, dimana keempat wanita ini merupakan putri
dari Kertanegara. Sedangkan istri lainnya Indreswari berasal dari Sumatera.
Agama
Islam masuk ke nusantara melalui perdagangan yang berlangsung pada abad 7
sampai 12 Masehi. Buktinya adalah temuan arkeologi di Barus, Tapanuli Tengah.
Claude Guillot salah seorang arkeolog dan sejarawan Perancis berhasil memetakan
awal Islamisasi nusantara di Barus sejak abad ke-7 Masehi.
Adapun
hukum Islam baru diterapkan ketika kerajaan Islam berdiri pada abad ke-13
Masehi dengan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Ketika itu hukum
Islam yang berlaku bercampur dengan adat setempat sehingga menghasilkan hukum
Islam yang lentur. Bukti yang ditemukan berupa Batu Bersurat Trengganu tahun
1303 Masehi yang isinya tentang hukum Islam mengenai maksiat.
Praktek
poligami pada masa kerajaan Islam sudah memperhatikan ajaran dari agama Islam
itu sendiri. Contohnya pada Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang merupakan
keturunan langsung dari kerajaan Mataram Islam. Pada masa kerajaan tersebut
terdapat beberapa karya sastra, diantaranya yang terkenal yaitu Serat
Candrarini yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita pada masa pemerintahan
Raja Sri Susuhunan Pakubuwono IX tahun 1860 Masehi, dimana pada karya sastra
tersebut tertulis adanya praktek poligami.
Selanjutnya
perjalanan sejarah tentang praktek poligami pada masyarakat nusantara tidaklah
lepas dari sejarah tentang berlakunya hukum Islam di nusantara, khususnya hukum
tentang perkawinan. Pada masa penjajahan Belanda, masuklah hukum barat berupa
Civil Law, yang turut mempengaruhi hukum-hukum yang berlaku pada waktu itu.
Pada masa tersebut, hukum adat berlaku untuk semua orang Indonesia asli,
sedangkan hukum Islam berlaku untuk semua orang Indonesia asli yang beragama
Islam, mengenai beberapa bidang kehidupan mereka, meskipun resmi (menurut pasal
131 Indische Staatsregeling/Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda) berlakunya
hukum ini adalah sebagai hukum adat yang untuk bidang-bidang tersebut menganut
hukum Islam.
Pada
masa penjajahan tersebut rujukan bagi hukum Islam adalah kitab-kitab fiqih
klasik maupun ajaran-ajaran Islam dari para Ulama. Pada tahun 1760 ditetapkan
Compendium Freijer untuk mengatur hukum perkawinan dan waris menurut Islam yang
dipakai oleh pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur. Kemudian
dibentuk juga compendium lainya untuk Semarang dan Makassar.
Pada
awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum
negaranya untuk menyelesaikan masalah di antara mereka sendiri. Untuk lebih
memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat
jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada
kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka
akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat
terus berjalan, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan
hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya. Demikian pula dengan asas
poligami sebagai bagian dari hukum perkawinan Islam dan budaya yang telah lama
tumbuh di Indonesia sebelum Belanda datang.
Setelah
masa VOC berakhir dan Inggris yang sempat menduduki Indonesia akhirnya
mengembalikan kekuasannya pada pemerintah Hindia Belanda, terdapat usaha untuk
mengganti dan menerapkan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Hukum Islam
pun direduksi dan pemerintah Hindia Belanda hanya mengakui hukum Adat yang
berlaku untuk orang Indonesia asli.
Pemerintah
Hindia Belanda pernah menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan
Tercatat, yang mana salah satu isi pokoknya adalah perkawinan berdasarkan asas
monogamy. Ordonansi ini direncanakan berlaku terhadap golongan penduduk
beragama Islam juga, namun mendapat penolakan oleh kalangan ummat Islam karena
isi ordonansi tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
Hingga masa penjajahan berakhir, hukum perkawinan Islam masih tetap merujuk
pada kitab-kitab fiqih dan para Ulama.
G.
PRAKTEK
POLIGAMI PADA MASA KEMERDEKAAN
Praktek poligami
setelah proklamasi kemerdekaan tetaplah ada. Bahkan presiden Soekarno yang
merupakan Proklamator Kemerdekaan pun melakukan praktek perkawinan seperti ini.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan peraturan perundangan tentang
perkawinan yang sifatnya menyeluruh bagi semua warga negara Indonesia baik yang
beragama Islam maupun yang non muslim. Meskipun bersifat umum, undang-undang
ini terbuka bagi praktek perkawinan menurut hukum Islam, karena menurut pasal 2
ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan hukum agama
dan kepercayaannya masing-masing.
