Minggu, 06 Mei 2018



WEWENANG HAKIM PRAPERADILAN MEMERINTAHKAN PENYIDIK KPK UNTUK MENETAPKAN TERSANGKA DALAM PERKARA KORUPSI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)
(Analisis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 24/Pid/Pra/2018/PN.Jkt.Sel, Tanggal 9 April 2018)

Oleh:
Roli Pebrianto, S.H


I.         PENGANTAR
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan nomor: 24/Pid.Prap/2018/PN Jkt.Sel, merupakan putusan dalam permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (selanjutnya disingkat MAKI) melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disingkat KPK). Permohonan Praperadilan ini terkait dengan KPK selaku Termohon yang menangani perkara korupsi Bank Century  berlarut-larut dan belum menetapkan tersangka baru Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk (sebagaimana tertuang dalam surat dakwaan atas nama terdakwa Budi Mulya) dalam kasus korupsi terhadap pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan pemberian bailout untuk Bank Century.
Terkait kasus Bank Century, berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor: 861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015, Budi Mulya selaku Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa telah divonis bersalah dalam kasus skandal suap Bank Century dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000.000,- (satu miliar rupiah) subsider 8 (delapan) bulan kurungan.
Kemudian, mengenai lembaga praperadilan yang dikenal dalam KUHAP sebagai bagian dari Pengadilan Negeri, kewenangannya sungguh sangat terbatas. Kewenangan tersebut diatur secara limitatif dalam Pasal 77 KUHAP yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Namun setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014, objek kewenangan praperadilan menjadi lebih luas yakni dapat menentukan sah atau tidaknya penetapan tersangka seseorang. MAKI sebagai pemohon mengarahkan permohonannya bahwa karena belum ditetapkannya Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk sebagai tersangka maka hal ini bertentangan dengan Pasal 5 dan 6 UU KPK, Pasal 25 Tipikor dan Pasal 50,102,106 KUHAP yang pada intinya diharuskan adanya kejelasan dan proses yang cepat dalam penanganan tindak pidana korupsi maka hal ini dapat dianggap bahwa KPK telah melakukan penghentiannya penyidikan. Dalam UU KPK sebenarnya KPK tidak dibenarkan untuk melakukan penghentian penyidikan maupun penghentian penuntutan karenanya setiap perkara yang sudah masuk kedalam tahap penyidikan harus dibawa ke pengadilan.
Terkait dengan kasus dugaan korupsi Bank Century ini KPK pun dalam berbagai kesempatan menerangkan bahwa KPK terus melanjutkan proses hukum dugaan korupsi Bank Century namun memang setelah putusan Budi Mulya berkekuatan hukum tetap (inkracht) nama-nama yang berada dalam dakwaan Budi Mulya yang dikatakan secara bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi yakni Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede dkk tidak kunjung ditetapkan jadi tersangka hal inilah yang menimbulkan tanda tanya apakah prosesnya dihentikan atau masih berlanjut. Jika prosesnya dihentikan maka kewenangan lembaga pra peradilan untuk memutuskan bahwa apakah penghentian penyidikan itu sah atau tidak. 
Selanjutnya dalam putusan praperadilan a quo, Hakim Effendi Mukhtar memerintahkan KPK untuk melanjutkan proses hukum terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk. Hal ini sebenarnya menandakan bahwa Hakim Effendi Mukhtar menganggap bahwa dengan belum atau tidak dilanjutkannya proses penyidikan terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk adalah bentuk penghentian penyidikan.
Penafsiran ini menurut Penulis sah-sah saja karena secara akademis penafsiran hukum merupakan suatu hal yang lazim dilakukan. Akan tetapi, terkait dengan perintah agar KPK menetapkan Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk sebagai tersangka ini menurut sebagian kalangan, ahli hukum, dan para akademisi bukan merupakan kewenangan dari lembaga praperadilan. 
Jika kita dlihat dalam KUHAP Pasal 1 angka 2 jo Pasal 7 sebenarnya yang berhak untuk melakukan penetapan tersangka adalah murni kewenangan penegak hukum (penyidik) begitu pun juga terkait dengan perintah untuk membawa perkara tersebut ke pengadilan sebenarnya hal ini bukan merupakan kewenangan lembaga praperadilan karena kewenangan untuk melimpahkan kasus ke pengadilan adalah kewenangan penuntut umum sesuai dengan azas dominus litis.
Lembaga praperadilan memiliki kewenangan yang limitatif sebenarnya tidak boleh melakukan putusan yang di luar dari kewenangannya karena akan menabrak azas-azas hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal inilah yang menjadi perdebatan banyak kalangan dan untuk itu Penulis akan melakukan legal annotatation terhadap putusan praperadilan a quo.


