Senin, 25 Januari 2016

Pada postingan sebelumnya telah dibahas mengenai macam-macam aliran/madzhab dalam Filsafat Hukum. Pada postingan kali ini akan dibahas mengenai perbandingan aliran-aliran/madzhab-madzhab tersebut. Berikut adalah pembahasannya :


A.    Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Aliran Hukum Lainnya
1.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Positivisme Hukum
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang dibentuk oleh manusia.[1]
Secara sederhana, menurut sumbernya, aliran hukum alam dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu (1) irasional, yang berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung, dan (2) rasional, yang berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.[2]
Fungsi hukum alam pada zaman ini, masih banyak yang mempertanyakan menyangkut aturannya, apakah masih diperlukan atau sudah tidak diperlukan. Menurut Friedman, meskipun saat ini sudah tidak mungkin lagi menerima berlakunya hukum alam sebagai aturan, tetapi dalam sejarahnya, hukum alam telah memberikan sumbangan bagi kehidupan hukum saat ini. Sumbangan dimaksud adalah sebagai berikut :[3]
a.       Ia telah berfungsi sebagai instrumen utama didalam pentransformasian hukum perdata Romawi Kuno menjadi suatu sistem yang lebih luas dan bersifat kosmopolitan.
b.      Ia telah menjadi penjara yang digunakan oleh kedua pihak dalam pertarungan antara pihak gereja dengan pihak kekaisaran bangsa Jerman.
c.       Atas nama hukum alamlah maka kevalidan hukum Internasional dapat ditegakkan.
d.      Juga prinsip-prinsip hukum alam telah menjadi senjata para hakim Amerika ketika membuat interpretasi terhadap konstitusi mereka, yaitu dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk melakukan pembatasan dibidang ekonomi.
e.       Dan hukum alam telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan keabsolutan.
Kalau kita cermati beberapa pengertian mengenai hukum alam yang dikemukakan oleh beberapa ahli pada makalah kami sebelumnya (Aliran-Aliran/Mazhab-Mazhab Dalam Filsafat Hukum), maka pada prinsipnya hukum alam bukanlah suatu aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian dinberikan sebuah lebel yang bernama hukum alam.[4]
Dengan demikian, hakekat hukum alam ialah hukum yang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolute justice (keadilan yang mutlak) disamping kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola pikir masyarakat dan keadaaan politik di zaman itu.[5]
Sedangkan aliran Positivisme Hukum (Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen),. Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is acommand of the lawgivers).[6]
Keberadaan aliran positivisme dalam hukum oleh W. Friedmann diganbarkan dengan mengatakan bahwa pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada adalah asumsi yang paling fundamental dari positivisme hukum. Hukum dapat dibagi kedalam undang-undang yang disebut hukum yang sebenarnya (hukum positif) dan undang-ndang yang disebut hukum yang tidak sebenarnya. Hukum positif adalah undang-undang yang diadakan oleh kekuasaan politik, sedangkan undang-undang yang tidak sebenarnya adalah yang tidak diadakan langsung atau tidak langsung oleh kekuasaan politik. Karena hukum positif mempunyai ciri empat unsur, yakni perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.[7]
Dari uraian diatas, maka perbedaan yang mendasar dari kedua aliran hukum tersebut ialah :
a.       Aliran hukum alam menganggap keadilan yang mutlak/tidak dapat diganggu gugat, berlaku abadi, universal, dan kapanpun terlepas dari kehendak manusia, sedangkan positivisme hukum menganggap tidak ada hukum kecuali kaidah-kaidah hukum positif.
b.      Aliran hukum alam bersifat lebih sempurna dan mempunyai derajat yang lebih tinggi dari hukum buatan manusia dan dikatakan sebagai “hukum yang seharusnya” (law is it ought to be), sedangkan aliran hukum positif memandang hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat dan tolak ukur formallah yang menentukan adanya hukum.
c.       Aliran hukum alam bertolak dari pandangan bahwa hukum dan etika sangat erat kaitannya dengan keadilan, HAM, sosial, moral, kepatutan, dan sebagainya yang tidak sewenang-wenang dan tidak bergantung pada keputusan manusia, sedangkan aliran hukum positif bertolak dari pandangan bahwa hukum identik dengan undang-undang, diluar undang-undang bukanlah hukum dimana undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum, serta hanya yang dibuat oleh Badan Legislatif adalah hukum.
2.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Mazhab Utilitarianisme
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia.[8] Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan utilitarianisme terletak pada tujuan utama hukum. Bagi aliran hukum alam tujuan utama hukum adalah tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Sedangkan bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.



