DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN
HUKUM PIDANA DAN PENERAPANNYA DALAM SISTEM RESTORATIVE
JUSTICE
Oleh:
Roli
Pebrianto, SH )*
)* Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah
Jakarta, e-mail: rolipebrianto11@gmail.com
A.
Prolog
Indonesia
merupakan negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Negara hukum yang dimaksud
adalah negara yang mengakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel).[1]
Dengan demikian, maka konsekuensinya
hukum harus dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan
menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.
Secara
umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat
bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang
tidak bertentangan dengan hukum (due
process of law).[2]
Pada
implementasinya penegakan hukum sebagai law
in action tidak selamanya mampu mengakomodasi semua nilai yang terdapa
dalam hukum. Nilai tersebut keberadaannya dapat saling bertentangan, sehingga
hubungan antar nilai seringkali mengalami ketegangan (Spannungs Verhaltinis). Pada masyarakat demokrasi yang memiliki
rasa keadilan hukum yang tinggi, penegakan hukum yang tidak mengakomodasi
nilai-nilai di dalam hukum ini akan menuai koreksi. Legalitas hukum yang formal
dapat dipersalahkan secara sosial apabila rasa keadilan masyarakat tidak
mendapatkan tempatnya dalam penegakan hukum.[3]
Selanjutnya,
Badrodin Haiti menyatakan bahwa:
“Penegak hukum wajib
mempedomani etika profesi penyidik untuk memberikan jaminan dan perlindungan
HAM, agar upaya paksa yang digunakan dalam penyidikan, tidak disertai
kesewenang-wenangan. Sehingga penyidikannya selain untuk projustitia juga
diarahkan untuk menyadarkan, mendidik dan membangun dengan mengimplementasikan
birokrasi yang adil.”[4]
Kepolisian
Negara Republik Indonesia (selanjutnya disingkat Polri) sebagai aparat penegak hukum terdepan dengan segala
aktivitas yang terjadi dalam masyarakat, khususnya mengenai masalah kejahatan
yang terjadi dalam masyarakat.[5]
Tugas dan tujuan kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang ini adalah
Undang-Undang administratif, yang mengatur tentang Kepolisian.
Peran Polri secara umum dikenal sebagai pemelihara Keamanan
dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) juga sebagai aparat penegak hukum dalam
wadah sistem peradilan pidana (Criminal
Justice System). Polisi adalah
aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat.
Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah
satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban
masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada
masyarakat”. Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara RI
bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat,
serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Polri
dalam menegakkan hukum dan keadilan dituntut tidak hanya sekedar menerapkan
aturan secara kaku berdasarkan aturan formal, tetapi juga harus memperhatikan
tujuan dan nilai-nilai di dalam hukum. Oleh karena itu Polri diharapkan
senantiasa kreatif dan inovatif.
Sebagai abdi negara, tugas pokok Polri
yang dirumuskan dalam
ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 diantaranya yaitu mampu
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan
perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.
Dalam kaitannya dengan tugas pokok Kepolisian
tersebut, terkandung makna bahwa terwujudnya keamanan dan ketertiban harus
tetap terpelihara. Peran Polri dalam mewujudkan situasi tersebut diimbangi
dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum, sekaligus memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kaitannya dengan penegakan hukum, anggota
Polri dituntut harus
melaksanakan tugasnya secara profesional dan proporsional, dimana anggota
Polri harus mampu melihat
dan mempertimbangkan tidak hanya aspek yuridis tetapi juga aspek sosiologis.
Bertindak profesional berarti pelaksanaan tugas harus
dilakukan sesuai aturan, ketentuan dan prosedur. Sedangkan bertindak
proporsional, berarti anggota Polri harus mampu mempertimbangkan berbagai aspek
sebelum melakukan tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas, jangan sampai
tindakan yang dilakukan walaupun sudah sesuai dengan prosedur, justru
menimbulkan permasalahan yang lebih besar bahkan menimbulkan stigma negatif
kepada Polri.
