Minggu, 15 April 2018

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION) DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH POLRI


ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION) DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI)
Oleh:

Roli Pebrianto, SH )*
)* Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Jakarta, e-mail: rolipebrianto11@gmail.com


Konsep Alternative Dispute Resolution
Alternatif penyelesaian perkara, umumnya disebut dengan Alternative Dispute Resolution atau alternatif penyelesaian sengketa, sejauh ini banyak dikenal pada ranah hukum privat atau hukum perdata. Apabila dikaji lebih lanjut, alternatif penyelesaian sengketa ini tidak hanya dapat dilakukan di ranah hukum perdata, melainkan juga di ranah hukum pidana, walaupun alternatif penyelesaian sengketa dalam hukum pidana dapat dilakukan dengan beberapa kondisi yang menyertainya.

Ide dasar dari adanya alternatif penyelesaian perkara dalam perkara pidana adalah dikaitkan dengan sifat hukum pidana itu sendiri. Hukum pidana bersifat Ultimum Remedium, Van Bemmelen mengajukan pendapat, bahwa hukum pidana itu merupakan Ultimum Remedium (obat terakhir). Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk menegaskan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu Ultimum Remedium. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung ruginya ancaman pidana itu, dan harus menjaga agar jangan sampai obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakitnya.[1]
Tujuan Alternative Dispute Resolution adalah terwujudnya “Win-win solution” sebagai bentuk penyelesaian perkara, sementara dalam hukum positif di Indonesia masih menganut sifat “Win-lose solution”. Dalam artikel yang dibuat oleh Prof. Dr. Adrianus Meliala mengatakan bahwa “masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana”,[2]  mengandung arti bahwa upaya penerapan  Alternative Dispute Resolution  sudah mendapatkan pembenaran oleh para pakar pidana.
Oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian dilakukan upaya koordinasi pemberlakuan ADR ini sebagai altenatif dalam penyelesaian sengketa, maka Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat (Polmas) dengan menerapkan ADR oleh petugas Polmas. Sedangkan pendapat pakar hukum lainnya yaitu menurut H. Priyatna Abdurasyid mengatakan bahwa ; “Sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternative atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase (negosiasi dan mediasi) agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut”.[3]

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Criminal Justice System atau sistem peradilan pidana diartikan sebagai pemakaian pendekatan administrasi peradilan pidana. Sistem peradilan pidana sebagai suatu hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi, dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengerian sistem ini mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien, untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.[4]
Sistem peradilan pidana diartikan secara sempit sebagai sistem pengadilan yang menyelenggarakan keadilan atas nama negara atau suatu mekanisme untuk menyelesaikan suatu perkara/sengketa. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa, sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana yang juga identik dengan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana.[5]
Definisi sistem peradilan pidana menurut Prof. Dr. H.R. Abdussalam, SIK., SH., MH, menjelaskan bahwa : “Sistem Peradilan Pidana merupakan proses penegakkan hukum yang saling berkaitan dan ketergantungan antara sub system polisi selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum, hakim, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil untuk membuktikan terjadi tindak pidana kejahatan dan siapa tersangka/terdakwanya.“[6]
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah penulis uraikan diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa dalam Sistem Peradilan Pidana harus melibatkan polisi, jaksa, dan hakim untuk memutuskan perkara (pengadilan). Pelaksanaannya bekerja secara linear sejak penanganan yang dimulai oleh Polisi hingga adanya putusan hakim, kemudian pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan.
Dalam tulisan ini, penulis akan membatasi pembahasan dalam hal mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan polisi, yakni mengenai peran POLRI dalam mewujudkan alternatif penyelesaian sengketa.
Peran POLRI dalam Mewujudkan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sebagaimana dengan judul diatas, penulis akan lebih fokus untuk membahas mengenai alternatif penyelesaian sengketa sebagai upaya dalam penegakan hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
Polisi sebagai aparat penegak hukum terdepan dengan segala aktivitas yang terjadi dalam masyarakat, khususnya mengenai masalah kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.[7] Tugas dan tujuan kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang ini adalah Undang-Undang administratif, yang mengatur tentang Kepolisian.
Sebagai abdi negara, tugas pokok kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 diantaranya yaitu mampu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.
Dalam kaitannya dengan tugas pokok Kepolisian tersebut, terkandung makna bahwa terwujudnya keamanan dan ketertiban harus tetap terpelihara. Peran Polri dalam mewujudkan situasi tersebut diimbangi dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum, sekaligus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kaitannya dengan penegakan hukum, Polri dituntut harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan proporsional, dimana Polri harus mampu melihat dan mempertimbangkan tidak hanya aspek yuridis tetapi juga aspek sosiologis. Bertindak profesional berarti pelaksanaan tugas harus dilakukan sesuai aturan, ketentuan dan prosedur. Sedangkan bertindak proporsional, berarti Polri harus mampu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum melakukan tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas, jangan sampai tindakan yang dilakukan walaupun sudah sesuai dengan prosedur, justru menimbulkan permasalahan yang lebih besar bahkan menimbulkan stigma negatif kepada Polri.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa upaya penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) tidak hanya dikenal dalam kaedah-kaedah hukum perdata, tetapi juga mulai dikenal dan berkembang dalam kaedah hukum pidana. Salah satu jenis ADR yang mulai dikembangkan dalam hukum pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal dengan istilah “mediasi penal” (penal mediation).
Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain: mediation in criminal cases atau mediation in penal matters yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut Der Auergerichtliche Tataus-gleich dan dalam istilah Perancis disebut de mediation penale. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah Victim-Offender Mediation (VOM), Tter Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).
Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi polisi atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat.
Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.
Namun demikian terdapat pula beberapa Dasar Hukum Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia, yaitu:
a.       Surat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Surat KAPOLRI) No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional. Surat ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara  Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482 KUHP. Surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan;
b.       Delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan;
c.        Tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (sebagaimana dicabut dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Undang-Undang Nomor: 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor: 50 Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM;[8]


Demikian tulisan singkat ini, semoga dapat menambah khasanah keilmuan kita. Penulis menyadari tulisan ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat Penulis harapkan guna peningkatan tulisan-tulisan selanjutnya. Terima Kasih.



Jakarta, 16 April 2018
                                                                                                        Penulis


ROLI PEBRIANTO,SH






DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana: Edisi Revisi 2008, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
H. Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional (BANI).
Moh. Mahfud MD, 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Syaiful Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media.
HR Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung.

Internet :
Adiranus E. Meliala, Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia, dikutip dari http://www.adrianusmeliala.com, diakses pada Jum’at 27 November 2015.

Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia




[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana: Edisi Revisi 2008, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 10.
[2]Adiranus E. Meliala, Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia, dikutip dari http://www.adrianusmeliala.com, diakses pada Jum’at 27 November 2015.
[3] H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional (BANI), 2002, hlm. 17.
[4] Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 83-84.
[5] Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Total Media, 2010, hlm. 109.
[6] HR Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007, hlm. 3.
[7] Syaiful Bakhri, Op. Cit, hlm. 121.
[8] Lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal 89:4; Pasal 96 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


PRAKTEK POLIGAMI DALAM PERADABAN DUNIA
DAN DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM
DI INDONESIA: SEBUAH TINJAUAN SEJARAH


Oleh :

Roli Pebrianto, SH )*

)*Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta




A.            PROLOG
      Dehumanisasi terhadap kaum perempuan pernah terjadi dalam panggung sejarah. Bahkan hingga sekarang, kondisi tersebut masih dapat kita saksikan, betapa perdagangan perempuan, kekerasan dan pelecehan seksual seakan tidak pernah terlewatkan dalam berita-berita kriminal, baik melalui media masa maupun melalui media elektronik.
           Islam memberikan perlindungan kepada perempuan dengan cara memberikan hak-haknya sebagaimana diberikannya kepada laki-laki dan menghapus diskiminasi antara perempuan dan laki-laki dalam memenuhi hak-haknya karena derajat perempuan sama dengan derajat laki-laki disisi Allah swt., kecuali hal-hal yang bersifat fungsi utama sesuai dengan kodrat masing-masing, itulah yang berbeda, tapi perbedaan itu tidaklah dijadikan sebagai hal yang bertentangan, bahkan itu saling melengkapi dan saling tolong menolong.[1]
Islam telah memberikan toleransi dalam hal perlindungan terhadap kaum perempuan, namun diskriminasi dan anggapan bahwa kaum perempuan sebagai kelas dua (second class), sehingga belum ada kesetaraan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor; Pertama, budaya patriarkhi yang sedemikian lama mendominasi dalam masyarakat. Kedua, faktor politik, yang belum sepenuhnya berpihak kepada kaum perempuan. Ketiga, faktor ekonomi dimasa sistem kapitalisme global yang melanda dunia, sering kali justru mengekploitasi kaum perempuan. Keempat, faktor intepretasi teks-teks agama, yang selama ini ditafsirkan secara patriarkhi.[2]
        Salah satu masalah fikih munakahat yang banyak didiskusikan di masyarakat kita adalah poligami. Poligami adalah masalah yang sangat pelik yang dihadapi kaum perempuan dan Islam. bahkan, kalangan pengamat luar Islam (islamisis) menganggap dibolehkannya poligami ini membuktikan bahwa Islam sangat mengabaikan konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusia (perempuan) tanpa toleransi, dan ini dianggap sebagai sebuah diskriminasi terhadap kaum perempuan (isteri).[3]
            Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia, poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial yang ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Jauh sebelum Agama Islam, poligami hampir terjadi di seluruh belahan bumi.[4]
         Ahli-ahli sejarah dan para ilmuwan antropologi mengemukakan bahwa poligami dalam bentuknya yang beragam telah ada dalam tahap-tahap awal dari sejarah manusia, dan bahwasannya poligami muncul pertama kali sebagai akibat dari perbudakan perempuan dan sikap kaum yang kuat dan kaya yang menjadikan banyak perempuan untuk bersenang-senang, sebagai pelayan dan sebagai simbol kebesaran dan kemegahan. Oleh karena itu, pemilikan banyak perempuan biasanya khusus bagi para raja, para menteri dan pembesar-pembesar, dan bagi sebagian mereka hal itu hanya semata sebagai perbudakan.[5]
           Tidak ada catatan bahwa agama-agama terdahulu melarang poligami, sejak zaman Nabi Ibrahim bahkan hal itu dibolehkan secara hukum dan dipraktekkan dalam kehidupan keagamaan. Begitu pula dalam bangsa Arab, poligami adalah sesuatu yang dibolehkan tanpa syarat dan tanpa ikatan, bahkan mereka mempraktekkannya dalam batasan yang tidak terhingga.
         Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali. Hampir seluruh bangsa di dunia, sejak jaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Sebelum Islam, poligami sudah dikenal oleh orang-orang Hindu, Bangsa Israil, Persia, Arab, Romawi, Babilonia, Tunisia, dan lain-lain.[6]
          Bangsa Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia selama masa itu. Kitab-Kitab Suci agama-agama Samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa dikalangan para pemimpin maupun orang-orang awam disetiap bangsa, bahkan diantara para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang asing ataupun tidak disukai.[7]
          Dalam kitab suci agama Yahudi dan Nasrani, poligami telah merupakan jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan dalam Talmud, perjanjian lama, dan Al-Qur’an, beristri lebih dari seorang, kecuali Yesus/Nabi Isa as. Bahkan di Arab sebelum Islam telah dipraktekkan poligami tanpa batas.[8]
       Bentuk poligami ini telah dikenal di antara orang-orang Medes, Babilonia, Abbesinia dan Persia. Nabi Muhammad S.A.W membolehkan poligamidiantara masyarakat karena sudah dipraktekkan juga oleh orang-orang Yunani yang diantaranya seorang istri bukan hanya dapat dipertukarkan tetapi juga bisa diperjualbelikan secara lazim diantara mereka. Poligami merupakan kebiasaan di antara suku-suku Bangsa di Afrika, Australia serta Mormon di Amerika. Bahkan ajaran Hindu di India tidak melarang poligami.[9]
           Bangsa Arab Jahiliyah biasa kawin dengan sejumlah perempuan dan menganggap mereka sebagai harta kekayaan, bahkan dalam sebagian besar kejadian, poligami itu seolah-olah bukan seperti perkawinan. Karena perempuan-perempuan itu dapat dibawa. Dimiliki dan dijualbelikan sekehendak hati orang laki-laki.[10]
Ketika Allah mengutus Nabi Muhammad saw. Sebagai Nabi terakhir di negara Arab, telah melarang perzinaan dan bentuk-bentuk lain yang menganggap perempuan bagaikan barang dan hewan yang dimiliki. Islam tidak mengharamkan poligami secara mutlak, tetapi diberi batasan dan bersyarat.[11]
        Kedatangan Islam dengan ayat-ayat tentang poligami (Q.S. an-Nisa‘ ayat 3 dan 129) tidak menghapus praktek poligami, namun Islam membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan adil di antara istri. Menurut hukum Islam (fiqh), kebolehan hukum poligami telah menjadi kesepakatan ulama walaupun dengan persyaratan yang ketat, yaitu harus berlaku adil terhadap istri-istrinya.
           Berdasarkan uraian tersebut diatas, terdapat perbedaan azas poligami sebelum dan sesudah datangnya Islam. Oleh karena itu, Penulis tertarik untuk menulis makalah yang berjudul “PRAKTEK POLIGAMI DALAM PERADABAN DUNIA DAN DALAM HUKUM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA : SEBUAH TINJAUAN SEJARAH”

B.            PERMASALAHAN
Dari latar belakang diatas, dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.   Bagaimanakah tinjauan sejarah perkembangan praktek poligami dalam sejarah peradaban dunia ketika masa pra Islam dan masa Islam ?
2.        Bagaimanakah tinjauan sejarah praktek poligami dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia ?