Selain
itu walaupun secara Nasional dan umum undang-undang ini menganut asas monogami,
tapi sebagai konsekuensi dari pasal 2 ayat (1) di atas, bahwa pernikahan
dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, maka poligami
sebagai salah satu asas dalam perkawinan Islam juga diakui dan diakomodir.
Meski demikian, pengakuan dan kebolehan praktek poligami dalam undang-undang
ini diatur dengan ketat untuk menghindari penyalahgunaan, serta untuk
melindungi kepentingan wanita maupun laki-laki.
Selain
undang-undang perkawinan, asas poligami juga diatur dalam Kompilasi Hukum
Islam, yaitu Keputusan
Bersama Ketua MA dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan
No. 25 Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam
melalui yurisprudensi. Meski demikian,
ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang
poligami pada dasarnya adalah sama, yaitu sesuai dengan ajaran Islam, selain
itu terdapat penambahan ketentuan berupa syarat baik materil (alasan-alasan
yang dapat diterima) maupun administratif untuk seorang lelaki berpoligami.
Selain dalam Undang-Undang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, ketentuan tentang praktek poligami juga diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS. Sama seperti Undang-Undang
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, dalam peraturan pemerintah ini juga
syarat poligami diberlakukan dengan alasan-alasan yang telah ditetapkan,
ditambah beberapa syarat formil berupa prosedur administratif.
H.
TINJAUAN SEJARAH PRAKTEK POLIGAMI SECARA UMUM
Poligami adalah masalah-masalah
kemanusiaan yang tua sekali hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu
kala tidak asing dengan poligami. Sejak dahulu kala poligami sudah dikenal
orang-orang Hindu, bangsa Israel, Persia, arab Romawi, Babilonia, Tunisia, dan
lain-lain. Poligami
dipraktekkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir kuno.
Menurut Supardi Mursalin yang
telah dikutip oleh Tihami, mengatakan, bangsa barat purbakala menganggap
poligami sebagai suatu kebiasaan, karena dilakukan oleh raja-raja yang
melambangkan ketuhanan sehingga orang banyak menganggapnya sebagai perbuatan
suci.3
Lebih dari itu tidak ada
gagasan keadilan di antara para istri, suamilah yang menentukan sepenuhnya
siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak
terbatas, para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk
memperoleh keadilan.
Disinilah letak persoalan mendasar dari praktik poligami di jaman sebelum zaman
Nabi Muhammad dimana tidak ada syarat berlaku adil bagi suami kepada para
istrinya, sehingga poligami cendrung menjadi pemuas nafsu dari kaum pria dan di
sisi lain adalah penindasan hak-hak perempuan. Dalam arti luas bahwa perempuan
mempunyai kedudukan yang lebih rendah sehingga harus menerima dan tunduk pada
kemauan laki-laki tanpa ada ruang tawar, hal ini disebabkan karena tidak ada
hukum yang mengatur mengenai syarat berlaku adil bagi laki-laki terhadap para
istrinya ketika ia berpoligami.
Sebagaimana dijelaskan di paragraph
di atas, sebenarnya sejak zaman sebelum Nabi Muhammad, poligami telah banyak
dilakukan. Bedanya, pada zaman sebelum Rasulullah, suami bebas untuk menikah
dengan berapapun banyak istri, akan tetapi pada zaman Rasulullah, Allah
membatasinya dalam batasan jumlah maksimal empat orang istri.
Ketika Islam datang, kebiasaan
poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun setelah ayat yang menyinggung
soal poligami diwahyukan. Maka terjadilah perubahan yang radikal terkait
praktik Poligami. Perubahan mendasar yang dilakuan berkaitan dengan dua hal:
1) Pertama, membatasi jumlah bilangan istri
hanya sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan pembatasan poligami tersebut
diantaranya riwayat dari naufal bin Muawiyah. Ia berkata : “ketika aku masuk
Islam, aku memiliki lima orang istri. Rasulullah berkata “Ceraikanlah yang satu
dan pertahankan yang empat”. Pada riwayat lain Qais bin Tsabit berkata :
“ketika aku masuk Islam aku punya deplapan istri. Aku menyampaikan hal tersebut
kepada rasulullah dan beliau berkata “pilih dari mereka empat orang”.
2) Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi
poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Artinya, Islam meperketat syarat
poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena
terhadap istri mereka seperti sedia kala. Demikian juga dengan adanya Piagam Madinah yang ditulis Rasulullah
setelah hijrah, yang mana dalam piagam tersebut mengatur hubungan sosial
kemasyarakatan baik antar umat Islam maupun dengan umat agama lain ketika itu.
Dasar
hukum batasan jumlah istri dalam poligami
Selain adanya batasan mengenai
jumlah istri, Islam juga menetapkan syarat yang sangat ketat terhadap praktik
poligami. Al-Maraghi dalam tafsirnya, yang terkenal dengan sebutan tafsir
Al-maraghi, menyebutkan bahwa kebolehan berpoligami yang disebut pada surat
An-Nisa ayat 3, merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya,
poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan
oleh orang yang benar-benar membutuhkan, kemudian beliau mencatat kaidah fiqhi’yah, dar’u al mafasid muqaddamun ‘ala
jalbi al-masalih. Pencatatan ini dimaksudkan, barangkali, untuk menunjukkan
betapa pentingnya untuk hati-hati dalam melakukan poligami.
Lahir atau turunnya sebuah ayat
dalam Al-Qur’an selalu dilatarbelakangi sebuah fenomena sejarah atau sebuah
keadaan tertentu yang sedang berlangsung. Begitu juga dengan diturunkannya
surat An-nisa ayat 3 yang turun setelah perang Uhud, ketika banyak pejuang
Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang. Sebagai konsekuensinya, banyak
anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya. Akibatnya
banyak anak yatim yang terabaikan dalam kehidupan, pendidikan, dan masa
depannya. dalam hal ini lahirnya
pembolehan untuk berpoligami adalah dalam konteks perlindungan terhadap yatim
piatu dan janda akibat korban perang.
Dari uraian tersebut dapatlah
disimpulkan bahwa praktek poligami itu bukanlah berasal dari Islam. Islam
datang justru hendak mengatur dan membatasi praktek poligami agar lebih
manusiawi dengan menghormati harkat dan martabat perempuan. Bahkan fakta yang
tidak bisa diabaikan bahwa Rasulullah lebih lama hidup dalam perkawinan
monogami dari pada poligami.
Rasulullah berpoligami setelah
istri pertamanya wafat. Rasulullah menjalani kehidupan perkawinan monogami
dalam jangka waktu 28 tahun justru ditengah-tengah masyarakat yang membudayakan
poligami tanpa batas dan merendahkan perempuan. Ini adalah sebagai jawaban
terhadap serangan kaum feminis yang menuduh seakan Islam menindas kaum
perempuan dengan adanya ketentuan poligami. Sebuah tinjauan sejarah telah
menjawab bahwa tuduhan mereka itu tidaklah berdasar dan salah alamat.
Banyak
kalangan memiliki anggapan bahwa praktek poligami dalam perkawinan merupakan
ajaran Islam, sehingga poligami identik dengan Islam. Hal tersebut sangat logis
mengingat hingga zaman sekarang ummat Islam masih mempraktekkan poligami, dan
bahwa kitab suci agama Islam yaitu Al Quran mengatur khusus tentang praktek
poligami, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 3. Namun
jika kita meninjau sejarah, ternyata poligami telah dipraktekkan jauh sebelum
Islam datang. Sehingga anggapan bahwa poligami identik hanya dengan ajaran
Islam adalah keliru.
I.
TINJAUAN SEJARAH PRAKTEK
POLIGAMI DI INDONESIA
1.
Sebelum
Kemerdekaan
Azas
perkawinan sangat berkaitan erat dengan aturan-aturan hukum yang berlaku
tentang perkawianan. Hampir sama dengan sejarah praktik poligami masa lampau di
belahan dunia lain, Indonesia yang dulu dikenal dengan kerajaan-kerajan,
praktek poligami juga telah ada, sebagaimana kitabaca dalam buku-buku sejarah
bahwa raja-raja di kerjaan nusantara pada umumnya memiliki selir, yaitu wanita
pendamping sang raja, selain dari permaisuri dan bertugas layaknya seorang
istri terhadap raja.
Pada
zaman Hindu, tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum Agama Hindu.
