Oleh: Roli Pebrianto, S.H
I. PENGANTAR
Putusan
Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor:
547/Pid.Sus/2014/PN.Bls adalah putusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan
Negeri Bengkalis dalam perkara dugaan tindak pidana bidang lingkungan hidup dengan
Terdakwa PT. National Sago Prima (PT. NSP) yang diwakili oleh Pengurus/Kuasanya
ERIS ARIAMAN, SH. Terdakwa PT. NSP adalah Badan Hukum (Korporasi) yang bergerak
di bidang usaha Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, dan Pengangkutan. Pada
tingkat pertama, perkara ini diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan
Negeri Bengkalis dengan Putusan Nomor 547/Pid.Sus/2014/PN.Bls. Pengadilan Negeri
Bengkalis menyatakan Terdakwa PT. National Sago Prima tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Kesatu Primair,
Kesatu Subsidair, Kedua, Ketiga, dan Keempat. Oleh karena itu, maka Terdakwa
PT. NSP dibebaskan dari semua dakwaan a
quo.
Namun,
Pengadilan Negeri Bengkalis memutuskan (sebagaimana pada dakwaan kesatu lebih
subsidair) bahwa Terdakwa PT. NSP terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup”. Sehingga Pengadilan Negeri Bengkalis menjatuhkan
pidana denda sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan pidana
tambahan berupa kewajiban melengkapi sarana pencegahan dan penanggulangan
kebakaran sesuai dengan petunjuk standarisasi sarana pencegahan dan
penanggulangan kebakaran hutan dengan pengawasan Badan Lingkungan Hidup
Kabupaten Kepulauan Meranti dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
Kontroversi sehubungan dengan adanya perkara ini, ternyata menurut
sejumlah kalangan juga terlihat dalam putusan tersebut. Untuk mendapatkan
gambaran yang lebih jelas tentang hal ini serta mengingat begitu strategisnya
kasus ini, mendorong Anator untuk melakukan Anotasi terhadap putusan tersebut.
Untuk itu, dapat dikemukakan legal annotation sebagai
berikut.
II.
KASUS
POSISI
Terdakwa PT. NSP sebagai badan usaha yang
bergerak dibidang usaha Pertanian, Perindustrian, Perdagangan dan Pengangkutan
berdasarkan Akta No. 9 tanggal 10 Maret 2009. Kemudian berdasarkan Akta No. 71
tanggal 26 Juli 2010, Terdakwa PT. NSP mendirikan cabang Perseroan di Selat
Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau yang kegiatan usaha kantor
cabang a quo sama dengan kegiatan
kerja dengan kantor pusat.
Selanjutnya, areal PT. NSP pada awalnya
adalah areal dari PT. Timber and Forest Product dengan luas areal hutan
produksi seluas 21.260 (dua puluh satu ribu dua ratus enam puluh)
Hektar di Provinsi Riau,[1] sehingga
menjadi areal Terdakwa PT. NSP dengan luas areal yang sama.[2] Kemudian
berdasarkan Akta Nomor 71 tertanggal 26 Juli 2010 Terdakwa PT. NSP mendirikan
Cabang Perseroan di Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Kegiatan
usaha Kantor Cabang melakukan segala kegiatan kerja yang sama dengan kantor
pusat.
Areal Terdakwa PT NSP, semula berasal dari
areal PT. National Timber and Forest Product berdasarkan SK Menteri Kehutanan
Nomor: SK.380/Menhut- II/2009, tanggal 25 Juni 2009 Tentang Perubahan Atas
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.353/Menhut-II/2008 Tanggal 24 September
2008 Tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Hutan
Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman (Sagu) Kepada PT. National Timber And
Forest Product Atas Areal Hutan Produksi seluas ± 21.620 (dua puluh satu ribu
enam ratus dua puluh) Hektar di Provinsi Riau.