3.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Mazhab Sejarah
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.[9]
Sedangkan mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan mahzab sejarah terletak pada dasar terib sosial dan tertib hukum. Bagi aliran hukum alam dasar terib sosial dan tertib hukum bersumber pada universalitas penalaran hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Sedangkan bagi mahzab sejarah tiada hukum yang bersifat universal, tetapi hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum.
4.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Mazhab Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan sociological jurisprudence terletak pada dasar tertib sosial dan tertib hukum. Bagi aliran hukum alam dasar terib sosial dan tertib hukum bersumber pada universalitas penalaran hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Sedangkan bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Inti pemikiran mazhab ini ialah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.[10]
5.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan realisme hukum terletak pada dasar tertib sosial dan tertib hukum. Bagi aliran hukum alam dasar terib sosial dan tertib hukum bersumber pada universalitas penalaran hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam universalitas penalaran baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
6.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.[11]
Sehingga perbandingan hukum alam dengan realisme hukum terletak pada dasar penerapan dalam peradilan. Bagi aliran hukum alam dasar penerapan hukum dalam peradilan bersumber pada universalitas penalaran hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Sehingga menjadi rujukan dalam memutus perkara kunkrit di pengadilan. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang ataupun pada penalaran hakikat makhluk hidup. Hanya saja undang-undang dan penalaran hakikat makhluk hidup bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.

B.     Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Aliran Hukum Lainnya
1.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Utilitarianisme
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.[12]
Sedangkan utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan utilitarianisme ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran positifisme hukum bersumber pada perintah penguasa bertujuan untuk kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
2.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Mazhab Sejarah
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.
Sedangkan mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan mahzab sejarah ada pada letak sumber hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan bagi mahzab sejarah tiada hukum yang baik, melainkan hukum bersumber dari perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum.
3.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.[13]
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan sociological jurisprudence ada pada letak sumber hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif dan baik apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
4.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan realisme hukum ada pada letak sumber hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam undang-undang baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
5.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Ferirechtslehre
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan realisme hukum ada pada penerapan undang-undang sebagai hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan aliran freirechtslehre merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja undang-undang bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
C.    Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Aliran Hukum Lainnya
1.      Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Mazhab Sejarah
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sedangkan mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran mahzab sejarah ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sedangkan bagi mahzab sejarah tiada hukum yang baik, melainkan hukum bersumber dari perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karenanya, menurut mahzab sejarah hukum akan memberikan kemanfaatan bila bersumber dari perasaan keadilan yang terletak pada jiwa bangsa suatu negara.
2.      Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran sociological jurisprudence ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sedangkan bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang bermanfaat merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif dan bermanfaat apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
3.      Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran realism hukum ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang bermanfaat mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum yang bermanfaat baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
4.      Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran freirechtslehreada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang harus terikat pada kemanfaatan. Kemanfaatan bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
D.    Perbandingan Antara Mazhab Sejarah Dengan Aliran Hukum Lainnya
  1. Perbandingan Mahzab Sejarah dengan Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sehingga perbandingan aliran mahzab sejarah dengan aliran sociological jurisprudence terletak pada sumber hukum. Bagi mahzab sejarah hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Sedangkan bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya selain harus sesuai dengan jiwa bangsa, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
  1. Perbandingan Mahzab Sejarah dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan aliran mahzab sejarah dengan aliran realism hukum terletak pada sumber hukum. Bagi mahzab sejarah hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum (sekalipun sejalan dengan jiwa bangsa) baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
  1. Perbandingan Mahzab Sejarah dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan aliran mahzab sejarah dengan aliran freirechtslehreterletak pada sumber hukum. Bagi mahzab sejarah hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang ataupun pada jiwa bangsa dalam suatu hukum. Undang-undang sekalipun berdasarkan jiwa bangsa dalam suatu hukum bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.

