Senin, 23 April 2018

ANOTASI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BENGKALIS NOMOR: 547/Pid.Sus/2014/PN.Bls Dalam Perkara Tindak Pidana Pembakaran Hutan atas nama Terdakwa PT. NATIONAL SAGO PRIMA (Diwakili Oleh Kuasanya: ERIS ARIAMAN, SH)


Oleh: Roli Pebrianto, S.H



I.    PENGANTAR
Putusan Pengadilan Negeri Bengkalis Nomor: 547/Pid.Sus/2014/PN.Bls adalah putusan yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Bengkalis dalam perkara dugaan tindak pidana bidang lingkungan hidup dengan Terdakwa PT. National Sago Prima (PT. NSP) yang diwakili oleh Pengurus/Kuasanya ERIS ARIAMAN, SH. Terdakwa PT. NSP adalah Badan Hukum (Korporasi) yang bergerak di bidang usaha Pertanian, Perindustrian, Perdagangan, dan Pengangkutan. Pada tingkat pertama, perkara ini diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Negeri Bengkalis dengan Putusan Nomor 547/Pid.Sus/2014/PN.Bls. Pengadilan Negeri Bengkalis menyatakan Terdakwa PT. National Sago Prima tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair, Kedua, Ketiga, dan Keempat. Oleh karena itu, maka Terdakwa PT. NSP dibebaskan dari semua dakwaan a quo.
Namun, Pengadilan Negeri Bengkalis memutuskan (sebagaimana pada dakwaan kesatu lebih subsidair) bahwa Terdakwa PT. NSP terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”. Sehingga Pengadilan Negeri Bengkalis menjatuhkan pidana denda sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah) dan pidana tambahan berupa kewajiban melengkapi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran sesuai dengan petunjuk standarisasi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dengan pengawasan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.
Kontroversi sehubungan dengan adanya perkara ini, ternyata menurut sejumlah kalangan juga terlihat dalam putusan tersebut. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang hal ini serta mengingat begitu strategisnya kasus ini, mendorong Anator untuk melakukan Anotasi terhadap putusan tersebut. Untuk itu, dapat dikemukakan legal annotation sebagai berikut.

