POLITIK HUKUM
PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA
Oleh:
Roli
Pebrianto, S.H
A.
Latar
Belakang
Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada
putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apalagi dalam
situasi seperti sekarang ini, dimana ada indikasi yang mencerminkan
ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan pemerintahan yang
bersih semakin keras, menyusul krisisi ekonomi akhir-akhir ini. Hal ini sungguh
masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini merupakan ekses dari buruknya
kinerja pemerintahan di Indonesia dan praktik korupsi inilah yang menjadi akar
masalah.[1]
Bukan hanya di Indonesia saja, juga di belahan dunia
lain tindak pidana korupsi selalu mendapatkan perhatian yang lebih khusus
dibandingkan dengan tindak pidana lainnya. Fenomena atau gejala ini harus dapat
dimaklumi, karena mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh tindak pidana
korupsi yang dapat mendistorsi berbagai kehidupan berbangsa dan bernegara dalam
suatu negara, bahkan juga terhadap kehidupan antarnegara.[2]
Ibarat penyakit, korupsi di Indonesia telah berkembang
dalam tiga tahap yaitu elitis, endemic, dan
sistemik. Pada tahap elitis, korupsi masih menjadi patologi
sosial yang khas di lingkungan para elit/pejabat. Pada tahap endemic, korupsi mewabah menjangkau
lapisan masyarakat luas. Lalu di tahap yang kritis, ketika korupsi menjadi sistemik, setiap individu didalam sistem
terjangkit penyakit yang serupa. Boleh jadi penyakit korupsi di bangsa ini
telah sampai pada tahap sistemik.[3]
Banyak ahli menyatakan bahwa penyakit korupsi telah
melebar ke segala lapisan dalam struktur pemerintahan. Korupsi telah menjadi
isu sentral, bahkan sangat popular melebihi isu apapunyang muncul di Indonesia.
Trend perilaku korupsi tampak semakin endemis yang merambah dalam segala aspek
kehidupan masyarakat. Korupsi merupakan suatu yang biasa dan seakan-akan telah
membudaya dalam masyarakat Indonesia.[4]
Pada masa orde baru korupsi dilakukan oleh orang-orang
di sekitar pemegang kekuasaan. Kecenderungan sekarang melebar ke
lembaga-lembaga legislatif dari tingkat daerah/kota propinsi hingga pusat,
hampir semua jabatan memerlukan pengesahan dari legislatif sudah punya tarif.[5]
Kegagalan ini sangat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara serta
menghambat jalannya pembangunan yang berakibat fatal bagi bangsa Indonesia
yaitu suatu kerusakan sosial yang sulit diperbaiki.
Menghadapi kenyataan yang sangat memperihatinkan
tersebut, dibutuhkan konsistensi Pemerintah dalam penanggulangan dan pencegahan
tindak pidana korupsi, yang harus dilakukan secara nyata dan menyeluruh dalam
proses penegakkan hukumnya (law
enforcement) di Indonesia. Ditengah upaya Pembangunan Nasional di berbagai
bidang, aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan berbagai bentuk
penyimpangan lainnya pun semakin meningkat. Hal ini tentu saja tidak dapat
terwujud begitu saja jika tidak didukung oleh adanya penyelenggaraan Negara
yang bersih dan bebas dari KKN. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan
korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan mdengan tetap menjunjung
tinggi Hak Asasi Manusia dan kepentingan masyarakat.
Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di
tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman yang nyata yang pasti akan
terjadi, yaitu dampak dari kejahatan ini. Maka tindak pidana korupsi dapat
dikategorikan sebagai permasalahan nasional yang harus dihadapi secara
sungguh-sungguh melalui keseimbangan langkah-langkah yang tegas dan jelas
dengan melibatkan semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya pemerintah
dan aparat penegak hukum.[6]
Kasus korupsi yang banyak di Indonesia merupakan
pekerjaan rumah yang sangat sulit diselesaikan oleh pemerintah, karena hal ini
sangat berkaitan dengan penyelenggara Negara baik di tingkat pusat maupun
provinsi, dan kabupaten/kota. Masyarakat sebagian masih melihat kasus korupsi
terjadi melalui media elektronik maka yang terlihat adalah kasus korupsi yang
merugikaan negara bermilyar-milyar rupiah, sehingga kerugian negara yang timbul
sangat mencolok karena hal tersebut maka kasus korupsi yang terjadi dengan
secepatnya berusaha diselesaikan.
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat
dijumpai dimana-mana. Sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan
pada masalah korupsi. Tidak berlebihan jika pengertian korupsi selalu
berkembang dan berubah sesuai dengan perubahan zaman, bagaimana cara
penanggulangannya, demikian pula perkembangan korupsi.
Peraturan perundang-undangan yang dijadikan alat untuk
memberantas tindak pidana korupsi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat,
namun demikian korupsi makin merajalela, kerugian negara tidak hanya jutaan
rupiah akan tetapi miliaran rupiah bahkan mencapai triliunan rupiah. Disisi
yang lain, korupsi tidak hanya memasuki lingkungan eksekutif saja, tetapi juga
berkembang di lingkungan yudikatif dan legislatif.
