ANOTASI
PUTUSAN PENGADILAN NEGERI SIBOLGA NOMOR:
243/Pid.Sus/2014/PN.SBG, tanggal 23 Oktober 2014,
Dalam Perkara Tindak Pidana Kehutanan, Atas Nama Terdakwa:
Ir. Saparuddin Simatupang alias Capalo
Oleh:
Roli Pebrianto,S.H
I.
PENGANTAR
Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor:
243/Pid.Sus/2014/PN.SBG, tanggal 23 Oktober 2014 atas nama Terdakwa: Ir.
Saparuddin Simatupang alias Capalo merupakan putusan dalam perkara tindak
pidana kehutanan, yakni “menebang pohon, atau memanen, atau memungut hasil
hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 78 ayat (5) jo. Pasal 50 ayat
(3) huruf e UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (selanjutnya disingkat UU
Kehutanan) jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, atau perbuatan menerima, membeli
atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki hasil
hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang daimbil
atau dipungut secara tidak sah sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 78 ayat (5) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf f UU Kehutanan jo. Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP.
Dalam amar Putusan Pengadilan Negeri Sibolga menyatakan
bahwa Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam Dakwaan Alternatif Pertama dan
Dakwaan Alternatif Kedua. Hal ini kontradiktif dengan Putusan Pengadillan Negeri
Sibolga Nomor: 371/Pid.B/2006/PN.Sbg tanggal 2 April 2007 atas nama Terdakwa
John Monggo Tinambunan alias Simbolon, dkk, yang dikuatkan oleh Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor: 228/PID/2007/PT.MDN, tanggal 19 Juni 2007, yang
menyatakan bahwa Terdakwa John Monggo Tinambunan alias Simbolon, dkk terbukti
secara sah bersalah melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama menebang pohon
didalam didalam hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.” Dalam
pertimbangan Majelis Hakim pada putusan tersebut menyatakan bahwa para terdakwa
John Monggo Tinambunan alias Simbolon, dkk merupakan suruhan Ir. Saparuddin
Simatupang alias Capalo.
Dengan demikian, terdapat kontradiksi antara kedua putusan
tersebut menilai kesalahan para Terdakwa John Monggo Tinambunan alias Simbolon,
dkk sebgaai suruhan Terdakwa Ir. Saparuddin Simatupang alias Capalo. Untuk itu,
Anator akan memberikan catatan-catatan atau anotasi hukum (legal annotation) terhadap putusan a quo.
II.
KASUS POSISI
Pada mulanya Terdakwa yang merupakan anggota DPRD Kabupaten
Sibolga menyuruh atau memerintahkan saksi Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun
Bakara (yang perkaranya diajukan dalam berkas terpisah) selanjutnya terdakwa
dengan perantaraan saksi Asdin Sitompul menunjukkan peralatan dan disepakati
dari hasil hutan yang dikerjakan oleh saksi Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun
Bakara maka mereka akan mendapat upah dari terdakwa dengan bayaran sebesar
Rp.150.000,-(seratus lima puluh ribu rupiah) per meter kubik dengan ketentuan
hasil hutan berupa kayu olahan akan diserahkan kepada terdakwa atau diangkut
ketempat pengetaman milik terdakwa, selanjutnya berdasarkan kesepakatan itu
maka saksi Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara menerima peralatan berupa
mesin chain saw dari terdakwa untuk memulai bekerja. Kegiatan tersebut tidak
dilengkapi izin dari pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan SK Menteri
Kehutanan Nomor:382/MenhutII/2004.
Kemudian, pada bulan Mei 2006 saksi Jhon Monggo Tinambunan
dan Sahirun Bakara mulai bekerja dengan cara menebang, memanen atau memungut
hasil hutan berupa kayu di hutan Datu Desa Sigiring-giring Kecamatan Tukka
Kabupaten Tapanuli Tengah (setelah dilakukan peninjauan dilapangan pada tanggal
08 Agustus 2006 serta dihubungkan dengan peta lampiran Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor:44/Menhut-II/2005 tanggal 16 Februari 2005 adalah kawasan hutan
dengan status Hutan Negara).