II.      KASUS POSISI
Terdakwa PT. NSP sebagai badan usaha yang bergerak dibidang usaha Pertanian, Perindustrian, Perdagangan dan Pengangkutan berdasarkan Akta No. 9 tanggal 10 Maret 2009. Kemudian berdasarkan Akta No. 71 tanggal 26 Juli 2010, Terdakwa PT. NSP mendirikan cabang Perseroan di Selat Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau yang kegiatan usaha kantor cabang a quo sama dengan kegiatan kerja dengan kantor pusat.
Selanjutnya, areal PT. NSP pada awalnya adalah areal dari PT. Timber and Forest Product dengan luas areal hutan produksi seluas  21.260 (dua puluh satu ribu dua ratus enam puluh) Hektar di Provinsi Riau,[1] sehingga menjadi areal Terdakwa PT. NSP dengan luas areal yang sama.[2] Kemudian berdasarkan Akta Nomor 71 tertanggal 26 Juli 2010 Terdakwa PT. NSP mendirikan Cabang Perseroan di Panjang Kabupaten Kepulauan Meranti Provinsi Riau. Kegiatan usaha Kantor Cabang melakukan segala kegiatan kerja yang sama dengan kantor pusat.
Areal Terdakwa PT NSP, semula berasal dari areal PT. National Timber and Forest Product berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor: SK.380/Menhut- II/2009, tanggal 25 Juni 2009 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.353/Menhut-II/2008 Tanggal 24 September 2008 Tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman (Sagu) Kepada PT. National Timber And Forest Product Atas Areal Hutan Produksi seluas ± 21.620 (dua puluh satu ribu enam ratus dua puluh) Hektar di Provinsi Riau.
Pada tahun 2011 terhadap luasan areal IUPHH-BK dalam Hutan Tanaman (Sagu) Terdakwa PT. NSP seluas ± 21.620 hektar tersebut dilakukan penataan batas temu gelang sebagaimana laporan TBT No. 1536, sehingga luasan konsesi terdakwa PT. NSP menjadi seluas 21.418 (dua puluh satu ribu empat ratus delapan belas) hektar sesuai Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor: SK-77/ Menhut-II/2013, tanggal 4 Februari 2013. Kemudian berdasarkan ketentuan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup : “Setiap usaha dan atau kegiatan yang wajib memiliki AMDAL atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan”, dan berdasarkan Pasal 2 ayat (2) jo. Lampiran I huruf c Bidang Pertanian Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 05 Tahun 2012 Tentang Jenis Rencana dan/atau Kegiatan Yang Wajib Memiliki Amdal, yakni “jenis kegiatan yang wajib memiliki AMDAL adalah jenis kegiatan budidaya tanaman pangan dengan atau tanpa unit pengolahannya skala / besaran ≥ 2000 ha”.
Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut, PT. NSP dengan luas Areal Hutan Produksi seluas ± 21.620 (dua puluh satu ribu enam ratus dua puluh) hektar wajib memiliki AMDAL dan Izin Lingkungan. Namun, dalam melakukan kegiatannya, Terdakwa PT. NSP menggunakan Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) PT. National Timber and Forest Product. Dengan kata lain, AMDAL PT. National Timber and Forest Product hanya milik PT. National Timber and Forest Product karena pemrakarsanya adalah PT. National Timber and Forest Product. Terdakwa PT. NSP tidak melakukan prakarsa untuk merevisi AMDAL PT. National Timber and Forest Product menjadi milik PT. NSP, karena sesungguhnya PT. NSP belum memiliki AMDAL.
Pembukaan lahan dengan cara Land Clearing pada areal Terdakwa PT. NSP telah diserahkan kepada PT. Nuansa Pertiwi dan PT. Sumatera Multi Indah sejak bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Desember 2013 dengan luas lebih kurang 7.000 hektar. Selanjutnya, pada tanggal 31 Januari 2014, saksi Suparno ditelpon oleh saksi Padumaan Siregar agar kembali ke lokasi PT. NSP untuk memadamkan api. Hingga tanggal 5-6 Maret 2014 kebakaran di areal PT. NSP sudah mencapai 2.200 hektar dan api juga membakar areal kebun masyarakat.
Berdasarkan Hasil pengamatan lapangan dan analisa sampel tanah di laboratorium oleh Ahli Dr. Ir. Basuki Wasis, M.SI menunjukan bahwa memang benar pada lokasi penelitian memang TELAH TERJADI PERUSAKAN TANAH dan LINGKUNGAN akibat kebakaran hutan dan lahan di PT. National Sago Prima, sehingga terjadi kerusakan lingkungan sifat kimia tanah karena telah masuk kriteria baku kerusakan (PP Nomor : 4 tahun 2001) untuk parameter subsidence pH tanah, C organic, dan nitrogen tanah. Hasil analisa tanah menunjukan bahwa tanah telah terbakar dan terjadi kerusakan lingkungan sifat biologi tanah karena telah masuk kriteria baku kerusakan (PP Nomor : 4 tahun 2001) untuk total mikroorganisme, total fungsi dan respirasi tanah.
Hasil analisa tanah menunjukan bahwa memang tanah telah terbakar dan telah terjadi kerusakan lingkungan sifat fisik tanah, karena telah masuk kriteria baku kerusakan (PP Nomor: 4 tahun 2001) untuk porositas dan bobot isi tanah. Selanjutnya, hasil pengamatan lapangan dan analisa vegetasi dan fauna (biota tanah) menunjukkan bahwa memang tanah tersebut terbakar dan telah terjadi kerusakan lingkungan aspek flora dan fauna karena telah masuk kriteria baku kerusakan (PP Nomor: 4 tahun 2001) untuk keragaman spesies dan populasi.
Hasil analisa tanah menunjukan bahwa memang tanah tersebut dibakar hal tersebut ditunjukan terjadinya peningkatan kadar Ca, dan Mg tanah. Terdakwa PT. NSP sengaja membiarkan terjadinya kebakaran pada petak-petak yang terbakar tersebut dan tidak melindungi areal kegiatan usaha dari ancaman bahaya kebakaran sehingga kebakaran yang terjadi di lahan areal IUPHH-BK PT. NSP telah mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan fungsi lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Selain itu, Terdakwa PT. NSP tidak mengantisipasi dan atau tidak melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk mencegah terjadinya kebakaran lahan tersebut, mengingat kondisi areal tersebut sensitif terhadap ancaman kemungkinan terjadinya kebakaran apalagi pada saat itu situasi setempat cuaca kering dan minim hujan, sehingga menyebabkan terjadinya kebakaran lahan yang telah menimbulkan pencemaran udara dan/atau kerusakan fungsi ingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup.
Bahwa kebakaran diareal terdakwa PT NSP tersebut diatas, juga mencapai reparian dengan kondisi tanaman kayu-kayu (pohon alam) seluas 130 ha yang seharusnya dipertahankan sebagai sekat bakar dari luas reparian keseluruhan 550 ha. Selain itu, Terdakwa PT NSP dalam melakukan kegiatan perkebunan dilokasi kanal dan jalan yang berada diluar areal konsesi yang termasuk dalam kawasan hutan IUPHHBK-HTI tersebut tanpa izin dari Menteri Kehutanan Republik Indonesia.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Terdakwa tidak memiliki AMDAL. Bahwa dengan tidak dimilikinya AMDAL atau UKL-UPL atas nama PT. NSP, maka pada tanggal 10 Juni 2014, PT. NSP mengajukan revisi/perubahan AMDAL sebagaimana surat PT. NSP Nomor: 273/NSP/VI/14/RO/GC tanggal 10 Juni 2014 yang ditujukan kepada Kepala Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti dengan tembusannya antara lain kepada Bupati Kepulauan Meranti. Dengan demikian semakin memperkuat dan mempertegas sesungguhnya Terdakwa PT NSP memang tidak memiliki AMDAL atau UKL-UPL apalagi Izin Lingkungan sejak awal melaksanakan kegiatan perkebunannya, karena Izin Lingkungan diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.

