ANOTASI
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 2088 K/PID.SUS/2012,
tanggal 18 Desember 2012
Dalam Perkara Tindak Pidana
Korupsi Secara Bersama-sama dan Berlanjut
Atas Nama Terdakwa: drg.
Cholil, M.Kes
Oleh:
Roli Pebrianto, S.H
I.
PENGANTAR
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 2088 K/PID.SUS/2012, tanggal 18
Desember 2012 adalah putusan yang telah dikeluarkan terhadap tindak
pidana “Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut” dengan Terdakwa drg. Cholil, M.Kes. Pada pengadilan
tingkat Pertama yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor: 31/Pid.Sus/TIPIKOR/2011/PN.Bjm, tanggal 08 Mei 2012 Terdakwa
dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
korupsi secara bersama-sama dan berlanjut. Terdakwa dijatuhi pidana penjara
selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00,-
(lima puluh juta rupiah) subsidair 2 (dua) bulan kurungan.
Kemudian pada tingkat Banding yang diperiksa,
diadili, dan diputus oleh Pengadilan Tinggi Banjarmasin Nomor: 10/PID.SUS/TPK/2012/PT.BJM, tanggal 25
Juli 2012 yang menguatkan dan memperbaiki putusan Negeri Banjarmasin Nomor:
31/Pid.Sus/TIPIKOR/ 2011/PN.Bjm, tanggal 08 Mei 2012, Terdakwa dinyatakan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi
secara bersama-sama dan berlanjut dan dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu)
tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,00,- (lima puluh juta rupiah) subsidair
2 (dua) bulan kurungan.
Pada tingkat Kasasi, pertimbangan Majelis Hakim
menyatakan tidak terdapat niat jahat untuk melakukan pidana, juga perbuatan
Terdakwa didasarkan pada kehendak untuk memenuhi stok obat-obatan di Rumah
Sakit tersebut yang sudah habis atau tidak tesedia, sedangkan banyak pasien
yang memerlukan. Sehingga perbuatan Terdakwa terbukti bermanfaat terhadap
pasien, sehingga tidak terdapat pasien yang terlantar dan tidak ada pasien yang
meninggal dunia karena alasan ketiadaan obat. Terdakwa juga sama sekali tidak
menikmati atau memperoleh hasil baik dari rekanan maupun perbuatannya.
Namun, Terdakwa tetap dinyatakan terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara
bersama-sama dan berlanjut karena perbuatannya melakukan penunjukan langsung
pengadaan obat-obatan yang harganya di atas Rp. 50.000.000,- adalah
bertentangan dengan Peraturan Presiden, Pasal 17 ayat 5 No. 95 Tahun 2007,
tentang perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, dan karenanya telah
tepat putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi a
quo yang menyatakan Terdakwa Terbukti melanggar ketentuan Pasal 3
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disingkat UU Tipikor) sebagaimana
dakwaan alternatif kedua. Sehingga
Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
Menjadi pertanyaan kemudian, bagaimana
seseorang yang berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti dipersidangan pada
tingkat Judex Facti dan berdasarkan pertimbangan Majelis Hakim Kasasi sendiri
tidak memiliki niat jahat untuk melakukan tindak pidana dan juga tidak
menikmati atau memperoleh hasil baik dari rekanan maupun perbuatannya
dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 UU Tipikor ?. untuk itu, Anator akan memberikan
catatan-catatan/Anotasi hukum (legal
annotatation) terhadap perkara ini.
II.
KASUS
POSISI
Terdakwa
drg. Cholil, M.Kes merupakan Direktur
Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan berdasarkan Keputusan Bupati
Hulu Sungai Selatan Nomor: 821.2/337 Bangdukkesj/BKD-DIKLAT tanggal 29 Mei 2007
tentang Pengangkatan dalam Jabatan Struktural Direktur RSUD H. Hasan Basry
Kandangan dan selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang/Jasa berdasarkan
Keputusan Bupati Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Penunjukan Pejabat Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang, Bendahara Pengeluaran, Bendahara Penerimaan, Pembantu
Bendahara Pengeluaran dan Kuasa Pengguna Anggaran serta Bendahara Pembantu
Pengeluaran di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Hulu Sungai Selatan Tahun
Angaran 2008, mengadakan Kegiatan Pengadaan Obat Pelengkap untuk Mengisi Stok
Apotik Pelengkap Rumah Sakit pada Rumah Sakit Brigjend. H. Hasan Basry
Kandangan TA 2008.
Dalam
Kegiatan Pengadaan tersebut Direktur RSUD Brigjend. H. HASAN BASRY Terdakwa drg. CHOLIL, M.Kes menunjuk sdr. H. YUSRAN FAHMI Bin HELMY sebagai
Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK) yang kemudian dibentuklah Panitia
Pengadaan obat pelengkap tersebut. Dalam
pelaksanaannya Panitia Lelang menerima surat dari Pengguna Anggaran RSUD
Brigjend. H. Hasan Basry yaitu Terdakwa drg.
CHOLIL M.Kes, untuk melakukan Kegiatan Pengadaan dengan Proses
Penunjukan Langsung dengan rekanan yang ditunjuk adalah PT. ANTASAN URIP.
Kegiatan Pengadaan Obat-obatan untuk Apotek Pelengkap RSUD
Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan T.A. 2008 dengan nilai kontrak sebesar Rp.