C.       DEFINISI POLIGAMI
Secara etimologi, poligami berasal dari bahasa Yunani yaitu Polus yang artinya Banyak dan Gamos yang artinya Perkawinan. Jadi poligami dapat diartikan sebagai perkawinan yang banyak atau lebih seorang. Adapun menurut Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, poligami adalah adat seorang laki-laki beristri lebih dari seorang.[12] Sedangkan menurut Ensiklopedi Indonesia, poligami adalah system perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih dari seorang istri dalam suatu saat.[13]
Dalam terminologi Islam, poligami disebut ta`addud al-zaujat. Sedangkan menurut Fiqih Munakahat, yang dimaksud dengan poligami adalah seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, tetapi dibatasi paling banyak adalah empat orang. Karena melebihi dari empat berarti mengingkari kebaikan yang disyariatkan Allah bagi kemaslahatan hidup suami istri.[14]

D.            PRAKTEK POLIGAMI SEBELUM MASA ISLAM
Praktek poligami menurut catatan sejarah sudah dikenal dan dilakukan jauh sebelum masa Islam datang. Hampir seluruh bangsa di dunia mengenal praktek ini. Bangsa Arab telah mempraktekkan poligami jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain disebagian besar kawasan dunia selama masa itu. Kitab-kitab suci agama-agama samawi dan buku-buku sejarah menyebutkan bahwa dikalangan para pemimpin maupun orang awam disetiap bangsa, bahkan di antara para Nabi sekalipun, poligami bukan merupakan hal yang asing atau tidak disukai.[15]
Sejarah mencatat dalam Code Hammurabi,[16] bidang hukum keluarga dan perkawinan terdapat Pasal yang mengatur tentang diperbolehkannya poligami, yaitu Pasal 144,145, dan 148 yang berbunyi: “seorang suami tidak boleh kawin lagi (berpoligami) jika isterinya dapat melayaninya, dapat melahirkan anak, dan tidak sakit. Namun, jika isterinya tidak melahirkan anak, maka suaminya dapat kawin lagi (berpoligami) dan membawa isteri keduanya ke rumah tersebut, tetapi isteri kedua tetap tidak mempunyai kedudukan yang sama dengan isteri pertamanya.”[17]
Selanjutnya, hukum Hindu dalam bidang-bidang hukum tertentu sangat kuat bertahan, seperti dalam hukum keluarga dan hukum perkawinan. Dalam bidang-bidang hukum keluarga misalnya terdapat ketentuan-ketentuan yang membolehkan poligami.[18]
Sebagaimana disebutkan dalam sejarah, Nabi Sulaiman diriwayatkan mempunyai istri 700 orang dan 300 selir. Riwayat tersebut tertulis dalam Perjanjian Lama Kitab Raja-Raja yang pertama. Pada abad ke-5 Masehi, sejarawan Yunani Herodotus menulis tentang perlakuan terhadap kaum wanita pada masyarakat Babilonia, yang juga menyinggung tentang praktek poligami, bahwa pada masa tersebut sudah terdapat praktek poligami. Tulisan peninggalan tersebut diceritakan kembali dalam bentuk lukisan oleh seorang pelukis asal Inggris pada abad ke-19 bernama Edwin Long. Pada masa awal Bani Israil, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab suci Ibrani bahwa poligami merupakan praktek yang diterima dan diakui pada masa tersebut.
Pada masyarakat Romawi sekitar abad ke-7 Masehi, dimana kaum wanita dipandang rendah yaitu sebagai sesuatu yang dapat dimiliki dan dijual tanpa harkat dan martabat, juga terdapat praktek dimana seorang lelaki dapat beristri banyak tanpa batasan jumlah. Demikian juga di jazirah Arab pada masa sebelum kedatangan Islam, seorang laki-laki dapat memiliki istri banyak, terutama jika ia seorang raja ataupun bangsawan. Sedangkan pada masyarakat Persia sebelum masa Islam terdapat penghargaan kepada seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu.

E.             PRAKTEK POLIGAMI PADA MASA ISLAM
Ketika ajaran Islam hadir oleh Nabi Muhammad SAW, praktek poligami dalam perkawinan diatur yaitu dibatasi jumlahnya hanya sampai dengan 4 (empat) orang istri saja. Nabi Muhammad sendiri hingga akhir hayatnya mempunyai 9 (Sembilan) orang istri, dimana hal tersebut adalah kekhususan beliau saja sebagai seorang nabi.
Adapun setelah ayat tentang poligami turun, maka Nabi memerintahkan para sahabat dan ummatnya yang memiliki istri lebih dari 4 (empat) untuk memilih sebanyak 4 (empat) orang saja dan menceraikan sisanya, sebagaimana diriwayatkan Abu Daud dalam Bab Talaq (No.2241) dan Ibnu Majah dalam bab Nikah (No. 1952) dari Qais bin Harits: “aku masuk Islam sedangkan aku memiliki 8 (delapan) istri. Lalu aku menemui Nabi dan menceritakan hal tersebut. Nabi bersabda : pilihlah dari mereka 4 (empat) istri”.
Dalam riwayat lainnya yaitu Ahmad (Musnad 2/83), Tirmidzi (Bab Nikah, 1128), Majah (Bab Nikah, 1953) dan Malik (Muwatta’, Talaq, 1243) dari Abdullah bin Umar menceritakan :
”Ghailan Al Tsaqofi masuk Islam sedangkan ia memiliki 10 (sepuluh) istri pada masa jahiliyah dan mereka semua ikut masuk Islam. Lalu Rasulullah menyuruhnya untuk memilih 4 (empat) istri dari 10 (sepuluh) istri tersebut (dan menceraikan 6 istri lainnya)”.

Sepanjang hayatnya, Nabi Muhammad lebih lama bermonogami dari pada berpoligami. Rumah tangga dengan istri pertama Khadijah binti Khuwailid RA berlangsung selama 28 tahun. Setelah 2 tahun sejak wafatnya Khadijah barulah beliau menikah dengan Aisyah RA kemudian berpoligami. Kehidupan monogami beliau dilakukan ditengah-tengah kehidupan masyarakat yang melakukan dan menganggap lumrah praktek poligami yang bebas tanpa batasan, juga masyarakat yang memandang rendah terhadap wanita.