Upaya serius dari Pemerintah untuk menciptakan
penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN kemudian diwujudkan
dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Selanjutnya, sebagai upaya pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Pemerintah berusaha mewujudkannya dengan diundangkannya
Undag-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
sebagai pengganti dari UU Nomor 3 tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi yang dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dan
masyarakat pada saat ini. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 kemudian
disempurnakan lagi dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Kemudian, dibuat pula Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Tindak Pidana korupsi menurut Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat dengan UUPTPK)
adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri
atau orang lain yang suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Praktik
korupsi yang terjadi dalam permasalahan kinerja pemerintahan di Indonesia
menurut D. Soedjono adalah:
Fenomena masalah tentang korupsi memang sangat menarik untuk dikaji,
apalagi dalam situasi seperti sekarang ini, dimana ada indikasi yang
mencerminkan ketidakpercayaan rakyat terhadap pemerintah. Tuntutan akan
pemerintahan yang bersih semakin keras, menyusul krisisi ekonomi
akhirakhir ini. Hal ini sungguh masuk akal, sebab kekacauan ekonomi saat ini
merupakan ekses dari buruknya kinerja pemerintahan di Indonesia dan praktik
korupsi inilah yang menjadi akar masalah.[7]
Tumbuh
suburnya korupsi di Indonesia tentu perlu dilakukan upaya penanggulangan yang
sangat serius melalui politi kriminal baik melalui upaya penal yang bersifat
menanggulangi setelah terjadinya kejahatan (represif), upaya non penal yang
bersifat mencegah terjadinya kejahatan (preventif), ataupun gabungan keduanya.[8] Sangat perlu diingat bahwa
kini korupsi sudah bukan sekedar kejahatan luar biasa atau “extra ordinary
crime”, melainkan korupsi kini telah menjadi kejahatan kemanusiaan atau “crime
against humanity”.[9]
Menarik
untuk diteliti mengenai politik kriminal penanggulangan tindak pidana korupsi
di Indonesia pada era reformasi, hal ini dikarenakan bahwa selama sembilan
belas tahun agenda reformasi dijalankan namun tuntutan pemberantasan korupsi
tidak mengalami keberhasilan yang signifikan bahkan pelaku-pelaku korupsi saat
ini melibatkan para penggerak reformasi pada saat itu.[10]
Selain
daripada itu, setelah sekian instrumen hukum telah diterbitkan pertama kali
berupa Peraturan Penguasa Militer tahun 1957 sampai saat ini tercatat berjumlah
sekitar dua puluh undang-undang, peraturan pemerintah/penguasa militer dan
penindakan oleh aparat penegak hukum terus dilakukan terhadap para koruptor,
namun praktik-praktik Korupsi dalam era reformasi ini tetap marak, masif, dan
tidak kalah ganasnya dengan masa tiga puluh tahun Orde Baru memerintah.[11]
Berdasarkan
hal-hal yang telah diuraikan diatas, terdapat permasalahan dalam
perundang-undangan pemberantasan korupsi. Permasalahan tersebut dapat berupa
permasalahan dalam rumusan perundang-undangnya atau permasalahan pelaksanaan
perundang-undangnya yang belum optimal. Maka masalah yang akan menjadi fokus
Penulis dalam makalah ini ialah:bagaimana penegakan
hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia ? dan bagaimana pandangan politik hukum
pidana terhadap Peraturan Perundang-undangan dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia?
B.
Tentang Politik Hukum
1.
Pengertian Politik Hukum
Perdebatan mengenani hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah
panjang dalam ilmu hukum. Kalangan penganut aliran positivisme hukum beranggapan hukum adalah tidak lain dari produk
politik atau kekuasaan. Pada sisi lain kalangan yang melihat hukum tidak dari
dogmatika hukum dan undang-undang semata, berpandangan bahwa hukum itu
tergantung pada penerimaan umum sesuai kenyataan-kenyataan sosial yang dalam
dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.[12]
Dalam mencari pola hubungan antara hukum dan politik ini, terutama
berangkat dari dua perspektif yang bertolak belakang, perlu dicermati dengan
saksama Daniel S. Lev yang mengungkapkan bahwa: “hukum sedikit banyak selalu
merupakan alat politik.[13] Mahfud MD mengatakan
hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, yaitu
: (i) Hukum determinan (menentukan)
atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan
politik. (ii) Politik determinan atas
hukum, dalam arti bahwa kenyataannya, baik prodek normatif maupun
implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. (iii) Politik dan Hukum terjalin dalam hubungan
yang saling bergantung, seperti bunyi adagium “politik tanpa hukum
menimbulkan kesewenang-wenangan (anarkis), hukum tanpa politik akan jadi
lumpuh.”[14]
Selanjutnya, politik hukum menurut Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari
diartikan sebagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kpemimpinan, dan cara bertindak
dalam hukum.[15]
Menurut Padmo Wahjono, mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan
dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi dari hukum yang akan dibentuk.
Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan artikelnya
di majalah Forum Keadilan yang
berjudul “Menyelisik Proses Terbentuknya
Perundang-undangan”. Dalam artikel tersebut, Padmo Wahjono mengatakan bahwa
politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini, kebijakan tersebut dapat
berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.[16]
Dari kedua definisi yang diberikan oleh Padmo Wahjono, dapat disimpulkan
bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat dasar
dalam menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan dibentuk dan tentang
apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian,
politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlakudi masa
datang (ius constituendum).[17]
Sedangkan menurut Moh. Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy atau garis kebijakan resmi
tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan penggantian hukum lama. Dalam
rangka mencapai tujuan negara. Politik hukum merupakan pilihan tentang
hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang
akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai
tujuan negara seperti yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945.[18]
Politik hukum sebagai bagian dari ilmu hukum, yang meneliti perbubahan
hukum yang berlaku, yang harus dilakukan untuk memenuhi tuntunan baru kehidupan
masyarakat, penyelidikan-penyelidikan dari politik hukum, terhadap segala
perubahan, apakah yang harus diadakan oleh hukum yang ada sekarang, supaya dapat
memenuhi syarat-syarat baru dari hidup kemasyarakatan. Hukum yang lama dapat
dipertimbangkan untuk kaidah-kaidah dan stelsel hukum yang akan datang.
Sehingga dpat juga dimaknai bahwa hukum sebagai dessein ditetapkan oleh politik.[19]
2.
Politik Hukum Pidana
Masalah pidana dan pemidanaan dalam sejarah
selalu mengalami perubahan. Dari abad ke abad, keberadaannya banyak
diperdebatkan oleh para ahli. Bila disimak dari sudut perkembangan masyarakat,
perubahan itu adalah hal yang wajar, karena manusia selalu berupaya untuk
memperbaharui suatu hal demi meningkatkan kesejahteraan di masa depan.[20]
Dalam menentukan suatu tindak pidana digunakan
kebijakan hukum pidana. Penal policy atau politik (kebijakan) hukum
pidana, pada intinya, bagaimana hukum pidana dirumuskan dengan baik dengan baik
dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif),
kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif), dan pelaksanaan hukum pidana
(kebijakaneksekutif).
Kebijakan
legislatif merupakan tahapan yang sangat menentukan bagi tahap-tahap
berikutnya, karena pada saat peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka
sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain
perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu
perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini artinya menyangkut proses
kriminalisasi. Menurut
Sudarto,[21]
kriminalisasi dapat diartikan sebagai proses penetapan suatu
perbuatan sebagai perbuatan yang dapat dipindana. Proses ini diakhiri dengan
terbentuknya undang-undang, di mana perbuatan itu diancam dengan suatu sanksi
berupa pidana.
Politik hukum pidana (legal policy) adalah arah
hukum yang akan diberlakukan oleh negara untuk mencapai tujuan negara yang
bentuknya dapat berupa pembuatan hukum baru dan penggantian hukum lama. Dalam arti
yang seperti ini politik hukum harus berpijak pada tujuan negara dan sistem
hukum yang berlaku di negara yang bersangkutan yang dalam konteks Indonesia
tujuan dan sistem itu terkandung di dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya
Pancasila yang melahirkan kaidah-kaidah hukum.[22]
Pengertian politik kriminal (Criminele Politiek, Criminal Policy), yakni kebijakan pemerintah
dalam melakukan pencegahan dan penanggulangan kejahatan.[23] Dalam kaitan itu, maka
dikenal pula beberapa pengertian yang saling berkaitanantara kebijakan kriminal
yaitu: kriminalisasi, penalisasi. Sehingga politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan
pidana yang baik. Pengertian demikian terlihat pula dalam definisi “penal policy” yang secara singkat dapat
dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang bertujuan untuk memungkinkan
peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik. Garis kebijakan hukum
pidana adalah untuk menentukan:
a. Seberapa jauh
ketenuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu dirubah atau diperbaharui;
b. Apa yang dapat
diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana;
c. Bagaimana cara
penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana harus dilaksanakan.[24]
Kebijakan
penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) macam, yaitu
kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal
policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan
sarana di luar hukum pidana (non-penal policy).[25]
Pada
dasarnya penal policy lebih menitikberatkan pada tindakan represif setelah
terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan represif adalah
tin-dakan yang dilakukan setelah kejadian terjadi untuk menekan agar kejadian
tidak meluas atau menjadi parah.[26]
Sedangkan
non-penal policy lebih menekankan pada tindakan prefentif sebelum
terjadinya suatu tindak pidana, yang mana tindakan prefentif adalah
tindakan yang mengutamakan pencegahan sebelum terjadinya kejadian. Menurut
pandangan dari sudut politik kriminil secara makro, non-penal policy merupakan
kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu
dikarenakan, non-penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan
terjadinya suatu tindakan pidana. Sasaran utama non-penal policy adalah
me-nangani dan menghapuskan faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya
suatu tindak pidana.[27]
C. Tindak Pidana Korupsi
Sebelum
membahas pengertian tindak pidana korupsi, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian
tindak pidana, Tindak Pidana adalah tindakanyang tidak hanya dirumuskan oleh
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagaikejahatan atau tindak pidana.[28]
Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia tidak
ditemukan definisi tindak pidana. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama
ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum. Menurut Roeslan Saleh, tindak
pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa
yang melakukannya.[29] Menurut Leden Marpaung,
kata tindak pidana merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda delict (Indonesia: delik). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, arti delik diberi batasan: “perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran
terhadap undang-undang; tindak pidana.”[30]
Selanjutnya, istilah korupsi menurut M.