III.   TENTANG DAKWAAN JAKSA/PENUNTUT UMUM
Berdasarkan uraian pada kasus posisi diatas, maka Jaksa/Penuntut Umum mendakwa Terdakwa PT. NSP dengan dakwaan sebagai berikut:
1.         Kesatu:
Pada dakwaan kesatu Jaksa/Penuntut Umum mendakwa PT. NSP dengan dakwaan berbentuk subsidiaritas, yakni sebagai berikut:
·         Primair: Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
·         Subsidair: : Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 98 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
·         Lebih Subsidair: Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 99 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2.         Kedua: Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d jo. Pasal 78 ayat (3), (14), Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
3.         Ketiga: Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 92 ayat (2) huruf a jo. Pasal 17 ayat (2) huruf Undang-Undang RI Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
4.         Keempat: Perbuatan Terdakwa PT. NSP sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 109 jo pasal 36 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2009, Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.


IV.   PENENTUAN UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA
A.    Unsur-Unsur Tindak Pidana Pada Dakwaan Kesatu:
1.      Unsur-unsur tindak pidana pada dakwaan kesatu Primair.
Bahwa Terdakwa telah didakwa dengan dakwaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 108 jo. Pasal 69 ayat (1) huruf h jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009, yang unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a.       Unsur setiap orang;
b.      Unsur melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar.