Penyelenggaraan
fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi. Artinya, dalam menjalankan
tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian
di bidang teknis kepolisian. Mark Finlay
dan Ugljeza Zvekic mengatakan
bahwa “kegiatan Polisi adalah pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan
kejahatan serta peradilan pidana pada hampir seluruh konteks sosial-budaya.”[6]
Oleh
karena tugas yang berat itu ditambah dengan semakin berkembangnya masyarakat,
ilmu pengetahuan, dan teknologi yang secara otomatis modus operandi dan teknik
kejahatan yang semakin canggih, maka setiap anggota Polri dituntut untuk lebih
profesional dalam menegakkan hukum.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, penyidik diberi
kewenangan untuk melaksanakan diskresi kepolisian, yaitu melakukan tindakan
berdasarkan penilaiannya sendiri yang didasarkan kepada untuk kepentingan umum,
memperhatikan peraturan perundangan serta kode etik profesi, dilakukan dalam
keadaan yang sangat mendesak, memperhatikan manfaat dan resiko yang akan
terjadi serta bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama,
kesusilaan, kesopanan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta mengutamakan
tindakan pencegahan. Tindakan diskresi kepolisian ini juga biasa dikenal dengan
nama tindakan Represif Non Justisiil yang dilaksanakan berdasarkan asas Pligmatigheid.[7]
Dengan
kata lain, diskresi Kepolisian dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat
Polisi untuk memilih melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan lain yang
tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, namun berdasarkan
penilaiannya harus melakukan tindakan itu. Diskresi membolehkan seorang Polisi
untuk memilih diantara berbagai peran, taktik, ataupun tujuan dalam pelaksanaan
tugasnya.
Pada
tataran implementasidilapangan, tindakan diskresi Polri dianggap berlebihan dan
bahkan dianggap menyalahgunakan wewenang sehingga menimbulkan stigma negatif
kepada institusi Polri. Misalnya pada kasuspenembakan anggota
Polisi terhadap mobil berisi satu keluarga di Lubuklinggau, Sumatera Selatan
bulan April 2017 yang lalu.
B.
Permasalahan
Berdasarkan
uraian diatas, maka terdapat permasalahan-permasalahan, yakni sebagai berikut:
1.
Bagaimana penerapan diskresi kepolisian dalam
sistem Restorative Justice?;
2.
Bagaimana mekanisme pengawasan dan
pengendalian terhadap kewenangan diskresi oleh Polri (penyidik) dalam upaya
penegakan hukum,mengingat masih banyak penerapan diskresi yang dinilai salah,
bahkan merupakan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang ?.
C.
Peran
POLRI Dalam Penegakan Hukum.
Terkait dengan peran Polri dalam
penegakan hukum, Polri diharapkan dapat menjadi subjek yang mampu menghidupkan
hukum.[8]
Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang baik adalah pemahaman atas
prinsip-prinsip yang di dalamnya berpangkal tolak pada prinsip penegakan hukum
yang baik, akan dapat diperoleh tolak ukur kinerja suatu penegakan hukum yakni
adanya suatu persinggungan dengan semua unsur prinsip penegakan hukum yang
baik, mengacu pada prinsip demokrasi, legitimasi, akuntabilitas, perlindungan
HAM, kebebasan transparansi, pembagian kekuasaan, dan kontrol masyarakat.[9]
Dengan keberadaan
penyidik-penyidik Polri yang menjalankan proses penegakan hukum (law in action), aturan hukum yang
tertulis dalam buku (law in book)
menjadi berguna dan memberikan dampak nyata secara tegas, baik terhadap seluruh
masyarakat, maupun kepada pelanggar hukum agar dapat menimbulkan efek jera dan
tidak mengulangi perbuatannya.[10]
Peran Polri secara normatif juga diatur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan pemahaman
penyelidikan.[11] Maka dapat diketahui
bahwa penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, melainkan
merupakan sub fungsi dan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan
yang dilakukan di lingkungan Polri dikenal sebagai suatu kegiatan Reserse,
yaitu suatu metode atau cara, kegiatan yang mendahului tindakan upaya paksa
yang dilakukan dalam penyelidikan, yakni suatu rangkaian penangkapan,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemanggilan, dan lain-lain. Sebelum
dilakukan tindakan penyidikan, maka perlu dilakukan tindakan penyelidikan yang
dilakukan oleh pejabat penyelidik, dengan tujuan untuk mengumpulkan bukti
permulaan yang cukup, agar dapat dilakukan tindak lanjut berupa penyidikan.[12]
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian
adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan
dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.[13]
D.