II.      TENTANG LEGAL STANDING PEMOHON
Berdasarkan ketentuan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), bahwa “Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.” Bahwa dalam perkembangannya, objek Praperadilan tidak hanya untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, melainkan juga termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka. Adapun yang berhak mengajukan permohonan Praperadilan berdasarkan ketentuan Pasal 80 KUHAP adalah Penyidik atau Penuntut Umum atau pihak ketiga yang berkepentingan.
Adapun yang menjadi fokus Penulis ialah mengenai “pihak ketiga yang berkepentingan”. Manurut M. Yahya Harahap, mengenai pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapan. Ada yang menafsirkan secara sempit hanya terbatas pada saksi korban tindak pidana atau pelapor. Sebaliknya, muncul pendapat lain, pengertian “pihak ketiga yang berkepentingan” harus ditafsirkan secara luas, tidak terbatas hanya saksi korban atau pelapor, tetapi meliputi masyarakat luas yang diwakili oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Pada dasarnya penyelesaian tindak pidana yang bersangkutan sedemikian rupa, sangat layak dan proporsional untuk memberi hak kepada masyarakat umum yang diwakili oleh LSM atau organisasi kemasyarakatan untuk mengajukan kepada Praperadilan atas pengentian penyidikan atau penuntutan. Kemudian, M. Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, halaman 11, menyatakan bahwa:
“...perkataan “pihak ketiga yang berkepentingan” yang dirumuskan dalam Pasal 80 KUHAP, dikategorikan istilah yang mengandung “pengertian luas” (broad term) atau “kurang jelas pengertiannya” (unplain meaning). Menghadapi rumusan seperti itu, diperlukan kemampuan untuk menemukan makna yang aktual (to discover the actual meaning). Cara yang dianggap mampu memberi pengertian yang tepat dan aktual, mengaitkannya dengan unsur “kehendak pembuat undang-undang” (legislative purpose) dan “kehendak publik” (public purpose).
Jika tujuan mem-Praperadilankan penghentian penyidikan atau penuntutan untuk “mengkoreksi” atau “mengawasi” kemungkinan kekeliruan maupun kesewenangan atas penghentian itu secara horizontal, cukup alasan untuk berpendapat, bahwa kehendak pembuat undang-undang dan kehendak publik atas penerapan pihak ketiga yang berkepentingan, meliputi masyarakat luas yang diwakili LSM atau organisasi kemasyarakatan.”

Selanjutnya, dalam permohonan Praperadilan a quo, MAKI selaku Pemohon mendasarkan alasan permohonan tentang Hak dan Kedudukannya “sebagai pihak ketiga yang berkepentingan” pada Putusan Mahkamah Konstitusi nomor 98/PUU-X/2012 tanggal 21 Mei 2013, yang Amar Putusannya menyatakan bahwa:
1.         Mengabulkan permohonan Pemohon;
1.1         Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk saksi korban atau pelapor, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;
1.2         Frasa “pihak ketiga yang berkepentingan“ dalam Pasal 80 Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk saksi korban atau pelapor,
lembaga swadaya masyarakat atau organisasi kemasyarakatan”;