2.      Unsur-unsur tindak pidana pada dakwaan kesatu Subsidair.
Bahwa Terdakwa telah didakwa dengan dakwaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 98 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009, yang unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a.       Unsur setiap orang;
b.      Unsur dengan sengaja melakukan perbuatan;
c.       Unsur yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

3.      Unsur-unsur tindak pidana pada dakwaan kesatu Lebih Subsidair.
Bahwa Terdakwa telah didakwa dengan dakwaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 98 ayat (1) jo. Pasal 116 ayat (1) huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009, yang unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a.       Unsur setiap orang;
b.      Unsur karena kelalaiannya;
c.       Unsur yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.

B.     Unsur-unsur tindak pidana pada Dakwaan Kedua:
Pada dakwaan Kedua, Terdakwa PT. NSP didakwa dengan dakwaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 50 ayat (3) huruf d jo. Pasal 78 ayat (3), (14), UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a.       Unsur setiap orang;
b.      Unsur dengan sengaja;
c.       Unsur membakar hutan.

C.     Unsur-unsur tindak pidana pada Dakwaan Ketiga:
Pada dakwaan Ketiga, Terdakwa PT. NSP didakwa dengan dakwaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 92 ayat (2) huruf a jo. Pasal 17 ayat (2) huruf UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a.       Unsur korporasi;
b.      Unsur melakukan kegiatan perkebunan dalam kawasan hutan;
c.       Unsur tanpa izin Menteri.

D.    Unsur-unsur tindak pidana pada Dakwaan Keempat:
Pada dakwaan Keempat, Terdakwa PT. NSP didakwa dengan dakwaan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 109 jo pasal 36 ayat (1) jo pasal 116 ayat (1) huruf a UU Nomor 32 Tahun 2009, yang unsur-unsurnya ialah sebagai berikut:
a.       Unsur setiap orang;
b.      Unsur yang melakukan usaha dan/ atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan.

V.  TENTANG PERTIMBANGAN HUKUM MENGENAI TERBUKTINYA DAKWAAN KESATU LEBIH SUBSIDAIR
Dalam pertimbangannya pada halaman 186, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bengkalis yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara a quo menyatakan bahwa:

“Menimbang bahwa oleh karena seluruh unsur pasal dalam dakwaan Kesatu Lebih Subsidair telah terpenuhi maka terhadap terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”

Bahwa sebagaimana pertimbangan tersebut, Anator akan menganalisis satu persatu Pertimbangan Majelis Hakim mengenai unsur-unsur delik/delict bestanddelen dari dakwaan Kesatu Lebih Subsidair pada uraian berikutnya.

A.  Pertimbangan Hukum Mengenai “Unsur Setiap Orang”
Dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim mengenai unsur “Setiap Orang” pada halaman 171-172 menyatakan bahwa:
“Menimbang, bahwa unsur setiap orang merujuk kepada subjek hukum pelaku tindak pidana yang mana atas tindak pidana yang dilakukannya orang tersebut secara jasmani maupun rohani dapat bertanggungjawab.
Menimbang, bahwa dalam perkembangannya, definisi setiap orang telah mengalami perluasan, dimana tidak lagi hanya mengandung pengertian orang sebagai manusia atau individu tapi juga termasuk Badan Usaha, yang mana telah pula dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan, dimana khusus pada perkara aquo, dalam pasal 1 angka 32 UU RI No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan bahwa Setiap Orang adalah orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
Menimbang, bahwa dengan memperhatikan Pasal 116 ayat (1) huruf a berbunyi “tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha”, maka dalam perkara ini yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sebuah badan usaha.”