E.     Perbandingan Antara Sociological Jurisprudence Dengan Aliran Hukum Lainnya
  1. Perbandingan Sociological Jurisprudence dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan aliran sociological jurisprudence dengan aliran realisme hukum terletak pada sumber hukum. Bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum (sekalipun telah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat) baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
  1. Perbandingan Sociological Jurisprudence dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.[14]
Sehingga perbandingan aliran sociological jurisprudence dengan aliranfreirechtslehre terletak pada sumber hukum. Bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Undang-undang (sekalipun telah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat) bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
F.     Perbandingan Antara Realisme Hukum Dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.[15]
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan aliran realisme hukum dengan aliranfreirechtslehre terletak pada penerapan hukum dalam peradilan. Bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Undang-undang bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.


Demikianlah studi perbandingan atas ke-7 (ketujuh) aliran-aliran dalam filsafat hukum dengan telah diulas dan kalau dihitung menjadi 21 (kedua puluh satu) perbandingan aliran-aliran satu sama lainnya. Semoga dapat memberikan gambaran yang lebih utuh dan mendalam dari ketujuh aliran-aliran dalam filsafat hukum. Aamiin.



DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Zainuddin, 2011, Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prasetyo, Teguh & Abdul Halim Barkatullah, 2009, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Internet :




[1] Dardji, Op. Cit, hlm. 103.
[2] Ibid, hlm. 104.
[3] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, Cet. Ke-5, hlm. 51-52.
[4] Ibid, hlm. 52.
[5] Ibid.
[6] Dardji, Op. Cit, hlm. 113.
[7] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm 55.
[8] Dardji, Op. Cit, hlm. 117.
[9] Ibid,  hlm. 103.
[10] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm. 62.
[11] Dardji, Op. Cit, hlm. 149.
[12] Ibid, hlm. 113.
[13] Ibid, hlm. 128.
[14] Ibid, hlm. 149.
[15] Ibid, hlm. 133.