Selanjutnya kayu tersebut diolah menjadi papan atau panel
dengan ukuran untuk panel panjang 4 m, tebal 4 cm, dan lebar 20 cm dan untuk
papan dengan ukuran 4 m, lebar 25 cm, tebal 2 cm, sehingga hasil hutan yang
ditebang, dipanen atau dipungut oleh saksi Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun
Bakara yang telah diolah menjadi papan atau panen sebanyak 5 (lima) m3 dan
saksi Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara telah menerima upah atas hasil
pekerjaan tersebut adalah sebesar Rp.400.000,- (empat ratus ribu rupiah) untuk
saksi Jhon Monggo Tinambunan dan sebesar Rp.320.000,-(tiga ratus dua puluh ribu
rupiah) untuk saksi saksi Sahirun Bakara telah diterima dari terdakwa.
Pada tanggal 24 Juli 2006 sekira pukul 16.00 wib ketika
saksi Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara ditangkap oleh petugas
kepolisian dari Polres Tapanuli Tengah dan dari saksi Jhon Monggo Tinambunan dan
Sahirun Bakara disita 1 (satu) mesin chain saw dan 62 (enam puluh dua) batang
kayu olahan yaitu jenis: 1) Ketapang: 30 batang dengan volume/berat 1,1056 M3;
2) Nyatoh: 17 batang dengan volume/berat 0,3580 M3; 3) Dara-dara: 15 batang
dengan volume/berat 0,3440 M3, sehngga berjumlah 62 batang dengan volume/berat
1,8076 M3.
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor:923/KPTS/Um/12/1982
tanggal 27 Desember 1982, Undang-undang Nomor: 2 Tahun 1992 tentang Tata Ruang
dan Peraturan Pemerintah Daerah Propinsi Sumatera Utara Nomor 7 Tahun 2003
bahwa fungsi kawasan hutan negara yang terletak di Hutan Datu Desa Sigiring-giring
Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah adalah kawasan peruntukan lain.
III. DAKWAAN DAN TUNTUTAN JAKSA/PENUNTUT UMUM
Dalam perkara a quo,
Terdakwa didakwa dengan dakwaan alternatif yakni sebagai berikut:
1.
Perbuatan
Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 78 ayat (5) jo. Pasal 50 ayat
(3) huruf e Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP; atau
2.
Perbuatan
Terdakwa diatur dan diancam pidana dalam Pasal 78 ayat (5) jo. Pasal 50 ayat
(3) huruf f Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 55
ayat (1) ke-1 KUHP.
Sedangkan Tuntutan JPU tanggal 13
Oktober 2014 menuntut sebagai berikut:
1.
Menyatakan
Terdakwa Ir. Saparuddin Simatupang alias Capalo terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Dengan sengaja menyuruh menebang
pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak
atau izin dari pejabat yang berwenang” sebagaimana diatur dan diancam pidana
dalam dakwaan Kesatu melanggar Pasal 78 ayat (5) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf e
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP;
2.
Menjatuhkan
pidana penjara terhadap Terdakwa Ir. Saparuddin Simatupang alias Capalo selama
1 (satu) tahun dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan sementara, dan
denda sebesar Rp. 15.000.000,00,- (lima belas juta rupiah), subsidair 6 (enam)
bulan kurungan;
3.
Menyatakan
barang bukti.....”
IV. PERTIMBANGAN HAKIM
1. Pertimbangan Majelis Hakim Mengenai Penentuan Unsur-Unsur
Tindak Pidana
Bahwa, dalam Surat Dakwaan JPU dalam
perkara a quo Terdakwa Ir. Sparuddin
Simmatupang didakwa dengan dakwaan yang bersifat alternatif, yakni dakwaan
alternatif pertama: Pasal 78 ayat (5) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf e
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP; atau dakwaan alternatif kedua Pasal 78 ayat (5) jo. Pasal 50 ayat (3)
huruf f Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo. Pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP.
Bahwa, Pengadilan Negeri Sibolga dalam
mempertimbangkan unsur-unsur tindak pidana dari Dakwaan Alternatif Pertama
tersebut (hlm. 20), menyatakan unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan
terhadap Terdakwa dalam Dakwaan Alternatif Pertama adalah sebagai berikut:
a.