1.263.848.000,- (satu milyar dua ratus enam puluh tiga juta delapan ratus empat
puluh delapan ribu rupiah) dan proyek pengadaan tersebut bukan termasuk dalam
kategori “keadaan khusus” maupun “keadaan darurat” sesuai yang diatur di dalam
Pasal 17 ayat (5) Peraturan Presiden RI No. 95 Tahun 2007 tentang Perubahan
ketujuh atas Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang seharusnya dilaksanakan secara
Pelelangan Umum serta tidak sesuai atau bertentangan dengan Keputusan Presiden
No. 80 Tahun 2003 Lampiran 1 Bab I PERSIAPAN PENGADAAN BARANG/JASA PEMERINTAH
huruf C Penetapan Sistem Pengadaan yang dilaksanakan Penyedia Barang/Jasa butir
1 (a) Metode Pemilihan Penyedia Barang/Jasa Pemborongan/Jasa lainnya angka 4.
Kemudian Terdakwa menyuruh sdr.
Yusran Fahmi selaku PPTK dalam pengadaan tersebut untuk membuka rekening
bank yang gunanya untuk menerima transferan uang dari PT. ANTASAN URIP sebagai
tindak lanjut dari pencairan dana Kegiatan Pengadaan Obat Pelengkap untuk
mengisi stok apotik pelengkap Rumah Sakit pada Rumah Sakit Brigjend. Hasan
Basry Kandangan TA 2008 yang dilakukan dengan 2 (dua) kali termin yang total
pencairan tersebut dibuat seolah-olah telah selesai 100% padahal hanya senilai
31,59% dan akibat perbuatan Terdakwa bersama dengan sdr. Yusran Fahmi telah
memperkaya korporasi yaitu RSUD
Brigjend. H. Hasan Basry Kandangan dan mengakibatkan Negara mengalami kerugian
sebagaimana Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Keuangan Negara atas
dugaan penyimpangan penyalahgunaan pengadaan obat-obatan pelengkap pada RSUD
Brigjend. Hasan Basry Kandangan Tahun Anggaran 2008 oleh BPKP Kalimantan
Selatan Nomor: SR-9460/PW16/5/2010 tanggal 29 Desember 2010 sebesar Rp.
797.947.057,36 (tujuh ratus sembilan puluh tujuh juta sembilan ratus empat
puluh tujuh ribu lima puluh tujuh koma tiga enam rupiah) yang sampai dengan
kasasi ini diajukan tidak ada sama sekali pengembalian kerugian Negara dari
Terdakwa.
Atas perbuatannya tersebut, Terdakwa drg. Cholil, M.Kes didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Banjarmasin dengan dakwaan alternatif, yakni:
1.
Perbuatan Terdakwa Drg. CHOLIL, M.Kes
tersebut di atas melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana
berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64
ayat (1) KUHP;
2.
Perbuatan Terdakwa Drg. CHOLIL, M.Kes
tersebut di atas melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam pidana
berdasarkan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP.
III.
TENTANG
ALASAN PERMOHONAN KASASI
1. Alasan-alasan Permohonan Pemohon Kasasi
I/Jaksa Penuntut Umum
-
Bahwa Judex Facti Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi Banjarmasin dalam memeriksa dan mengadili
perkara tersebut telah salah dalam
menerapkan hukum;
-
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi Banjarmasin yang menguatkan putusan Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banjarmasin tanggal 08 Mei 2012
Nomor: 31/ Pid.Sus/Tipikor/2011/PN.Bjm, tersebut dimana cara diadili dengan
cara yang tidak seseuai menurut ketentuan Undang-Undang. Majelis Hakim
Pengadilan Tinggi Korupsi Banjarmasin tidak mempertimbangkan dan tidak
memperhatikan hakikat dari Undang-Undang Tipikor;
-
Bahwa Tindak Pidana Korupsi adalah suatu
KEJAHATAN YANG LUAR BIASA yang bisa menghancurkan Bangsa dan Negara sehingga
perlu penanganan yang lebih dibandingkan tindak pidana lainnya baik dari proses
penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemidanaannya dan diharapkan adanya
efek jera baik dari Terdakwa maupun masyarakat;
-
Dihubungkan dengan perkara a quo, dapat diambil
poin-poin penting yang memberatkan diri Terdakwa yang berkaitan dengan
straffmacht yaitu :
a.
Terdakwa adalah dader dalam perkara a quo sama
seperti Sdr. YUSRAN FAHMI namun yang
membedakannya/lebih memberatkannya adalah Terdakwa adalah otaknya;
b.
