PERAN DAN FUNGSI POLRI DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA; HARAPAN DAN TANTANGAN TUGAS POLRI MASA DEPAN |
(Menyambut HUT POLRI Ke-74,
tanggal 1 Juli 2020)
Oleh:
Roli Pebrianto, S.H., M.H
I.
Pengantar
Istilah
criminal justice system awal mulanya dikemukakan oleh seorang pakar
hukum pidana dan ahli dalam criminal justice science. Criminal justice
system muncul seiring dengan ketidakpuasan terhadap mekanisme kerja
aparatur penegak hukum dan institusi penegakan hukum yang didasarkan pada
pendekatan hukum dan ketertiban yang sangat menggantungkan keberhasilan
penanggulangan kejahatan pada efektivitas dan efisiensi kerja pada organisasi
kepolisian (law enforcement).[1]
Peradilan
pidana dapat diartikan sebagai suatu proses bekerjanya beberapa lembaga penegak
hukum. Mekanisme peradilan pidana tersebut meliputi aktivitas yang bertahap
dimulai dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan pelaksanaan
putusan hakim yang dilakukan oleh Lembaga Pemasyarakatan. Keseluruhan proses
itu bekerja dalam suatu sistem, sehingga masing-masing lembaga itu merupakan
subsistem yang saling berhubungan dan berpengaruh antara satu dengan yang lain.
Dalam sistem peradilan pidana tersebut bekerja komponen-komponen fungsi atau
subsistem yang masing-masing harus berhubungan dan bekerja sama.
Tujuan
peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah seseorang bersalah atau tidak.
Peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang diikat oleh aturan-aturan ketat
tentang pembuktian yang mencakup semua batas-batas konstitusional dan berakhir
pada proses pemeriksaan di pengadilan.[2]
Sebagaimana
diketahui bahwa, sistem peradilan pidana yang digariskan oleh KUHAP adalah sistem
peradilan pidana terpadau (Integrated
Criminal Justice System/ICJS). Sistem terpadu tersebut diletakkan diatas
landasan prinsip “diferensiasi fungsional” diantara aparat penegak hukum sesuai
dengan “tahap kewenangan” yang diberikan undang-undang kepada masing-masing.[3]
Lembaga penegak hukum tersebut ialah Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan
Lembaga Pemasyarakatan.
Keberhasilan
kinerja lembaga-lembaga tersebut dalam proses pemeriksansidang pengadilan yang
dilakukan oleh Jaksa/Penuntut Umum dan Hakim dalam menentukan bersalah atau
tidaknya Terdakwa sangat tergantung pada hasil penyidikan yang dilakukan oleh
Polri. Oleh karena itu, Polri merupakan lembaga pertama dalam ICJS untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam suatu perkara pidana. Keberhasilan
penyidik Polri akan menentukan keberhasilan proses peradilan berikutnya.
Kepolisian
sebagai pintu masuk dalam penegakan hukum di Indonesia. Di Indonesia banyak
sekali terjadi pelanggaran terhadap aturan hukum dan diproses sesuai hukum yang
berlaku di Indonesia. Namun ada juga pelanggaran yang belum bisa terselesaikan
dengan alasan yang beragam. Fikry
Latukau mengemukakan bahwa:
“Dewasa ini, kriminal seolah-olah tidak lagi mampu
dibendung perkembangannya, masalah yang timbul tidak hanya sebagai kriminal
dalam ruang lingkup pidana, tetapi harus dipandang juga sebagai masalah sosial.
Hal ini dikarenakan kejahatan tidak hanya melibatkan satu dua orang di dalam
praktiknya, tetapi terkadang melibatkan dan merugikan masyarakat dalam ruang
lingkup yang jauh lebih besar. Penanggulangan kriminal yang semakin berkembang
tidak dapat dilakukan dengan usaha represif saja, melainkan harus disertai
dengan usaha preventif. Kedua hal tersebut haruslah dapat berjalan seimbang.
Diperlukan efek jera bagi mereka yang telah melakukan kriminal serta diperlukan
efek takut untuk berbuat kriminal bagi mereka yang belum melakukan. Usaha
preventif ini harus gencar dilakukan agar tingkat kriminal di Indonesia tidak
terus meningkat. Usaha ini dapat dilakukan oleh semua aparat peradilan pidana,
terutama Kepolisian. Kepolisian sebagai gatekeepers
sistem peradilan pidana memiliki peran sentral, karena sistem peradilan pidana
dimulai dari Kepolisian. Peran sentral dalam sistem peradilan pidana,
kepolisian harus mengupayakan agar usaha preventif dan represif dalam
menanggulangi kriminal berjalan dengan sebaik-baiknya, terlebih lagi mengingat
bahwa pihak kepolisian merupakan pihak yang sudah seharusnya dapat dipercaya
oleh masyrakat, pihak kepolisianlah yang berada di tengah-tengah masyarakat
serta mampu memberikan rasa aman dan perlindungan yang tepat bagi masyarakat
serta memastikan tercapainya kepastian hukum di masyarakat.”[4]
II.