Pada tahun 2011 terhadap luasan areal
IUPHH-BK dalam Hutan Tanaman (Sagu) Terdakwa PT. NSP seluas ± 21.620 hektar
tersebut dilakukan penataan batas temu gelang sebagaimana laporan TBT No. 1536,
sehingga luasan konsesi terdakwa PT. NSP menjadi seluas 21.418 (dua puluh satu
ribu empat ratus delapan belas) hektar sesuai Keputusan Menteri Kehutanan RI
Nomor: SK-77/ Menhut-II/2013, tanggal 4 Februari 2013. Kemudian berdasarkan ketentuan
Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup : “Setiap usaha dan atau
kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan”,
dan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) jo. Lampiran I huruf c Bidang Pertanian
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012 Tentang Jenis
Rencana dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Amdal, yakni “jenis kegiatan yang wajib memiliki AMDAL adalah jenis kegiatan
budidaya tanaman pangan dengan atau tanpa unit pengolahannya skala / besaran ≥
2000 ha”.
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, PT.
NSP dengan luas Areal Hutan Produksi seluas ± 21.620 (dua puluh satu ribu enam
ratus dua puluh) hektar wajib memiliki AMDAL dan Izin Lingkungan. Namun, dalam
melakukan kegiatannya, Terdakwa PT. NSP menggunakan Analisis Dampak Lingkungan
(AMDAL) PT. National Timber and Forest Product. Dengan kata lain, AMDAL PT. National
Timber and Forest Product hanya milik PT. National Timber and Forest Product
karena pemrakarsanya adalah PT. National Timber and Forest Product. Terdakwa
PT. NSP tidak melakukan prakarsa untuk merevisi AMDAL PT. National Timber and
Forest Product menjadi milik PT. NSP, karena sesungguhnya PT. NSP belum
memiliki AMDAL.
Pembukaan lahan dengan cara Land Clearing pada areal Terdakwa PT.
NSP telah diserahkan kepada PT. Nuansa Pertiwi dan PT. Sumatera Multi Indah
sejak bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Desember 2013 dengan luas lebih
kurang 7.000 hektar. Selanjutnya, pada tanggal 31 Januari 2014, saksi Suparno
ditelpon oleh saksi Padumaan Siregar agar kembali ke lokasi PT. NSP untuk
memadamkan api. Hingga tanggal 5-6 Maret 2014 kebakaran di areal PT. NSP sudah
mencapai 2.200 hektar dan api juga membakar areal kebun masyarakat.
Berdasarkan Hasil pengamatan lapangan dan analisa sampel
tanah di laboratorium oleh Ahli Dr. Ir. Basuki
Wasis, M.SI menunjukan bahwa memang benar pada
lokasi penelitian memang TELAH TERJADI
PERUSAKAN TANAH dan LINGKUNGAN akibat kebakaran hutan dan lahan di PT. National Sago Prima, sehingga
terjadi kerusakan lingkungan sifat
kimia tanah karena telah masuk kriteria baku kerusakan (PP Nomor : 4
tahun 2001) untuk parameter subsidence pH tanah, C organic, dan nitrogen tanah.
Hasil analisa tanah menunjukan bahwa tanah telah terbakar dan terjadi kerusakan lingkungan sifat biologi
tanah karena telah masuk kriteria baku kerusakan (PP Nomor : 4 tahun
2001) untuk total mikroorganisme, total fungsi dan respirasi tanah.
Hasil analisa tanah menunjukan bahwa memang tanah telah
terbakar dan telah terjadi kerusakan
lingkungan sifat fisik tanah, karena telah masuk kriteria baku kerusakan
(PP Nomor: 4 tahun 2001) untuk porositas dan bobot isi tanah. Selanjutnya,
hasil pengamatan lapangan dan analisa vegetasi dan fauna (biota tanah)
menunjukkan bahwa memang tanah tersebut terbakar dan telah terjadi kerusakan lingkungan aspek flora dan fauna karena
telah masuk kriteria baku kerusakan (PP Nomor: 4 tahun 2001) untuk keragaman
spesies dan populasi.