Barangsiapa;
b.
Menebang
pohon, atau memanen atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak
atau ijin dari pejabat yang berwenang;
c.
Mereka
yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan.
Sedangkan menyatakan unsur-unsur dari tindak pidana yang
didakwakan terhadap Terdakwa dalam Dakwaan Alternatif Kedua (hlm. 23) adalah
sebagai berikut:
a.
Barangsiapa;
b.
Menerima,
membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan atau memiliki
hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan;
c.
Yang
diambil atau dipungut secara tidak sah;
d.
Mereka
yang melakukan, yang menyuruh lakukan dan yang turut serta melakukan.
Bahwa, berdasarkan unsur-unsur dalam
Dakwaan Alternatif Pertama dan Dakwaan Alternatif Kedua, Terdakwa didakwa
secara bersama-sama. Sebagaimana diketahui bahwa suatu rumusan tindak pidana dalam
peraturan perundang-undangan pada umumnya diformulasi untuk pembuat (dader) tunggal
dan untuk satu perbuatan. Namun demikian, dalam hal suatu tindak pidana
dilakukan oleh lebih dari satu orang pembuat, maka rumusan dapat diperluas
penerapannya dengan menggunakan ketentuan-ketentuan tentang penyertaan (deelneming),
yang terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.
Bahwa, perbuatan Terdakwa (sebagaimana
diuraikan dalam dakwaan) “menyuruh” Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara
(Terdakwa dalam berkas yang terpisah) untuk melakukan perbuatan menebang pohon
di Hutan Datu, Desa Sigiring-giring Kec. Tukka, Tapanuli Tengah, kemudian
diolah menjadi papan dan untuk selanjutnya dibawa ke tempat pengetaman milik
Terdakwa. Atas pekerjaan tersebut Jhon Monggo Tinambunan mendapat upah dari
Terdakwa sebesar Rp. 400.000,00,- (empat ratus ribu rupiah) dan untuk Sahirun
Bakara sebesar Rp. 320.000,00,- (tiga ratus dua puluh ribu rupiah).
2. Pertimbangan mengenai unsur “Barangsiapa”
Pada umumnya, rumusan suatu delik
didalam undang-undang dimulai dengan subyek (normadressaat) atau pelaku delik yang dirumuskan itu. Sebagian
besar memulai dengan “Barangsiapa” (dalam bahasa Belanda: Hij die...”).[1] Begitu pula dalam delik
kehutanan, dimulai dengan subyek “Barangsiapa”.
Bahwa, kata-kata “Barangsiapa” dalam
suatu rumusan tindak pidana merupakan isyarat pembentuk undang-undang tentang
siapakah yang dituju dari norma (addressaat norm) suatu tindak
pidana. Dengan demikian tidak tepat apabila Majelis Hakim mendalilkan
hal ini sekedar berarti “setiap orang” yang didakwa melakukan
tindak pidana. Hal ini ternyata dari dari pertimbangannya bahwa:
“Menimbang, bahwa unsur “barangsiapa”
dalam rumusan Pasal 78 ayat (5) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan tentunya mengacu pada rumusan Pasal 50 ayat (3) yang
berisikan ketentuan larangan bagi setiap orang. Jadi dengan terpenuhinya
“setiap orang” ini, maka terpenuhi pula unsur “barangsiapa””
Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan
“orang” adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha
sebagaimana penjelasan Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mana bila dikaitkan dengan perkara ini
subyek hukum natuurlijk person, yaitu terdakwa Ir. SAPARUDDIN SIMATUPANG Als
CAPALO dan ternyata terdakwa mengakui dan membenarkan, serta tidak berkeberatan
bahwa identitas terdakwa sebagaimana dalam surat dakwaan Penuntut Umum adalah
benar identitas dirinya, dan juga berdasarkan pemeriksaan persidangan terdakwa
adalah merupakan subyek hukum yang sehat jasmani dan rohani yang pada dirinya
tiada alasan-alasan yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban hukum.”
