Senin, 16 April 2018

DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA DAN PENERAPANNYA DALAM SISTEM RESTORATIVE JUSTICE


DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA DAN PENERAPANNYA DALAM SISTEM RESTORATIVE JUSTICE


Oleh:
Roli Pebrianto, SH )*
)* Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Jakarta, e-mail: rolipebrianto11@gmail.com



A.        Prolog
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Negara hukum yang dimaksud adalah negara yang mengakkan supremasi hukum untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel).[1] Dengan demikian, maka konsekuensinya hukum harus dijadikan sebagai kerangka pijakan untuk mengatur dan menyelesaikan berbagai persoalan dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara hukum, kita melihat bekerjanya tiga prinsip dasar, yaitu supremasi hukum (supremacy of law), kesetaraan dihadapan hukum (equality before the law), dan penegakan hukum dengan cara yang tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).[2]
Pada implementasinya penegakan hukum sebagai law in action tidak selamanya mampu mengakomodasi semua nilai yang terdapa dalam hukum. Nilai tersebut keberadaannya dapat saling bertentangan, sehingga hubungan antar nilai seringkali mengalami ketegangan (Spannungs Verhaltinis). Pada masyarakat demokrasi yang memiliki rasa keadilan hukum yang tinggi, penegakan hukum yang tidak mengakomodasi nilai-nilai di dalam hukum ini akan menuai koreksi. Legalitas hukum yang formal dapat dipersalahkan secara sosial apabila rasa keadilan masyarakat tidak mendapatkan tempatnya dalam penegakan hukum.[3]
Selanjutnya, Badrodin Haiti menyatakan bahwa:
“Penegak hukum wajib mempedomani etika profesi penyidik untuk memberikan jaminan dan perlindungan HAM, agar upaya paksa yang digunakan dalam penyidikan, tidak disertai kesewenang-wenangan. Sehingga penyidikannya selain untuk projustitia juga diarahkan untuk menyadarkan, mendidik dan membangun dengan mengimplementasikan birokrasi yang adil.”[4]

