Pada postingan sebelumnya telah dibahas mengenai macam-macam
aliran/madzhab dalam Filsafat Hukum. Pada postingan kali ini akan dibahas
mengenai perbandingan aliran-aliran/madzhab-madzhab tersebut. Berikut adalah pembahasannya :
A.
Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Aliran Hukum Lainnya
1.
Perbandingan Aliran/Mazhab
Hukum Alam Dengan Positivisme Hukum
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa
melalui penalaran, hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan
mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.
Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang dibentuk oleh manusia.[1]
Secara sederhana, menurut sumbernya, aliran hukum alam
dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu (1) irasional, yang berpendapat bahwa
hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara
langsung, dan (2) rasional, yang berpendapat bahwa sumber dari hukum yang
universal dan abadi itu adalah rasio manusia.[2]
Fungsi hukum alam pada zaman ini, masih banyak yang
mempertanyakan menyangkut aturannya, apakah masih diperlukan atau sudah tidak
diperlukan. Menurut Friedman, meskipun saat ini sudah tidak mungkin lagi
menerima berlakunya hukum alam sebagai aturan, tetapi dalam sejarahnya, hukum
alam telah memberikan sumbangan bagi kehidupan hukum saat ini. Sumbangan
dimaksud adalah sebagai berikut :[3]
a. Ia telah berfungsi sebagai instrumen utama didalam pentransformasian
hukum perdata Romawi Kuno menjadi suatu sistem yang lebih luas dan bersifat
kosmopolitan.
b. Ia telah menjadi penjara yang digunakan oleh kedua pihak dalam
pertarungan antara pihak gereja dengan pihak kekaisaran bangsa Jerman.
c. Atas nama hukum alamlah maka kevalidan hukum Internasional dapat
ditegakkan.
d. Juga prinsip-prinsip hukum alam telah menjadi senjata para hakim
Amerika ketika membuat interpretasi terhadap konstitusi mereka, yaitu dengan
menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk
melakukan pembatasan dibidang ekonomi.
e. Dan hukum alam telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan
perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan keabsolutan.
Kalau kita cermati beberapa pengertian mengenai hukum alam
yang dikemukakan oleh beberapa ahli pada makalah kami sebelumnya
(Aliran-Aliran/Mazhab-Mazhab Dalam Filsafat Hukum), maka pada prinsipnya hukum
alam bukanlah suatu aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau
gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian dinberikan sebuah
lebel yang bernama hukum alam.[4]
Dengan demikian, hakekat hukum alam ialah hukum yang
berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah
sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolute justice (keadilan yang mutlak)
disamping kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam
berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola pikir masyarakat dan keadaaan politik
di zaman itu.[5]
Sedangkan aliran Positivisme Hukum (Hukum Positif)
memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum
yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen),. Dalam
kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is acommand of the lawgivers).[6]
Keberadaan aliran positivisme dalam hukum oleh W. Friedmann
diganbarkan dengan mengatakan bahwa pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada
dan hukum yang seharusnya ada adalah asumsi yang paling fundamental dari
positivisme hukum. Hukum dapat dibagi kedalam undang-undang yang disebut hukum
yang sebenarnya (hukum positif) dan undang-ndang yang disebut hukum yang tidak
sebenarnya. Hukum positif adalah undang-undang yang diadakan oleh kekuasaan
politik, sedangkan undang-undang yang tidak sebenarnya adalah yang tidak
diadakan langsung atau tidak langsung oleh kekuasaan politik. Karena hukum
positif mempunyai ciri empat unsur, yakni perintah, sanksi, kewajiban, dan
kedaulatan.[7]
Dari uraian diatas, maka perbedaan yang mendasar dari kedua
aliran hukum tersebut ialah :
a. Aliran hukum alam menganggap keadilan yang mutlak/tidak dapat diganggu
gugat, berlaku abadi, universal, dan kapanpun terlepas dari kehendak manusia,
sedangkan positivisme hukum menganggap tidak ada hukum kecuali kaidah-kaidah
hukum positif.
b. Aliran hukum alam bersifat lebih sempurna dan mempunyai derajat yang
lebih tinggi dari hukum buatan manusia dan dikatakan sebagai “hukum yang
seharusnya” (law is it ought to be), sedangkan aliran hukum positif memandang
hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat dan tolak ukur formallah
yang menentukan adanya hukum.
c. Aliran hukum alam bertolak dari pandangan bahwa hukum dan etika sangat
erat kaitannya dengan keadilan, HAM, sosial, moral, kepatutan, dan sebagainya
yang tidak sewenang-wenang dan tidak bergantung pada keputusan manusia,
sedangkan aliran hukum positif bertolak dari pandangan bahwa hukum identik
dengan undang-undang, diluar undang-undang bukanlah hukum dimana undang-undang
merupakan satu-satunya sumber hukum, serta hanya yang dibuat oleh Badan
Legislatif adalah hukum.