Berdasarkan uraian tersebut, maka MAKI selaku Pemohon yang merupakan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi kemasyarakatan yang bergerak untuk tujuan pemberantasan korupsi, memiliki kualifikasi secara hukum (legal standing) bertindak sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan” untuk mengajukan permohonan Praperadilan sebagaimana ketentuan Pasal 80 KUHAP.
Namun pada sisi yang lain, menurut Penulis, Hakim juga dapat mempertimbangkan lain bahwa ada pihak yang seharusnya lebih berkepentingan atau keberatan atas lambatnya proses penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh KPK, yakni Budi Mulya yang telah diputus terbukti secara sah dan menyakinkan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi, namun nama-nama yang disebut bersama-sama dengan Budi Mulya, yakni Boediono c.s, belum diperiksa oleh KPK. Hal ini jelas ada perlakuan yang tidak sama (non equal treetment) yang berdasarkan pada asas equality before the law.

III.   TENTANG KEWENANGAN PRAPERADILAN
Pasal 77 KUHAP menyatakan bahwa: “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a.      sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b.      ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

Dalam Pasal 79, 80, 81 sebgaimana dinyatakan oleh Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Acara Pidana Indonesia, halaman 190, diperinci tugas praperadilan itu yang meliputi tiga hal pokok: yaitu:
a.      Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan yang diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya;
b.      Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik, atau penuntut umum, atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya;
c.       Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

Dalam permohonan praperadilan a quo, Pemohon mendasari permohonannya (halamn 9 putusan a quo) pada pertimbangan putusan Mahkamah Agung No. 861 K/Pid.Sus/2015 pada halaman 826 dengan jelas menerima dan membenarkan alasan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum dan menambahkan pertimbangan:
“Bahwa Terdakwa Budi Mulya selaku Deputi Gubernur Bank Indonesia Bidang Pengelolaan Moneter dan Devisa melakukan perbuatan melawan hukum secara bersama-sama dengan pejabat yang nama-namanya disebutkan dalam Surat Dakwaan Jaksa/Penuntut Umum, Robert Tantular dan Raden Pardede telah merugikan keuangan negara dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) sebesar Rp.689.394.000.000,00 (enam ratus delapan puluh sembilan milyar tiga ratus sembilan puluh empat juta rupiah) dan dalam proses penetapan PT. Bank Century,Tbk sebagai Bank gagal berdampak Sistemik sebesar Rp.6.762.361.000.000,00 (enam trilyun tujuh ratus enam puluh dua milyar tiga ratus enam puluh satu juta rupiah) sesuai Laporan Hasil Audit Investigasi Badan Pemeriksa Keuangan RI Nomor: 64/LHP/XV/12/2013 tanggal 20 Desember 2013, serta dana PMS (Penyertaan Modal Sementara) yang dikucurkan sebesar Rp.1.250.000.000.000,00 (satu trilyun dua ratus lima puluh milyar rupiah) sehingga total berjumlah Rp. 8.012.221.000.000,00 (delapan trilyun dua belas miliar dua ratus dua puluh satu juta rupiah)”.
Dengan demikian siapapun pejabat lainnya dari Bank Indonesia termasuk Budiono yang menyetujui penetapan Bank Century sebagai Bank Gagal Berdampak Sistemik dan persetujuan pengucuran FPJP haruslah dinyatakan sebagai Tersangka dan diproses ke Pengadilan Tipikor sebagaimana yang sudah terjadi pada Budi Mulya;

Berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Kasasi diatas, maka terdapat perbedaan perlakuan antara Budi Mulya dengan Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk yang disebutkan dalam surat dakwaan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi. Sehingga menurut Penulis, wajar bila dikatakan ada perlakuan yang tidak adil, bagaimana suatu perbuatan yang dilakukan bersama-sama namun yang dipertanggungjawabkan secara perseorangan (hanya Budi Mulya).
Apabila dilihat putusan praperadilan a quo, menurut beberapa pendapat telah melampaui wewenang praperadilan. Menurut Penulis, justru putusan praperadilan a quo tidak melampaui wewenang praperadilan. Hal ini dapat dilihat dari tujuan praperadilan adalah tegaknya hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Jika dilihat dalam amar putusan praperadilan a quo yang berbunyi:
“...2. Memerintahkan Termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tindak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka terhadap Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk, (sebagaiman tertuang dalam surat dakwaan atas nama Terdakwa BUDI MULYA) atau melimpahkannya kepada Kepolisian dan atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pussat;...