Kepolisian Negara Republik Indonesia (selanjutnya disingkat Polri) sebagai aparat penegak hukum terdepan dengan segala aktivitas yang terjadi dalam masyarakat, khususnya mengenai masalah kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.[5] Tugas dan tujuan kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang ini adalah Undang-Undang administratif, yang mengatur tentang Kepolisian.
Peran Polri secara umum dikenal sebagai pemelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Kamtibmas) juga sebagai aparat penegak hukum dalam wadah sistem peradilan pidana (Criminal Justice System). Polisi adalah aparat penegak hukum yang langsung berhadapan dengan masyarakat dan penjahat.
Berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 2 Tahun  2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, “Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat”. Pasal 4 UU No.2 Tahun 2002 juga menegaskan “Kepolisian Negara RI bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib, dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”.
Polri dalam menegakkan hukum dan keadilan dituntut tidak hanya sekedar menerapkan aturan secara kaku berdasarkan aturan formal, tetapi juga harus memperhatikan tujuan dan nilai-nilai di dalam hukum. Oleh karena itu Polri diharapkan senantiasa kreatif dan inovatif.
Sebagai abdi negara, tugas pokok Polri yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 diantaranya yaitu mampu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.
Dalam kaitannya dengan tugas pokok Kepolisian tersebut, terkandung makna bahwa terwujudnya keamanan dan ketertiban harus tetap terpelihara. Peran Polri dalam mewujudkan situasi tersebut diimbangi dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum, sekaligus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kaitannya dengan penegakan hukum, anggota Polri dituntut harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan proporsional, dimana anggota Polri harus mampu melihat dan mempertimbangkan tidak hanya aspek yuridis tetapi juga aspek sosiologis.
Bertindak profesional berarti pelaksanaan tugas harus dilakukan sesuai aturan, ketentuan dan prosedur. Sedangkan bertindak proporsional, berarti anggota Polri harus mampu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum melakukan tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas, jangan sampai tindakan yang dilakukan walaupun sudah sesuai dengan prosedur, justru menimbulkan permasalahan yang lebih besar bahkan menimbulkan stigma negatif kepada Polri.
Penyelenggaraan fungsi kepolisian merupakan pelaksanaan profesi. Artinya, dalam menjalankan tugas seorang anggota Polri menggunakan kemampuan profesinya terutama keahlian di bidang teknis kepolisian. Mark Finlay dan Ugljeza Zvekic mengatakan bahwa “kegiatan Polisi adalah pelaksanaan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta peradilan pidana pada hampir seluruh konteks sosial-budaya.”[6]
Oleh karena tugas yang berat itu ditambah dengan semakin berkembangnya masyarakat, ilmu pengetahuan, dan teknologi yang secara otomatis modus operandi dan teknik kejahatan yang semakin canggih, maka setiap anggota Polri dituntut untuk lebih profesional dalam menegakkan hukum.
Berdasarkan ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002, penyidik diberi kewenangan untuk melaksanakan diskresi kepolisian, yaitu melakukan tindakan berdasarkan penilaiannya sendiri yang didasarkan kepada untuk kepentingan umum, memperhatikan peraturan perundangan serta kode etik profesi, dilakukan dalam keadaan yang sangat mendesak, memperhatikan manfaat dan resiko yang akan terjadi serta bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesusilaan, kesopanan, menjunjung tinggi hak asasi manusia, serta mengutamakan tindakan pencegahan. Tindakan diskresi kepolisian ini juga biasa dikenal dengan nama tindakan Represif Non Justisiil yang dilaksanakan berdasarkan asas Pligmatigheid.[7]
Dengan kata lain, diskresi Kepolisian dapat pula diartikan sebagai wewenang Pejabat Polisi untuk memilih melakukan atau tidak melakukan tindakan-tindakan lain yang tidak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, namun berdasarkan penilaiannya harus melakukan tindakan itu. Diskresi membolehkan seorang Polisi untuk memilih diantara berbagai peran, taktik, ataupun tujuan dalam pelaksanaan tugasnya.
Pada tataran implementasidilapangan, tindakan diskresi Polri dianggap berlebihan dan bahkan dianggap menyalahgunakan wewenang sehingga menimbulkan stigma negatif kepada institusi Polri. Misalnya pada kasuspenembakan anggota Polisi terhadap mobil berisi satu keluarga di Lubuklinggau, Sumatera Selatan bulan April 2017 yang lalu.

B.        Permasalahan
Berdasarkan uraian diatas, maka terdapat permasalahan-permasalahan, yakni sebagai berikut:
1.          Bagaimana penerapan diskresi kepolisian dalam sistem Restorative Justice?;
2.          Bagaimana mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap kewenangan diskresi oleh Polri (penyidik) dalam upaya penegakan hukum,mengingat masih banyak penerapan diskresi yang dinilai salah, bahkan merupakan penyimpangan atau penyalahgunaan wewenang ?.

C.        Peran POLRI Dalam Penegakan Hukum.
Terkait dengan peran Polri dalam penegakan hukum, Polri diharapkan dapat menjadi subjek yang mampu menghidupkan hukum.[8] Kunci utama dalam memahami penegakan hukum yang baik adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang di dalamnya berpangkal tolak pada prinsip penegakan hukum yang baik, akan dapat diperoleh tolak ukur kinerja suatu penegakan hukum yakni adanya suatu persinggungan dengan semua unsur prinsip penegakan hukum yang baik, mengacu pada prinsip demokrasi, legitimasi, akuntabilitas, perlindungan HAM, kebebasan transparansi, pembagian kekuasaan, dan kontrol masyarakat.[9]
Dengan keberadaan penyidik-penyidik Polri yang menjalankan proses penegakan hukum (law in action), aturan hukum yang tertulis dalam buku (law in book) menjadi berguna dan memberikan dampak nyata secara tegas, baik terhadap seluruh masyarakat, maupun kepada pelanggar hukum agar dapat menimbulkan efek jera dan tidak mengulangi perbuatannya.[10]
Peran Polri secara normatif juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menentukan pemahaman penyelidikan.[11] Maka dapat diketahui bahwa penyelidikan bukan merupakan fungsi yang berdiri sendiri, melainkan merupakan sub fungsi dan bagian yang tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan yang dilakukan di lingkungan Polri dikenal sebagai suatu kegiatan Reserse, yaitu suatu metode atau cara, kegiatan yang mendahului tindakan upaya paksa yang dilakukan dalam penyelidikan, yakni suatu rangkaian penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemanggilan, dan lain-lain. Sebelum dilakukan tindakan penyidikan, maka perlu dilakukan tindakan penyelidikan yang dilakukan oleh pejabat penyelidik, dengan tujuan untuk mengumpulkan bukti permulaan yang cukup, agar dapat dilakukan tindak lanjut berupa penyidikan.[12]
Berdasarkan Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.[13]