2.
Perbandingan Aliran/Mazhab
Hukum Alam Dengan Mazhab Utilitarianisme
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa
penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.
Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai
tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi,
baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia.[8]
Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika
tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak
mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan utilitarianisme
terletak pada tujuan utama hukum. Bagi aliran hukum alam tujuan utama hukum
adalah tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Sedangkan bagi
aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik
atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan
kepada manusia atau tidak.
3.
Perbandingan Aliran/Mazhab
Hukum Alam Dengan Mazhab Sejarah
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa
penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.
Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.[9]
Sedangkan mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa
bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena
masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun
demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang
universal.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan mahzab sejarah
terletak pada dasar terib sosial dan tertib hukum. Bagi aliran hukum alam dasar
terib sosial dan tertib hukum bersumber pada universalitas penalaran hakikat makhluk
hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan bagi mahzab sejarah tiada hukum yang bersifat universal, tetapi hukum
timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa
bangsa itulah yang menjadi sumber hukum.
4.
Perbandingan Aliran/Mazhab
Hukum Alam Dengan Mazhab Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa
penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.
Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang
bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan sociological
jurisprudence terletak pada dasar tertib sosial dan tertib hukum. Bagi
aliran hukum alam dasar terib sosial dan tertib hukum bersumber pada
universalitas penalaran hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari
hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Sedangkan bagi aliran sociological
jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan
pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang
efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Inti pemikiran mazhab ini ialah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai
dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.[10]
5.
Perbandingan Aliran/Mazhab
Hukum Alam Dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa
penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.
Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu
hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial,
keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi
yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan.
Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan
dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan realisme hukum
terletak pada dasar tertib sosial dan tertib hukum. Bagi aliran hukum alam
dasar terib sosial dan tertib hukum bersumber pada universalitas penalaran
hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja
dibentuk oleh manusia. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada
hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu.
Apa yang dianggap sebagai hukum dalam universalitas penalaran baru merupakan
taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
6.
Perbandingan Aliran/Mazhab
Hukum Alam Dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa
penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut
mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia.
Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran
hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas
tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian
yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya
dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil
penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang
sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara
pendekatan problematik.[11]
Sehingga perbandingan hukum alam dengan realisme hukum
terletak pada dasar penerapan dalam peradilan. Bagi aliran hukum alam dasar
penerapan hukum dalam peradilan bersumber pada universalitas penalaran hakikat
makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh
manusia. Sehingga menjadi rujukan dalam memutus perkara kunkrit di pengadilan.
Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas
bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang ataupun pada penalaran
hakikat makhluk hidup. Hanya saja undang-undang dan penalaran hakikat makhluk
hidup bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk
memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama
dengan penyelesaian undang-undang.
B.
Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Aliran Hukum Lainnya
1.
Perbandingan Positivisme Hukum
Dengan Utilitarianisme
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu
adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata
positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik
dengan undang-undang.[12]
Sedangkan utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai
tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi,
baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu
memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat
dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan
agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat
(bangsa) tersebut.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan
utilitarianisme ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran positifisme hukum
bersumber pada perintah penguasa bertujuan untuk kebaikan. Karena perintah
penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan bagi
aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik
atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan
kepada manusia atau tidak.
2.
Perbandingan Positivisme Hukum
Dengan Mazhab Sejarah
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu
adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata
positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik
dengan undang-undang.
Sedangkan mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa
bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena
masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun
demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang
universal.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan mahzab
sejarah ada pada letak sumber hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang
bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan.
Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum.