ALIRAN ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

ALIRAN ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM

PENDAHULUAN

Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.[1] Dan pengertian tersebut juga dapat ditinjau dari segi :[2]
1.      Segi semantik: perkataan filsafat berasal dari bahasa Arab ‘falsafah’,yang berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’, yang berarti ‘philos’ cinta, suka (loving), dan ‘sophia’ pengetahuan, hikmah(wisdom). Jadi’philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta kepadakebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam bahasa Arabnya ‘failasuf”. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuanhidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya kepada pengetahuan.
2.      Segi praktis : dilihat dari pengertian praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’. Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Supaya hukum yang dibangun dan dibentuk memiliki landasan yang kokoh untuk jangka panjang dan tidak akan dipertentangkan dengan pemahaman filsafat barat dan timur, pengetahuan tentang filsafat hukum barat yang masih mendominasi pengetahuan filsafat hukum Indonesia seharusnya diselaraskan dengan filsafat Pancasila sebagai Dasar Negara RI.
Kajian tentang filsafat hukum merupakan studi yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum. Hal ini karena filsafat hukum merupakan landasan bagi hukum positif yang berlaku di suatu negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM. Landasan filsafat negara sangat menentukan bagaimana pola pengaturan HAM di negara yang bersangkutan, apakah negara itu berpaham liberalis, sosialis maupun Pancasialis. Pancasila sebagai philosophische gronslag bangsa Indonesia merupakan dasar dari filsafat hukum Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar dari hukum dan praktek hukum di Indonesia. perenungan dan perumusan nilai-nilai filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan antara kelanggengan dengan konservatisme dengan pembaharuan.
Para ahli hukum memberikan pengertian filsafat hukum dengan rumusan yang berbeda, yaitu sebagai berikut :[3]
1.      E. Utrecht, filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah hukum itu sebenarnya ?, apakah sebabnya kita menaati hukum ?, apakah keadilan yang menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu ?. inilah pertanyaan-pertanyaaan yang juga dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai ilmu empiris hanya melihat hukum sebagai gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai gegebenheit belaka. Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata  ethisch waardeoordeel.
2.      Mr. Soetika, filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang berada dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi didalam hukum, dia menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai nilai, dia memberi penjelasan mengenai nilai, postulat (dasar-dasar) hukum sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha untuk mencapai akar-akar dari hukum.[4]
3.      Satjipto Rahardjo, filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan bersifat dasar dari hukum. Pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar bagi kekuasaan mengikat dari hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menganggap bahan hukum, tetapi masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan konsistensi logis asas, peraturan, bidang, serta sistem hukumnya sendiri.[5]
Pada dasarnya kita dapat merumuskan beberapa hal dari pembahasan-pembahasan yang telah didefinisikan oleh para pakar yaitu :
a.       Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’ yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu pengetahuan biasa.
b.      Filsafat adalah hasil daya upaya manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu:
1.      hakikat Tuhan,
2.      hakikat alam semesta, dan
3.      hakikat manusia,
Dapat juga dikatakan bahwa filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Kajian tentang filsafat hukum merupakan studi yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum. Hal ini karena filsafat hukum merupakan landasan bagi hukum positif yang berlaku di suatu negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM.[6]
Dapat kita tinjau bahwasannya yang menjadi perbedaan besar dari filsafat hukum Pancasila adalah bahwa filsafat hukum barat memiliki karakteristik kepastian hukum melalui keunggulan proses litigasi untuk mencapai keadilan. Sekalipun diakui telah ada perubahan ke arah nonlitigasi, dapat dikatakan instrumen hukum itu merupakan alternatif saja, bukan merupakan sarana hokum utama untuk penyelesaian sengketa dalam mencapai tujuan, bukan hanya mempertahankan ketertiban, melainkan menciptakan perdamaian dalam kehidupan masyarakat. Keberhasilan peranan hukum dalam mencapai kepastian hukum dan keadilan dalam lingkup filsafat hukum barat adalah ada pihak yang memenangkan kontes di muka pengadilan di satu sisi, dan di sisi lain ada pihak yang kalah dan terkena imbas serta penderitaan. Dampak negatif dari karakter berlitigasi model barat adalah semakin sulit dan terbebaninya kaum miskin untuk turut berkontes di muka pengadilan sekalipun telah tersedia bantuan hukum (legal aid) baginya.[7]
Tak lepas dari fungsi filsafat itu sendiri yaitu mnumbuhkan kekreatifan, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan penggolongan-penggolongan berdasarkan ‘nation’, ras, dan keyakinan keagamaan mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, tanpa mengindahkan norma/nilai-nilai yng berlaku dan melekat dimasyarakat itu sendiri.[8]

      Postingan ini (yang berjudul aliran-aliran dalam Filsafat Hukum) merupakan tugas Penulis pada saat menempuh mata kuliah Filsafat Hukum Semester V Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah JakartaBerikut akan penulis uraikan aliran-aliran/madzhab-madzhab dalam Filsafat Hukum :