Terhadap pertimbangan Majelis Hakim sebagaimana telah diuraikan diatas, menurut Anator sudah tepat. Hal ini dikarenakan perkembangan hukum pidana, terutama menyangkut subjek hukum pidana, dimana subjek hukum pidana tidak hanya manusia (naturlijk person) tetapi juga badan hukum/korporasi (recht person). Sehingga sebagai subjek hukum pidana, tentunya korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukannya. Mengenai kedudukan sebagai pembuat dan sifat pertanggungjawaban pidana korporasi, terdapat model pertanggungjawaban pidana korporasi, yakni: a) pengurus korporasi sebagai pembuat dan penguruslah yang bertanggung jawab; b) korporasi sebagai pembuat dan pengurus yang bertanggung jawab; dan korporasi sebagai pembuat dan juga sebagai yang bertanggungjawab.[3]
Selain itu korporasi sebagai subjek hukum pidana dan dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, juga dikarenakan ketentuan peraturan perundang-undangan menentukan bahwa korporasi menjadi sbjek hukum pidana. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam pertimbangan Majelis Hakim a quo, yakni: ....memperhatikan Pasal 116 ayat (1) huruf a berbunyi “tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha”, maka dalam perkara ini yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah sebuah badan usaha.
Dengan demikian, menurut hemat Anator unsur “Setiap Orang” sebagaimana pertimbangan Majelis Hakim a quo telah terpenuhi. Selanjutnya, untuk  menentukan bahwa unsur dakwaan Lebih Subsider telah terpenuhi, Anator akan menganalisis unsur selanjutnya, yakni unsur “karena kelalaiannya.”




B.  Pertimbangan Hukum Mengenai Unsur “Karena Kelalaiannya”
Dalam pertimbangannya pada halaman 173 mengenai unsur “karena kelalaiannya”, Majelis Hakim a quo, menggunakan pendapat Van Hamel yang menyatakan bahwa kealpaan itu mengandung dua syarat yaitu:
1.      Tidak mengadakan penduga-duga sebagaimana diharuskan oleh hukum
2.      Tidak mengadakan penghati-hati sebagaimana diharuskan oleh hukum.
Dalam pertimbangannya pula sebagaimana pada halaman 177, Majelis Hakim a quo  berpendapat bahwa bentuk kelalaian/kealpaan Terdakwa adalah Terdakwa tidak dapat mengendalikan kebakaran dalam waktu singkat.
“...majelis berpendapat bahwa upaya penanggulangan kebakaran di areal konsensi milik terdakwa tidak dapat dikendalikan sejak dini dalam waktu singkat oleh terdakwa”

Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim a quo, menurut hemat Anator, Majelis Hakim a quo telah keliru dalam menentukan kelalaian/kealpaan Terdakwa. Berdasarkan fakta-fakta persidangan, penyebab awal terjadinya kebakaran ialah karena pembakaran yang dilakukan oleh saksi Sendi (mantan karyawan PT. NSP) di petak H29, dikarenakan sakit hati dengan Citra selaku staf bidang keuangan PT. NSP karena tidak memberikan pinjaman uang kepadanya sebesar RP. 1.000.000,00,- (satu juta rupiah).
Dengan demikian, menurut hemat Anator kebakaran yang terjadi di Areal PT. NSP tidak ada hubungannya dengan PT. NSP selaku korporasi, sehingga tidak ada actus reus/kausalitas/sebab perbuatan PT. NSP yang mengakibatkan kebakaran. Melainkan, kebakaran itu sengaja dilakukan oleh Sendi (mantan karyawan PT. NSP) karena motif sakit hati tidak diberikan pinjaman uang oleh Citra sebagai staf keuangan PT. NSP.
Sehingga menurut Anator, unsur “karena kelalaiannya” PT. NSP tidak terbukti. Karena sebagaimana terungkap di persidangan bahwa tidak pernah ada perintah dari Terdakwa PT. NSP untuk membuka lahan dengan cara membakar. Sehingga unsur kelalaian PT. NSP selaku perusahaan dalam hal ini tidak terbukti. Selanjutnya, Anator akan menganalisis pertimbangan Majelis Hakim mengenai unsur “mengkibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.”