Diantara kerajaan itu adalah kerajaan Sriwijaya, singosari dan kerjaan
majapahit. Pada masa Majapahit hukum Adat mendapat tempat dalam pemberlakuan
hukum di tengah masayarakat dikeranakan adanya pembagian tugas
Islam
masuk ke Nusantara sekitar abad ke 7 masehi dan kemudian berkembang sehingga
lahirlah kerajaan-kerajaan Islam. kerajaan-kerajaan Islam ini memberlakukan
hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing, sehingga Hukum Islam menjadi
sebuah kenyataan yang hidup dalam masyarakat di Nusantara kala itu. Hingga pada
masa kedatangan Verenigde
Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah
ada di masyarakat sehingga diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC.
Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun
hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama
penghimpunnya. Kemudian membuat
kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang,
dan Makasar (Bone dan Gowa). Ketika
pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah
terhadap hukum Islam.
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun
rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie
op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah
satu pihak meninggal atau menghilangselama dua tahun serta perceraian yang
diputuskan oleh hakim. Menurut rencana
rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia
yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan
ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi
mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.
2.
Masa
awal kemerdekaan
Praktek poligami setelah proklamasi kemerdekaan tetaplah ada.
Bahkan presiden Soekarno yang merupakan Proklamator Kemerdekaan pun melakukan
praktek perkawinan seperti ini. Hal ini seakan mengulang sejarah sejak zaman
kuno, bahwa praktek poligami lumrah dilakukan lelaki yang berkuasa, jika pada
zaman dahulu dilakukan oleh para Raja maka pada abad ke-20 Masehi juga termasuk
oleh Presiden, intinya tetaplah sama yaitu mereka yang berkuasa.
Hal tersebut membuktikan bahwasanya sejarah poligami selalu
berulang dalam tiap zamannya dan tidak pernah lenyap, meski pada abad tersebut
gerakan feminism dan Hak Asasi Manusia yang diantaranya menuntut kesetaraan
gender sudah tumbuh dengan suburnya.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya
perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun
1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam.
Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan
Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat
Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22
Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak
yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami,
mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami
terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa
idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.
Pada
bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah
meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang
perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan
Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah
(PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri
kedua, ketiga dan seterusnya.
Pada
tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada
tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang
asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia.
Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama
dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di
Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan
poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum
usia calon pengantin.
3.
Masa
Menjelang Kelahiran UU Perkawinan
Pada
tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang
berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada
tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang
Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan
tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan
RUU Perkawinan yang baru pada tahun 1973.
Pada
tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep RUU
Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada
tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan
diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.
4.
Masa
Kelahiran UU Perkawinan
Undang-Undang
nomor 1 tahun 1974 yang biasa kita kenal dengan Undang-Undang perkawinan Islam
menempatkan perempuan dalam posisi yang terbaik dibanding dengan sistem-sistem
hukum yang pernah ada. Begitupun perdebatan panjang mengenai azas perkawinan
Monogami dan Poligami dapt diketengahi dengan perbolehan Poligami dengan
Syarat-syarat tertentu yang ketat.
Lahirnya
UU Perkawinan merupakan hukum nasional. Pasal 66 UU No: 1 Tahun 1974 menyatakan
bahwa ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam KUH Per, HOCI, Peraturan
Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang
perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak
berlaku.
Dalam Undang-Undang
perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami, apabila dikehendaki
oleh yang bersangkutan untuk melakukan poligami, maka hukum dan juga agama dari
yang bersangkutan mengizinkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang,
yang demikian ini, perkawinannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi
berbagai persyaratan yang telah ditentukan dan diputuskan oleh pengadilan.37
Dalam hal ini ada
beberapa aturan atau Undang-Undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum
dari poligami antara lain:
a)
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang
berkaitan dengan poligami adalah pasal 3, 4 dan 5. Adapun bunyi pasal tersebut
sebagai berikut:
Pasal
3 (1)
Pada asasnya
seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami
untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal
4 (1)
Dalam hal
seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam
pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan
dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan
beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal
5 (1)
Untuk dapat mengajukan permohonan ke
Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undangundang ini harus
memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari
isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka
(2)
Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan
bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila
tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau
karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
b)
Kompilasi Hukum Islam Adapun
pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah pasal 55, 56, 57, dan 58.