F.             PRAKTEK POLIGAMI SEBELUM MASA KEMERDEKAAN
Gambaran mengenai praktek poligami dalam sejarah peradaban dunia sebagaimana yang telah diuraikan dalam sub bab sebelumnya, adalah sama adanya dengan gambaran praktek poligami di nusantara, yaitu poligami juga telah menjadi budaya pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, diantaranya pada masa kerajaan Mataram Kuno sekitar abad 8 Masehi dan kerajaan Majapahit pada abad 13 Masehi. Poligami pada masa tersebut yang memperbolehkan seorang raja ataupun petinggi kerajaan untuk memiliki istri lebih dari satu sebagai symbol kekuasaan, kejayaan dan kemasyhuran.
Raden Wijaya yang merupakan pendiri dan raja pertama kerajaan Majapahit memiliki 5 (lima) orang istri, yaitu Sri Parameswari, Dyah Dewi Tribhuwaneswari, Sri Mahadewi Dyah Dewi Narendraduhita, Sri Jayendradewi Dyah Dewi Prajnaparamitha, Sri Rajendradewi Dyah Dewi Gayatri, dimana keempat wanita ini merupakan putri dari Kertanegara. Sedangkan istri lainnya Indreswari berasal dari Sumatera.[19]
Agama Islam masuk ke nusantara melalui perdagangan yang berlangsung pada abad 7 sampai 12 Masehi. Buktinya adalah temuan arkeologi di Barus, Tapanuli Tengah. Claude Guillot salah seorang arkeolog dan sejarawan Perancis berhasil memetakan awal Islamisasi nusantara di Barus sejak abad ke-7 Masehi.[20]
Adapun hukum Islam baru diterapkan ketika kerajaan Islam berdiri pada abad ke-13 Masehi dengan berdirinya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Ketika itu hukum Islam yang berlaku bercampur dengan adat setempat sehingga menghasilkan hukum Islam yang lentur. Bukti yang ditemukan berupa Batu Bersurat Trengganu tahun 1303 Masehi yang isinya tentang hukum Islam mengenai maksiat.
Praktek poligami pada masa kerajaan Islam sudah memperhatikan ajaran dari agama Islam itu sendiri. Contohnya pada Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang merupakan keturunan langsung dari kerajaan Mataram Islam. Pada masa kerajaan tersebut terdapat beberapa karya sastra, diantaranya yang terkenal yaitu Serat Candrarini yang ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita pada masa pemerintahan Raja Sri Susuhunan Pakubuwono IX tahun 1860 Masehi, dimana pada karya sastra tersebut tertulis adanya praktek poligami.[21]
Selanjutnya perjalanan sejarah tentang praktek poligami pada masyarakat nusantara tidaklah lepas dari sejarah tentang berlakunya hukum Islam di nusantara, khususnya hukum tentang perkawinan. Pada masa penjajahan Belanda, masuklah hukum barat berupa Civil Law, yang turut mempengaruhi hukum-hukum yang berlaku pada waktu itu. Pada masa tersebut, hukum adat berlaku untuk semua orang Indonesia asli, sedangkan hukum Islam berlaku untuk semua orang Indonesia asli yang beragama Islam, mengenai beberapa bidang kehidupan mereka, meskipun resmi (menurut pasal 131 Indische Staatsregeling/Peraturan Ketatanegaraan Hindia Belanda) berlakunya hukum ini adalah sebagai hukum adat yang untuk bidang-bidang tersebut menganut hukum Islam.
Pada masa penjajahan tersebut rujukan bagi hukum Islam adalah kitab-kitab fiqih klasik maupun ajaran-ajaran Islam dari para Ulama. Pada tahun 1760 ditetapkan Compendium Freijer untuk mengatur hukum perkawinan dan waris menurut Islam yang dipakai oleh pengadilan Persatuan Kompeni Belanda di Hindia Timur. Kemudian dibentuk juga compendium lainya untuk Semarang dan Makassar.
Pada awalnya Belanda melalui VOC masuk ke Indonesia dengan membawa serta hukum negaranya untuk menyelesaikan masalah di antara mereka sendiri. Untuk lebih memantapkan posisinya, mereka berupaya pula untuk menundukkan masyarakat jajahannya pada hukum dan badan peradilan yang mereka bentuk. Namun pada kenyataannya badan peradilan bentukan Belanda ini tidak dapat berjalan, maka akhirnya Belanda membiarkan lembaga-lembaga asli yang ada dalam masyarakat terus berjalan, sehingga selama hampir 2 abad masa VOC hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam dalam masyarakat muslim berjalan sebagaimana mestinya.[22] Demikian pula dengan asas poligami sebagai bagian dari hukum perkawinan Islam dan budaya yang telah lama tumbuh di Indonesia sebelum Belanda datang.
Setelah masa VOC berakhir dan Inggris yang sempat menduduki Indonesia akhirnya mengembalikan kekuasannya pada pemerintah Hindia Belanda, terdapat usaha untuk mengganti dan menerapkan hukum di Indonesia dengan hukum Belanda. Hukum Islam pun direduksi dan pemerintah Hindia Belanda hanya mengakui hukum Adat yang berlaku untuk orang Indonesia asli.
Pemerintah Hindia Belanda pernah menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan Tercatat, yang mana salah satu isi pokoknya adalah perkawinan berdasarkan asas monogamy. Ordonansi ini direncanakan berlaku terhadap golongan penduduk beragama Islam juga, namun mendapat penolakan oleh kalangan ummat Islam karena isi ordonansi tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam. Hingga masa penjajahan berakhir, hukum perkawinan Islam masih tetap merujuk pada kitab-kitab fiqih dan para Ulama.

G.            PRAKTEK POLIGAMI PADA MASA KEMERDEKAAN
Praktek poligami setelah proklamasi kemerdekaan tetaplah ada. Bahkan presiden Soekarno yang merupakan Proklamator Kemerdekaan pun melakukan praktek perkawinan seperti ini.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, merupakan peraturan perundangan tentang perkawinan yang sifatnya menyeluruh bagi semua warga negara Indonesia baik yang beragama Islam maupun yang non muslim. Meskipun bersifat umum, undang-undang ini terbuka bagi praktek perkawinan menurut hukum Islam, karena menurut pasal 2 ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan berdasarkan hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.
Selain itu walaupun secara Nasional dan umum undang-undang ini menganut asas monogami, tapi sebagai konsekuensi dari pasal 2 ayat (1) di atas, bahwa pernikahan dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing, maka poligami sebagai salah satu asas dalam perkawinan Islam juga diakui dan diakomodir. Meski demikian, pengakuan dan kebolehan praktek poligami dalam undang-undang ini diatur dengan ketat untuk menghindari penyalahgunaan, serta untuk melindungi kepentingan wanita maupun laki-laki.
Selain undang-undang perkawinan, asas poligami juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu  Keputusan Bersama Ketua MA dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi. Meski demikian, ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang poligami pada dasarnya adalah sama, yaitu sesuai dengan ajaran Islam, selain itu terdapat penambahan ketentuan berupa syarat baik materil (alasan-alasan yang dapat diterima) maupun administratif untuk seorang lelaki berpoligami.
Selain dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, ketentuan tentang praktek poligami juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983  sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi PNS. Sama seperti Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, dalam peraturan pemerintah ini juga syarat poligami diberlakukan dengan alasan-alasan yang telah ditetapkan, ditambah beberapa syarat formil berupa prosedur administratif.