Prodjohamidjojo sebagaimana dikutip Evi Hartanti, berasal dari bahasa Latin “corruption”atau
"corruptus" yang berarti: kerusakan atau kebobrokan. Pada
mulanya pemahaman masyarakat tentang korupsi dengan menggunakan Bahasa kamus,
yang berasal dari bahasa Yunani Latin "corruptio" yang berarti
perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral,
menyimpang dari kesucian, melanggar norma-norma agama, mental dan hukum.[31]
Menurut Lilik Mulyadi, bahwa yang dikatakan korupsi
adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeruk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi
korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum
dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.[32]
Hibnu Nugroho mendefinisikan korupsi dari sudut
pandang sosiologis bahwa “apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian
yang disodorkan dari seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar
memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi”.[33]
Berdasarkan pengertian tersebut bahwa dalam arti hukum
tindak pidana korupsi adalah suatu perbuatan yang menguntungkan diri sendiri
dengan merugikan orang lain, oleh pejabat pemerintah yang langsung melanggar
batas-batas hukum atas tingkah laku tersebut
D. Penegakan
Hukum Dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Indonesia sebagai negara hukum saat
ini sedang dalam tahapan membangun kembali tatanan hukumnya yang terlanjur
rusak oleh rezim Orde Baru. Demikian pula dengan rule of law merupakan cita-cita yang saat ini ditata ulang oleh
bangsa yang peduli dan menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik. Konsep
negara hukum Indonesia terlihat ideal dan rule
of law sebenarnyatercakup dalam konsep tersebut. Jika konsep negara hukum
diterapkan sesuai dengan prinsip-prinsip idealnya, maka rule of law pasti akan terwujud.[34]
Untuk dapat menegakkan rule of law, paling tidak harus memenuhi
tiga hal pokok, yaitu: (i) hukum yang diciptakan harus responsive terhadap
tuntutan akan rasa keadilan rakyat dan bersih dari intervensi apapun, (ii)
peradilan yang bersih dari KKN dan mafia peradilan, dan (iii) adanya akses
publik ke lembaga peradilan yang harus senantiasa ditingkatkan. Jika ketiga
aspek diatas dapat diwujudkan, maka dengan sendirinya rule of law akan menjelma sebagai jiwa dari hukum yang bertujuan
mengakkan keadilan.[35]
Selanjutnya, dalam rangka untuk
penegakan hukum, paling tidak harus didukung oleh beberapa faktor, yaitu
substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Penegakan hukum dikatakan
berhasil jika diantara faktor-faktor pendukung tersebut dapat berjalan secara
sinergi dan saling menunjang satu sama lain. Untuk itu, sinergi dapat dibentuk
dalam sebuah sistem yang dirancang sebagai pedoman dalam pelaksanaan penerapan
hukum melalui penerapan kebijakan dan politik hukum pidana (criminal policy). Dalam mekanisme
kerjanya, sistem tersebut melibatkan sub-sub sistem yang saling berhubungan
secara sistematis, yang disebut dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP, “criminal justice system”)
Menurut Mardjono Reksodiputro, secara
luas sistem peradilan pidana dapat diartikan sebagai:
Suatu
proeses dimana seorang tersangka yang melakukan tindak pidana diperiksa,
dituntut, diadili, dan selanjutnya dijatuhi hukuman. Dengan demikian, sistem
peradilan pidana merupakan langkah konkrit (in
concreto) dalam penegakan hukum pidana in
abstracto.[36]
Selanjutnya, tentang upaya
penanggulangan korupsi lewat kebijakan perundang-undangan, Atidjo Alkostar
menyatakan bahwa:
“Upaya
penanggulangan korupsi lewat kebijakan perundang-undangan dan penegakan hukum
pidana sebenarnya telah lama dilakukan. Namun harus diakui bahwa korupsi itu
masih tetap ada dan sulit untuk diberantas. Hal itu disebabkan korupsi
berkaitan dengan berbagai kompleksitas masalah lainnya seperti masalah sikap
mental atau moral, masalah pola atau sikap hidup dan upaya soaial, masalah
kebutuhan atau tuntutan ekonomi, struktur atau sistem ekonomi, struktur budaya
atau politik, masalah peluang yang ada di dalam mekanisme pembangunan dan
sekaligus kelemahan birokrasi atau prosedur administrasi, termasuk sistem
keuangan dan pelayanan umum. Mengingat kompleksnya, kebijakan penanggulangan
korupsi memang tidak dapat diatasi secara fragmentaris, tetapi harus dilakukan
secara utuh dan integral. Harus ada upaya dengan terapi kausatif dengan melihat
semua faktor peluang ataupun penyebab yang terkait dengan korupsi dan bukan
hanya melalui penyembuhan simptomatik yang terbatas hanya pada gejala dan
bagian permukaan saja.”[37]
Lebih lanjut, Syaiful Bakhri
menyatakan bahwa ada beberapa perspektif korupsi di tahun 2009 yang dapat
menjadi perhatian penegak hukum ke depan, khususnya Kejaksaan Agung, Polri atau
KPK:
“Pertama, korupsi sistemik atau
korupsi kelembagaan merupakan bentuk kejahatan yang sulit pembuktiannya, tetapi
tumbuh subur sejalan dengan kekuasaan, ekonomi, hukum dan politik. Secara
konseptual, pada negara berkembang pemikiran bahwa korupsi merupakan bagian
dari kekuasaan, bahkan bagian dari sistem itu sendiri menjadi tidak diragukan.