Konsep
Diskresi Kepolisian
Diskresi adalah wewenang yang
diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian
dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri.[14]Diskresi
secara singkat dapat dipahami sebagai suatu lembaga/pranata dalam hukum berupa
suatu kebijakan yang dilakukan oleh seorang penguasa dalam menjalankan
kekuasaaan atau kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada orang tersebut.[15]
Dalam Kamus Hukum, pengertian
diskresi adalah “menurut kebijaksanaan, atau menurut wewenang atau kekuasaan,
yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada ketentuan undang-undang”.[16]Dalam
bahasa sederhana yang digunakan sehari-hari, diskresi diartikan sebagai
“kemungkinan menentukan sendiri keputusan yang diambil dari beberapa
kemungkinan sebagai alternatif”.[17]
Dalam konteks kepolisian, Police Discreation yang diterjemahkan
sebagai diskresi kepolisian sering diartikan sama dengan penyampingan perkara.
Keadaan sebenarnya tidaklah sepenuhnya sama seperti demikian. Hal ini dapatlah dimaklumi
mengingat cakupan tugas polisi tidak hanya terbatas menangani perkara,
melainkan juga meliputi tugas-tugas pencegahan dalam rangka memelihara
keamanan, ketertiban, dan bahkan dalam rangka perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan masyarakat.[18]
Menurut James Q. Wilson (1978), diskresi ada hubungannya dengan penilaian
petugas atas untung rugi (costs and
benefits) dari berbagai tindakan.[19]Menurut
Thomas J. Haron dalam bukunya The Control of Police, “discretion” diartikan,
“discretion is power authority conferred by law to action on the basic of
judgment or conscience, and its use is more on idea of morals then law”.[20]
E.
Sumber
Hukum Diskresi POLRI
Diskresi Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Dalam Pasal 16 ayat
(1) huruf l UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa Polisi mengadakan “tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab”.[21]Selanjutnya,
dalam Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002 dijelaskan bahwa:
(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara
Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaaan yang sangat perlu dengan
memperhatikan perturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian
Negeara Republik Indonesia.
Hal tersebut diatas mengandung maksud bahwa seorang anggota Polri yang
melaksanakan tugasnnya di tengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil
keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap
ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya bagi ketertiban dan
keamanan umum, dimana tindakan ini harus memperhatikan
ketentuan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Profesi Polri.
Selanjutnya,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), juga mengatur tentang diskresi yang berhubungan dengan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana, dalam hal ini menunjuk adanya tindakan lain
berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan antara lain, dalam Pasal 5
ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP, memberikan wewenang kepada Penyelidik untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum
yang bertanggungjawab. Hal yang sama juga berlaku bagi Penyidik
sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP.
F.
Diskresi
POLRI dan Penerapannya Dalam Sistem Restorative
Justice
Restorative Justice merupakan
salah satu bentuk konkret diskresi kepolisian.[22]
Dikatakan demikian karena pendekatan yang digunakan dalam Restorative Justice adalah pendekatan solusi.[23]Penegakan
hukum dengan pendekatan restorative
justice akan menghilangkan dampak negatif penegakan hukum secara
konvensional, sehingga penegakan hukum akan lebih efisien, membuka banyak ruang
untuk pembelajaran sosial, meningkatkan kohesi (daya ikat) di masyarakat, dan
pada akhirnya akan mewujudkan keadilan yang subtantif dan ketertiban
ditengah-tengah masyarakat.[24]
Sebagaimana
dikemukakan diatas, pengembangan penerapan sistemRestorative Justice, sangat memberi peluang dilakukannya penerapan
diskresi kepolisian dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan di
masyarakat melalui alternatif pemecahan diluar jalur hukum yang lebih efektif.