H.             TINJAUAN SEJARAH PRAKTEK POLIGAMI SECARA UMUM
Poligami adalah masalah-masalah kemanusiaan yang tua sekali hampir seluruh bangsa di dunia, sejak zaman dahulu kala tidak asing dengan poligami. Sejak dahulu kala poligami sudah dikenal orang-orang Hindu, bangsa Israel, Persia, arab Romawi, Babilonia, Tunisia, dan lain-lain.[23] Poligami dipraktekkan secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir kuno.[24]
Menurut Supardi Mursalin yang telah dikutip oleh Tihami, mengatakan, bangsa barat purbakala menganggap poligami sebagai suatu kebiasaan, karena dilakukan oleh raja-raja yang melambangkan ketuhanan sehingga orang banyak menganggapnya sebagai perbuatan suci.3
Lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri, suamilah yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas, para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.[25] Disinilah letak persoalan mendasar dari praktik poligami di jaman sebelum zaman Nabi Muhammad dimana tidak ada syarat berlaku adil bagi suami kepada para istrinya, sehingga poligami cendrung menjadi pemuas nafsu dari kaum pria dan di sisi lain adalah penindasan hak-hak perempuan. Dalam arti luas bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang lebih rendah sehingga harus menerima dan tunduk pada kemauan laki-laki tanpa ada ruang tawar, hal ini disebabkan karena tidak ada hukum yang mengatur mengenai syarat berlaku adil bagi laki-laki terhadap para istrinya ketika ia berpoligami.
Sebagaimana dijelaskan di paragraph di atas, sebenarnya sejak zaman sebelum Nabi Muhammad, poligami telah banyak dilakukan. Bedanya, pada zaman sebelum Rasulullah, suami bebas untuk menikah dengan berapapun banyak istri, akan tetapi pada zaman Rasulullah, Allah membatasinya dalam batasan jumlah maksimal empat orang istri.[26]
Ketika Islam datang, kebiasaan poligami itu tidak serta merta dihapuskan. Namun setelah ayat yang menyinggung soal poligami diwahyukan. Maka terjadilah perubahan yang radikal terkait praktik Poligami. Perubahan mendasar yang dilakuan berkaitan dengan dua hal:
1)       Pertama, membatasi jumlah bilangan istri hanya sampai empat. Sejumlah riwayat memaparkan pembatasan poligami tersebut diantaranya riwayat dari naufal bin Muawiyah. Ia berkata : “ketika aku masuk Islam, aku memiliki lima orang istri. Rasulullah berkata “Ceraikanlah yang satu dan pertahankan yang empat”. Pada riwayat lain Qais bin Tsabit berkata : “ketika aku masuk Islam aku punya deplapan istri. Aku menyampaikan hal tersebut kepada rasulullah dan beliau berkata “pilih dari mereka empat orang”.
2)       Kedua, menetapkan syarat yang ketat bagi poligami, yaitu harus mampu berlaku adil. Artinya, Islam meperketat syarat poligami sedemikian rupa sehingga kaum laki-laki tidak boleh lagi semena-mena terhadap istri mereka seperti sedia kala. Demikian juga dengan adanya Piagam Madinah yang ditulis Rasulullah setelah hijrah, yang mana dalam piagam tersebut mengatur hubungan sosial kemasyarakatan baik antar umat Islam maupun dengan umat agama lain ketika itu.


Dasar hukum batasan jumlah istri dalam poligami
Selain adanya batasan mengenai jumlah istri, Islam juga menetapkan syarat yang sangat ketat terhadap praktik poligami. Al-Maraghi dalam tafsirnya, yang terkenal dengan sebutan tafsir Al-maraghi, menyebutkan bahwa kebolehan berpoligami yang disebut pada surat An-Nisa ayat 3, merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat. Menurutnya, poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat, yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar membutuhkan, kemudian beliau mencatat kaidah fiqhi’yah, dar’u al mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-masalih. Pencatatan ini dimaksudkan, barangkali, untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk hati-hati dalam melakukan poligami.[27]
Lahir atau turunnya sebuah ayat dalam Al-Qur’an selalu dilatarbelakangi sebuah fenomena sejarah atau sebuah keadaan tertentu yang sedang berlangsung. Begitu juga dengan diturunkannya surat An-nisa ayat 3 yang turun setelah perang Uhud, ketika banyak pejuang Islam (mujahidin) yang gugur di medan perang. Sebagai konsekuensinya, banyak anak yatim dan janda yang ditinggal mati oleh ayah dan suaminya. Akibatnya banyak anak yatim yang terabaikan dalam kehidupan, pendidikan, dan masa depannya.[28] dalam hal ini lahirnya pembolehan untuk berpoligami adalah dalam konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda akibat korban perang.
Dari uraian tersebut dapatlah disimpulkan bahwa praktek poligami itu bukanlah berasal dari Islam. Islam datang justru hendak mengatur dan membatasi praktek poligami agar lebih manusiawi dengan menghormati harkat dan martabat perempuan. Bahkan fakta yang tidak bisa diabaikan bahwa Rasulullah lebih lama hidup dalam perkawinan monogami dari pada poligami.
Rasulullah berpoligami setelah istri pertamanya wafat. Rasulullah menjalani kehidupan perkawinan monogami dalam jangka waktu 28 tahun justru ditengah-tengah masyarakat yang membudayakan poligami tanpa batas dan merendahkan perempuan. Ini adalah sebagai jawaban terhadap serangan kaum feminis yang menuduh seakan Islam menindas kaum perempuan dengan adanya ketentuan poligami. Sebuah tinjauan sejarah telah menjawab bahwa tuduhan mereka itu tidaklah berdasar dan salah alamat.
Banyak kalangan memiliki anggapan bahwa praktek poligami dalam perkawinan merupakan ajaran Islam, sehingga poligami identik dengan Islam. Hal tersebut sangat logis mengingat hingga zaman sekarang ummat Islam masih mempraktekkan poligami, dan bahwa kitab suci agama Islam yaitu Al Quran mengatur khusus tentang praktek poligami, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat An Nisa ayat 3. Namun jika kita meninjau sejarah, ternyata poligami telah dipraktekkan jauh sebelum Islam datang. Sehingga anggapan bahwa poligami identik hanya dengan ajaran Islam adalah keliru.