Oleh karena itu, penanggulangan yang terpadu adalah dengan memperbaiki sistem
yang ada. Kedua, melakukan
tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system.
Artinya, antara penegak hukum harus memiliki balanced and equal power yaitu memiliki suatu kewenangan yang
berimbang dan sama diantara penegak hukum. Hal ini untuk menghindari
diskriminasi kewenangan lembaga yang justru akan melemahkan penegakan hukum
terhadap korupsi. Selain itu, diskriminasi kewenangan akan menimbulkan
disintegrasi penegakan hukum, kewenangan diskriminatif antara KPK di satu sisi
dan Kejaksaan Agung/Polri disisi lain harus ditiadakan. Ketiga, pendekatan pendekatan sistem ini dilakukan secara simultan dan terintegrasi dengan
pendekatan up-down, bukan bottom-up yang selama ini terjadi.
Kejaksaan Agung dengan minimnya kewenangan telah memberika citra tersendiri
dengan menetapkan pejabat eselon I departemen sebagai tersangka sekaligus
memperhatikan hak tersangka. Ini merupakan status yang tidak pernah terjadi
sejak era reformasi.[38]
Dari semua persoalan yang ada, dapat
dikatakan bahwa amat berarti peran kebijakan kriminal (criminal policy) melalui pendekatan non-penal. Hal ini dilakukan
dengan meningkatkan langkah kampanye anti korupsi. Kampanye semacam ini
diperlukan dengan pendekatan antara masyarakat, pers (sebagai social power), dan institusi kenegaraan
(sebagai political power).[39]
E. Politik
Hukum Pidana Terhadap Peraturan Perundang-Undangan Dalam Upaya Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia
Politik
perundang-undangan adalah subsistem hukum. Oleh karena itu, politik
perundang-undangan tidak dapat dipisahkan dari politik hukum. Politik
perundang-undangan diartikan sebagai kebijaksanaan atau mengenai penentuan isi
atau objek pembentukan peraturan perundang-undangan.[40]
Politik
mengenai tata cara pembentukan terkait dengan sistem hukum dan instrumen hukum
yang dipergunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Politik
penerapan hukum berkaitan fungsi-fungsi penyelenggaraan pemerintahan di bidang
hukum. Politik penegakan hukum berkaitan dengan sendi-sendi sistem kenegaraan
seperti negara berdasarkan atas hukum. Secara internal ada dua lingkup utama
politik hukum:
a. Politik
pembentukan hukum baik mengenai tata cara maupun isi peraturan
perundang-undangan adalah kebijaksanaan yng terkait dengan penciptaan,
pembaruan dan pengembangan hukum, mencakup; kebijaksanaan pembentukan
undang-undang, kebijaksanaan pembentukan hukum yurisprudensi, kebijaksanaan
terhadap peraturan tidak tertulis;
b. Politik
penerapan dan penegakan hukum adalah kebijaksanaan yang bersangkut paut dengan
kebijaksanaan di bidang peradilan dan cara-cara penyelesaian hukum di luar
proses peradilan, kebijaksanaan dibidang pelayanan hukum. Antara kedua aspek
politik hukum tersebut, sekadar dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, karena
:
1. Keberhasilan
suatu peraturan perundang-undangan tergantung pada penerapannya;
2. Putusan-putusan
dalam rangka penegakan hukum merupakan instrument kontrol bagi ketepatan atau
kekurangan suatu peraturan perundangundangan. Putusan-putusan tersebut
merupakan masukan bagi pembaharuan atau penyempurnaan peraturan perundang-
undangan;
3. Penegakan
hukum merupakan dinamisator peraturan perundang-undangan.[41]
Politik
hukum pidana bidang pembentukan peraturan perundang-undangan diluar KUHP dalam
rangka pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia sudah ada sejak masa
Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi. Pemberantasan Korupsi pada Orde lama, dilakukan dengan
:
- Peraturan Penguasa Militer
Nomor: Prt/PM-06/1957, tanggal 9 April 1957;[42]
- Peraturan Penguasa Perang Pusat
Angkatan Darat Nomor: Prt/Paperpu/013/1958, tanggal 16 April 1958, tentang
Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Perbuatan Korupsi Pidana dan Pemilikan
Harta Benda (BN Nomor 40 Tahun 1958);[43]
- Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 24 Prp Tahun 1960 tentang tentang Pengusutan,
Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi (LN Nomor 72 Tahun
1960);[44]
- Pembentukan Panitia Retooling
Aparatur Negara (PERAN) dengan daar hukum dikeluarkannya UU Keadaan
Bahaya;
- Operasi Budhi dasar
pembentukannya Keputusan Presiden Nomor 275 Tahun 1963 dengan tugas
menyeret pelaku korupsi ke pengadilan dengan sasaran utama
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang
dianggap rawan praktek Korupsi dan Kolusi; dan
- Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KOTRAR) dengan Presiden Soekarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani.[45]
Pemberantasan
Korupsi pada Orde lama, dilakukan dengan:
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;[46]
- Tim Pemberantasan Korupsi diketuai oleh Jaksa
Agung;
- Komite Empat dengan tugas utama
membersihkan Departemen Agama, Bulog, CV Waringin, PT. Mantrust, Telkom,
Pertamina, dan lain-lain; dan
- Operasi Tertib semasa Sudomo sebagai Pangkopkamtib dengan tugas memberantas Korupsi.[47]
Terakhir pada era reformasi, semangat yang menggebu-gebu sebagai
wujud era baru, kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi memaksa
pemimpin negara pada saat itu untuk segera bertindak agar
dinilai berpihak kepada rakyat. Pada masa ini lahirlah undang-undang
pemberantasan korupsi yang dinanti-nanti oleh masyarakat luas dan menjadi
tumpuan harapan bagi seluruh bangsa Indonesia sebagai negara madani yang bebas
korupsi. Undang-Undang itu adalah UU No. 31 tahun 1999 pada masa pemerintahan
Presiden BJ. Habibie.
Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid dibentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK yang dipimpin oleh jaksa
agung yang beranggotakan jaksa, polisi dan anggota masyarakat yang kemudian
dibubarkan berdasarkan Putusan MA RI atas judicial review terhadap pembentukan
TGPTPK dan putusan Praperadilan Nomor 11/Pid/Prap/2000/PN.JAKSEL di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan untuk kasus hakim Agung Ny. Hj. Harnis, Kahar, S.H. dan
Ny. Hj. Supraptini Sutarto, S.H.[48]
Pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri, KPK mulai menjalankan
fungsinya, walaupun belum lengkap perangkat hukumnya. Pada tahun 2004 KPK sudah
melakukan penyidikan dan persidangan terhadap Gubernur NAD Abdullah Puteh
dengan dakwaan tindak pidana korupsi terkait dengan pembelian helikopter yang
menurut KPK terdapat mark-up.[49]
Setelah presiden Susilo Bambang Yudoyono terpilih, disamping
keberadaan KPK, dibentuk Tipikor dibawah Jaksa Agung dengan tujuan menuntaskan
perkara-perkara dugaan korupsi yang belum ditangani kejaksaan dan perkara-perkara
lainnya yang merupaka hasil penyidikan kejaksaan. Pada tahun 2008 KPK
menggebrak dunia hukum dengan penyidikan disertai dengan penangkapan terhadap
oknum kejaksaan agung, anggota DPR RI dan pejabat-pejabat Bank Indonesia. Hal
menggemparkan yang berkaitan dengan korupsi adalah penggeledahan KPK terhadap
beberapa ruangan digedung DPR-MPR RI yang semula menuai penolakan dan
ketidaksetujuan dari unsur pimpinan DPR RI.[50]
Secara singkat, politik
hukum pemberantasan tindak pidana korupsi pada era reformasi telah menyusun
berbagai peraturan mengenai tindak pidana korupsi, antara lain:
1.
TAP MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
2.
Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepostime (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 3851);
3.
Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran
Negara Republik Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia 3874) yang telah mengubah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971.
4.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun. 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4150).
5.
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan. Lembaran
Negara Republik Nomor 4250).[51]
Selain
itu, Pemerintah Indonesia juga meratifikasi instrument hukum internasional
yakni dengan meratifikasi United Nations Convention Againts Corruption 2003
(UNCAC 2003). Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006
oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai
salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui
kerjasama Internasional.
F.
Kesimpulan
Berdasarkan permasalahan yang menjadi perhatian dalam makalah ini yang
telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya, maka Penulis berkesimpulan sebagai
berikut:
1. Penegakan hukum dalam upaya pemberantasan tindak
pidana korupsi di Indonesia dapat dilakukan dengan berbagai cara, yakni:
a. Memperbaiki
sistem yang ada, sistem
harus ditelaah sebagai kesatuan yang meliputi tindakan reevaluasi, reposisi,
dan pembaruan (reformasi) terhadap struktur, substansi hukum, khususnya budaya
hukum;
b. Melakukan
tindakan secara terintegrasi dari lembaga penegak hukum melalui integrated criminal justice system.
Artinya, antara penegak hukum harus memiliki balanced and equal power yaitu memiliki suatu kewenangan yang
berimbang dan sama diantara penegak hukum;
c.
