WEWENANG
HAKIM PRAPERADILAN MEMERINTAHKAN PENYIDIK KPK UNTUK MENETAPKAN TERSANGKA DALAM
PERKARA KORUPSI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
(Analisis
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel, Tanggal 9 April 2018)
Oleh:
Roli Pebrianto, S.H
I.
PENGANTAR
Putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor: 24/Pid.Prap/2018/PN Jkt.Sel, merupakan
putusan dalam permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (selanjutnya disingkat MAKI) melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK). Permohonan Praperadilan ini
terkait dengan KPK selaku Termohon yang menangani perkara korupsi Bank Century berlarut-larut dan belum menetapkan tersangka
baru Boediono, Muliaman D Hadad, Raden
Pardede, dkk (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya) dalam kasus korupsi terhadap
pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan pemberian bailout untuk Bank Century.
Terkait
kasus Bank Century, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor:
861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015, Budi
Mulya selaku Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan
Moneter dan Devisa telah divonis bersalah dalam kasus skandal suap Bank Century
dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp.
1.000.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsider 8 (delapan) bulan kurungan.
Kemudian,
mengenai lembaga praperadilan yang dikenal dalam KUHAP sebagai bagian dari Pengadilan
Negeri, kewenangannya sungguh sangat terbatas. Kewenangan tersebut diatur
secara limitatif dalam Pasal 77 KUHAP yaitu sah atau tidaknya penangkapan,
penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; ganti kerugian
dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat
penyidikan atau penuntutan.
Namun
setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, objek
kewenangan praperadilan menjadi lebih luas yakni dapat menentukan sah atau
tidaknya penetapan tersangka seseorang. MAKI sebagai pemohon mengarahkan
permohonannya bahwa karena belum ditetapkannya Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk sebagai tersangka
maka hal ini bertentangan dengan Pasal 5 dan 6 UU KPK, Pasal 25 Tipikor dan
Pasal 50,102,106 KUHAP yang pada intinya diharuskan adanya kejelasan dan proses
yang cepat dalam penanganan tindak pidana korupsi maka hal ini dapat dianggap
bahwa KPK telah melakukan penghentiannya penyidikan. Dalam UU KPK
sebenarnya KPK tidak dibenarkan untuk melakukan penghentian penyidikan maupun
penghentian penuntutan karenanya setiap perkara yang sudah masuk kedalam tahap
penyidikan harus dibawa ke pengadilan.
Terkait
dengan kasus dugaan korupsi Bank Century ini KPK pun dalam berbagai kesempatan
menerangkan bahwa KPK terus melanjutkan proses hukum dugaan korupsi Bank
Century namun memang setelah putusan Budi
Mulya berkekuatan hukum tetap (inkracht)
nama-nama yang berada dalam dakwaan Budi
Mulya yang dikatakan secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi
yakni Boediono, Muliaman D Hadad, Raden
Pardede dkk tidak kunjung ditetapkan jadi tersangka hal inilah yang
menimbulkan tanda tanya apakah prosesnya dihentikan atau masih berlanjut. Jika
prosesnya dihentikan maka kewenangan lembaga pra peradilan untuk memutuskan
bahwa apakah penghentian penyidikan itu sah atau tidak.
Selanjutnya
dalam putusan praperadilan a quo, Hakim
Effendi Mukhtar memerintahkan KPK untuk melanjutkan proses hukum terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede,
dkk. Hal ini sebenarnya menandakan bahwa Hakim Effendi Mukhtar menganggap bahwa
dengan belum atau tidak dilanjutkannya proses penyidikan terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede,
dkk adalah bentuk penghentian penyidikan.
Penafsiran
ini menurut Penulis sah-sah saja karena secara akademis penafsiran hukum
merupakan suatu hal yang lazim dilakukan. Akan tetapi, terkait dengan perintah
agar KPK menetapkan Boediono, Muliaman D
Hadad, Raden Pardede, dkk sebagai tersangka ini menurut sebagian kalangan,
ahli hukum, dan para akademisi bukan merupakan kewenangan dari lembaga
praperadilan.