I.                TINJAUAN SEJARAH PRAKTEK POLIGAMI DI INDONESIA
1.         Sebelum Kemerdekaan
Azas perkawinan sangat berkaitan erat dengan aturan-aturan hukum yang berlaku tentang perkawianan. Hampir sama dengan sejarah praktik poligami masa lampau di belahan dunia lain, Indonesia yang dulu dikenal dengan kerajaan-kerajan, praktek poligami juga telah ada, sebagaimana kitabaca dalam buku-buku sejarah bahwa raja-raja di kerjaan nusantara pada umumnya memiliki selir, yaitu wanita pendamping sang raja, selain dari permaisuri dan bertugas layaknya seorang istri terhadap raja.
Pada zaman Hindu, tumbuh beberapa kerajaan yang dipengaruhi oleh hukum Agama Hindu. Diantara kerajaan itu adalah kerajaan Sriwijaya, singosari dan kerjaan majapahit. Pada masa Majapahit hukum Adat mendapat tempat dalam pemberlakuan hukum di tengah masayarakat dikeranakan adanya pembagian tugas
Islam masuk ke Nusantara sekitar abad ke 7 masehi dan kemudian berkembang sehingga lahirlah kerajaan-kerajaan Islam. kerajaan-kerajaan Islam ini memberlakukan hukum Islam dalam kekuasaannya masing-masing, sehingga Hukum Islam menjadi sebuah kenyataan yang hidup dalam masyarakat di Nusantara kala itu. Hingga pada masa  kedatangan Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) di Indonesia, kedudukan hukum (keluarga) Islam telah ada di masyarakat sehingga diakui sepenuhnya oleh penguasa VOC.
Pada masa pemerintahan Belanda di Indonesia, Belanda menghimpun hukum Islam yang disebut dengan Compendium Freiyer, mengikuti nama penghimpunnya.[29] Kemudian membuat kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang, dan Makasar (Bone dan Gowa).[30] Ketika pemerintahan VOC berakhir, politik penguasa kolonial berangsur-angsur berubah terhadap hukum Islam.
Pada permulaan tahun 1937 Pemerintahan Hindia Belanda menyusun rencana pendahuluan Ordonansi Perkawinan tercatat (onwerpordonnantie op de ingeschrevern huwelijken) dengan pokok-pokok isinya sebagai berikut: Perkawinan berdasarkan asas monogami dan perkawinan bubar karena salah satu pihak meninggal atau menghilangselama dua tahun serta perceraian yang diputuskan oleh hakim.[31] Menurut rencana rancangan ordonansi tersebut hanya diperuntukkan bagi golongan orang Indonesia yang beragama Islam dan yang beragama Hindu, Budha, Animis. Namun rancangan ordonansi tersebut di tolak oleh organisasi Islam karena isi ordonansi mengandung hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam.

2.         Masa awal kemerdekaan
Praktek poligami setelah proklamasi kemerdekaan tetaplah ada. Bahkan presiden Soekarno yang merupakan Proklamator Kemerdekaan pun melakukan praktek perkawinan seperti ini. Hal ini seakan mengulang sejarah sejak zaman kuno, bahwa praktek poligami lumrah dilakukan lelaki yang berkuasa, jika pada zaman dahulu dilakukan oleh para Raja maka pada abad ke-20 Masehi juga termasuk oleh Presiden, intinya tetaplah sama yaitu mereka yang berkuasa.
Hal tersebut membuktikan bahwasanya sejarah poligami selalu berulang dalam tiap zamannya dan tidak pernah lenyap, meski pada abad tersebut gerakan feminism dan Hak Asasi Manusia yang diantaranya menuntut kesetaraan gender sudah tumbuh dengan suburnya.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah RI berusaha melakukan upaya perbaikan di bidang perkawinan dan keluarga melalui penetapan UU No: 22 Tahun 1946 mengenai Pencatatan Nikah, talak dan Rujuk bagi masyarakat beragama Islam.
Dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut diterbitkan Instruksi Menteri Agama No: 4 tahun 1946 yang ditujukan untuk Pegawai Pencatat Nikah (PPN). Instruksi tersebut selain berisi tentang pelaksanaan UU No: 22 Tahun 1947 juga berisi tentang keharusan PPN berusaha mencegah perkawinan anak yang belum cukup umur, menerangkan kewajiban-kewajiban suami yang berpoligami, mengusahakan perdamaian bagi pasangan yang bermasalah, menjelaskan bekas suami terhadap bekas istri dan anak-anaknya apabila terpaksa bercerai, selama masa idah agar PPN mengusahakan pasangan yang bercerai untuk rujuk kembali.[32]
Pada bulan Agustus 1950, Front Wanita dalam Parlemen, mendesak agar Pemerintah meninjau kembali peraturan perkawinan dan menyusun rencana undang-undang perkawinan. Maka akhirnya Menteri Agama membentuk Panitia Penyelidikan Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk. Maka lahirlah Peraturan Pemerintah (PP) No: 19 tahun 1952 yang memungkinkan pemberian tunjangan pensiun bagi istri kedua, ketiga dan seterusnya.[33]
Pada tanggal 6 Mei 1961, Menteri Kehakiman membentuk Lembaga Pembinaan Hukum Nasional yang secara mendalam mengajukan konsep RUU Perkawinan, sehingga pada tanggal 28 Mei 1962 Lembaga hukum ini mengeluarkan rekomendasi tentang asas-asas yang harus dijadikan prinsip dasar hukum perkawinan di Indonesia. Kemudian diseminarkan oleh lembaga hukum tersebut pada tahun 1963 bekerjasama dengan Persatuan Sarjana Hukum Indonesia bahwa pada dasarnya perkawinan di Indonesia adalah perkawinan monogami namun masih dimungkinkan adanya perkawinan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Serta merekomendasikan batas minimum usia calon pengantin.[34]

3.         Masa Menjelang Kelahiran UU Perkawinan
Pada tahun 1973 Fraksi Katolik di Parlemen menolak rancangan UU Perkawinan yang berdasarkan Islam. Konsep RUU Perkawinan khusus umat Islam yang disusun pada tahun 1967 dan rancangan 1968 yang berfungsi sebagai Rancangan Undang Undang Pokok Perkawinan yang di dalamnya mencakup materi yang diatur dalam Rancangan tahun 1967. Akhirnya Pemerintah menarik kembali kedua rancangan dan mengajukan RUU Perkawinan yang baru pada tahun 1973.[35]
Pada tanggal 22 Desember 1973, Menteri Agama mewakili Pemerintah membawa konsep RUU Perkawinan yang di setujui DPR menjadi Undang-Undang Perkawinan. Maka pada tanggal 2 Januari 1974, Presiden mengesahkan Undang-Undang tersebut dan diundangkan dalam Lembaran Negara No: 1 tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974.