A.    Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum
Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan pergulatan pemikiran yang tidak ada henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum.[9] Pemikiran hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya, ia sering dilihat sebagai suatu jawaaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum atau menggugat suatu pikiran hukum yang dominan pada suatu waktu. Oleh karena itu, sekalipun ia berkeinginan untuk mengutarakan suatu pikiran secara universal, tetapi alangkah baiknya apabila teori itu mempunyai latar belakang pemikiran yang mempunyai dasar teori hukum tertentu.[10]
Adapun aliran-aliran filsafat hukum yang akan dibahas dalam tulisan ini ialah sebagai berikut :
1.      Aliran Hukum Alam;
2.      Positivisme Hukum;
3.      Utilitarianisme;
4.      Mazhab Sejarah;
5.      Sociological Jurisprudence;
6.      Realisme Hukum; dan
7.      Freirechtslehre.
Tata urutan pembahasan tersebut tidak menunjukkan bahwa suatu aliran yang dibicarakan lebih dulu selalu mendahului aliran yang dibicarakan kemudian. Urutan diatas lebih didasarkan kepada sistematika pemikiran dari masing-masing aliran, yang dalam suatu situasi sesuai dengan tata urutan kronologis, namun disisi lain juga tidak lagi sesuai.[11]
B.     Aliran Hukum Alam
Apabila orang mengikuti sejarah hukum alam, maka ia sedang mengikuti sejarah umat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang mutlak didunia ini serta kegagalan-kegagalannya..[12] aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun yang lalu dan muncul dalam berbagai bentuk pemikiran.[13]
Secara sederhana, menurut sumbernya, aliran hukum alam dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu (1) irasional, yang berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung, dan (2) rasional, yang berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.[14]
1.      Hukum Alam Irasional
Beberapa pendukung hukum alam irasional yaitu sebagai berikut :
a.       Thomas Aquinas (1225-1274), filsafatnya berkaitan dengan teologia. Ia mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya, ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitu (1) pengetahuan alamiah (berpangkal pada akal) dan (2) pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu Ilahi).[15] Thomas Aquinas membagi hukum kedalam empat golongan, yaitu[16] : (1) Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia. (2) Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia berdasarkan waktu yng diterimanya. (3) Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu yang merupakan penjelmaan dari Lex Aeterna didalam rasio manusia. (4) Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubung dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaaan dunia.
b.      John Salisbury (1115-1180), melukiskan bahwa kehidupan bernegara itu seperti kehidupan dalam sarang lebah, yang sangat memerlukan kerja sama dari semua unsur; suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis.[17]
c.       Dante Alighiery (1265-1321), ia menentang kekuasaan duniawi diberikan kepada gereja. Baginya, keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkan kepada satu tangan saja yaitu pemerintahan yang absolut. Dasar hukum yang dijadikan pegangan adalah hukum alam, yang mencerminkan hukum-hukum Tuhan.[18]
d.      Piere Dubois (lahir 1255), sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku universal. Sama seperti Dante, ia menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat langsung menerima kekuasaan dari Tuhan, tanpa perlu melewati pemimpin gereja. Bahkan, Dubois ingin agar kekuasaan duniawi gereja (Paus) dicabut dan diserahkan sepenuhnya kepada raja.[19]