Tidak ada pengembalian kerugian Negara dari
Terdakwa drg. Cholil, M.Kes sampai sekarang;
2. Alasan-alasan Permohonan Pemohon Kasasi
II/Terdakwa
-
Putusan Judex Facti Pengadilan Negeri
Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Banjarmasin dalam pertimbangan hukumnya belum
dapat belum dapat membuktikan secara sah dan meyakinkan mengenai kesalahn
Terdakwa dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh Penuntut Umum, juga
tidak mencerminkan dan memancarkan prinsip-prinsip keadilan, sehingga putusan
tersebut salah menerapkan hukum dan tidak memberikan rasa keadilan bagi para
pencari keadilan khususnya bagi Terdakwa dalam perkara ini;
-
Bahwa karena pertimbangan Judex Facti Pengadilan
Negeri Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Banjarmasin tersebut tidak
mempertimbangkan fakta hukum secara keseluruhan, melainkan pada pokoknya hanya
melihat dari dalil “Kontrak yang tidak sesuai dengan pelaksanaannya”. Oleh
karena itu, maka sudah menjadi kewajiban bagi Mahkamah Agung RI sebagai
pengadilan tingkat kasasi untuk memeriksa
secara menyeluruh tentang penerapan hukum dalam pertimbangan Majelis Hakim
pada Judex Facti Pengadilan Negeri Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi
Banjarmasin yang memeriksa dan mengadili perkara ini;
-
Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Judex Facti
Pengadilan Negeri Banjarmasin dan Pengadilan Tinggi Banjarmasin dalam perkara
ini sama sekali tidak membahas tentang
hal-hal yang melatarbelakangi Terdakwa melakukan Penunjukan Langsung dalam
Pelaksanaan Kontrak Nomor 445/1280a/RSUD-HHB/VIII/2008 tanggal 15 Agustus 2008,
dan tidak membahas sama sekali Fakta
Tentang Keadaan Pasien dan Obat-obatan Pelengkap pada RSUD Brigjend. H. Hasan
Basry Kandangan pada tahun 2008;
-
Bahwa perkara ini tidak merugikan keuangan dan
perekonomian negara. Kegiatan pengadaan obat pelengkap pada RSUD Brigjend. H.
Hasan Basry Kandangan tahun 2008 telah selesai dilaksanakan, dan obat-obatan
sudah dimanfaatkan oleh pasien, dan tidak ada pasien yang terlantar atau
meninggal dunia karena tidak ada obat saat itu; Selain itu, RSUD Brigjend. H.
Hasan Basry Kandangan ada mengembalikan uang obat-obatan pelengkap ke kas
daerah melalui Bank BPD Kalsel Kandangan mulai dari bulan Januari sampai dengan
Desember 2008 sebesar RP. 1.580.218.065,00,- (satu miliar lima ratus delapan
puluh juta dua ratus delapan belas ribu enam puluh lima rupiah). Jika jumlah
pengembalian tersebut dikurangi dengan jumlah nilai kontrak sebesar Rp. 1.263.848.000,- (satu milyar dua ratus enam puluh tiga juta
delapan ratus empat puluh delapan ribu rupiah) masih tersisa sebesar Rp.
317.662.065,00,- (tiga ratus juta enam ratus enam puluh dua ribu enam puluh
lima rupiah). Dengan demikian, negara tidak mengalami kerugian, tetapi justru
telah diuntungkan;
-
Bahwa
perkara ini termasuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara, yaitu
terkait dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pengadaan barang
dan jasa pemerintah disatu pihak, namun disisi lain Terdakwa dan pihak rumah
sakit berada di posisi terjepit dan terdesak serta posisi darurat dimana tidak
memungkinkan untuk melaksanakan lelang atau tender saat itu. Sementara Terdakwa
selaku Direktur RSUD sudah melakukan upaya berkonsultasi dengan Pemkab dan
Asisten Pemkab, Berkonsultasi dengan Bappenas, Rapat dengan jajaran instansi
terkait dan Pemkab, keadaan sangat mendesak sehingga Terdakwa terpaksa
mengambil keputusan PL berdasarkan ijin dari Bappenas dan Asst. II Pemkab
berdasarkan syarat index harga obat.
IV.
TENTANG
PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG
1.
Pertimbangan
Mengenai Alasan Pemohon Kasasi I/Jaksa Penuntut Umum
Mengenai alasan-alasan Permohonan
Kasasi Pemohon Kasasi I/Jaksa Penuntut Umum, Majelis Hakim meberikan
pertimbangannya sebagaimana diuraikan pada halaman 64-65, yakni:
Bahwa alasan-alasan tersebut tidak dapat dibenarkan
karena Judex Facti tidak salah menerapkan hukum atau menerapkan hukum telah
sebagaimana mestinya, lagi pula mengenai berat ringannya pidana dalam perkara
ini merupakan wewenang Judex Facti yang tidak tunduk pada kasasi, kecuali
menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum ancaman pidananya atau kurang dari
batas minimum ancaman pidananya, yang ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan atau menjatuhkan hukuman dengan tidak memberikan
pertimbangan yang cukup dan ternyata dalam menjatuhkan hukuman tersebut Judex
Facti telah memberikan pertimbangan yang cukup tentang keadaan yang memberatkan
dan meringankan pemidanaan;
2.
Pertimbangan
Mengenai Alasan Pemohon Kasasi II/Terdakwa
Mengenai pertimbangan Majelis Hakim
Kasasi terhadap Permohonan Pemohon Kasasi II/Terdakwa, Majelis Hakim memberikan
pertimbangannya pada halaman 65, yakni:
-
Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa dapat
dibenarkan, karena pada Terdakwa tidak terdapat niat jahat untuk melakukan
tindak pidana, justru perbuatan Terdakwa didasarkan pada kehendak untuk
memenuhi stok obat-obatan di Rumah Sakit tersebut yang sudah habis atau tidak
tersedia, sedangkan banyak pasien yang memerlukan;
- Bahwa perbuatan Terdakwa terbukti bermanfaat
terhadap pasien, sehingga tidak terdapat pasien yang terlantar, dan tidak pula
ada pasien yang meninggal dunia karena alasan ketiadaan obat;
- Bahwa Terdakwa sama sekali tidak
menikmati/memperoleh hasil baik dari rekanan maupun dari perbuatannya;
- Bahwa perbuatan Terdakwa melakukan penunjukan
langsung pengadaan obat-obatan yang harganya di atas Rp. 50.000.000,- adalah
bertentangan dengan Peraturan Presiden, Pasal 17 ayat 5 No. 95 Tahun 2007,
tentang perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003, dan karenanya
telah tepat putusan Judex Facti Pengadilan Tinggi a quo yang menyatakan
Terdakwa Terbukti melanggar ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana dakwaan alternatif kedua;
-
Bahwa berdasar alasan-alasan pertimbangan di
atas, adalah sesuai dengan rasa keadilan terhadap Terdakwa tidak dijatuhi
pidana denda;
Menimbang, bahwa dengan demikian, Mahkamah Agung
berpendapat bahwa permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa tersebut
dapat dikabulkan, dan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan
Tinggi Kalimantan Selatan di Banjarmasin No. 10/PID.SUS/TPK/2012/PT.BJM.,
tanggal 25 Juli 2012, yang menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 31/Pid.Sus/TIPIKOR/2011/PN.Bjm, tanggal
08 Mei 2012, tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan
dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini, dengan amar putusan
seperti tertera di bawah ini;”
V.