Hasil analisa tanah menunjukan bahwa memang tanah tersebut
dibakar hal tersebut ditunjukan terjadinya peningkatan kadar Ca, dan Mg tanah. Terdakwa PT. NSP sengaja membiarkan terjadinya
kebakaran pada petak-petak yang terbakar tersebut dan tidak melindungi areal kegiatan
usaha dari
ancaman bahaya kebakaran sehingga kebakaran yang terjadi di lahan areal IUPHH-BK PT.
NSP telah
mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
fungsi lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia
Nomor 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan
dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Selain itu, Terdakwa PT. NSP tidak
mengantisipasi dan atau tidak melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk
mencegah terjadinya kebakaran lahan tersebut, mengingat kondisi areal tersebut
sensitif terhadap ancaman kemungkinan terjadinya kebakaran apalagi pada saat
itu situasi setempat cuaca kering dan minim hujan, sehingga menyebabkan
terjadinya kebakaran lahan yang telah menimbulkan pencemaran udara dan/atau
kerusakan fungsi ingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 4 tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran
Lingkungan Hidup.
Bahwa kebakaran diareal terdakwa PT NSP tersebut diatas,
juga mencapai reparian dengan kondisi tanaman kayu-kayu (pohon alam) seluas 130
ha yang seharusnya dipertahankan sebagai sekat bakar dari luas reparian
keseluruhan 550 ha. Selain itu, Terdakwa PT NSP dalam melakukan kegiatan
perkebunan dilokasi
kanal dan jalan yang berada diluar areal konsesi yang termasuk dalam kawasan
hutan IUPHHBK-HTI
tersebut tanpa izin dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Terdakwa
tidak memiliki AMDAL. Bahwa dengan tidak
dimilikinya AMDAL
atau UKL-UPL atas nama PT. NSP, maka pada tanggal 10
Juni 2014, PT. NSP mengajukan revisi/perubahan AMDAL sebagaimana surat PT. NSP Nomor: 273/NSP/VI/14/RO/GC tanggal 10 Juni 2014 yang ditujukan kepada Kepala
Badan Lingkungan
Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti dengan tembusannya antara lain kepada
Bupati Kepulauan Meranti. Dengan demikian semakin memperkuat dan mempertegas
sesungguhnya Terdakwa
PT NSP memang tidak memiliki AMDAL atau UKL-UPL apalagi Izin Lingkungan sejak awal melaksanakan kegiatan perkebunannya, karena Izin Lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan
kelayakan lingkungan
hidup atau rekomendasi
UKL-UPL.
III.
TENTANG
DAKWAAN JAKSA/PENUNTUT UMUM
Berdasarkan uraian pada kasus posisi
diatas, maka Jaksa/Penuntut Umum mendakwa Terdakwa PT. NSP dengan dakwaan
sebagai berikut:
1.
Kesatu:
Pada dakwaan kesatu Jaksa/Penuntut Umum mendakwa PT. NSP
dengan dakwaan berbentuk subsidiaritas, yakni sebagai berikut:
·
Primair: Perbuatan
Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo.
Pasal 69 ayat (1) huruf h jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
·
Subsidair:
: Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 98 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 32
Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
·
Lebih
Subsidair: Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam Pasal 99 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.
Kedua:
Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 50 ayat (3) huruf d jo. Pasal 78 ayat (3), (14), Undang-Undang RI Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3.
Ketiga:
Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 92
ayat (2) huruf a jo. Pasal 17 ayat (2) huruf Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun
2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
4.
Keempat:
Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal
109 jo pasal 36 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor
32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
IV.
PENENTUAN
UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
A. Unsur-Unsur
Tindak Pidana Pada Dakwaan Kesatu:
1. Unsur-unsur
tindak pidana pada dakwaan kesatu Primair.
Bahwa Terdakwa telah didakwa dengan dakwaan sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h jo.