2.      Hukum Alam Rasional
Beberapa pendukung hukum alam rasional, sebagai berikut :
1.      Hugo de Groot/Grotius (1583-1645), menurutnya, sumber hukum adalah rasio manusia. Karena karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan akalnya. Hukum alam menurutnya adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia.[20]
2.      Samuel von Pufendorf (1632-1649) dan Christian Thomasius (1655-1728). Pufendorf berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan yang berasal dari akal pikiran yang murni. Dalam hal iniunsur naluriah manusia yang lebih berperan. Akibatnya ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, timbul pertentangan kepentingan satu dengan lainnya. Menurutnya, hukum alam yang lahir dari faktor-faktor yang bersifat takdir dan berdasarkan sifat manusia yang fitri, seperti naluri akan terdesak kebelakang. Disisi lain pikiran tentang perundang-undangan akan maju kedepan. Sementara itu menurut Thomasius, manusia hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan yang lain. Karena itu, diperlukan baginya aturan-aturan yang yang mengikat, agar ia mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya, baik kedalam maupun keluar. Dengan demikian, Thomasius sampai kepada pengertian tentang ukuran sebagaimana Thomas Aquinas juga mengakuinya dalam hukum alamnya.[21]
3.      Immanauel Kant (1724-1804). Filsafat Kant merupakan sintesis dari rasionalisme dan empirisme. Kritisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant menyelidiki unsur-unsur mana yang dalam pemikiran manusia yang berasal dari rasio dan mana yang berasal dari empiri.[22]
C.    Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif)
Aliran hukum positif menurut Hans Kelsen merupakan suatu teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan tidak senyatanya itu, yakni apakah hukum positif yang senyatanya itu adil atau tidak adil.[23] Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.[24]
Positivisme hukum dibedakan dalam 2 (dua) corak, yaitu :[25]
1.      Aliran Hukum Positif Analitis (Analitical Jurisprudence): John Austin (1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa negara, hakikatnya terletak pada unsur “perintah” itu. Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak superior yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu memaksa orang lain untuk taat.
Austin membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu : (1) hukum dari Tuhan untuk manusia (the divine law) dan (2) hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia ini dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu : (1) hukum yang sebenarnya, meliputi hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu (a) perintah (command), (b) sanksi (sanction), (c) kewajiban (duty), dan (d) kedaulatan (sovereignty); dan (2) hukum yang tidak sebenarnya, adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa sehingga tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum.
2.      Aliran Hukum Positif Murni (Reine Rechtslehre): Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir yang non-yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis. Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini, yang dipersoalkan oleh hukum adalah bukan “bagaimana hukum itu seharusnya”, tetapi “apa hukumnya”. Sebagai penganut hukum aliran positif, hukum disinipun diartikannya identik dengan perundang-undangan.
D.    Utilitarianisme
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.[26] Aliran ini dpelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1783), John Stuar Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1800-1889). Para penganut aliran ini memiliki prinsip bahwa manusia akam melakukan tindakan-tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Bentham mencoba menerapkannya dibidang hukum. Misalnya, undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.[27]
Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang individual, sedang rekannya Rudolf von Jhering mengembangkan ajaran yang bersifat sosial. Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham, Stuar Mill, dan Positivisme hukum alam dari John Austin.[28] Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan kedalam Positivisme Hukum, mengingat paham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum adalah menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada jumlah yang terbanyak.[29]
E.     Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny (Volk geist) hukum kebiasaan sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dantiap-tiap bangsa memiliki ³volksgeist´ jiwa rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukumberasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang undang.
Inti dari mazhab sejarah ialah pada prinsipnya merupakan mazhab yang ingin melihat keterkaitan antara hukum dan masyarakat, dalam arti bahwa aliran ini menolak hukum itu dibuat oleh penguasa atau pemerintah.[30] Selanjutnya von Savigni berkata, Das Recht wird nicht gemacht, est is und wird mindem Volke (Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat).[31]

F.     Sociological Jurisprudence
Aliran ini dipelopori oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Benyamin Cardoso, Kantorowich, dan Gurvitch. Inti pemikiran mazhab ini menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dialam masyarakat.[32]
Mazhab ini mempunyai ajaran mengenai pentingnya living law (hukum yang hidup dalam masyarakat). Namun, mazhab ini lahir dari anti these positivisme hukum. Karena sociological jurisprudence menganut paham bahwa hanya hukum yang mampu menghadapi ujian akal dalam hidup terus.[33]
G.    Realisme Hukum
Realisme hukum berkembang dalam waktu yang bersamaan dengan sociological jurisprudence. Dalam pandangan penganut realisme (para realis) hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hamper tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan social, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya, sangat benar apa yang dikatakan oleh seorang realis yang terkemuka (Llewellyn) bahwa hal yang pokok dalam hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.[34]
Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam buku-buku, baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.[35]
Sebenarnya realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Skala gerakan Realisme Skandinavia lebih luas daripada Realisme Amerika karena pusat perhatiannya bukanlah para fungsionaris hukum (khususnya hakim), tetapi justru orang-orang yang berada dibawah hukum Realisme Skandinavia ini banyak menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.[36]
Dari pandangan yang dikemukakan oleh Liwellyen diatas, Oliver Wendell Holmes mengemukakan bahwa hukum adalah apa yang diramalkan akan diputus dalam kenyataannya oleh pengadilan. Jadi, bagi Holmes hukum adalah kelakuan faktual para hakim (patterns of behavior) sebab pattern of behavior hakim ini ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :
1.      Kaidah-kaidah hukum yang dikonkritkan oleh hakimdengan metode interpretasi dan konstruksi;
2.      Moral hidup pribadi hakim; dan
3.      Kepentingan sosial.[37]