PUTUSAN
HAKIM
Dalam putusannya yang diucapkan pada hari
Selasa, 18 Desember 2012, Majelis Hakim Kasasi menolak Permohonan Kasasi dari
Pemohon Kasasi I/Jaksa Penuntut Umum dan mengabulkan Permohonan Kasasi Pemohon
Kasasi II/Terdakwa, sehingga Majelis memutuskan untuk mengadili sendiri, yang
amar lengkapnya adalah sebagai berikut:
“M E N G A D I L I
Menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I : JAKSA/PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN
NEGERI KANDANGAN tersebut ;
Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II / Terdakwa : Drg. CHOLIL, M.Kes.;
Membatalkan
putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Banjarmasin
Nomor : 10 / PID.SUS / TPK / 2012 / PT.BJM., tanggal 25 Juli 2012 yang
menguatkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri
Banjarmasin Nomor : 31 / Pid.Sus / TIPIKOR / 2011 / PN.Bjm, tanggal 08 Mei
2012;
M E N G A D I L I S E N D I R I
1.
Menyatakan Terdakwa Drg. CHOLIL, M.Kes.,
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Korupsi
secara bersama-sama dan berlanjut”;
2.
Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Drg.
CHOLIL, M.Kes., oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;
3.
Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan
sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;
4.
dan seterusnya....”
VI.
TENTANG
PERINTAH PENAHANAN
Dalam amar Putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 10/PID.SUS/TPK/2012/PT.BJM,
tanggal 25 Juli 2012 yang menguatkan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
pada Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 31/Pid.Sus/TIPIKOR/2011/PN.Bjm, tanggal
08 Mei 2012, perihal mengenai perintah penahanan, menyatakan bahwa:
“...3. Menetapkan lamanya Terdakwa dalam tahanan kota
dikurangkan sepenuhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Memerintahkan Terdakwa
tetap dalam tahanan kota;...”
Sedangkan dalam putusan Mahkamah Agung No.
2088 K/PID.SUS/2012, tanggal 18 Desember 2012, Terdakwa dijatuhi pidana penjara
selama 1 (satu) tahun, dengan perintah penahanan:
“...3. Menetepkan lamanya Terdakwa berada dalam
tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;...”
VII. ANALISIS
A. Analisis Mengenai Pertimbangan Mahkamah
Agung
Dalam pertimbangannya pada halaman
65, Majelis Hakim kasasi menyatakan bahwa:
Bahwa alasan-alasan kasasi Terdakwa dapat dibenarkan,
karena pada Terdakwa tidak terdapat niat jahat untuk melakukan tindak pidana,
justru perbuatan Terdakwa didasarkan pada kehendak untuk memenuhi stok
obat-obatan di Rumah Sakit tersebut yang sudah habis atau tidak tersedia,
sedangkan banyak pasien yang memerlukan;
Dari pertimbangan tersebut, Majelis
Hakim secara tegas menyatakan bahwa tidak ada niat dari Terdakwa untuk
melakukan tindak pidana. Kata “niat” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
didefinisikan sebagai maksud atau tujuan suatu perbuatan atau kehendak
seseorang, maka niat lebih spesifik yang menunjukkan sikap batin yang mempunyai
maksud dan tujan tertentu. Dengan demikian kita bisa pahami bahwa niat adalah
bagian dari mens rea tetapi mens rea tidak bisa ditafsirkan sebagai
niat saja, mens rea lingkupnya lebih
luas dari niat.
Niat jahat (mens rea) dalam hukum pidana merupakan kajian “pertanggungjawaban
pidana”. Ketika terjadi dugaan tindak
pidana, maka pertama sekali yang perlu dibuktikan adalah ada atau tidaknya
perbuatan melawan hukum. Setelah terbukti perbuatan melawan hukumnya baru
dilihat apakah terdakwa bisa diminta pertanggungjawaban pidananya.
Jadi “niat jahat (mens rea)” ini baru bisa dibuktikan
setelah terbukti perbuatan pidananya. Ini adalah konsekuensi logis dari teori
dualistis yang kita anut, yang memisahkan antara perbuatan pidana dengan
pertanggungjawaban pidana. Pertanggungiawaban
pidana dimaksudkan untuk menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dapat
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Dengan
perkataan lain apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan.