D.        Konsep Diskresi Kepolisian
Diskresi adalah wewenang yang diberikan hukum untuk bertindak dalam situasi khusus sesuai dengan penilaian dan kata hati instansi atau petugas itu sendiri.[14]Diskresi secara singkat dapat dipahami sebagai suatu lembaga/pranata dalam hukum berupa suatu kebijakan yang dilakukan oleh seorang penguasa dalam menjalankan kekuasaaan atau kewenangan yang diberikan oleh hukum kepada orang tersebut.[15]
Dalam Kamus Hukum, pengertian diskresi adalah “menurut kebijaksanaan, atau menurut wewenang atau kekuasaan, yang tidak atau tidak seluruhnya terikat pada ketentuan undang-undang”.[16]Dalam bahasa sederhana yang digunakan sehari-hari, diskresi diartikan sebagai “kemungkinan menentukan sendiri keputusan yang diambil dari beberapa kemungkinan sebagai alternatif”.[17]
Dalam konteks kepolisian, Police Discreation yang diterjemahkan sebagai diskresi kepolisian sering diartikan sama dengan penyampingan perkara. Keadaan sebenarnya tidaklah sepenuhnya sama seperti demikian. Hal ini dapatlah dimaklumi mengingat cakupan tugas polisi tidak hanya terbatas menangani perkara, melainkan juga meliputi tugas-tugas pencegahan dalam rangka memelihara keamanan, ketertiban, dan bahkan dalam rangka perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.[18] Menurut James Q. Wilson (1978), diskresi ada hubungannya dengan penilaian petugas atas untung rugi (costs and benefits) dari berbagai tindakan.[19]Menurut Thomas J. Haron dalam bukunya The Control of Police, “discretion” diartikan, “discretion is power authority conferred by law to action on the basic of judgment or conscience, and its use is more on idea of morals then law”.[20]

E.         Sumber Hukum Diskresi POLRI
Diskresi Kepolisian di Indonesia secara yuridis diatur pada UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.  Dalam Pasal 16 ayat (1) huruf l UU No. 2 Tahun 2002 disebutkan bahwa Polisi mengadakan “tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab”.[21]Selanjutnya, dalam Pasal 18 UU No. 2 Tahun 2002 dijelaskan bahwa:
(1)     Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
(2)     Pelaksanaan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaaan yang sangat perlu dengan memperhatikan perturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negeara Republik Indonesia.

Hal tersebut diatas mengandung maksud bahwa seorang anggota Polri yang melaksanakan tugasnnya di tengah-tengah masyarakat seorang diri, harus mampu mengambil keputusaan berdasarkan penilaiannya sendiri apabila terjadi gangguan terhadap ketertiban dan keamanan umum atau bila timbul bahaya bagi ketertiban dan keamanan umum, dimana tindakan ini harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan dan Kode Etik Profesi Polri.
Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), juga mengatur tentang diskresi yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, dalam hal ini menunjuk adanya tindakan lain berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan antara lain, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 KUHAP, memberikan wewenang kepada Penyelidik untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Hal yang sama juga berlaku bagi Penyidik sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP.