Bahwa sekalipun demikian, karena telah
dinyatakan sebagai unsur tindak pidana maka sebagai konsekuensinya, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Sibolga harus dapat membuktikan Terdakwa Ir. Saparuddin
Simatupang termasuk dalam pengertian tersebut. Oleh karenanya, majelis hakim
dalam pertimbangannya tersebut tidak sungguh-sungguh dalam mempertimbangkan dan
membuktikan unsur “Barangsiapa.”
3. Pertimbangan mengenai unsur “Menebang pohon, atau memanen
atau memungut hasil hutan didalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari
pejabat yang berwenang”
Dalam mempertimbangkan unsur ini, Majelis Hakim Pengadilan
Negeri Sibolga memberikan pengertian bahwa hutan adalah “suatu kesatuan
ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan
lainnya tidak dapat dipisahkan.”
Kemudian, Majelis Hakim juga menegaskan dalam
pertimbangannya antara Hutan Negara dan Hutan Hak, yang kemudian menguraikan
fakta-fakta sebagai berikut::
“Menimbang,
bahwa berdasarkan Pasal 1 butir 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang dimaksud dengan Hutan Negara adalah Hutan yang berada pada tanah
yang tidak dibebani hak atas tanah. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 butir 5
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Hutan Hak adalah Hutan yang
berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah;
Menimbang,
bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa diperoleh
fakta hukum bahwa orang tua terdakwa bernama H. Jamarilan Simatupang menyuruh
terdakwa mencari orang untuk meremajakan kebun karet yang ada di hutan Datu
Desa Sigiring-giring Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah, selanjutnya
terdakwa meminta saksi Asdin Sitompul untuk mencarikan orang yang bisa menebang
pohon. Bahwa saksi Asdin Sitompul memperkenalkan Jhon Monggo Tinambunan dan
Sahirun Bakara kepada terdakwa yang kemudian disepakati Jhon Monggo Tinambunan
beserta Sahirun Bakara untuk menebang pohon di Hutan Datu Desa Sigiring-giring
Kecamatan Tukka Kabupaten Tapanuli Tengah. Bahwa untuk keperluan tersebut H.
Jamarilam Simatupang dan terdakwa mengurus Surat Keterangan yang
dikeluarkan Kepala Desa Timbul Sitompul
untuk menumbang kayu guna peremajaan kayu karet yang terletak di Lorong III Aek
Simamak Desa Sigiring-giring dan kayu
yang ada di lahan tersebut diolah untuk keperluan bangunan pemondokan di kebun.
Bahwa selanjutnya Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara melakukan
penebangan di lokasi tersebut;
Menimbang,
bahwa pada hari Senin tanggal 24 Juli 2006 Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun
Bakara ditangkap dan di lokasi ditemukan 62 (enam puluh dua) potong hasil hutan
berupa kayu olahan dan 1 (satu) unit mesin Chain Saw. Bahwa pemilik kayu
tersebut adalah terdakwa Ir. SAPARUDDIN SIMATUPANG Als CAPALO”
Berdasarkan fakta tersebut, menurut Majelis Hakim yang
didasarkan atas keterangan saksi-saksi dan keterangan Ahli menyatakan bahwa
lokasi penebangan yang dilakukan oleh Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara
berada pada Areal Penggunaan Lain (APL) yang bukan termasuk Kawasan Hutan,
namun di Areal Penggunaan Lain (APL) masih ada perkebunan dan pemukiman
penduduk. Sehingga, dalam Areal Penggunaan Lain (APL) apabila belum dibebani
sesuatu alas hak maka merupakan tanah Negara, sebaliknya apabila telah memiliki