Sebagaimana asas hukum “geen straft zonder schuld”, maka mens
rea atau sikap batin pelaku ini diwujudkan dalam bentuk “kesalahan”. Menurut
Roeslan Saleh, seseorang mempunyai
kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi
masyarakat, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain,
jika memang tidak ingin berbuat demikian.[1]
Definisi ini disusun oleh tiga komponen utama, yaitu: “dapat dicela”, “dilihat
dari segi masyarakat”, dan “dapat berbuat lain”.[2]
Berdasarkan pertimbangan Majelis
Hakim dihubungkan dengan uraian diatas, maka menurut Anator, dengan tidak ada
“niat jahat (mens rea) dari Terdakwa maka
seharusnya Terdakawa diputus lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvelvolging). Hal
ini sesuai juga dengan pertimbangan pada bagian yang lain dalam putusan a quo pada halaman 65 juga yang
menyatakan bahwa:
“Bahwa perbuatan Terdakwa terbukti bermanfaat terhadap
pasien, sehingga tidak terdapat pasien yang terlantar, dan tidak ada pasien
yang meninggal dunia karena alasan ketiadaan obat;”
“Bahwa Terdakwa sama sekali tidak menikmati/memperoleh
hasil baik dari rekanan maupun perbuatannya.”
Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut
Anator, niat atau kehendak Terdakwa memang ridak ditujukan untuk melakukan
tindak pidana korupsi, artinya tidak ada niat untuk itu, karena memang
berdasarkan fakta di persidangan pada Pengadilan Negeri pada Terdakwa tidak ada
niat jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi dan tidak ada unsur memperkaya
atau menguntungkan diri sendiri.
Lagipula tindakan Terdakwa melakukan
Penunjukan Langsung terhadap PT. Antasan Urip sebagai rekanan dalam kegiatan
pengadaan obat sudah melalui proses konsultasi dengan berbagai pihak terutama
dengan Pemkab dan Bappenas. Sehingga menurut hemat Anator, perkara ini murni merupakan
perkara yang merupakan ranah Hukum Administrasi Negara (akan dibahas pada
bagian lain dari Anotasi ini).
B. Perbuatan Terdakwa Merupakan Tindakan
Administratif
Sebagaimana telah Anator sebutkan
sebelumnya, bahwa perbuatan Terdakwa dalam pengadaan obat-obatan di RSUD
Brigjend. Hasan Basry Kandangan tersebut adalah tindakan administrasi yang
merupakan ranah dari Hukum Administrasi Negara. Menurut Anator, perbuatan
Terdakwa adalah perbuatan yang sifatnya diskresioner.
Menurut Andi Hamzah, diskresi diartikan sebagai kemungkinan menentukan
sendiri keputusan yang diambil dari beberapa kemungkinan sebagai alternatif.[3]
Artinya perbuatan Terdakwa dalam penunjukan langsung PT. Antasan Urip sebagai
rekanan ditujukan untuk alasan praktis, walaupun ada peraturan yang menyatakan
harus melalui tender, penunjukan langsung hanya dapat dilakukan dalam hal
keadaan darurat. Dalam hal in Terdakwa telah membahas kegiatan pengadaan
obat-obatan pada RSUD Brigjend Hasan Basry Kandangan bersama-sama dengan Pemkab
dan Bappenas dan teah diberikan izin oleh Pemkab dan Bappenas.
C. Analisis Terhadap Amar Putusan Mahkamah
Agung
Dalam amar putusannya yang memperbaiki putusan Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Tinggi Banjarmasin No. 10/PID.SUS/TPK/2012/PT.BJM,
tanggal 25 Juli 2012, dengan mengadili sendiri
Majelis Hakim Kasasi menyatakan bahwa:
“M E N G A D I L
I S E N D I R I
1. Menyatakan Terdakwa Drg. CHOLIL, M.Kes.,
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana “Korupsi
secara bersama-sama dan berlanjut”;
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Drg.
CHOLIL, M.Kes., oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun;
3. Menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan
sebelum putusan ini mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan;”
Melihat amar putusan demikian,
terdapat “kontradiksi” dengan pertimbangan Majelis Hakim sebelumnya yang
menyatakan bahwa Terdakwa tidak mempunyai “niat jahat” untuk melakukan tindak
pidana korupsi, dan juga perbuatan Terdakwa justru terbukti bermanfaat terhadap
pasien, serta Terdakwa juga tidak menikmati hasil baik dari rekanan maupun
perbuatannya. Lalu menjadi pertanyaan kritis, bagaimana mungkin seseorang yang
tidak mempunyai mens rea dijatuhi
pidana.
Majelis Hakim Kasasi dalam pertimbangannya
tetap bersikukuh bahwa Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dakwaan alternatif kedua. Hal ini
sebagaimana dalam pertimbangan pada halaman 65:
Bahwa
perbuatan Terdakwa melakukan penunjukan langsung pengadaan obat-obatan yang
harganya di atas Rp. 50.000.000,- adalah bertentangan dengan Peraturan
Presiden, Pasal 17 ayat 5 No. 95 Tahun 2007, tentang perubahan atas Keputusan
Presiden Nomor 80 Tahun 2003, dan karenanya telah tepat putusan Judex Facti
Pengadilan Tinggi a quo yang menyatakan Terdakwa Terbukti melanggar ketentuan
Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan alternatif kedua;
Melihat pertimbangan yang demikian, jika
dihubungkan dengan penjelasan Pasal 17 ayat (5) Perpres No. 95 Tahun 2007,
berbunyi:
“Yang dimaksud dalam keadaan tertentu
adalah:
a.
penanganan darurat untuk pertahanan negara,
keamanan dan keselamatan masyarakat yang pelaksanaan pekerjaannya tidak, dapat
ditunda atau harus dilakukan segera, termasuk penanganan darurat akibat bencana
alam serta tindakan darurat untuk pencegahan bencana dan/atau kerusakan
infrastruktur yang apabila tidak segera dilaksanakan dipastikan dapat
membahayakan keselamatan masyarakat.