Namun untuk mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan kewenangan,
penerapan harus disertai dengan mekanisme pengendalian dan pengawasan yang
ketat oleh para pimpinan terhadap para petugas pelaksana.[25]
Restorative Justice
dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu yang menimbulkan kerugian materi
dengan nominal kecil yang dilakukan oleh:
1) Anak dibawah
umur;
2) Orang tua
renta;
3) Masyarakat
marjinal yang terpaksa melakukan kejahatan tersebut karena desakan pemenuhan
kebutuhan hidup akibat kemiskinannya;[26]
Dalam
hal melakukan penyelesaian perkara diluar peradilan, dapat ditempuh dua cara
sebagai berikut:
1)
Apabila
perkaranya belum dilaporkan secara resmi kepada polisi (belum diterbitkan
laporan polisi). Pada kondisi ini, penyelesaian akan lebih mudah dengan
melibatkan pihak-pihak yang berhubungan dengan pihak-pihak yang berperkara
melakukan perundingan untuk menyelesaikan masalahnya hingga menemukan
kesepakatan.
Polri
dapat terlibat dalam proses perundingan sebagai penengah atau mediator pada
kedua belah pihak. Untuk mewadahi kegiatan ini, Polri telah melaksanakan
perpolisian masyarakat yang bertujuan untuk mengoptimalkan kehadiran anggota
Polri agar berperan dalam kehidupan masyarakat. Polmas yang bertujuan untuk
membangun kemitraan dan pemecahan masalah sangat sejalan digunakan untuk menyelesaikan
permasalahan kecil di masyarakat, sehingga pihak yang bersengketa tidak perlu
menyelesaikannya melalui jalur hukum. Pelaksanaannya dapat dilakukan di
forum-forum yang dibentuk terkait dengan Polmas (FKPM) atau menggunakan lembaga
yang terdapat di masyarakat (RT/RW atau lembaga adat, lembaga agama, dll) atau
bahkan di kantor Polisi terdekat saat dibuat laporan Polisi.
2)
Perkara
telah dilaporkan secara resmi kepada Polri (telah diterbitkan laporan polisi).
Terhadap perkara yang telah dilaporkan kepada polisi, baik yang sudah
ditindaklanjuti dengan penyidikan ataupun yang belum dilakukan penyidikan,
penyidik dapat memfasilitasi kedua pihak untuk menyelesaikan permasalahannya
tanpa melalui proses peradilan. Apabila
kedua belah pihak telah sepakat berdamai, maka mereka membuat pernyataan
kesepakatan berdamai untuk menyelesaikan kasusnya dan selanjutnya pelapor
mencabut laporannya dan keterangannya sebagai saksi. Dengan dasar ini, menjadi
landasan penyidik untuk tidak melanjutkan penyidikan.[27]
Berdasarkan
Pasal 109 ayat (2) KUHAP, Polri memiliki kewenangan menghentikan penyidikan
apabila:
1)
Tidak cukup bukti;
2)
Peristiwa bukan tindak pidana;
3)
Dihentikan demi hukum.
Dicabutnya
laporan dan keterangan korban sebagaimana disebutkan diatas berdampak
padapenyidikan tidak dapat memperoleh bukti yang cukup, sehingga penyidik dapat
menghentikan penyidikan. Dalam penerapannya, syarat yang harus dipenuhi guna
melaksanakan restorative justice
adalah:
1) Penyidik
meyakini bahwa alternatif tersebut benar-benar tepat diambil dan diperlukan
untuk penyelesaian terbaik dengan mengedepankan asas keseimbangan;
2) Keputusan
diambil tidak bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan
profesi, patut dan masuk akal berdasarkan pertimbangan yang layak dan
menghormati HAM;
3) Telah ada
kesepakatan damai antara pihak-pihak terkait dengan peristiwa pidana yang
terjadi yang dikuatkan dalam surat pernyataan dengan disetujui tokoh-tokoh
masyarakat terkait;
4) Adanya
persetujuan pihak korban dan keluarganya;
5) Tidak didasari
keinginan atau iming-iming imbalan sesuatu kepada penyidik;
6) Diputuskan
oleh atasan penyidik sesuai tingkat kesatuannya;
7) Harus
dilakukan melalui mekanisme gelar perkara yang melibatkan atasan penyidik,
pengawas penyidik dan fungsi pengawas internal, seperti Propam dan Itwasum,
sesuai tingkat kesatuan penyidik.[28]
Berdasarkan
hal-hal yang diuraikan diatas, perlu diuraikan disini bahwa Kapolri telah
mengeluarkan Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember
2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif
Dispute Resolution (ADR), yang pada pokoknya mengatur hal-hal berikut:
1. Mengupayakan
penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya
dapat diarahkan melalui konsep ADR;
2. Penyelesaian
kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yg
berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai
dengan prosedur hukum yg berlaku secara profesional dan proporsional;
3. Penyelesaian
kasus pidana yg menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan
harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT RW setempat;
4. Penyelesaian
kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma hukum sosial / adat
serta memenuhi azas keadilan;
5. Memberdayakan
anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada di wilayah masing-masing untuk
mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil
kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR;
6. Untuk kasus
yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi di sentuh oleh
tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.