alas hak maka merupakan kewenangan dari pemegang hak. Majelis Hakim menyatakan
sebagai berikut:
“Menimbang,
bahwa berdasarkan keterangan Ahli lokasi penebangan yang dilakukan oleh Jhon
Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara berada pada Areal Penggunaan Lain (APL);
Menimbang,
bahwa Ahli juga telah menerangkan bahwa Areal Penggunaan Lain (APL) bukan
termasuk Kawasan Hutan, namun di Areal Penggunaan Lain (APL) masih ada
perkebunan dan pemukiman penduduk. Bahwa wilayah yang terdapat dalam Areal
Penggunaan Lain (APL) apabila belum dibebani sesuatu alas hak maka merupakan
tanah Negara, sebaliknya apabila telah memiliki alas hak maka merupakan
kewenangan dari pemegang hak;
Menimbang,
bahwa Ahli berpendapat lokasi penebangan merupakan Areal Penggunaan Lain (APL)
yang masih dikuasai Negara karena saat peninjauan ke lokasi Ahli tidak ada
ditunjukkan mengenai bukti kepemilikan berupa alas hak oleh pihak kepolisian,
hanya berdasarkan keterangan pihak kepolisian bahwa terdakwa tidak memiliki
bukti kepemilikan atas lahan tersebut;
Menimbang,
bahwa terdakwa menerangkan lokasi tempat Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun
Bakara melakukan penebangan pohon adalah kebun milik orang tua terdakwa yang
bernama Jamarilam Simatupang sejak tahun 1964. Bahwa hal ini bersesuaian dengan
keterangan saksi Asdin Sitompul, saksi Timbul Sitompul, saksi a de charge Hadir Simatupang dan saksi a de charge Firman Zebua menyebutkan
bahwa sepengetahuan saksi-saksi tersebut lokasi tempat Jhon Monggo Tinambunan
dan Sahirun Bakara melakukan penebangan pohon adalah merupakan lahan/kebun
milik orang tua terdakwa yang bernama H. Jamarilam Simatupang;
Menimbang,
bahwa terdakwa dipersidangan mengajukan alat bukti berupa fotocopy Surat Jual
Beli Kebun tertanggal bulan 5 tahun 1965, fotocopy Surat Jual Beli Kebun
tertanggal bulan 12 tahun 1964 dan fotocopy Pembayaran PBB atas tanah tersebut
sejak tanggal 02 Januari 2006;
Menimbang,
bahwa Majelis Hakim berpendapat bahwa fotocopy Surat Jual Beli Kebun tertanggal
bulan 5 tahun 1965, fotocopy Surat Jual Beli Kebun tertanggal bulan 12 tahun
1964 dan fotocopy pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diajukan oleh
terdakwa dalam persidangan adalah merupakan bukti hak kepemilikan atas lahan
kebun karet lokasi tempat Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara melakukan
penebangan pohon;
Menimbang,
bahwa dengan demikian Majelis Hakim berkesimpulan oleh karena terdakwa memiliki
alas hak atas lahan tempat lokasi Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara
melakukan penebangan pohon dan oleh karena lokasi penebangan pohon menurut ahli
berada pada Areal Penggunaan Lain (APL) maka unsur menebang pohon atau memanen
atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau ijin dari
pihak yang berwenang tidak terpenuhi”
Berdasarkan pertimbangan diatas
dan oleh karena salah satu unsur dari Pasal Pasal 78 ayat (5) Jo Pasal 50 ayat
(3) huruf e Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP tidak
terpenuhi, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa haruslah dinyatakan
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana sebagaimana
didakwakan dalam dakwaan alternatif Kesatu sehingga Terdakwa haruslah dibebaskan
dari dakwaan tersebut.