Pekerjaan sebagai kelanjutan dari tindakan darurat di
atas, untuk selanjutnya dilakukan sesuai dengan tata cara pengadaan barang/jasa
sebagaimana diatur di dalam Peraturan Presiden ini; dan/ atau
b.
pekerjaan yang perlu dirahasiakan yang
menyangkut pertahanan dan keamanan negara yang ditetapkan oleh Presiden;
dan/atau
c.
pekerjaan yang berskala kecil dengan nilai
maksimum Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah), dengan ketentuan:
1)
untuk keperluan sendiri; dan/atau
2)
teknologi sederhana; dan/atau
3)
risiko kecil; dan/atau
4)
dilaksanakan oleh penyedia barang/jasa usaha
orang perseorangan dan/atau badan usaha kecil termasuk koperasi kecil; dan/atau
d.
pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh
pemegang hak paten atau pihak yang telah mendapat ijin; dan/atau
e.
pekerjaan pengadaan barang dan pendistribusian
logistik pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang penanganannya
memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam rangka penyelenggaraan pemilihan
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang diselenggarakan sampai dengan bulan
Juli 2005 berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pekerjaan tersebut meliputi
pengadaan dan pendistribusian surat suara, kartu pemilih beserta perlengkapan
lainnya untuk pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah; dan/
atau
f.
pekerjaan pengadaan barang/jasa yang
penanganannya memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam rangka rehabilitasi dan
rekonstruksi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara yang dilaksanakan oleh Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi
Sumatera Utara.
Pekerjaan tersebut meliputi:
1)
pekerjaan pengadaan perumahan, yang waktu
pelaksanaan pengadaannya dilakukan sebelum 31 Desember 2006;
2)
pekerjaan yang dilakukan dalam rangka meneruskan
pekerjaan pengadaan perumahan yang tidak dilaksanakan oleh pemberi hibah sesuai
dengan tenggat waktu yang telah ditetapkan oleh Badan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi, yang penyelesaian pekerjaannya perlu dilaksanakan secara cepat
paling lama 1(satu) tahun setelah pemberi hibah tidak mampu melaksanakan
kewajibannya; dan/atau
g.
pekerjaan pengadaan barang dan pendistribusian
logistik pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam yang penanganannya memerlukan pelaksanaan secara cepat dalam
rangka penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi
dan kabupaten/kota yang diselenggarakan sampai dengan bulan Desember 2006
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Pekerjaan tersebut meliputi pengadaan
Kartu Tanda Penduduk, pengadaan dan pendistribusian surat suara, kartu pemilih
beserta perlengkapan lainnya untuk pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah.
Yang dimaksud dalam keadaan khusus adalah:
a.
pekerjaan berdasarkan tarif resmi yang
ditetapkan pemerintah; atau
b.
pekerjaan/barang spesifik yang hanya dapat
dilaksanakan oleh satu penyedia barang/jasa, pabrikan, pemegang hak paten; atau
c.
merupakan hasil produksi usaha kecil atau koperasi
kecil atau pengrajin industri kecil yang telah mempunyai pasar dan harga yang
relatif stabil; atau
d.
pekerjaan yang kompleks yang hanya dapat
dilaksanakan dengan penggunaan teknologi khusus dan/atau hanya ada satu
penyedia barang/jasa yang mampu mengaplikasikannya; atau
e.
pekerjaan pengadaan dan distribusi bahan obat,
obat dan alat kesehatan dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk
pelaksanaan peningkatan pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang jenis,
jumlah dan harganya telah ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di
bidang kesehatan."
Jika kita lihat uraian penjelasan
Pasal 17 ayat (5) Perpres No. 95 Tahun 2007, jangat jelas terlihat bahwa
perbuatan yang dilakukan Terdakwa dengan cara Penunjukan Langsung PT. Antasan
Urip sebagai rekanan dalam pengadaan obat-obatan, sekali lagi menurut Anator
adalah perbuatan yang bersifat diskresioner dari Terdakwa karena untuk memenuhi
kebutuhan obat.
Dengan demikian, menurut Anator
perbuatan Terdakwa masuk kedalam kriteria keadaan
khusus, yakni pekerjaan pengadaan dan distribusi bahan obat, obat dan alat
kesehatan dalam rangka menjamin ketersediaan obat untuk pelaksanaan peningkatan
pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang jenis, jumlah dan harganya telah
ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan.
Kemudian, jika dikaitkan perbuatan
Terdakwa dalam pengadaan obat-obatan tersebut dengan dakwaan alternatif kedua,
sebagaimana dinyatakan dalam pertimbangan pada halaman 65, menurut hemat
Anator, suatu hal yang tidak dapat dieterima oleh logika dan akal sehat. Pasal
3 UU Tipikor menyatakan:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau
denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00,- (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00,- (satu miliar rupiah).”
Melihat konstruksi dari Pasal
tersebut, menurut Anator, tidak ada actus
reus atau hubungan kausalitas (sebab-akibat) dari perbuatan Terdakwa menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Hal ini juga diperkuat dalam pertimbangan
Majelis Hakim Kasasi yang menyatakan:
“Bahwa perbuatan Terdakwa terbukti bermanfaat terhadap
pasien, sehingga tidak terdapat pasien yang terlantar, dan tidak ada pasien
yang meninggal dunia karena alasan ketiadaan obat;”
“Bahwa Terdakwa sama sekali tidak menikmati/memperoleh
hasil baik dari rekanan maupun perbuatannya.”