Pasal 116 ayat (1) huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009, yang unsur-unsurnya ialah
sebagai berikut:
a. Unsur
setiap orang;
b. Unsur
melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.
2. Unsur-unsur
tindak pidana pada dakwaan kesatu Subsidair.
Bahwa Terdakwa telah didakwa dengan dakwaan sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 98 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf
a UU Nomor 32 Tahun 2009, yang unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a. Unsur
setiap orang;
b. Unsur
dengan sengaja melakukan perbuatan;
c. Unsur
yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
3. Unsur-unsur
tindak pidana pada dakwaan kesatu Lebih Subsidair.
Bahwa Terdakwa telah didakwa dengan dakwaan sebagaimana
diatur dan diancam pidana dalam Pasal 98 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf
a UU Nomor 32 Tahun 2009, yang unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a. Unsur
setiap orang;
b. Unsur
karena kelalaiannya;
c. Unsur
yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku
mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
B. Unsur-unsur
tindak pidana pada Dakwaan Kedua:
Pada dakwaan Kedua, Terdakwa PT. NSP didakwa dengan
dakwaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d
jo. Pasal 78 ayat (3), (14), UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang
unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a. Unsur
setiap orang;
b. Unsur
dengan sengaja;
c. Unsur
membakar hutan.
C. Unsur-unsur
tindak pidana pada Dakwaan Ketiga:
Pada dakwaan Ketiga, Terdakwa PT. NSP didakwa dengan
dakwaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 92 ayat (2) huruf a
jo. Pasal 17 ayat (2) huruf UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan, yang unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a. Unsur
korporasi;
b. Unsur
melakukan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan;
c. Unsur
tanpa izin Menteri.
D. Unsur-unsur
tindak pidana pada Dakwaan Keempat:
Pada dakwaan Keempat, Terdakwa PT. NSP didakwa dengan
dakwaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 109 jo pasal 36 ayat
(1) jo pasal 116 ayat (1) huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009, yang unsur-unsurnya
ialah sebagai berikut:
a. Unsur
setiap orang;
b. Unsur
yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan.
V. TENTANG
PERTIMBANGAN HUKUM MENGENAI TERBUKTINYA DAKWAAN KESATU LEBIH SUBSIDAIR
Dalam pertimbangannya pada halaman 186,
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis yang memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara a quo menyatakan
bahwa:
“Menimbang bahwa oleh karena seluruh unsur pasal dalam
dakwaan Kesatu Lebih Subsidair telah terpenuhi maka terhadap terdakwa haruslah
dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup”
Bahwa sebagaimana pertimbangan tersebut, Anator akan menganalisis satu persatu
Pertimbangan Majelis Hakim mengenai unsur-unsur delik/delict bestanddelen dari dakwaan Kesatu Lebih Subsidair pada uraian
berikutnya.
A. Pertimbangan Hukum Mengenai “Unsur Setiap
Orang”
Dalam pertimbangan hukum Majelis
Hakim mengenai unsur “Setiap Orang” pada halaman 171-172 menyatakan bahwa:
“Menimbang, bahwa unsur setiap
orang merujuk kepada subjek hukum pelaku tindak pidana yang mana atas tindak
pidana yang dilakukannya orang tersebut secara jasmani maupun rohani dapat
bertanggungjawab.
Menimbang, bahwa dalam
perkembangannya, definisi setiap orang telah mengalami perluasan, dimana tidak lagi hanya mengandung pengertian orang sebagai manusia atau
individu tapi juga termasuk Badan Usaha, yang mana telah pula dimuat dalam beberapa
peraturan perundang-undangan, dimana khusus pada perkara aquo, dalam pasal 1 angka 32 UU RI No.
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan
bahwa Setiap Orang adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan
hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Menimbang,
bahwa dengan memperhatikan Pasal 116 ayat (1) huruf a berbunyi “tindak pidana
lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau nama badan usaha, tuntutan pidana dan
sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha”, maka dalam perkara ini yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sebuah badan usaha.”