Jika
kita dlihat dalam KUHAP Pasal 1 angka 2 jo Pasal 7 sebenarnya yang berhak untuk
melakukan penetapan tersangka adalah murni kewenangan penegak hukum (penyidik)
begitu pun juga terkait dengan perintah untuk membawa perkara tersebut ke
pengadilan sebenarnya hal ini bukan merupakan kewenangan lembaga praperadilan
karena kewenangan untuk melimpahkan kasus ke pengadilan adalah kewenangan
penuntut umum sesuai dengan azas dominus
litis.
Lembaga
praperadilan memiliki kewenangan yang limitatif sebenarnya tidak boleh
melakukan putusan yang di luar dari kewenangannya karena akan menabrak
azas-azas hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal inilah
yang menjadi perdebatan banyak kalangan dan untuk itu Penulis akan melakukan legal annotatation terhadap putusan
praperadilan a quo.
II.
TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON
Berdasarkan
ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(selanjutnya disingkat KUHAP), bahwa “Permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.”
Bahwa dalam perkembangannya, objek Praperadilan tidak hanya untuk memeriksa sah
atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, melainkan juga
termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka. Adapun yang berhak mengajukan permohonan Praperadilan berdasarkan ketentuan
Pasal 80 KUHAP adalah Penyidik atau Penuntut Umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan.
Adapun
yang menjadi fokus Penulis ialah mengenai “pihak
ketiga yang berkepentingan”. Manurut M. Yahya Harahap, mengenai pengertian
“pihak ketiga yang berkepentingan” menimbulkan perbedaan penafsiran dalam
penerapan. Ada yang menafsirkan secara sempit hanya terbatas pada saksi korban
tindak pidana atau pelapor. Sebaliknya, muncul pendapat lain, pengertian “pihak
ketiga yang berkepentingan” harus ditafsirkan secara luas, tidak terbatas hanya
saksi korban atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pada
dasarnya penyelesaian tindak pidana yang bersangkutan sedemikian rupa, sangat
layak dan proporsional untuk memberi hak kepada masyarakat umum yang diwakili
oleh LSM atau organisasi kemasyarakatan untuk mengajukan kepada Praperadilan
atas pengentian penyidikan atau penuntutan. Kemudian, M. Yahya Harahap dalam bukunya
Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali,
halaman 11, menyatakan bahwa:
“...perkataan “pihak ketiga yang
berkepentingan” yang dirumuskan dalam Pasal 80 KUHAP, dikategorikan istilah
yang mengandung “pengertian luas” (broad
term) atau “kurang jelas pengertiannya” (unplain meaning). Menghadapi rumusan seperti itu, diperlukan
kemampuan untuk menemukan makna yang aktual (to discover the actual meaning). Cara yang dianggap mampu memberi
pengertian yang tepat dan aktual, mengaitkannya dengan unsur “kehendak pembuat
undang-undang” (legislative purpose)
dan “kehendak publik” (public purpose).
Jika tujuan mem-Praperadilankan
penghentian penyidikan atau penuntutan untuk “mengkoreksi” atau “mengawasi”
kemungkinan kekeliruan maupun kesewenangan atas penghentian itu secara
horizontal, cukup alasan untuk berpendapat, bahwa kehendak pembuat undang-undang
dan kehendak publik atas penerapan pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi
masyarakat luas yang diwakili LSM atau organisasi kemasyarakatan.”
Selanjutnya,
dalam permohonan Praperadilan a quo,
MAKI selaku Pemohon mendasarkan alasan permohonan tentang Hak dan Kedudukannya
“sebagai pihak ketiga yang berkepentingan” pada Putusan Mahkamah Konstitusi
nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 21 Mei 2013, yang Amar Putusannya menyatakan bahwa:
1.