F.         Diskresi POLRI dan Penerapannya Dalam Sistem Restorative Justice
Restorative Justice merupakan salah satu bentuk konkret diskresi kepolisian.[22] Dikatakan demikian karena pendekatan yang digunakan dalam Restorative Justice adalah pendekatan solusi.[23]Penegakan hukum dengan pendekatan restorative justice akan menghilangkan dampak negatif penegakan hukum secara konvensional, sehingga penegakan hukum akan lebih efisien, membuka banyak ruang untuk pembelajaran sosial, meningkatkan kohesi (daya ikat) di masyarakat, dan pada akhirnya akan mewujudkan keadilan yang subtantif dan ketertiban ditengah-tengah masyarakat.[24]
Sebagaimana dikemukakan diatas, pengembangan penerapan sistemRestorative Justice, sangat memberi peluang dilakukannya penerapan diskresi kepolisian dalam rangka menyelesaikan berbagai permasalahan di masyarakat melalui alternatif pemecahan diluar jalur hukum yang lebih efektif. Namun untuk mencegah terjadinya penyimpangan ataupun penyalahgunaan kewenangan, penerapan harus disertai dengan mekanisme pengendalian dan pengawasan yang ketat oleh para pimpinan terhadap para petugas pelaksana.[25]
Restorative Justice dapat diterapkan pada kasus-kasus tertentu yang menimbulkan kerugian materi dengan nominal kecil yang dilakukan oleh:
1)       Anak dibawah umur;
2)       Orang tua renta;
3)       Masyarakat marjinal yang terpaksa melakukan kejahatan tersebut karena desakan pemenuhan kebutuhan hidup akibat kemiskinannya;[26]

Dalam hal melakukan penyelesaian perkara diluar peradilan, dapat ditempuh dua cara sebagai berikut:
1)         Apabila perkaranya belum dilaporkan secara resmi kepada polisi (belum diterbitkan laporan polisi). Pada kondisi ini, penyelesaian akan lebih mudah dengan melibatkan pihak-pihak yang berhubungan dengan pihak-pihak yang berperkara melakukan perundingan untuk menyelesaikan masalahnya hingga menemukan kesepakatan.
Polri dapat terlibat dalam proses perundingan sebagai penengah atau mediator pada kedua belah pihak. Untuk mewadahi kegiatan ini, Polri telah melaksanakan perpolisian masyarakat yang bertujuan untuk mengoptimalkan kehadiran anggota Polri agar berperan dalam kehidupan masyarakat. Polmas yang bertujuan untuk membangun kemitraan dan pemecahan masalah sangat sejalan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kecil di masyarakat, sehingga pihak yang bersengketa tidak perlu menyelesaikannya melalui jalur hukum. Pelaksanaannya dapat dilakukan di forum-forum yang dibentuk terkait dengan Polmas (FKPM) atau menggunakan lembaga yang terdapat di masyarakat (RT/RW atau lembaga adat, lembaga agama, dll) atau bahkan di kantor Polisi terdekat saat dibuat laporan Polisi.
2)         Perkara telah dilaporkan secara resmi kepada Polri (telah diterbitkan laporan polisi). Terhadap perkara yang telah dilaporkan kepada polisi, baik yang sudah ditindaklanjuti dengan penyidikan ataupun yang belum dilakukan penyidikan, penyidik dapat memfasilitasi kedua pihak untuk menyelesaikan permasalahannya tanpa melalui proses peradilan. Apabila kedua belah pihak telah sepakat berdamai, maka mereka membuat pernyataan kesepakatan berdamai untuk menyelesaikan kasusnya dan selanjutnya pelapor mencabut laporannya dan keterangannya sebagai saksi. Dengan dasar ini, menjadi landasan penyidik untuk tidak melanjutkan penyidikan.[27]

Berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP, Polri memiliki kewenangan menghentikan penyidikan apabila:
1)       Tidak cukup bukti;
2)       Peristiwa bukan tindak pidana;
3)       Dihentikan demi hukum.
Dicabutnya laporan dan keterangan korban sebagaimana disebutkan diatas berdampak padapenyidikan tidak dapat memperoleh bukti yang cukup, sehingga penyidik dapat menghentikan penyidikan. Dalam penerapannya, syarat yang harus dipenuhi guna melaksanakan restorative justice adalah:
1)       Penyidik meyakini bahwa alternatif tersebut benar-benar tepat diambil dan diperlukan untuk penyelesaian terbaik dengan mengedepankan asas keseimbangan;
2)       Keputusan diambil tidak bertentangan dengan hukum, selaras dengan kewajiban hukum dan profesi, patut dan masuk akal berdasarkan pertimbangan yang layak dan menghormati HAM;
3)       Telah ada kesepakatan damai antara pihak-pihak terkait dengan peristiwa pidana yang terjadi yang dikuatkan dalam surat pernyataan dengan disetujui tokoh-tokoh masyarakat terkait;
4)       Adanya persetujuan pihak korban dan keluarganya;
5)       Tidak didasari keinginan atau iming-iming imbalan sesuatu kepada penyidik;
6)       Diputuskan oleh atasan penyidik sesuai tingkat kesatuannya;
7)       Harus dilakukan melalui mekanisme gelar perkara yang melibatkan atasan penyidik, pengawas penyidik dan fungsi pengawas internal, seperti Propam dan Itwasum, sesuai tingkat kesatuan penyidik.[28]

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, perlu diuraikan disini bahwa Kapolri telah mengeluarkan Surat Kapolri No Pol : B/3022/XII/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR), yang pada pokoknya mengatur hal-hal berikut:
1.       Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR;
2.       Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yg berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yg berlaku secara profesional dan proporsional;
3.       Penyelesaian kasus pidana yg menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT RW setempat;
4.       Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma hukum sosial / adat serta memenuhi azas keadilan;
5.       Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR;
6.       Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi di sentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas.

G.        Batasan Diskresi POLRI Serta Mekanisme Pengawasan dan Pengendalian.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur tentang diskresi yang berhubungan dengan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, dalam hal ini menunjuk adanya tindakan lain berdasarkan hukum yang dapat dipertanggung jawabkan antara lain, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4Pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP, memberikan wewenang kepada Penyelidik dan penyidik untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab. Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 16 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Adapun "tindakan lain" ini dibatasi dengan syarat :
a.       Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum.
b.       Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan;
c.        Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatanya;
d.       Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa;
e.       Menghormati hak asasi manusia.[29]

Dengan demikian, maka batasan diskresi kepolisian dalam rangka penegakan hukum (penyelidikan dan penyidikan) ialah sebagaimana yang diatur dalam penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf a angka jo. pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP dan Pasal 16 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kemudian, mengenai mekanisme penyidikan, mekanisme pengawasan dan pengendalian terhadap kewenangan diskresi dalam rangka penegakan hukum, menurut Penulis harus melibatkan para perwira-perwira jika tindakan diskresi itu dilakukan oleh seorang bawahan atau Bintara, dan perwira yang lebih tinggi pangkatnya jika tindakan diskresi itu dilakukan oleh seorang perwira. Hal ini dimaksudkan agar setiap anggota Polri (baik Bintara maupun Perwira) tidak sewenang-wenang dalam memberikan diskresi, dan jangan sampai mencederai rasa keadilan masyarakat.[30]

H.        Epilog
Diskresi kepolisian secara singkat dapat diartikan sama dengan penyampingan perkara oleh Polri dalam tugas penegakan hukum. Diskresi kepolisian dalam KUHAP dan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menggunakan kalimat “tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab”. Tindakan lain yang dimaksud ialah: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan (e) menghormati HAM. Hal ini sejalan dengan sistem Restorative Justice.
Sistem Restorative Justice sangat memberi peluang dilakukannya diskresi kepolisian dalam menyelesaikan berbagai permasalah di masyarakat melalui alternatif pemecahan diluar jalur hukum yang lebih efektif, yang dalam istilah lain dikenal sebagai Alternative Dispute Resolution/ADR.
Dalam menerapkan diskresi kepolisian, tidak menutup kemungkinan adanya penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan. Untuk itu, diperlukan mekanisme pengendalian dan pengawasan yang melibatkan atasan penyidik, pengawas penyidik, dan fungsi pengawas internal seperti Divisi Profesi dan Pengamanan (Div. Propam) dan Inspektorat Pengawasan Umum (Itwasum).