Terhadap pertimbangan Majelis Hakim
sebagaimana telah diuraikan diatas, menurut Anator sudah tepat. Hal ini
dikarenakan perkembangan hukum pidana, terutama menyangkut subjek hukum pidana,
dimana subjek hukum pidana tidak hanya manusia (naturlijk person) tetapi juga badan hukum/korporasi (recht person). Sehingga sebagai subjek
hukum pidana, tentunya korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas
tindak pidana yang dilakukannya. Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat
pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban pidana
korporasi, yakni: a) pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang
bertanggung jawab; b) korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung
jawab; dan korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.[3]
Selain itu korporasi sebagai subjek
hukum pidana dan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, juga dikarenakan
ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan bahwa korporasi menjadi sbjek
hukum pidana. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan Majelis Hakim a quo, yakni: ....memperhatikan
Pasal 116 ayat (1) huruf a berbunyi “tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau nama
badan
usaha,
tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha”, maka dalam perkara ini yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sebuah badan usaha.
Dengan
demikian, menurut hemat Anator unsur “Setiap Orang” sebagaimana pertimbangan
Majelis Hakim a quo telah terpenuhi. Selanjutnya, untuk menentukan bahwa unsur dakwaan Lebih Subsider
telah terpenuhi, Anator akan menganalisis unsur selanjutnya, yakni unsur
“karena kelalaiannya.”
B. Pertimbangan Hukum Mengenai Unsur “Karena Kelalaiannya”
Dalam pertimbangannya pada halaman 173 mengenai unsur “karena
kelalaiannya”, Majelis Hakim a quo,
menggunakan pendapat Van Hamel yang menyatakan bahwa kealpaan itu mengandung
dua syarat yaitu:
1. Tidak
mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum
2. Tidak
mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Dalam pertimbangannya pula sebagaimana pada halaman 177, Majelis Hakim a quo berpendapat bahwa bentuk kelalaian/kealpaan
Terdakwa adalah Terdakwa tidak dapat mengendalikan kebakaran dalam waktu
singkat.
“...majelis
berpendapat bahwa upaya penanggulangan kebakaran di areal konsensi milik
terdakwa tidak dapat dikendalikan sejak dini dalam waktu singkat oleh terdakwa”
Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim a quo, menurut hemat Anator, Majelis Hakim a quo telah keliru dalam menentukan kelalaian/kealpaan Terdakwa.
Berdasarkan fakta-fakta persidangan, penyebab awal terjadinya kebakaran ialah
karena pembakaran yang dilakukan oleh saksi Sendi (mantan karyawan PT. NSP) di
petak H29, dikarenakan sakit hati dengan Citra selaku staf bidang keuangan PT.
NSP karena tidak memberikan pinjaman uang kepadanya sebesar RP. 1.000.000,00,-
(satu juta rupiah).
Dengan demikian, menurut hemat Anator kebakaran yang terjadi di Areal PT.
NSP tidak ada hubungannya dengan PT. NSP selaku korporasi, sehingga tidak ada actus reus/kausalitas/sebab perbuatan
PT. NSP yang mengakibatkan kebakaran. Melainkan, kebakaran itu sengaja
dilakukan oleh Sendi (mantan karyawan PT. NSP) karena motif sakit hati tidak
diberikan pinjaman uang oleh Citra sebagai staf keuangan PT. NSP.
Sehingga menurut Anator, unsur “karena kelalaiannya” PT. NSP tidak
terbukti. Karena sebagaimana terungkap di persidangan bahwa tidak pernah ada
perintah dari Terdakwa PT. NSP untuk membuka lahan dengan cara membakar.