Mengabulkan permohonan Pemohon;
1.1
Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor
8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209)
adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga
swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
1.2
Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor,
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
Berdasarkan
uraian tersebut, maka MAKI selaku Pemohon yang merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi kemasyarakatan yang bergerak untuk tujuan pemberantasan
korupsi, memiliki kualifikasi secara hukum (legal standing) bertindak sebagai “pihak
ketiga yang berkepentingan” untuk mengajukan permohonan Praperadilan
sebagaimana ketentuan Pasal 80 KUHAP.
Namun pada sisi yang lain, menurut Penulis, Hakim juga dapat
mempertimbangkan lain bahwa ada pihak yang seharusnya lebih berkepentingan atau keberatan atas lambatnya proses
penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh KPK, yakni Budi Mulya yang telah diputus
terbukti secara sah dan menyakinkan bersama-sama melakukan tindak pidana
korupsi, namun nama-nama yang disebut bersama-sama dengan Budi Mulya, yakni Boediono
c.s, belum diperiksa oleh KPK. Hal ini jelas ada perlakuan yang tidak sama (non equal treetment) yang berdasarkan
pada asas equality before the law.
III.
TENTANG KEWENANGAN PRAPERADILAN
Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa:
“Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.
sah
atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.
ganti
kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan
atau penuntutan.
Dalam
Pasal 79, 80, 81 sebgaimana dinyatakan oleh Andi Hamzah dalam bukunya Hukum
Acara Pidana Indonesia, halaman 190,
diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok: yaitu:
a.
Permintaan pemeriksaan tentang
sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh
tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya;
b.
Permintaan untuk memeriksa sah
atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh
penyidik, atau penuntut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada
ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya;
c.
Permintaan ganti kerugian
dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau
akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka
atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan
menyebutkan alasannya.
Dalam
permohonan praperadilan a quo,
Pemohon mendasari permohonannya (halamn 9 putusan a quo) pada pertimbangan putusan Mahkamah Agung No. 861
K/Pid.Sus/2015 pada halaman 826 dengan jelas menerima dan membenarkan alasan
kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dan menambahkan pertimbangan:
“Bahwa
Terdakwa Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia
Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa melakukan perbuatan
melawan hukum secara bersama-sama dengan pejabat yang
nama-namanya disebutkan dalam Surat Dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, Robert
Tantular dan Raden Pardede telah merugikan keuangan
negara dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek
(FPJP) sebesar Rp.689.394.000.000,00 (enam ratus delapan puluh
sembilan milyar
tiga ratus sembilan puluh empat juta rupiah) dan dalam proses
penetapan PT. Bank Century,Tbk sebagai Bank gagal berdampak
Sistemik sebesar Rp.6.762.361.000.000,00 (enam trilyun
tujuh ratus enam puluh dua milyar tiga ratus enam puluh satu juta
rupiah) sesuai Laporan Hasil Audit Investigasi Badan Pemeriksa
Keuangan RI Nomor: 64/LHP/XV/12/2013 tanggal 20 Desember
2013, serta dana PMS (Penyertaan Modal Sementara) yang dikucurkan sebesar
Rp.1.250.000.000.000,00 (satu trilyun dua ratus lima puluh milyar rupiah)
sehingga total berjumlah Rp. 8.012.221.000.000,00 (delapan trilyun dua belas miliar
dua ratus dua puluh satu juta rupiah)”.
Dengan demikian siapapun pejabat
lainnya dari Bank Indonesia termasuk Budiono yang menyetujui penetapan Bank
Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik dan persetujuan pengucuran FPJP
haruslah dinyatakan sebagai Tersangka dan diproses ke Pengadilan Tipikor
sebagaimana yang sudah terjadi pada Budi Mulya;
Berdasarkan
pertimbangan Majelis Hakim Kasasi diatas, maka terdapat perbedaan perlakuan
antara Budi Mulya dengan Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede,
dkk yang disebutkan dalam surat dakwaan bersama-sama melakukan tindak pidana
korupsi. Sehingga menurut Penulis, wajar bila dikatakan ada perlakuan yang
tidak adil, bagaimana suatu perbuatan yang dilakukan bersama-sama namun yang
dipertanggungjawabkan secara perseorangan (hanya Budi Mulya).