C.  Pertimbangan Hukum Mengenai Unsur “mengkibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup”
Dalam pertimbangan hukumnya pada halaman 182 mengenai Unsur “mengkibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,” Majelis Hakim pada perkara ini berpangkal tolak dari keterangan Ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Sahardjo, M.Agr dan Dr. Ir. Basuki Wasis, M.Si, yang menyatakan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa berdasarkan keterangannya dipersidangan dan Surat Keterangan ahli Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Sahardjo, M.Agr., melakukan penelitian dan melakukan pengambilan sample di lokasi kebakaran diareal konsesi terdakwa pada 14 (empat belas) titik yang diberi kode Plot-1 s/d Plot-14 dengan kesimpulan pada pokoknya:
1.      Perusahaan telah melakukan kegiatan penyiapan lahan dengan cara pembakaran secara sistematis dan terencana melalui pembiaran terhadap terjadinya kebakaran;
2.      Pergerakan Hotspot yang terus bergerak dari hari kehari memastikan pengendalian oleh terdakwa nyaris tidak dilakukan karena sarana dan prasarana yang kurang;
3.      Bahwa kebakaran tersebut telah merusak lapisan permukaan gambut sehingga akan menggangu keseimbangan ekosistem dilahan bekas terbakar tersebut;
4.      Bahwa selama kebakaran gas-gas rumah kaca yang dilepaskan terbukti telah melewati batas ambang sehingga akibatnya terjadi pencemaran terhadap lingkungan yang tidak dapat dicegah;
5.      Dalam rangka pemulihan lahan gambut melalui pemberian kompos dan biaya yang harus dikeluarkan untuk memfungsikan faktor ekologis yang hilang dibutuhkan biaya sebesar Rp.1.046.018.923.000,00;”

“Menimbang, bahwa ahli Dr. Ir Basuki Wasis M.Si dalam Surat keterangannya dan keterangannya dalam bagian kesimpulan menyatakan bahwa pada pokoknya: bahwa berdasarkan hasil pengamatan lapangan dan analisa sampel tanah dilaboratorium menunjukkan bahwa benar telah terjadi kerusakan tanah dan lingkungan akibat kebakaran yang meliputi kerusakan sifat kimia tanah, sifat biologi tanah, sifat fisik tanah dan aspek flora dan fauna berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001;”

Pada pertimbangan hukum selanjutnya pada halaman 185 dan 186 Majelis Hakim menyatakan bahwa:
Menimbang, bahwa oleh karena kelalaian yang dilakukan oleh terdakwa dilakukan oleh orang yang bertindak dan untuk atas nama terdakwa dalam rangka hubungan kerja dimana menurut hemat majelis di dalam perseroan terdapat mekanisme pelaporan sehingga pihak-pihak dalam korporasi haruslah dianggap mengetahui tentang ada tidaknya suatu perbuatan atau pembiaran terhadap satu keadaan sehingga terwujud satu kebijakan korporasi, maka apabila hal ini dikaitkan dengan kelalaian sebagaimana yang telah majelis pertimbangkan diatas maka terdakwa dapat diminta pertanggungjawabannya;

Dengan demikian, menurut hemat Anator, Majelis Hakim menggunakan doktrin strict liability untuk mempertanggungjawabkan Terdakwa PT. NSP. Menurut Chairul Huda, doktrin Strict liability merupakan pertanggungjawaban pidana yang dilakukan tanpa harus membuktikan kesalahannya. Kesalahannya tetap ada, tetapi tidak harus dibuktikan.[4] Lebih lanjut, Chairul Huda menyatakan bahwa:
“....Terdakwa dinyatakan bersalah hanya dengan membuktikan telah dilakukannya tidak pidana. Dengan demikian, fungsi utama strict liability adalah berkenaan dengan hukum acara, dan bukan hukum pidana materiil.
...Strict liability dalam pertanggunjawaban pidana lebih merupakan persoalan pembuktian, yaitu kesalahan dipandang ada sepanjang telah dipenuhinya unsur delik”[5]