Sehingga unsur kelalaian PT. NSP selaku perusahaan dalam hal ini tidak
terbukti. Selanjutnya, Anator akan menganalisis pertimbangan Majelis Hakim
mengenai unsur “mengkibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu
air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”
C. Pertimbangan Hukum Mengenai Unsur “mengkibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau
kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”
Dalam pertimbangan hukumnya pada halaman
182 mengenai Unsur “mengkibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu
air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,”
Majelis Hakim pada perkara ini berpangkal tolak dari keterangan Ahli Prof. Dr.
Ir. Bambang Hero Sahardjo, M.Agr dan Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si, yang
menyatakan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangannya dipersidangan dan
Surat Keterangan ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Sahardjo, M.Agr.,
melakukan penelitian dan melakukan pengambilan
sample di lokasi kebakaran diareal konsesi
terdakwa pada 14 (empat belas) titik yang diberi kode Plot-1 s/d Plot-14
dengan kesimpulan pada pokoknya:
1. Perusahaan telah melakukan kegiatan penyiapan lahan dengan
cara pembakaran secara sistematis dan terencana melalui pembiaran
terhadap terjadinya kebakaran;
2. Pergerakan Hotspot yang terus bergerak dari hari kehari
memastikan
pengendalian oleh terdakwa nyaris tidak dilakukan
karena sarana dan prasarana yang kurang;
3. Bahwa kebakaran tersebut telah merusak lapisan permukaan
gambut sehingga akan menggangu keseimbangan ekosistem dilahan bekas
terbakar tersebut;
4. Bahwa selama kebakaran gas-gas rumah kaca yang dilepaskan
terbukti
telah melewati batas ambang sehingga akibatnya terjadi
pencemaran terhadap lingkungan yang tidak dapat
dicegah;
5. Dalam rangka pemulihan lahan gambut melalui pemberian kompos
dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memfungsikan faktor
ekologis yang hilang dibutuhkan biaya sebesar
Rp.1.046.018.923.000,00;”
“Menimbang, bahwa ahli Dr. Ir Basuki Wasis M.Si dalam
Surat keterangannya dan keterangannya dalam bagian kesimpulan menyatakan bahwa
pada pokoknya: bahwa berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisa sampel
tanah dilaboratorium menunjukkan bahwa benar telah terjadi kerusakan tanah dan
lingkungan akibat kebakaran yang meliputi kerusakan sifat kimia tanah, sifat
biologi tanah, sifat fisik tanah dan aspek flora dan fauna berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001;”
Pada pertimbangan hukum selanjutnya pada
halaman 185 dan 186 Majelis Hakim menyatakan bahwa:
“Menimbang, bahwa oleh karena kelalaian yang dilakukan oleh
terdakwa dilakukan
oleh orang yang bertindak dan untuk atas nama terdakwa dalam rangka hubungan kerja dimana
menurut hemat majelis di dalam perseroan terdapat mekanisme pelaporan sehingga pihak-pihak
dalam korporasi haruslah dianggap mengetahui tentang ada tidaknya suatu perbuatan atau
pembiaran terhadap satu keadaan sehingga terwujud satu kebijakan korporasi,
maka apabila hal ini dikaitkan dengan kelalaian sebagaimana yang telah majelis
pertimbangkan diatas maka terdakwa dapat diminta pertanggungjawabannya;”
Dengan demikian, menurut hemat Anator,
Majelis Hakim menggunakan doktrin strict
liability untuk mempertanggungjawabkan Terdakwa PT. NSP. Menurut Chairul
Huda, doktrin Strict liability
merupakan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan
kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan.[4]
Lebih lanjut, Chairul Huda menyatakan bahwa:
“....Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan
membuktikan telah dilakukannya tidak pidana. Dengan demikian, fungsi utama strict liability adalah berkenaan dengan
hukum acara, dan bukan hukum pidana materiil.