Dalam pasal 55
menjelaskan bahwa adil terhadap istri dan anak-anak merupakan syarat utama
untuk beristri lebih dari seorang. Dilanjutkan dengan pasal 56 yang menjelaskan
bahwa seseorang yang hendak beristri lebih dari seorang harus mendapat izin
dari pengadilan dan permohonan izin tersebut dilakukan menurut tata cara
sebagaimana diatur dalam bab viii PP No. 9 Tahun 1975. Apabila perkawinan yang
dilakukan dengan istri kedua tanpa izin dari pengadilan, maka statusnya tidak
mempunyai kekuatan hukum. Kemudian pada pasal 57 menjelaskan bahwa pengadilan
hanya dapat memberikan izin beristri lebih dari seorang apabila istri tidak
dapat menjalankan kewajiban, istri mempunyai penyakit yang tidak dapat
disembuhkan dan tidak dapat memiliki keturunan, dan pada pasal 58 dijelaskan
selain syarat-syarat yang ditentukan pada pasal sebelumnya haruslah memenuhi
syarat-syarat yang telah dijelaskan pada UU No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9
tahun1975. 40
c)
Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun
1975. Pada Peraturan Pemerintahan RI Nomor 9 Tahun 1975 juga menjelaskan
tentang dasar hukum kebolehan seseorang melakukan poligami. Diantaranya yaitu:
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan dalam hal ini terdapat
pada pasal 40, setelah adanya pengajuan permohonan secara tertulis, dilanjutkan
pada tahap selanjutnya yang terletak pada pasal 41 yaitu, yang harus dilakukan
oleh pengadilan yaitu tahap pemeriksaan mengenai ada atau tidaknya alasan yang
memungkinkan seorang suami kawin lagi, alasan tersebut juga telah di uraikan
pada UU No.1 Tahun 1974:
1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; 2) Istri mendapat
cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
dan 3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu pengadilan juga
memeriksa ada atau tidaknya pernjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun
tertulis, dengan syarat apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan,
perjanjian itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.
J.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian dalam bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.
Praktek poligami dalam sejarah peradaban manusia
merupakan sebuah praktek yang sudah ada sejak zaman dahulu (kuno), ditandai
dengan adanya peninggalan, dan catatan-catatan dalam kitab agama samawi sebelum
Islam datang. Pada masa kedatangan Islam, poligami tidaklah dihapuskan namun
diatur dan dibatasi serta meningkatkan harkat dan martabat wanita. Jadi
poligami itu bukanlah berasal dari ajaran Islam. Islam hanya mengatur praktek
poligami agar manusiawi terutama terhadap kaum wanita.
2.
Praktek poligami di nusantara pada zaman kerajaan
sudah ada dan lazim. Pada masa kerajaan Islam, prakte poligami diatur dan
dibatasi sesuai dengan ajaran Islam. Hukum Islam dimana didalamnya terdapat
ajaran praktek poligami tetap ada dan hidup dalam masyarakat Islam pada masa
penjajahan Belanda. Hingga akhirnya pada masa kemerdekaan kodifikasi terhadap
hukum perkawinan dimana juga turut mengakomodir tentang hukum perkawinan Islam
termasuk ketentuan poligami berhasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor
I Tahun 1974 tentang Perkawinan.
K.
SARAN
1.
Perlunya memahami praktek poligami dengan pendekatan sejarah karena
dengan melihat dari sejarah akan mendapatkan pemahaman yang komprehensif serta
untuk menghilangkan kesalahpahaman tentang poligami dan Islam seabgaimana yang
dituduhkan oleh sebagian kalangan;
2.
Perlunya campur tangan Negara secara administratif demi menghindari
praktek poligami yang keliru yang seringnya merugikan kaum wanita dan
anak-anak.
L.
DAFTAR PUSTAKA
_________________, 1990, Inilah Syari’ah Islam TerjemahanThe
Islamic Law, Usman Efendi dan Abdul Khaliq, Jakarta: PustakaPanji.
________________, 1996, Karakteristik Hukum
Islam dan Perkawinan, Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Muhammad
Bagir al-Habsyi, 1999,
Fiqih Praktis Menurut
Al-Qur‟an, as-Sunah, dan Pendapat Para Ulama,
Bandung:
Mizan Media Utama.
Muhammad
Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Qur‟an, as-Sunah,
dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan Media Utama, 1999),
hlm. 90.
Abdurrahman I Doi, Inilah Syari’ah Islam TerjemahanThe
Islamic Law, Usman Efendi dan Abdul Khaliq, (Jakarta: PustakaPanji, 1990),
hlm. 207 .
Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum
Islam dan Perkawinan,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1996), hlm. 259.