Pendekatan
pendekatan sistem ini dilakukan secara simultan
dan terintegrasi dengan pendekatan up-down,
bukan bottom-up yang selama ini
terjadi.
2. Politik hukum pidana bidang pembentukan peraturan
perundang-undangan diluar KUHP dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi
di Indonesia dalam tinjauan sejarah sudah ada sejak masa Orde Lama, Orde Baru,
dan Era Reformasi. Selain itu, politik hukum dalam pembaruan KUHP (RUU KUHP)
dan peraturan perundang-undangan lain diluar KUHP dalam upaya pemberantasan
tindak pidana korupsi terus dilakukan oleh pemerintah.
G.
Saran
1. Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi,
seyogianya dilakukan dengan mengikuti formulasi pidana yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan, serta mengacu pula terhadap modernisasi
pemidanaan.
2. Untuk mendukung penegakan hukum tersebut, maka
diperlukan politik hukum dalam rangka pembaruan hukum pidana di bidang tindak
pidana korupsi.
H.
Daftar Pustaka
Buku
:
Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik
Hukum, Jakarta: Sinar Grafika.
Abu Fida’ Abdur Rafi’, 2006, Terapi
Penyakit Korupsi dengan Takziyatun Nafs (Penyucian Jiwa),
Jakarta: Republika.
Adrian Sutendi, 2010, Hukum
Keuangan Negara, Jakarta: Sinar Grafika.
Alfitra, 2011, Hukum Pembuktian
dalam Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, Jakarta: Raih Asa
Sukses.
Andi Hamzah, 2008, Terminologi Hukum
Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
Artidjo Alkostar, 2008, Korupsi
Politik di Negara Modern, Yogyakarta: FH UII Press.
Barda Nawawi Arief, 2008, Masalah Penegakan Hukum
dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Jakarta:
Kencana.
Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah, 2009, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-II, Bandung: Refika Aditama.
Chairul Huda, 2015, Dari Tiada
Pidana Tanpa Kesalahan Mneuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana, Cet. Ke-VI, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
D. Soedjono, 2013, Korupsi Di Indonesia Masalah dan
Pemecahannya, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Ermansjah Djaja,2013, Memberantas
Korupsi Bersama KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi),
(Jakarta: Sinar Grafika,
Evi Hartanti, 2005, Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta : Sinar Grafika.
Hibnu Nugroho, 2012, Integralisasi Penyidikan
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Jakarta: Media Aksara Prima.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2013, Politik Hukum, Jakarta: Rajawali Press.
Leden Marpaung, 2001, Tindak
Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, Jakarta: Djambatan.
_______________, 2012, Asas-Teori-Praktik
Hukum Pidana, Cet. Ke-VII, Jakarta: Sinar Grafika.
Lilik Mulyadi, 2007, Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia: Normatif, Teoritis, Praktik dan Masalahnya. Bandung: Alumni.
M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana:
Ide Dasar Double Track System dan Impelementasinya, Jakarta
PT. Raja Grafindo Persada.
Moh. Hatta 2010, Kebijakan Politik Kriminal:
Penegakan Hukum Dalam Rangka Penanggulangan Kejahatan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Moh. Mahfud MD, 2014, Politik
Hukum di Indonesia, Cet. Ke-VI, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Ruben Achmad, 2014, Penafsiran dalam Politik Hukum Pidana,
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
S.R Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di
Indonesia dan Penerapannya. Cet. Ke-III, Jakarta. Storia Grafika,
Sudarto, 1983, Hukum dan Hukum
Pidana, Bandung:
Alumni.
Syaiful Bakhri, 2009, Pidana
Dendan dan Korupsi, Yogyakarta: Total Media.
____________, 2010, Kebijakan
Kriminal Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta:
Total Media.
_____________, 2015, Nutrisi
Keilmuan Dalam Pusaran Ilmu Hukum Pidana, Yogyakarta: Kreasi Total Media.
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebiajakan Kriminalisasi Dan
Dekriminalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tongat, 2008, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam
Perspektif Pembaharuan, Malang: UMM Press.
UNDANG-UNDANG:
Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Internet
:
Effendy Choiry, Anggota Komsi I DPR RI , Sabtu 19 Mei
2012 dalam Kompas.com, Agenda
Reformasi Dikhianati, diakses pada 1 Nopember 2017.
KPK Tangani Korupsi Abdullah
Puteh, https://news.detik.com/berita/129918/kpk-tangani-korupsi-abdullah-puteh, diakses pada Rabu, 8 Nopember 2017.
Pemberantasan Korupsi Pada Masa
Orde Lama, Orde Baru,
dan Reformasi, https://www.beritatransparansi.com/pemberantasan-korupsi-pada-masa-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/, diakses pada Rabu, 8 Nopember 2017.
Sejarah Penegakkan Hukum Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia, https://polmas.
wordpress.com/2011/03/15/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia/, diakses pada Rabu, 8 Nopember 2017.
[1] Adrian
Sutendi, Hukum Keuangan Negara,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 189.
[2]Ermansjah
Djaja,Memberantas Korupsi Bersama KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi), (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 3.