Perlu mendapat catatan Anator
ialah bahwa dalam untuk dapat ditentukan adanya penebangan kayu dalam hutan,
maka harus ditentukan apakah penebangan yang dilakukan masuk kedalam areal
hutan atau areal penggunaan lain (APL), jika masuk kedalam areal hutan maka
jelas telah terjadi tindak pidana. Jika masuk APL, maka harus dibuktikan dengan
alas hak. Dalam putusan ini, Anator memandang bahwa Majelis Hakim telah keliru
dalam memberikan pertimbangan dan tidak mempertimbangkan keterangan Ahli. Hal mana
dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa:
“Menimbang,
bahwa Ahli berpendapat lokasi penebangan merupakan Areal Penggunaan Lain (APL)
yang masih dikuasai Negara karena saat peninjauan ke lokasi Ahli tidak ada
ditunjukkan mengenai bukti kepemilikan berupa alas hak oleh pihak kepolisian,
hanya berdasarkan keterangan pihak kepolisian bahwa terdakwa tidak memiliki
bukti kepemilikan atas lahan tersebut;
Menimbang,
bahwa terdakwa menerangkan lokasi tempat Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun
Bakara melakukan penebangan pohon adalah kebun milik orang tua terdakwa yang
bernama Jamarilam Simatupang sejak tahun 1964. Bahwa hal ini bersesuaian dengan
keterangan saksi Asdin Sitompul, saksi Timbul Sitompul, saksi a de charge Hadir Simatupang dan saksi a de charge Firman Zebua menyebutkan
bahwa sepengetahuan saksi-saksi tersebut lokasi tempat Jhon Monggo Tinambunan
dan Sahirun Bakara melakukan penebangan pohon adalah merupakan lahan/kebun
milik orang tua terdakwa yang bernama H. Jamarilam Simatupang;”
Berdasarkan pertimbangannya
tersebut, Majelis Hakim telah mengabaikan mengenai tidak bukti kepemilikan hak,
sehingga dengan demikian menurut Anator lahan tersebut merupakan areal kawasan
hutan. Kemudian pada bagian yang lain dari pertimbangannya Majelis Hakim
mendasarkan hanya pada adanya alat bukti berupa fotocopy Surat Jual Beli Kebun dan
fotocopy Pembayaran PBB atas tanah:
“Menimbang,
bahwa terdakwa dipersidangan mengajukan alat bukti berupa fotocopy Surat Jual
Beli Kebun tertanggal bulan 5 tahun 1965, fotocopy Surat Jual Beli Kebun
tertanggal bulan 12 tahun 1964 dan fotocopy Pembayaran PBB atas tanah tersebut
sejak tanggal 02 Januari 2006;
Menimbang,
bahwa Majelis Hakim berpendapat bahwa fotocopy Surat Jual Beli Kebun tertanggal
bulan 5 tahun 1965, fotocopy Surat Jual Beli Kebun tertanggal bulan 12 tahun
1964 dan fotocopy pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang diajukan oleh
terdakwa dalam persidangan adalah merupakan bukti hak kepemilikan atas lahan
kebun karet lokasi tempat Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun Bakara melakukan
penebangan pohon;”
Berdasarkan uraian diatas,
menurut Anator Majelis Hakim telah keliru dalam menerapkan hukum acara terutama
dalam hal pembuktian. Sebagaimana dimaksud Pasal 186 huruf c KUHAP mengenai Surat
sebagaimana Pasal 184 Ayat (1) huruf c KUHAP, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan
dengan sumpah, adalah: surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi daripadanya dalam perkara ini berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) ahli atas
nama Amon Sitanggang dan Bernard Situmorang.
Kemudian, berdasarkan Pasal 188 Ayat (1)
dan (2) KUHAP
mengenai petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri,
menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dengan demikian, barang bukti
berupa fotocopy
Surat Jual Beli Kebun dan fotocopy Pembayaran PBB atas tanah menurut Anator
tidak dapat dikategorikan baik kedalam alat bukti surat maupun alat bukti
petunjuk.
Dengan demikian, menurut Anator, alat
bukti Surat yang diajukan dalam persidangan dipandang tidak cukup membuktikan
Terdakwa berhak atau memiliki izin untuk melakukan penebangan pohon di Hutan
Datu, Desa Sigiring-giring, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah
sebagaimana yang telah Penuntut Umum tuangkan dalam Tanggapan Penuntut Umum
terhadap Nota Pembelaan (Pledoi) yang diajukan oleh Terdakwa ataupun Penasehat
Hukum Terdakwa.
4. Pertimbangan mengenai unsur “Mereka yang melakukan, menyuruh
melakukan, dan turut serta melakukan”
Dalam
pertimbangannya, Majelis Hakim tidak mempertimbangkan mengenai unsur “mereka
yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan.” Padahal unsur
ini meupakan unsur pemberat pidana. Berdasarkan hal-hal yang terungkap di
persidangan dan keterangan saksi-saksi, diperoleh fakta bahwa Terdakwa Ir.
Saparuddin Simatupang alias Capalo menyuruh Jhon Monggo Tinambunan dan Sahirun
Bakara (Terdakwa dalam berkas berbeda) untuk menebang kayu di hutan Datu Desa
Sigiring-giring, Kecamatan Tukka, Kabupaten Tapanuli Tengah.