4.         Masa Kelahiran UU Perkawinan
Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yang biasa kita kenal dengan Undang-Undang perkawinan Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang terbaik dibanding dengan sistem-sistem hukum yang pernah ada. Begitupun perdebatan panjang mengenai azas perkawinan Monogami dan Poligami dapt diketengahi dengan perbolehan Poligami dengan Syarat-syarat tertentu yang ketat.
Lahirnya UU Perkawinan merupakan hukum nasional. Pasal 66 UU No: 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam KUH Per, HOCI, Peraturan Perkawinan Campuran dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
Dalam Undang-Undang perkawinan di Indonesia pada dasarnya menganut asas monogami, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan untuk melakukan poligami, maka hukum dan juga agama dari yang bersangkutan mengizinkan seorang laki-laki beristri lebih dari seorang, yang demikian ini, perkawinannya hanya dapat dilakukan apabila telah memenuhi berbagai persyaratan yang telah ditentukan dan diputuskan oleh pengadilan.37
Dalam hal ini ada beberapa aturan atau Undang-Undang yang merupakan dasar dalam menentukan hukum dari poligami antara lain:
a)       Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Dalam UU No.1 Tahun 1974, yang berkaitan dengan poligami adalah pasal 3, 4 dan 5. Adapun bunyi pasal tersebut sebagai berikut:
Pasal 3 (1)
Pada asasnya seorang pria hanya boleh memiliki seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh memiliki seorang suami. (2) Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Pasal 4 (1)
Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: a. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Pasal 5 (1)
 Untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undangundang ini harus memenuhi syarat-syarat berikut: a. adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka. c. adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka
(2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian;atau apabila tidak ada kaber dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
b)       Kompilasi Hukum Islam Adapun pasal-pasal KHI yang memuat tentang poligami adalah pasal 55, 56, 57, dan 58.
Dalam pasal 55 menjelaskan bahwa adil terhadap istri dan anak-anak merupakan syarat utama untuk beristri lebih dari seorang. Dilanjutkan dengan pasal 56 yang menjelaskan bahwa seseorang yang hendak beristri lebih dari seorang harus mendapat izin dari pengadilan dan permohonan izin tersebut dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam bab viii PP No. 9 Tahun 1975. Apabila perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua tanpa izin dari pengadilan, maka statusnya tidak mempunyai kekuatan hukum. Kemudian pada pasal 57 menjelaskan bahwa pengadilan hanya dapat memberikan izin beristri lebih dari seorang apabila istri tidak dapat menjalankan kewajiban, istri mempunyai penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan tidak dapat memiliki keturunan, dan pada pasal 58 dijelaskan selain syarat-syarat yang ditentukan pada pasal sebelumnya haruslah memenuhi syarat-syarat yang telah dijelaskan pada UU No.1 Tahun 1974 dan PP No. 9 tahun1975. 40
c)       Peraturan Pemerintah RI Nomor 9 Tahun 1975. Pada Peraturan Pemerintahan RI Nomor 9 Tahun 1975 juga menjelaskan tentang dasar hukum kebolehan seseorang melakukan poligami. Diantaranya yaitu: Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan dalam hal ini terdapat pada pasal 40, setelah adanya pengajuan permohonan secara tertulis, dilanjutkan pada tahap selanjutnya yang terletak pada pasal 41 yaitu, yang harus dilakukan oleh pengadilan yaitu tahap pemeriksaan mengenai ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, alasan tersebut juga telah di uraikan pada UU No.1 Tahun 1974: 1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; 2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan 3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Selain itu pengadilan juga memeriksa ada atau tidaknya pernjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis, dengan syarat apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.

J.              KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam bab sebelumnya dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.         Praktek poligami dalam sejarah peradaban manusia merupakan sebuah praktek yang sudah ada sejak zaman dahulu (kuno), ditandai dengan adanya peninggalan, dan catatan-catatan dalam kitab agama samawi sebelum Islam datang. Pada masa kedatangan Islam, poligami tidaklah dihapuskan namun diatur dan dibatasi serta meningkatkan harkat dan martabat wanita. Jadi poligami itu bukanlah berasal dari ajaran Islam. Islam hanya mengatur praktek poligami agar manusiawi terutama terhadap kaum wanita.
2.         Praktek poligami di nusantara pada zaman kerajaan sudah ada dan lazim. Pada masa kerajaan Islam, prakte poligami diatur dan dibatasi sesuai dengan ajaran Islam. Hukum Islam dimana didalamnya terdapat ajaran praktek poligami tetap ada dan hidup dalam masyarakat Islam pada masa penjajahan Belanda. Hingga akhirnya pada masa kemerdekaan kodifikasi terhadap hukum perkawinan dimana juga turut mengakomodir tentang hukum perkawinan Islam termasuk ketentuan poligami berhasil dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor I Tahun 1974 tentang Perkawinan.

K.             SARAN
1.         Perlunya memahami praktek poligami dengan pendekatan sejarah karena dengan melihat dari sejarah akan mendapatkan pemahaman yang komprehensif serta untuk menghilangkan kesalahpahaman tentang poligami dan Islam seabgaimana yang dituduhkan oleh sebagian kalangan;
2.         Perlunya campur tangan Negara secara administratif demi menghindari praktek poligami yang keliru yang seringnya merugikan kaum wanita dan anak-anak.

L.              DAFTAR PUSTAKA
BUKU:
Abdul Mustaqim, 2008, Paradigma Tafsir Feminis, Yogyakarta: Logung Pustaka.
Abdurrahman Ghazaly, 2003, Fiqih Munakahat, cet.I, Jakarta: Prenada Media.
Abdurrahman I Doi, 1992, “Perkawinan dalam Syari’at Islam, Syari’at The Islamic Law”, terjemahan Basri Aba Asghary dan Wadi Masturi, Jakarta: Rineka Cipta.
_________________, 1990, Inilah Syari’ah Islam TerjemahanThe Islamic Law, Usman Efendi dan Abdul Khaliq, Jakarta: PustakaPanji.
________________, 1996, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ahmad Rofiq, 2006, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : PT.Raja Grafindo.
Almaraghi, 1963, Tafsir Al-Maraghi, Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi.
Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.
Deliar Noer, 1983, Administrasi Islam di Indonesia, Bandung: Rajawali.
Emeritus John Glissen dan Emeritus Frits Gorle, 2011, Sejarah Hukum; Suatu Pengantar, cet. Ke-5, Jakarta: Refika Aditama.
Hasan Shadily, 1994, Ensiklopedi Indonesia,  Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project.
Huzaimah Tahido Yanggo, 2010, Fikih Perempuan Kontemporer, Bogor: Ghalia Indonesia.
Karam Hilmi Farhat, 2007, Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, Jakarta: Darul Haq.
Khoiruddin Nasution, 1996, Riba dan Poligami, Yogyakarta: Academia.
M. Ilham Marzuq, 2009, Poligami Selebritis, Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka April.
MA. Tihami dan Sohari Sahrani, 2010, Fikih Munakahat, Jakarta: Rajawali Press.
Muchtar Luthfi, 2015, Kapita Selekta Hukum, Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Muhammad Bagir al-Habsyi, 1999, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran, as-Sunah, dan Pendapat Para Ulama, Bandung: Mizan Media Utama.
Muhammad Rasyid Ridha, 1992, Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar Keberadaan Wanita’ terjemahan Hukuukal Marah al-Muslimah, Abd. Harris Rifa’i dan M. Nur Hakim, Surabaya: Pustaka Progresif.
Syafiq Hasyim, 2001, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, Bandung: IKAPI.
Tihami, 2010, Fikih Munakahah, Jakarta: Rajawali Pers.
W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka.