H.    Freirechtslehre
Freirechtslehre (ajaran hukum bebas) merupakan penentang paling keras positivisme hukum. Dalam penetangan terhadap positiveme hukum itu, ereirechtslehre sejalan dengan kaum realis di amerika. Hanya saja jika aliran realisme menitikberatkan pada penganalisisan hukum sebagai kenyataan dalam masyarakat, freirechtlehre tidak berhenti samapai di situ. [38]
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-undang bukan merupakan peranan utama, tetapi sebagai alat bantu untuk memeproleh pemecahan yang tepat menurut hukum, dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.[39]
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim mempuyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya  menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya  bukanlah undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim.[40]



PENUTUP
Kesimpulan
Adapun berbagai teori atau aliran-aliran dalam filsafat hukum adalah sebagai berikut:
  1. Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam adalah hukum yang berlaku universal dan abadi yang bersumber dari Tuhan, filsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh teori Plato/Aristoteles dan Thomas Aquinas. Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami tentram. Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum alam dan hukum positif) teori dualisme, sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia adalah majikan dari alam). Thomas Aquinas : ³Summa Theologica´ dan ³De Regimene Principum´. Membagi asas hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut: (1) Principia Prima adalah merupakan asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir dan bersifat mutlak. (2) Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu.
Immanuel Kant mengutarakan pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu tentangkodrat dan kebebasan. Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi, yang tersusunatas kategori kategori pikiran, yang terdiri atas empat komponen dasar, yaitu kualitet,kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi dibatasi ruang dan waktu. Kebebasan adalahlapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah moralitas, yaitu kebebasan normativeetis dari manusia, yang menampilkan ideal kepribadian manusia.
Filsafat Thomas Aquinas mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Adanya pengetahuan yang tidak ditembus aleh akal dan untuk itulah diperlukan iman. Dengan demikian, menurut Aquinas, ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitupengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Mengenai pembagian hukum, Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas dengan menyatakan ada empat macam hukum yang diberikan Aquinas, yaitu lex aeterna (hukum rasioTuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancaindera manusia), lex divina (hukum rasio Tuhanyang bisa ditangkap oleh pancaindera manusia), lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lexaeterna ke dalam rasio manusia) dan lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupanmanusia di dunia).
Hukum alam merupakan sebagai metode tertua yang dapat dikenali sejak zaman sampai abadpertengahan (abad 7 dan ke-18). Hukum alam adalam merupakan sebagai substansi (isi) yaituberisikan norma-norma, peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi manusia.Hukum alam menganggap pentingnya hubungan antara hukum dan moral.

  1. Positivisme Hukum (Aliran Positivis)
Aliran Positivisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal yang harus dipisahkan. Dan aliran ini dikenal adanya dua sub-aliran yang terkenal yaitu;
a.       Aliran hukum positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin. Ada empat unsur penting menurut Austin dinamakan sebagai hukum;
·         Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini berada di luar bidang hukum.
·         Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ada pengaruhnya pada masyarakat.
·         Pandangannya bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab sejarah.
·         Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagihukum yang hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan ciri-ciri positivisme, adalah sebagiberikut :
·         Hukum adalah perintah manusia (command of human being),
·         Tidak ada hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya,
·         Analitis konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis,
·         Sistem hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat tertutup, dan di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
b.      Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan ajaran hukum murni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu idiologis, yaitu mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni karenahukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis yaitu anasir etis, sosiologis, politis, dan sejarah. Maka menurut Hans Kelsen hukum itu berada dalam dunia sollendan bukan dalam dunia sein. Sifatnya adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan akal manusia. Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh bertentangandengan ketentuan yang lebih atas derajatnya). Dan John Austin mengemukakan ada dua bentukhukum, adalah sebagai berikut; Positif law dan Positif morality.