Dengan
demikian, maka Terdakwa Ir. Saparuddin Simatupang alias Capalo, merupakan orang
yang menyuruh melakukan tindak pidana penebangan pohon dalam hutan tanpa adanya
izin dari pejabat yang berwenang. Sehingga menurut Anator, unsur “mereka yang
melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan” telah terpenuhi. Kemudian,
berdasarkan uraian mengenai pertimbangan tentang unsur-unsur dakwaan yang telah
Anator uraikan diatas, telah terpenuhi, sehingga terdakwa harus dinyatakan
bersalah melakukan tindak pidana menyuruh melakukan penebangan pohon dalam
areal hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
V.
PUTUSAN
Dalam amar putusan yang diucapkan pada tanggal 23 Oktober 2014,
Majelis Hakim menyatakan sebagai berikut:
1.
Menyatakan
Terdakwa Ir. Saparuddin Simatupang alias Capalo tersebut di atas, tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan
Alternatif Kesatu dan Alternatif Kedua;
2.
Membebaskan
Terdakwa oleh karena
itu dari semua
dakwaan Penuntut Umum;
3.
Memerintahkan
Terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;
4.
Memulihkan
hak-hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, harkat serta martabatnya;
5.
Menetapkan
barang bukti berupa:
-
1
(satu) lembar fotocopy surat keterangan Kepala Desa Sigiring-giring, Kecamatan
Tukka, Kabupaten Tap-Tengah Nomor 63/SK/SBG/2006; Tetap terlampir dalam berkas
perkara;
6.
Membebankan
biaya perkara kepada negara;
Melihat amar putusan tersebut, dalam tindak pidana yang
melanggar Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan atas nama
Terdakwa Ir. Saparuddin Simatupang alias Capalo, Majelis
Hakim Pengadilan Negeri Sibolga kurang mempertimbangkan rasa keadilan di
tengah-tengah masyarakat juga tidak mempunyai
daya tangkal terhadap
orang lain yang
ingin melakukan perbuatan pidana
yang sama maupun membuat jera pelaku untuk tidak dapat mengulangi perbuatannya
di kemudian hari.
Selain itu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sibolga tidak
mempertimbangkan Putusan Pengadilan Negeri Sibolga Nomor: 371/PID.B/2006/PN.Sbg
tanggal 2 April 2007 atas nama Terdakwa
John Monggo Tinambunan alias Simbolon, dkk, yang dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Medan Nomor:
228/PID/2007/PT-MDN., tanggal 19 Juni 2007 yang menyatakan para Terdakwa John Monggo
Tinambunan alias Simbolon, dkk, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama menebang pohon di dalam hutan
tanpa izin dari pejabat yang berwenang”. Dimana dalam pertimbangan Majelis
Hakim dalam putusan tersebut menyatakan bahwa para Terdakwa John Monggo
Tinambunan alias Simbolon, dkk, adalah atas suruhan Ir. Saparuddin Simatupang
alias Capalo.
Pengadilan juga telah melampaui batas wewenangnya, baik hal
itu mengenai wewenang absolut maupun relatif atau pelampauan wewenang dengan
cara memasukkan hal-hal yang non yuridis dalam pertimbangannya, sehingga dalam
tindak pidana yang melanggar Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan atas nama Terdakwa Ir. Saparuddin
Simatupang alias Capalo, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sibolga kurang
mempertimbangkan dasar-dasar yang dijadikan ahli dalam memberikan
keterangan mengenai lokasi
penebangan pohon di
Hutan Datu, Desa Sigiring-giring, Kecamatan Tukka,
Kabupaten Tapanuli Tengah adalah merupakan termasuk Hutan dengan status Hutan
Negara dan 62 (enam puluh dua) kayu berbentuk papan dengan volume 1,8076 m³
adalah jenis kelompok Rimba Campuran dan dapat dikatakan sebagai hasil hutan.
[1]
A.Z. Abidin dan Andi Hamzah, Pengantar
Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: PT. Yarsif Watampone, 2010), hlm.
121.