...Strict
liability dalam pertanggunjawaban pidana lebih merupakan persoalan
pembuktian, yaitu kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur
delik”[5]
Berdasarkan pendapat tersebut,
menurut Anator Majelis Hakim telah keliru dengan menerapkan doktrin strict liability dalam
mempertanggungjawabkan Terdakwa PT. NSP. Sebagaimana terugkap dalam fakta-fakta
di persidangan bahwa pembakaran tidak dilakukan oleh Terdakwa PT. NSP,
melainkan dilakukan oleh Saksi Sendi yang merupakan mantan karyawan PT. NSP
karena motif sakit hati. Jadi, tidak ada actus
reus antara perbuatan Terdakwa PT.NSP (dalam hal kegiatan perusahaan)
dengan terjadinya kebakaran. Dengan kata lain, kebakaran yang terjadi adalah
disebabkan bukan dari kegiatan perusahaan melainkan dilakukan oleh orang yang
bukan atas perintah perusahaan atau tidak memiliki kepentingan dengan
perusahaan.
Dengan demikian, maka unsur-unsur
dakwaan Kesatu Lebih Subsidair, menurut hemat Anator tidak terbukti. Pada
perkara ini, sangat jelas bahwa penegak hukum (Polsi, Jaksa, dan Hakim) telah
salah dalam hal mempertanggungjawabkan PT. NSP.
VI.
TENTANG
PEMIDANAAN
Dalam putusan ini, dakwaan Jaksa Penuntut
Umum yang terbukti berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim a quo yang teelah mempertimbangkan unsur-unsur dari tiap dakwaan,
ialah dakwaan Kesatu Lebih Subsidair. Sehingga Amar Putusan Majelis Hakim
menyatakan:
1. Menyatakan
Terdakwa PT. National Sago Prima tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Kesatu Primair, Kesatu
Subsidair, Kedua, Ketiga, dan Keempat;
2. Membebaskan
Terdakwa PT. National Sago Prima dari dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair,
Kedua, Ketiga, dan Keempat tersebut;
3. Menyatakan
Terdakwa PT. National Sago Prima tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan
dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
4. Menjatuhkan
pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp.
2.000.000.000,- (dua milyar rupiah);
5. Menjatuhkan
pidana tambahan terhadap terdakwa PT.National Sago Prima berupa kewajiban
melengkapi sarana pencegahan dan penanggulangan
kebakaran sesuai dengan petunjuk standarisasi
sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dengan pengawasan Badan
Lingkungan Hidup
Kabupaten Kepulauan Meranti dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;
Sebagaimana telah
diuraikan sebelumnya, menurut hemat Anator majelis hakim telah keliru dalam
menerapkan hukum dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT. NSP. Dengan melihat
ketentuan Pasal 183 KUHAP, maka putusan ini tidak tepat dijatuhkan kepada
Terdakwa PT NSP dimana tindak pidana (perbuatan pidana) yang didakwakan tidak
memenuhi seluruh unsur delik. Sebagaimana fakta persidangan bahwa pembakaran
yang dilakukan oleh Sendi bukan untuk dan atas nama perusahaan, melainkan hanya
karena hasrat pribadi dari saksi Sendi yang sakit hati karena tidak dipinjamkan
uang. Sehingga sekali lagi, perbuatan yang dilakukan oleh saksi Sendi bukan
perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama perusahaan.
[1]
Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.353/Menhut-II/2008 Tentang
Pemberian Izin Usaha Untuk Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Hutan
Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman (Sagu) Kepada PT. National Timber and
Forest Product..
[2]
Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.380/Menhut- II/2009 Tanggal
25 Juni 2009 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor :
SK.353/Menhut-II/2008 Tanggal 24 September 2008 Tentang Pemberian Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan
Tanaman (Sagu) Kepada PT. National Timber And Forest Product Atas Areal Hutan
Produksi Seluas ± 21.620 Hektar di Provinsi Riau.
[3] Muladi
dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban
Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 83.
[4]
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,
(Jakarta:Prenadamedia Group, 2006), hlm. 86.
[5] Ibid, hlm. 86-87.