G.
Batasan
Diskresi POLRI Serta Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian.
Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur
tentang diskresi yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana, dalam hal ini menunjuk adanya tindakan lain berdasarkan hukum yang
dapat dipertanggung jawabkan antara lain, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka
4Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, memberikan wewenang kepada Penyelidik dan
penyidik untuk mengadakan tindakan
lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Hal yang sama juga diatur
dalam Pasal 16 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia. Adapun "tindakan lain" ini dibatasi dengan syarat :
a. Tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum.
b. Selaras dengan
kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
c.
Tindakan
itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatanya;
d. Atas
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e. Menghormati
hak asasi manusia.[29]
Dengan
demikian, maka batasan diskresi kepolisian dalam rangka penegakan hukum
(penyelidikan dan penyidikan) ialah sebagaimana yang diatur dalam penjelasan
pasal 5 ayat (1) huruf a angka jo. pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP dan Pasal 16
ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kemudian,
mengenai mekanisme penyidikan, mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap
kewenangan diskresi dalam rangka penegakan hukum, menurut Penulis harus
melibatkan para perwira-perwira jika tindakan diskresi itu dilakukan oleh
seorang bawahan atau Bintara, dan perwira yang lebih tinggi pangkatnya jika
tindakan diskresi itu dilakukan oleh seorang perwira. Hal ini dimaksudkan agar
setiap anggota Polri (baik Bintara maupun Perwira) tidak sewenang-wenang dalam
memberikan diskresi, dan jangan sampai mencederai rasa keadilan masyarakat.[30]
H.
Epilog
Diskresi
kepolisian secara singkat dapat diartikan sama dengan penyampingan perkara oleh
Polri dalam tugas penegakan hukum. Diskresi kepolisian dalam KUHAP dan UU No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menggunakan kalimat “tindakan lain menurut hukum yang
bertanggungjawab”. Tindakan lain yang dimaksud ialah: (a) tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang
mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut, masuk akal, dan
termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d) pertimbangan yang layak berdasarkan
keadaan yang memaksa; dan (e) menghormati HAM. Hal ini sejalan dengan sistem Restorative Justice.
Sistem
Restorative Justice sangat memberi
peluang dilakukannya diskresi kepolisian dalam menyelesaikan berbagai
permasalah di masyarakat melalui alternatif pemecahan diluar jalur hukum yang
lebih efektif, yang dalam istilah lain dikenal sebagai Alternative Dispute Resolution/ADR.
Dalam
menerapkan diskresi kepolisian, tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan
atau penyalahgunaan kewenangan. Untuk itu, diperlukan mekanisme pengendalian
dan pengawasan yang melibatkan atasan penyidik, pengawas penyidik, dan fungsi
pengawas internal seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Div. Propam) dan
Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum).
KEPUSTAKAAN
BUKU:
Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Aryanto Sutadi, et.al, 2012, Diskresi Kepolisian Dalam Tinjauan Hukum Dan Implementasinya Di
Lapangan, Jakarta:Komisi Kepolisian Nasional.
Kunarto, et.al, 1988, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat; Tinjauan Lintas Budaya,
Jakarta: Cipta Manunggal.
M. Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh
Polisi, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Rantawan Djanim, 2016, Diskresi dan Penegakan Hukum, dalam Syaiful Bakhri, Dari “Hukum Publik” Ke “Hukum Publik”,Ragam
Pembangunan Hukum Nasional, Yogyakarta: Total Media.
Syaiful Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana
Indonesia, Yogyakarta: Total Media.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan
Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
MAKALAH:
Badrodin Haiti,“Peranan Polri Dalam Penegakan
Hukum Di Wilayah Republik Indonesia”, Naskah Kapolri Sebagai Pembicara Di
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 15 September 2015.
[1] Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan
Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Cetakan
Kesebelas, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012), hlm. 68.
[2]Ibid.
[3] Badrodin
Haiti, “Peranan Polri Dalam Penegakan Hukum Di Wilayah Republik Indonesia”,
Naskah Kapolri Sebagai Pembicara Di Fakutas Hukum Universitas Muhammadiyah
Jakarta Tanggal 15 September 2015, hlm 1.
[4]Ibid, hlm. 2.
[5] Syaiful
Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam
Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Total Media,
2010), hlm. 121.
[6] Kunarto, et.al,
Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat;
Tinjauan Lintas Budaya, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1988), hlm. 3.
[7] Badrodin
Haiti, Op. Cit, hlm. 4.
[8]Ibid.
[9] Syaiful
Bakhri, Op. Cit, hlm. 104.
[10] Badrodin Haiti, Op. Cit.
[11] Pasal 1 angka
5 KUHAP menyatakan bahwa: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik
untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak
pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut tata
cara yang diatur dalam undang-undang ini.
[12] Syaiful
Bakhri, Op. Cit, hlm. 124.
[13] Pasal 4: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan
untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan
dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” Pasal 5
ayat (1) :” Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang
berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum,
serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.
[14]Ibid, hlm. 25.
[15] Rantawan
Djanim, Diskresi dan Penegakan Hukum,
dalam Syaiful Bakhri, Dari “Hukum Publik”
Ke “Hukum Publik”,Ragam Pembangunan Hukum Nasional, (Yogyakarta: Total Media, 2016), hlm. 355.
[16] Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
1986), hlm. 152.
[17]Ibid.
[18] Aryanto
Sutadi, et.al, Diskresi Kepolisian Dalam
Tinjauan Hukum Dan Implementasinya Di Lapangan, (Jakarta:Komisi Kepolisian
Nasional, 2012), hlm. 39.
[19]Ibid.
[20] Thomas J.
Haron dalam Faal. M, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, (Jakarta:
PT. Pradnya Paramita, 1991), hlm. 16.
[21] Pasal 16 ayat
(2), menyatakan bahwa: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi
syarat sebagai berikut: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b)
selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;
(c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d)
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan (e) menghormati
HAM.
[22] Hal ini
dikarenakan mencuatnya complaint
masyarakat atas kinerja penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Polri.
Pada prinsipnya, Restorative Justice
dapat dilakukan pada tahap penyelidikan atau penyidikan atau sebelum tahap itu.
Selama ini, penegakan hukum menganut sitem Retributive
Justice, yakni sistem hukum yang berorientasi pada pelaku/offender dengan
memberikan pemidanaan sebagai balasan atas perbuatan pelaku. Lihat Aryanto
Sutadi, dkk, Op. Cit, hlm. 126.
[23] Pendekatan
solusi dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana (penyelesaian Alternative Dispute Resolution/ADR)
merupakan sistem yang baru, jika dibandingkan dengan sistem penyelesaian
perkara pidana melalui cara-cara yang konvensional (retributive justice). Lihat Badrodin Haiti, Op. Cit, hlm. 8.
[24]Ibid, hlm. 9-10.
[25] Aryanto
Sutadi, et.al, Op. Cit, hlm. 131.
[26]Ibid, hlm. 129.
[27]Ibid, hlm. 129-130.
[28]Ibid, hlm. 130.
[29] Penjelasan
pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP. Lihat juga
Pasal 16 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
[30] Lebih lanjut
lihat Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana dan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan Dan
Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik
Indonesia.