KEPUSTAKAAN

BUKU:
Andi Hamzah, 1986, Kamus Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Aryanto Sutadi, et.al, 2012, Diskresi Kepolisian Dalam Tinjauan Hukum Dan Implementasinya Di Lapangan, Jakarta:Komisi Kepolisian Nasional.
Kunarto, et.al, 1988, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat; Tinjauan Lintas Budaya, Jakarta: Cipta Manunggal.
M. Faal, 1991, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Rantawan Djanim, 2016, Diskresi dan Penegakan Hukum, dalam Syaiful Bakhri, Dari “Hukum Publik” Ke “Hukum Publik”,Ragam Pembangunan Hukum Nasional,  Yogyakarta: Total Media.
Syaiful Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media.

PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN:
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.


MAKALAH:
Badrodin Haiti,“Peranan Polri Dalam Penegakan Hukum Di Wilayah Republik Indonesia”, Naskah Kapolri Sebagai Pembicara Di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta, 15 September 2015.




[1] Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,Cetakan Kesebelas, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR RI, 2012), hlm. 68.
[2]Ibid.
[3] Badrodin Haiti, “Peranan Polri Dalam Penegakan Hukum Di Wilayah Republik Indonesia”, Naskah Kapolri Sebagai Pembicara Di Fakutas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta Tanggal 15 September 2015, hlm 1.
[4]Ibid, hlm. 2.
[5] Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hlm. 121.
[6] Kunarto, et.al, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat; Tinjauan Lintas Budaya, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1988), hlm. 3.
[7] Badrodin Haiti, Op. Cit, hlm. 4.
[8]Ibid.
[9] Syaiful Bakhri, Op. Cit, hlm. 104.
[10] Badrodin Haiti, Op. Cit.
[11] Pasal 1 angka 5 KUHAP menyatakan bahwa: Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai suatu tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelidikan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini.
[12] Syaiful Bakhri, Op. Cit, hlm. 124.
[13] Pasal 4: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.” Pasal 5 ayat (1) :” Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”.
[14]Ibid, hlm. 25.
[15] Rantawan Djanim, Diskresi dan Penegakan Hukum, dalam Syaiful Bakhri, Dari “Hukum Publik” Ke “Hukum Publik”,Ragam Pembangunan Hukum Nasional,  (Yogyakarta: Total Media, 2016), hlm. 355.
[16] Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 152.
[17]Ibid.
[18] Aryanto Sutadi, et.al, Diskresi Kepolisian Dalam Tinjauan Hukum Dan Implementasinya Di Lapangan, (Jakarta:Komisi Kepolisian Nasional, 2012), hlm. 39.
[19]Ibid.
[20] Thomas J. Haron dalam Faal. M, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,  1991), hlm. 16.
[21] Pasal 16 ayat (2), menyatakan bahwa: Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut: (a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; (d) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan (e) menghormati HAM.
[22] Hal ini dikarenakan mencuatnya complaint masyarakat atas kinerja penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Polri. Pada prinsipnya, Restorative Justice dapat dilakukan pada tahap penyelidikan atau penyidikan atau sebelum tahap itu. Selama ini, penegakan hukum menganut sitem Retributive Justice, yakni sistem hukum yang berorientasi pada pelaku/offender dengan memberikan pemidanaan sebagai balasan atas perbuatan pelaku. Lihat Aryanto Sutadi, dkk, Op. Cit, hlm. 126.
[23] Pendekatan solusi dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana (penyelesaian Alternative Dispute Resolution/ADR) merupakan sistem yang baru, jika dibandingkan dengan sistem penyelesaian perkara pidana melalui cara-cara yang konvensional (retributive justice). Lihat Badrodin Haiti, Op. Cit, hlm. 8.
[24]Ibid, hlm. 9-10.
[25] Aryanto Sutadi, et.al, Op. Cit, hlm. 131.
[26]Ibid, hlm. 129.
[27]Ibid, hlm. 129-130.

[28]Ibid, hlm. 130.
[29] Penjelasan pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan pasal 7 ayat (1) huruf j KUHAP. Lihat juga Pasal 16 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[30] Lebih lanjut lihat Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana dan Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...