Dengan demikian, menurut Anator,
Majelis Hakim Kasasi telah salah dalam menerapkan hukum dengan menghukum
seseorang yang tidak mempunyai kesalahan (mens
rea). Sehingga menurut Anator, Terdakwa seharusnya diputus lepas dari
segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvelvolging).
D. Analisis Berdasarkan Teori Dualistis
Putusan a quo juga dapat dikatakan tidak menganut teori dualistis.
Sebagaimana diketahui bahwa teori dualistis merupakan teori yang memisahkan
perbuatan pidana dan pertanggungjawaban pidana. Teori ini berpangkal tolak dari
pandangan bahwa unsur pembentuk tindak pidana adalah perbuatan. Menurut Chairul Huda, jika dilihat dari
istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak
pidana. Sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana tersebut
menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana.[4]
Perbuatan pidana hanya menunjuk
kepada dilarangnya perbuatan. Apakah orang yang melakukan perbuatan itu
kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah dia dalam melakukan
pebuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan
perbuatan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana.
Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan, walaupun dia telah melakukan
perbuatan yang telaang dan tercela, dia tentu tidak dipidana.[5]
Hal ini sebagaimana asas yang menyatakan geen
straft zonder schuld (tidak dipidana jika tidak ada kesalahan). Menurut Roeslan Saleh, asas ini adalah asas
garansi, suatu asas yang dikenal mengenai nilainya sebagai kerangka referensi
dan metoda pentafsiran guna melindungi hak-hak individu.[6]
Berbeda dengan pandangan monistis yang
menjadikan kesalahan (kesengajaan) sebagai unsur subyektif dari perbuatan
pidana, pandangan dualistis tentang delik bersikeras memisahkan perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana. Menurut pandangan ini, unsur obyektif
hanya dapat dikandung dalam perbuatan pidana.
Atas dasar itu, perbuatan pidana
hanya dapat dilarang karena tidak mungkin suatu perbuatan dijatuhi pidana.
Sedangkan unsur subyektif hanya dapat dikandung dalam pertanggungjawaban pidana
yang ditujukan kepada pembuat melalui celaan yang diobyektifkan. Karenanya,
pemidanaan hanya diterapkan kepada pembuat setelah terbukti melakukan perbuatan
pidana dan dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan.
Pelaksanaan perbuatan pidana tidak
serta merta menyebabkan seseorang dapat dipidana lantaran perbuatan pidana
hanya menunjuk kepada sifat perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana
jika dilanggar. Sementara itu, pemidanaan bergantung kepada kesalahan pembuat
manakala melakukan perbuatan. Pemisahan perbuatan pidana dan pertanggungjawaban
pidana ini nampak dalam definisi perbuatan pidana yang dikemukakan Moeljatno, yakni
”...perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sangsi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa melanggar
larangan tersebut.”[7]
Dalam konteks pemisahan perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana, suatu perbuatan terjadi apabila perbuatan
tersebut dirangkum dalam UU dan tidak dibenarkan oleh alasan pembenar. Atas
dasar itu, unsur batin harus dilepaskan dari perbuatan pidana. Kantorowicz sebagaimana
dikutip oleh A. Z. Abidin Farid menyatakan bahwa: “perbuatan pidana (stafbare handlung) mensyaratkan adanya
perbuatan, persesuaian dengan rumusan UU dan tidak adanya alasan pembenar.
Sedangkan bagi pembuat disyaratkan adanya kesalahan dan tidak adanya dasar
pemaaf.”[8]
Jika dilihat putusan a quo, sebagaimana ajaran dualistis
bahwa kesalahan harus tertuju pada sifat melawan hukumnya perbuatan. Melawan
hukum adalah bagian dari kesalahan pembuat. Oleh karena itu, dalam perkara ini
kesalahan Terdakwa harus tertuju pada unsur-unsur yang disebutkan dalam Pasal 2
dan Pasal 3 UU Tipikor, yakni: perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Dengan demikian, pertimbangan hukum
mengenai kesalahan Terdakwa yang melakukan penunjukan langsung PT. Antasan
Urip sebagai rekanan dalam kegiatan pengadaan obat-obatan di RSUD Brigjend
Hasan Basry Kandangan yang bertentangan dengan Perpres No. 95 tahun 2007
menurut Anator adalah pertimbangan yang tidak tepat dan keliru, pertimbangan
tersebut dihubung-hubungkan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor (sebagaimana
dalam dakwaan alternatif pertama dan kedua), padahal dalam pertimbangannya yang
lain, Majelis Hakim memandang dari perbuatan Terdakwa tidak terdapat memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Menurut hemat Anator, tidak terdapat
kesalahan Terdakwa terhadap tindak pidana yang didakwakan dalam perkara ini.
Dilihat dari teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, bukan
saja tidak dapat ditentukan adanya kesalahan, tetapi perbuatan melawan
hukumnyapun tidak terbukti. Apabila hal ini dilihat sebatas pada kesalahan
Terdakwa, maka perkara ini dapat diputus berlainan dari apa yang telah diputus,
yakni lepas dari segala tuntutan hukum (onslag
van alle rechtsvelvolging). Jika perbuatan
Terdakwa melakukan “penunjukan langsung” sebagai pertanda adanya kesalahan,
maka Majelis Hakim telah “mempertanggungjawabkan seseorang tanpa kesalahan”
karena tidak terbukti unsur “memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi”, serta tidak terdapat “kerugian negara”. Oleh karena itu, putusan Kasasi
a quo bertentangan dengan asas “tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan.”