Berdasarkan amar putusan praperadilan a quo jika dilihat dari perspektif hak asasi manusia, lambatnya proses penyidikan yang dilakukan oleh KPK kepada Boediono, cs, menyebabkan ternyadinya pelanggaran HAM terhadap Budi Mulya yang telah dijatuhi pidana selama 15 tahun penjara dan denda 1 miliar subsider 8 bulan kurangan yang telah diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tingkat Kasasi Nomor: 861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015, namun sampai tahun 2018, KPK belum menetapkan tersangka baru dalam kasus bailout Bank Century (sebagaiman dalam dakwaan yang bersama-sama dengan Budi Mulya). Dengan demikian, sekali lagi menurut Penulis, putusan praperadilan a quo masih sejalan dengan tujuan praperadilan yakni melindungi hak asasi manusia.

IV.   TENTANG AKIBAT HUKUM PUTUSAN PRAPERADILAN
Kewenangan untuk melakukan penetapan tersangka sesuai peraturan perundang-undangan adalah ditangan penyidik dalam hal ini KPK terkait dengan putusan praperadilan yang memerintahkan agar Boediono, Muliaman D Hadad, Raden Pardede, dkk sebenarnya perlu dikembalikan pada Penyidik (KPK) yang menangani perkara tersebut karena pada dasarnya lembaga praperadilan tidak memiliki kewenangan dalam memerintahkan agar seseorang ditetapkan jadi tersangka. Namun di sisi lain ada kewajiban bagi KPK untuk mematuhi putusan praperadilan a quo karena dengan alasan apapun putusan pengadilan harus dipatuhi terlepas putusan ini baik atau kurang baik. 
Hal yang perlu diingat ialah apabila KPK akan melaksanakan putusan praperadilan a quo, maka perlu diperhatikan terkait alat bukti karena jika alat bukti belum memenuhi syarat maka tersangka dapat mengajukan pembatalan status tersangkanya melalui praperadilan. Jika KPK tidak dapat melanjutkan proses selanjutnya, maka sebagaimana dalam amar putusan praperadilan a quo, KPK dapat melimpahkannya kepada Kepolisian dan/atau Kejaksaan untuk dilanjutkan dengan Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan dalam proses persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat.

V.      KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah Penulis uraikan sebelumnya, maka Anantor dapat menyimpulkan bahwa MAKI sebagai Pemohon Praperadilan mempunyai legal standing sebagai “pihak ketiga yang berkepentingan,” namun ada pihak yang menurut Penulis lebih berkepentingan yakni Budi Mulya. Budi Mulya dikatakan sebagai pihak yang paling berkepentingan dalam hal ini karena atas lambatnya proses pemeriksaan yang dilakukan oleh KPK terhadap Boediono cs sebagaimana tertuang dalam dakwaan Budi Mulya dan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 861 K/Pid.Sus/2015 tanggal 8 April 2015.
Selain itu, Hakim Praperadilan tidak melampaui wewenang praperadilan. Sebagaimana tujuan dari praperadilan yakni untuk melindungi Hak Asasi Manusia. Dilihat dari sisi Budi Mulya, Putusan Praperadilan a quo telah melindungi HAM Budi Mulya akibat tidak adanya tindak lanjut terhadap Boediono cs sebagaimana dalam dakwaan atas nama Terdakwa Budi Mulya.


KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...