Apabila
dilihat putusan praperadilan a quo,
menurut beberapa pendapat telah melampaui wewenang praperadilan. Menurut Penulis,
justru putusan praperadilan a quo
tidak melampaui wewenang praperadilan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan
praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Jika
dilihat dalam amar putusan praperadilan a
quo yang berbunyi:
“...2.
Memerintahkan Termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan
ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan
tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan
menetapkan tersangka terhadap Boediono,
Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk, (sebagaiman tertuang dalam surat dakwaan
atas nama Terdakwa BUDI MULYA) atau melimpahkannya kepada Kepolisian dan
atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan
dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pussat;...
Berdasarkan
amar putusan praperadilan a quo jika
dilihat dari perspektif hak asasi manusia, lambatnya proses penyidikan yang
dilakukan oleh KPK kepada Boediono, cs, menyebabkan ternyadinya pelanggaran HAM
terhadap Budi Mulya yang telah dijatuhi pidana selama 15 tahun penjara dan
denda 1 miliar subsider 8 bulan kurangan yang telah diperiksa, diadili, dan
diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tingkat Kasasi Nomor: 861 K/Pid.Sus/2015
tanggal 8 April 2015, namun sampai tahun 2018, KPK belum menetapkan tersangka
baru dalam kasus bailout Bank Century
(sebagaiman dalam dakwaan yang bersama-sama dengan Budi Mulya). Dengan demikian, sekali lagi menurut Penulis, putusan
praperadilan a quo masih sejalan
dengan tujuan praperadilan yakni melindungi hak asasi manusia.
IV.
TENTANG AKIBAT HUKUM PUTUSAN
PRAPERADILAN
Kewenangan
untuk melakukan penetapan tersangka sesuai peraturan perundang-undangan adalah
ditangan penyidik dalam hal ini KPK terkait dengan putusan praperadilan yang
memerintahkan agar Boediono, Muliaman D
Hadad, Raden Pardede, dkk sebenarnya perlu dikembalikan pada Penyidik (KPK)
yang menangani perkara tersebut karena pada dasarnya lembaga praperadilan tidak
memiliki kewenangan dalam memerintahkan agar seseorang ditetapkan jadi
tersangka. Namun di sisi lain ada kewajiban bagi KPK untuk mematuhi putusan
praperadilan a quo karena dengan
alasan apapun putusan pengadilan harus dipatuhi terlepas putusan ini baik atau
kurang baik.
Hal yang
perlu diingat ialah apabila KPK akan melaksanakan putusan praperadilan a quo, maka perlu diperhatikan terkait
alat bukti karena jika alat bukti belum memenuhi syarat maka tersangka dapat
mengajukan pembatalan status tersangkanya melalui praperadilan. Jika KPK tidak
dapat melanjutkan proses selanjutnya, maka sebagaimana dalam amar putusan
praperadilan a quo, KPK dapat
melimpahkannya kepada Kepolisian dan/atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan
Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan
Tipikor Jakarta Pusat.
V.
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian yang telah Penulis uraikan sebelumnya, maka Anantor dapat menyimpulkan
bahwa MAKI sebagai Pemohon Praperadilan mempunyai legal standing sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan,” namun
ada pihak yang menurut Penulis lebih berkepentingan yakni Budi Mulya. Budi
Mulya dikatakan sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam hal ini karena
atas lambatnya proses pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK terhadap Boediono cs
sebagaimana tertuang dalam dakwaan Budi Mulya dan Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor: 861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015.
Selain
itu, Hakim Praperadilan tidak melampaui wewenang praperadilan. Sebagaimana
tujuan dari praperadilan yakni untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Dilihat dari
sisi Budi Mulya, Putusan Praperadilan a
quo telah melindungi HAM Budi Mulya akibat tidak adanya tindak lanjut
terhadap Boediono cs sebagaimana dalam dakwaan atas nama Terdakwa Budi Mulya.