Kalaupun peristiwa tersebut dipandang
timbul dari akibat dari kesalahan Terdakwa dan Yusran Fahmi, maka peran dari
Pemkab dan Bappenas yang telah memberikan izin Terdakwa untuk melakukan
penunjukan langsung terhadap PT. Antasan Urip sebagai rekanan dalam kegiatan
pengadaan obat-obatan di RSUD Brigjend Hasan Basry Kandangan tidak dapat
dikesampingkan dalam hal ini. Maka menurut Anator, perkara ini adalah perkara
administratif yang merupakan lingkup dari Hukum Administrasi.
E. Analisis Terhadap Perintah Penahanan
Pada bagian amar dari putusan a quo, Terdakwa dinyatakan terbukti
secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara
bersama-sama dan berlanjut. Majelis Hakim Kasasi menjatuhkan pidana penjara
selama 1 (satu) tahun, dengan menetapkan lamanya Terdakwa berada dalam tahanan
sebelum putusan mempunyai kekuatan hukum tetap, dikurangkan seluruhnya dari
pidana yang dijatuhkan.
Menurut Anator putusan kasasi
tersebut cacat hukum, karena jika kita memperhatikan amar putusan Pengadilan
Tipikor pada Pengadilan Tinggi Banjarmasin yang mengoreksi putusan Pengadilan
Tipikor pada Pengadilan Negeri Banjarmasin dari semula pidana penjara selama 1
(satu) tahun 6 (enam) bulan menjadi tahanan kota selama 1 (satu) tahun.
Pertanyaan yang timbul kemudian, apakah perintah penahanan dari putusan Kasasi a quo merupakan pidana penjara selama 1
(satu) tahun atau menetapkan Terdakwa sebagai tahanan kota selama 1(satu) tahun
?. dengan demikian, sekali lagi menurut Anator, majelis hakim telah menjatuhkan
putusan yang cacat hukum, tanpa menyertai perintah apakah Terdakwa ditahan di
Lembaga Pemsayarakatan atau cukup hanya sebagai tahanan kota.
VIII. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian-uraian yang telah Anator
paparkan sebelumnya, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Bahwa perbuatan Terdakwa yang melakukan
penunjukan langsung PT. Antasan Urip sebagai rekanan dalam kegiatan pengadaan
obat-obatan di RSUD Brigjend Hasan Basry Kandangan yang bertentangan dengan
Perpres No. 95 tahun 2007, merupakan perbuatan administratif sehingga perkara
ini merupakan ranah Hukum Administrasi;
2.
Bahwa perbuatan Terdakwa tersebut menurut
Majelis Hakim bertentangan dengan Pasal 3 UU Tipikor (sebagaimana dakwaan
alternatif kedua), sehingga Terdakwa dapat dimintai pertanggungjawaban,
sementara dalam pertimbangannya sendiri Majelis Hakim menganggap bahwa
perbuatan Terdakwa tidak terbukti memperkaya diri sendiri atau korporasi dan
tidak ada kerugian negara.
3.
Jika dilihat dari teori pemisahan perbuatan
pidana dan pertanggungjawaban pidana, putusan a quo bertentangan dengan asas “tiada pertanggungjawaban pidana
tanpa kesalahan”, kareana dalam pertimbangan Majelis Hakim, kesalahan Terdakwa
tidak terbukti (tidak terbukti unsur memperkaya diri sendiri atau korporasi dan
tidak ada kerugian negara), sehingga Majeis Hakim telah mempertanggungjawabkan
seseorang tanpa kesalahan. Seharusnya amar putusan membebaskan Terdakwa dari
segala tuntutan hukum (onslag van alle
rechtsvelvolging) karena tidak terbuktinya kesalahan Terdakwa tersebut;
4.
Mengenai penahanan terdapat cacat hukum.
Sebelumnya, putusan pada Pengadilan Tinggi Banjarmasin yang mengoreksi putusan
Pengadilan Negeri Banjarmasin dari semula pidana penjara selama 1 (satu) tahun
6 (enam) bulan menjadi tahanan kota selama 1 (satu) tahun. Sedangkan pada
putusan kasasi Terdakwa hanya dipidana selama 1 (satu) tahun penjara tanpa
menyertai perintah apakah Terdakwa ditahan di Lembaga Pemsayarakatan atau cukup
hanya sebagai tahanan kota.
WALLAHUA’LAM
[1]
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana,
(Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 77.
[2]
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan;
Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban
Pidana, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 77.
[3]
Andi Hamzah, Kamus Hukum, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1986), hlm. 152.
[4]
Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa
Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa
Kesalahan;Tinjauan Kritis Terhadap Teori Pemisahan Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana, Cet. Ke-6, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2015), hlm. 15.
[5]
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Cet.
Ke-3, (Jakarta: Aksara Baru, 1983), hlm. 75.
[6]
Roeslan Saleh, Masih Saja Tentang
Kesalahan,(Jakarta: Karya Dunia Fikir, 1994), hlm. 23.
[7]
Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana,
(Jakarta: Rineka Cipta, 1993), Cet..Ke-V hlm. 54.
[8]
Andi Zainal Abidin Farid, Hukum Pidana I,
(Jakarta: Sinar Grafika, 1995), hlm. 44-45.