  1. Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham dan mengutarakan pendapatnya memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkankebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan (hukum itu harus bermanfaatbagi masyarakat, guna mencapai hidup bahagia). Merupakan aliran yang meletakkan dasar dasarekonomi bagi pemikiran hukum, prinsip utamanya adalah tujuan dan evaluasi hukum.
Bentham dan Jhon Stuart Mill memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagisemua individu.

  1. Aliran Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny (Volk geist) hukum kebiasaan sumber hukum formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama samadengan masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dantiap-tiap bangsa memiliki volksgeist jiwa rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukumberasal dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang undang.

  1. Aliran Sociological Yurisprudence
Sociological Yurisprudence (living law) dipelopori Eugen Ehrlich (Jerman) tapi berkembang diAmerika Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang dibuat agar memperhatikan hukum yanghidup dalam masyarakat baik tertulis maupun tidak tertulis. Mengakui sumber hukum formalbaik undang undang maupun bukan undang undang asal. Dipengaruhi oleh aliran positif sosiologis dan August Comte yang orientasinya sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yanghidup di dalam masyarakat. Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman.

  1. Aliran Realisme Hukum
Aliran Realisme Hukum diidentikkan dengan Pragmatic Legal Realism dipelopori oleh Roscoe Pound konsep hukumnya ( Law as a tool of social engineering ) sub aliran positivisme hukum Wiliam James dan Dewey mempengaruhi lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau akal sebagai sumber hukum.
Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan bukan aliran dalam filsafat hukum,tetapi merupakan suatu gerakan “movement” dalam cara berfikir tentang hukum.

  1. Aliran Freirechtslehre (Aliran Hukum Bebas)
Aliran ini merupakan penentang Positivisme Hukum, tapi sejalan dengan aliran Realisme Hukum. Penemuan Hukum Bebas bukan berarti pengadilan tidak terikat pada undang-undang, tetapi undang-undang itu bukan memegang peranan utama, tetapi sebagai alat bantu saja dan keputusan-keputusannya tidakharus sama dengan yang tertuang dalam undang-undang.
Menurut aliran ini, hakim mempunyai tugas menciptakan hukum, bukan hanya menerapkan undang-undang, tetapi membuat suatu penyelesaian yang tepat untuk suatu peristiwa konkrit. Bahkan menurut Stampe, bahwa pengadilan berhak untuk mengubah hukum apabila hukum yang ada justru akan mengakibatkan suatu malapetaka.






DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Zainuddin, 2011, Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prasetyo, Teguh & Abdul Halim Barkatullah, 2009, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Internet :





[1] http://hukum-on.blogspot.com/2011/02/filsafat-hukum.html, diakses pada Kamis, 07 Mei 2015, Pukul 20.44 WIB.
[2] Ibid.
[3] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, hlm.9.
[4] Ibid.
[5] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. Ke-6, 2006, hlm. 364.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Dardji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 102.
[10] Teguh Prasetyo & Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-3, 2009, hlm. 80.
[11] Dardji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit, hlm. 103.
[12] Satjipto Rahardjo, Op. Cit, hlm. 266.
[13] Dardji Loc. Cit.
[14] Ibid, hlm. 104.
[15] Ibid, 105
[16] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm. 54.
[17] Drji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit, hlm. 107.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm. 108.
[20] Ibid, hlm. 110-111.
[21] Ibid, hlm. 111-112.
[22] Ibid, hlm. 112.
[23] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm. 54.
[24] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit, hlm. 113-114.
[25] Ibid, hlm. 114-116.
[26] Ibid, hlm. 117
[27] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm. 59.
[28] Ibid.
[29] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit, hlm. 117-118.
[30] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm. 60
[31] Ibid.
[32] Ibid, hlm. 61.
[33] Ibid.
[34] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit, hlm. 132-133.
[35] Ibid, hlm 134.
[36] Ibid.
[37] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm. 64.
[38] Ibid, hlm. 149
[39] Ibid.
[40] Ibid.

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...