[3]Abu Fida’ Abdur
Rafi’, Terapi Penyakit Korupsi dengan
Takziyatun Nafs (Penyucian Jiwa), (Jakarta: Republika, 2006), hlm. xxi.
[4]Alfitra, Hukum Pembuktian dalam
Beracara Pidana, Perdata, dan Korupsi di Indonesia, (Jakarta: Raih Asa
Sukses, 2011), hlm. 146.
[5]Leden Marpaung,
Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan dan Pencegahan, (Jakarta: Djambatan,
2001), hlm. 27.
[6]Evi Hartanti, Tindak
Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 6.
[7]D. Soedjono, Korupsi Di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2013), hlm. 189.
[8]Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2008), hlm.
77-78.
[9]Moh Hatta, Kebijakan Politik Kriminal: Penegakan Hukum Dalam Rangka
Penanggulangan Kejahatan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 61.
[10]Effendy Choiry, Anggota Komsi I DPR RI , Sabtu 19 mei 2012 dalam
Kompas.com, Agenda Reformasi
Dikhianati, diakses pada 1 Nopember 2017.
[11]Moh. Hatta, Op. Cit, hlm. 198.
[12]Syaiful Bakhri, Nutrisi Keilmuan
Dalam Pusaran Ilmu Hukum Pidana, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2015),
hlm. 172.
[13]Ibid.
[14]Moh Mahfud MD, Pergulatan Politik
dan Hukum dalam Syaiful Bakhri, Ibid,
hlm. 173.
[15]Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Politik
Hukum, (Jakarta: Rajawali Press, 2013), hlm. 22.
[16]Padmo Wahjono dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Ibid, hlm. 26.
[17]Ibid, hlm. 26-27.
[18]Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di
Indonesia, Cet. Ke-VI, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2014), hlm. 1.
[19]Abdul Latif dan Hasbi Ali, Politik
Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 6-7
[20]M. Sholehuddin,
Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana: Ide Dasar Double Track System dan
Impelementasinya, (Jakarta
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
1.
[21]Sudarto, Hukum
dan Hukum Pidana, (Bandung:
Alumni, 1983),
hlm. 39-40.
[22] Tongat, Politik Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
(Malang: UMM Press, 2008), hlm. 47
[23]Andi Hamzah, Terminologi Hukum
Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm. 90.
[24]Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal
Dalam Perspektif Pembaruan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, (Yogyakarta:
Total Media, 2010), hlm. 15.
[25]Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Politik Hukum Pidana : Kajian Kebiajakan Kriminalisasi Dan
Dekriminalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 39.
[26]Ibid.
[27]Ibid.
[28]S.R Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya.
Cet. Ke-III, (Jakarta. Storia Grafika, 2002), hlm. 204.
[29]Roeslan Saleh dalam Chairul Huda, Dari
Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Mneuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana
Tanpa Kesalahan; Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana, Cet. Ke-VI, (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2015), hlm. 29.
[30]Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik
Hukum Pidana, Cet. Ke-VII, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 7.
[31]Evi Hartanti, Op. Cit, hlm. 7.
[32]Lilik Mulyadi, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia: Normatif,
Teoritis, Praktik dan Masalahnya. (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 88.
[33]Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia, (Jakarta: Media Aksara Prima, 2012), hlm.36
[34]Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan dan Penegakan Hukum
Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-II, (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm.
114.
[35]Ibid.
[36]Mardjono Reksodiputro, dalam Chaerudin, Syaiful Ahmad Dinar, dan Syarif
Fadillah, Ibid.
[37]Artidjo Alkostar, Korupsi Politik
di Negara Modern, (Yogyakarta: FH UII Press, 2008), hlm. 347.
[38]Syaiful Bakhri, Pidana Dendan dan
Korupsi, (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 389-391.
[39]Ibid, hlm. 391.
[40]Ruben Achmad, Penafsiran dalam Politik Hukum Pidana, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2014, hlm. 46.
[41]Ibid, hlm. 47.
[42]Ermansjah Djaja, Op. Cit, hlm.
34.
[43]Ibid, hlm, 35.
[44]Ibid, hlm. 37.
[45]Pemberantasan
Korupsi Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, https://www.beritatransparansi.com/pemberantasan-korupsi-pada-masa-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/, diakses pada Rabu, 8 Nopember 2017.
[46]Ermansjah Djaja, Op. Cit, hlm. 38.
[47]Ibid.
[48]Ibid.
[49]KPK Tangani
Korupsi Abdullah Puteh, https://news.detik.com/berita/129918/kpk-tangani-korupsi-abdullah-puteh, diakses pada Rabu, 8 Nopember 2017.
[50]Pemberantasan
Korupsi Pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Reformasi, https://www.beritatransparansi.com/pemberantasan-korupsi-pada-masa-orde-lama-orde-baru-dan-reformasi/, diakses pada Rabu, 8 Nopember 2017.
[51]Sejarah
Penegakkan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, https://polmas.
wordpress.com/2011/03/15/sejarah-penegakkan-hukum-tindak-pidana-korupsi-di-indonesia/, diakses pada Rabu, 8 Nopember 2017.