ARTIKEL DAN MAJALAH:
Ach. Faisol, “Perubahan Sosial Dalam Praktek Poligami Di Indonesia Perspektif Analisis Teori Faktor Independen Neil J. Smelser”, Jurnal Ilmiah Vicratina, Volume 10, No. 2 Nopember 2016, hlm.3.
Muhammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982, hlm. 101.

INTERNET:
Anonym, Kesusastraan Kasunanan Hadiningrat, http://www.kerajaannusantara.com, akses pada 08 Nopember 2017.
Risa Herdahita Putri, Penerapan Hukum Islam di Nusantara, www.indonesianshariawacth.or.id, 8 April 2017, diakses pada 7 Nopember 2017.



[1] Huzaimah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hlm. 139.
[2] Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2008), hlm. 13.
[3] Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terpikirkan tentang Isu-Isu Keperempuanan dalam Islam, (Bandung: IKAPI, 2001), hlm. 159.
[4] Muchtar Luthfi, Kapita Selekta Hukum, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2015), hlm. 101.
[5] Karam Hilmi Farhat, Poligami Dalam Pandangan Islam, Nasrani dan Yahudi, (Jakarta: Darul Haq, 2007), hlm. 5.
[6] MA. Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 352.
[7]  Muhammad Bagir al-Habsyi, Fiqih Praktis Menurut Al-Quran, as-Sunah, dan Pendapat Para Ulama, (Bandung: Mizan Media Utama, 1999), hlm. 90. 
[8] Abdurrahman I Doi, Inilah Syari’ah Islam TerjemahanThe Islamic Law, Usman Efendi dan Abdul Khaliq, (Jakarta: PustakaPanji, 1990), hlm. 207 .
[9] Abdurrahman I Doi, “Perkawinan dalam Syari’at Islam, Syari’at The Islamic Law”, terjemahan Basri Aba Asghary dan Wadi Masturi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hlm. 43. 
[10] Abdurrahman I Doi, Karakteristik Hukum Islam dan Perkawinan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 259. 
[11] Muhammad Rasyid Ridha, Jawaban Islam Terhadap Berbagai Keraguan Seputar Keberadaan Wanita’ terjemahan Hukuukal Marah al-Muslimah, Abd. Harris Rifa’i dan M. Nur Hakim, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1992), hlm.78. 
[12] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2006) , hlm. 904.
[13] Hasan Shadily, Ensiklopedi Indonesia,  (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve dan Elsevier Publishing Project, 1994), hlm. 2736.
[14] Abdurrahman Ghazaly, Fiqih Munakahat, cet.I, (Jakarta: Prenada Media, 2003) , hlm. 129.
[15] Muhammad Baghir al Habsyi, Loc. Cit,  hlm. 90.
[16] Code Hammurabi terekam dalam sejarah hukum hampir utuh (hanya beberapa pasal yang hilang) dan berasal dari sumber aslinya. Meskipun tahun yang pasti ditulisnya Code Hammurabi ini masih menjadi perdebatan, tetapi kira-kira tahunnya adalah di sekitar 1800 SM. Ada yang berpendapat bahea Code Hammurabi dibuat disekitar tahun 2000 SM, bahkan tahun 2400 SM. Lihat Munir Fuady, Sejarah Hukum, cet. Ke- 2, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2013), hlm.57.
[17] Munir Fuady, Ibid, hlm. 66.
[18] Emeritus John Glissen dan Emeritus Frits Gorle, Sejarah Hukum; Suatu Pengantar, cet. Ke-5, (Jakarta: Refika Aditama, 2011), hlm. 61. Selain itu, terdapat juga kewajiban janda untuk melanjutkan perkawinan dengan kakak laki-laki mendiang suaminya(leviraatshuwelyk/kawin ipar; atau kewajiban janda mengikuti suaminya kedalam kematian; penyerahan anak laki-laki dari anak perempuan kepada ayah dari perempuan tersebut yang tidak memiliki anak laki-laki; dan adanya harta milik bersama keluarga dengan tidak memasukkan hak anak perempuan.
[19] Ach. Faisol, “Perubahan Sosial Dalam Praktek Poligami Di Indonesia Perspektif Analisis Teori Faktor Independen Neil J. Smelser”, Jurnal Ilmiah Vicratina, Volume 10, No. 2 Nopember 2016, hal.3.
[20]Risa Herdahita Putri, Penerapan Hukum Islam di Nusantara, www.indonesianshariawacth.or.id , 8 April 2017, diakses pada 7 Nopember 2017 jam 00.20 WIB,  http://indonesianshariawatch.or.id/2017/04/08/penerapan-hukum-islam-di-nusantara/
[21] Serat Candrarini ditulis atas perintah Sri Susuhunan Pakubuwono IX sebagai ajaran untuk kaum perempuan dan merupakan sastra etik didaktik wanita dalam lingkungan hidup berpoligami agar perkawinannya langgeng. Pada masa itu, poligami memang sedang marak di lingkungan Kasunanan Surakarta Hadiningrat, dimana banyak lelaki, dari pejabat tinggi sampai rakyat biasa menjalankan hidup berpoligami. Lihat Anonym, Kesusastraan Kasunanan Hadiningrat, http://www.kerajaannusantara.com, akses pada 08 Nopember 2017 jam 11.25 WIB, http://www.kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/serat-candrarini
[22] Ahmad Rofiq ,  Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta : PT.Raja Grafindo, 2006),  hlm. 49-50.
[23] Tihami, Fikih Munakahah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 352.
[24] Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, hlm. 45.
[25] Tihami, Fikih Munakahah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 354.
[26] M. Ilham Marzuq, Poligami Selebritis, (Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka April 2009), hlm. 5.
[27] Almaraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir: Musthafa Al-Babi Al-Halabi, 1963), hlm. 181.
[28] Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, (Yogyakarta: Academia, 1996), hlm. 85.
[29] Arso Sosroatmodjo dan A. Wait Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang), hlm. 11.
[30] Muhammad Daud Ali, “Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Indonesia”, dalam Pembangunan no 2 Tahun ke XII, Maret 1982, hal. 101
[31] Nani Suwondo, Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum dan Masyarakat, hal. 77
[32] Ibid, hlm. 78-79.
[33] Indriaswari Dyah Saptaningrum, Sejarah UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Pembakuan Peran Gender, dalam Perspektif Perempuan, hlm. 53.
[34] R. Soetedjo Prawirohamidjojo, Pluralisme Dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, hlm. 18
[35] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, (Bandung: Rajawali, 1983), hlm. 98.

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...