Berdasarkan pendapat tersebut, menurut Anator Majelis Hakim telah keliru dengan menerapkan doktrin strict liability dalam mempertanggungjawabkan Terdakwa PT. NSP. Sebagaimana terugkap dalam fakta-fakta di persidangan bahwa pembakaran tidak dilakukan oleh Terdakwa PT. NSP, melainkan dilakukan oleh Saksi Sendi yang merupakan mantan karyawan PT. NSP karena motif sakit hati. Jadi, tidak ada actus reus antara perbuatan Terdakwa PT.NSP (dalam hal kegiatan perusahaan) dengan terjadinya kebakaran. Dengan kata lain, kebakaran yang terjadi adalah disebabkan bukan dari kegiatan perusahaan melainkan dilakukan oleh orang yang bukan atas perintah perusahaan atau tidak memiliki kepentingan dengan perusahaan.
Dengan demikian, maka unsur-unsur dakwaan Kesatu Lebih Subsidair, menurut hemat Anator tidak terbukti. Pada perkara ini, sangat jelas bahwa penegak hukum (Polsi, Jaksa, dan Hakim) telah salah dalam hal mempertanggungjawabkan PT. NSP.

VI.   TENTANG PEMIDANAAN
Dalam putusan ini, dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang terbukti berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim a quo yang teelah mempertimbangkan unsur-unsur dari tiap dakwaan, ialah dakwaan Kesatu Lebih Subsidair. Sehingga Amar Putusan Majelis Hakim menyatakan:
1.      Menyatakan Terdakwa PT. National Sago Prima tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair, Kedua, Ketiga, dan Keempat;
2.      Membebaskan Terdakwa PT. National Sago Prima dari dakwaan Kesatu Primair, Kesatu Subsidair, Kedua, Ketiga, dan Keempat tersebut;
3.      Menyatakan Terdakwa PT. National Sago Prima tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya kriteria baku kerusakan lingkungan hidup;
4.      Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp. 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah);
5.      Menjatuhkan pidana tambahan terhadap terdakwa PT.National Sago Prima berupa kewajiban melengkapi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran sesuai dengan petunjuk standarisasi sarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dengan pengawasan Badan Lingkungan Hidup Kabupaten Kepulauan Meranti dalam jangka waktu 1 (satu) tahun;

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, menurut hemat Anator majelis hakim telah keliru dalam menerapkan hukum dan menjatuhkan pidana kepada Terdakwa PT. NSP. Dengan melihat ketentuan Pasal 183 KUHAP, maka putusan ini tidak tepat dijatuhkan kepada Terdakwa PT NSP dimana tindak pidana (perbuatan pidana) yang didakwakan tidak memenuhi seluruh unsur delik. Sebagaimana fakta persidangan bahwa pembakaran yang dilakukan oleh Sendi bukan untuk dan atas nama perusahaan, melainkan hanya karena hasrat pribadi dari saksi Sendi yang sakit hati karena tidak dipinjamkan uang. Sehingga sekali lagi, perbuatan yang dilakukan oleh saksi Sendi bukan perbuatan yang dilakukan untuk dan atas nama perusahaan.




[1] Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK.353/Menhut-II/2008 Tentang Pemberian Izin Usaha Untuk Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman (Sagu) Kepada PT. National Timber and Forest Product..
[2] Hal ini berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.380/Menhut- II/2009 Tanggal 25 Juni 2009 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.353/Menhut-II/2008 Tanggal 24 September 2008 Tentang Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri Dalam Hutan Tanaman (Sagu) Kepada PT. National Timber And Forest Product Atas Areal Hutan Produksi Seluas ± 21.620 Hektar di Provinsi Riau.
[3] Muladi dan Dwidja Priyatno, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 83.
[4] Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2006), hlm. 86.
[5] Ibid, hlm. 86-87.

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...