Sedangkan bagi mahzab sejarah tiada hukum yang baik, melainkan hukum bersumber
dari perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa
itulah yang menjadi sumber hukum.
3.
Perbandingan Positivisme Hukum
Dengan Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu
adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata
positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik
dengan undang-undang.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang
bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum
yang hidup dalam masyarakat.[13]
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan sociological
jurisprudence ada pada letak sumber hukum. Bagi aliran positivisme
hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan
kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik
dengan hukum. Sedangkan bagi aliran sociological jurisprudence hukum
yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum
positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif dan baik apabila berisikan
atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
4.
Perbandingan Positivisme Hukum
Dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu
adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata
positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik
dengan undang-undang.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu
hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial,
keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi
yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan.
Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan
dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan realisme
hukum ada pada letak sumber hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang bersumber
pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan. Karena
perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum.
Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur
suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap
sebagai hukum dalam undang-undang baru merupakan taksiran tentang bagaimana
hakim akan memutuskan.
5.
Perbandingan Positivisme Hukum
Dengan Ferirechtslehre
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu
adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata
positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik
dengan undang-undang.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran
hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas
tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian
yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya
dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil
penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang
sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara
pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan realisme
hukum ada pada penerapan undang-undang sebagai hukum. Bagi aliran positivisme
hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan
kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik
dengan hukum. Sedangkan aliran freirechtslehre merupakan
penentang paling keras Positivisme Hukum. Bagi aliran freirechtslehre penemuan
hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya
saja undang-undang bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu
untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus
sama dengan penyelesaian undang-undang.
C.
Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Aliran Hukum Lainnya
1.
Perbandingan Antara
Utilitarianisme Dengan Mazhab Sejarah
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan.
Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum
itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat
dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan
agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat
(bangsa) tersebut.
Sedangkan mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa
bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena
masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun
demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang
universal.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran
mahzab sejarah ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan
utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung
kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Sedangkan bagi mahzab sejarah tiada hukum yang baik, melainkan hukum bersumber
dari perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa
itulah yang menjadi sumber hukum. Karenanya, menurut mahzab sejarah hukum akan
memberikan kemanfaatan bila bersumber dari perasaan keadilan yang terletak pada
jiwa bangsa suatu negara.
2.
Perbandingan Antara
Utilitarianisme Dengan Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan.
Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum
itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat
dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan
agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat
(bangsa) tersebut.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang
bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan
aliran sociological jurisprudence ada pada tujuan utama hukum.
Bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga
baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan
kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sedangkan bagi aliran sociological
jurisprudence hukum yang bermanfaat merupakan dialektika antara akal
dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang
efektif dan bermanfaat apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat.
3.
Perbandingan Antara
Utilitarianisme Dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan.
Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum
itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat
dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan
agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat
(bangsa) tersebut.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu
hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial,
keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi
yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan.
Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan
dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran
realism hukum ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan
utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung
kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang bermanfaat
mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang
dianggap sebagai hukum yang bermanfaat baru merupakan taksiran tentang
bagaimana hakim akan memutuskan.
4.
Perbandingan Antara
Utilitarianisme Dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan
sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan.
Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum
itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat
dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan
agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat
(bangsa) tersebut.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran
hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas
tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian
yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya
dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil
penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang
sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara
pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan
aliran freirechtslehreada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran
utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau
tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada
manusia atau tidak. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan
hukum bebas bukanlah peradilan yang harus terikat pada kemanfaatan. Kemanfaatan
bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh
pemecahan yang tepat menurut hukum dan tidak perlu harus sama dengan
penyelesaian undang-undang.
D.
Perbandingan Antara Mazhab Sejarah Dengan Aliran Hukum Lainnya
- Perbandingan Mahzab Sejarah dengan Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai mahzab sejarah memfokuskan bangsa,
tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum.
Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum
pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang
universal.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang
bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Sehingga perbandingan aliran mahzab sejarah dengan aliran sociological
jurisprudence terletak pada sumber hukum. Bagi mahzab sejarah hukum
timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa
bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Sedangkan bagi aliran sociological
jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan
pengalaman. Karenanya selain harus sesuai dengan jiwa bangsa, hukum positif
baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
- Perbandingan Mahzab
Sejarah dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai mahzab sejarah memfokuskan bangsa,
tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum.
Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum
pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang
universal.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu
hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial,
keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi
yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan.
Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan
dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan aliran mahzab sejarah dengan aliran
realism hukum terletak pada sumber hukum. Bagi mahzab sejarah hukum timbul
karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa
itulah yang menjadi sumber hukum. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya
tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada
putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum (sekalipun sejalan dengan jiwa
bangsa) baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
- Perbandingan Mahzab
Sejarah dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai mahzab sejarah memfokuskan bangsa,
tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena
masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun
demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang
universal.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran
hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas
tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian
yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya
dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil
penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang
sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara
pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan aliran mahzab sejarah dengan aliran freirechtslehreterletak
pada sumber hukum. Bagi mahzab sejarah hukum timbul karena perasaan keadilan
yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber
hukum. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum
bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang ataupun pada
jiwa bangsa dalam suatu hukum. Undang-undang sekalipun berdasarkan jiwa bangsa
dalam suatu hukum bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu
untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus
sama dengan penyelesaian undang-undang.
E.
Perbandingan Antara Sociological Jurisprudence Dengan Aliran Hukum
Lainnya
- Perbandingan Sociological
Jurisprudence dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai sociological jurisprudence memandang
bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu
hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial,
keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi
yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan.
Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan
dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan aliran sociological
jurisprudence dengan aliran realisme hukum terletak pada sumber hukum.
Bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik
merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif
baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan bagi aliran realisme hukum
misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim
pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum (sekalipun telah sesuai
dengan hukum yang hidup dalam masyarakat) baru merupakan taksiran tentang
bagaimana hakim akan memutuskan.
- Perbandingan Sociological Jurisprudence dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai sociological jurisprudence memandang
bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum
yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran
hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas
tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian
yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya
dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil
penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang
sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara
pendekatan problematik.[14]
Sehingga perbandingan aliran sociological
jurisprudence dengan aliranfreirechtslehre terletak pada
sumber hukum. Bagi aliran sociological jurisprudence hukum
yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum
positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau
selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan
hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang.
Undang-undang (sekalipun telah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat)
bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh
pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan
penyelesaian undang-undang.
F.
Perbandingan Antara Realisme Hukum Dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai realisme hukum adalah hasil dari
kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu
hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial,
keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi
yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan.
Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan
dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.[15]
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran
hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas
tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian
yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya
dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil
penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang
sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara
pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan aliran realisme hukum dengan aliranfreirechtslehre terletak
pada penerapan hukum dalam peradilan. Bagi aliran realisme hukum misalnya tidak
ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan
itu. Apa yang dianggap sebagai hukum baru merupakan taksiran tentang bagaimana
hakim akan memutuskan. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan
hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang.
Undang-undang bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk
memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama
dengan penyelesaian undang-undang.
Demikianlah studi perbandingan atas ke-7 (ketujuh)
aliran-aliran dalam filsafat hukum dengan telah diulas dan kalau dihitung
menjadi 21 (kedua puluh satu) perbandingan aliran-aliran satu sama lainnya.
Semoga dapat memberikan gambaran yang lebih utuh dan mendalam dari ketujuh
aliran-aliran dalam filsafat hukum. Aamiin.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Zainuddin, 2011, Filsafat
Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2008, Pokok-Pokok
Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Prasetyo, Teguh & Abdul Halim Barkatullah, 2009, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi
Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Internet :
http://hukum-on.blogspot.com/2011/02/filsafat-hukum.html,
diakses pada Kamis, 07 Mei 2015.
[1] Dardji, Op. Cit, hlm. 103.
[2] Ibid, hlm. 104.
[3] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum,
Jakarta; Sinar Grafika, Cet. Ke-5, hlm. 51-52.
[4] Ibid, hlm. 52.
[5] Ibid.
[6] Dardji, Op. Cit, hlm. 113.
[7] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm
55.
[8] Dardji, Op. Cit, hlm. 117.
[9] Ibid, hlm. 103.
[10] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm.
62.
[11] Dardji, Op. Cit, hlm. 149.
[12] Ibid, hlm. 113.
[13] Ibid, hlm. 128.
[14] Ibid, hlm. 149.
[15] Ibid, hlm. 133.