Status Dan
Peran Polri Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana
Status atau eksistensi kepolisian dalam
perspektif SPP sudah jelas, yaitu sebagai bagian integral dari SPP Secara
internasional hal ini pun terlihat dalam laporan Kongres PBB ke-5/1975
(mengenai "The Prevention of Crime and the Treatment of Offenders
khususnya dalam membicarakan masalah "the emerging roles of the police
and other law enforcement agencies") yang menegaskan It was
recognized that the police were a component of the larger system of criminal
justice which operated against criminality (Diakui bahwa polisi adalah
komponen dari sistem peradilan pidana yang lebih besar yang beroperasi melawan
kriminalitas).
Status Polri sebagai komponen/unsur/subsistem
dari SPP sudah jelas terlihat dalam perundang-undangan yang berlaku saat ini
(baik dalam KUHAP maupun dalam UU. No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia), yakni sebagai “Penyelidik dan Penyidik”. Secara ideal memang polri di beri status sebagai
penegak hukum berada dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, karena sistem
peradilan pidana merupakan implementasi dari kekuasaan kehakiman,dengan
perkataan lain, sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan sistem
kekuasaan kehakiman dibidang peradilan pidana.
Polri adalah salah satu komponen sistem peradilan pidana yang sangat
menentukan dalam tercapainya tujuan pencegahan dan pemberantasan kejahatan atau
penegakan hukum. Berbagai perkembangan
teoretik mengenai sistem peradilan pidana sebagaimana dikemukakan di atas,
pertama-tama bukan hanya akan mempengaruhi kinerja kepolisian, tetapi juga
harus diantisipasi. Baik dalam tataran
formulasi, aplikasi maupun eksekusinya di lapangan. Posisi strategis Polri
dalam hal ini berkaitan dengan konsepsi teoretik bahwa kepolisian merupakan “gatekeeper”[5]
dan “goal prevention officer”[6]
peradilan pidana.
Kepolisian merupakan penjaga pintu gerbang (gatekeeper) sistem
peradilan pidana. Setiap kali seorang kriminal “berhubungan” dengan hukum
pidana, pada umumnya mula-mula yang
dihadapi adalah kepolisian. Hal ini
sesuai dengan design prosedur sistem peradilan pidana yang dirancang
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apakah seseorang tersebut
akan terus bergulir masuk ke dalam sistem peradilan pidana sangat ditentukan
oleh komponen kepolisian. Dalam hal ini apakah apakah perbuatan seseorang
kemudian menjadi tindak pidana tertentu dan diselesaikan melalui proses
penuntutan di pengadilan dan pemidanaan di lembaga pemasyarakatan, sangat
bergantung pada pelaksanaan tugas,
wewenang dan tanggung jawab Polri sebagai penyelidik dan penyidik.
Fungsi Polri dalam penegakan hukum bukan semata-mata bersifat represif,
melainkan juga fungsi preventif. Oleh
karena itu, kinerja kepolisian tidak hanya diisi oleh upaya untuk menemukan
fakta-fakta yang mendukung tentang telah terjadinya tindak pidana (factual
guilt) dan menemukan tersangkanya, tetapi juga pencegahan aktif atas segala
potensi yang mungkin menimbulkan kejahatan.
III.
Tantangan
Tugas Polri Masa Depan
Harus diakui bahwa tugas Polri dalam
menjalankan tugas penegakan hukum semakin hari semakin krusial, mengingat fenomena kejahatan yang semakin
hari semakin kompleks. Kini kejahatan terkadang menimbulkan konsekuensi yuridis
yang tidak lagi memperhatikan batas-batas negara (transnational crime).
Seperti tindak pidana penyebaran teror (terorisme), tindak pidana pencucian
uang (money laudering), dan kejahatan bisnis lainnya. Belum lagi adanya
perkembangan teknologi informasi yang bukan hanya menimbulkan modus operandi baru kejahatan,
tetapi juga objek dan subjek kejahatan yang tidak dapat selalu adekwaat
apabila dihadapi dengan hukum pidana yang tengah berlaku, seperti kejahatan
dunia maya (cyber crime).
Dalam hal menjalankan tugas penyelidikan dan penyidikan, terdapat
kendala-kendala yang menjadi “pekerjaan rumah” oleh Polri. Dalam hal ini, Yesmil
Anwar dan Adang mengemukakan kendala-kendala tersebut, diantaranya:
“Masih kurangnya kemampuan penyidik menerapkan
tehknik-tehknik penyelidikan dalam mengungkap suatu perkara pidana yang telah
terjadi, maka seringkali kasus-kasus yang agak sulit pembuktiannya dibiarkan
begitu saja sehingga tidak dapat terungkap dengan tuntas; Kurang menguasai
daerah yang menjadi sasaran penyelidikan yang meliputi karakteristik
masyarakat, tempat atau lokasi penyelidikan, dan lain-lain; Cepat putus asa
dalam melakukan penyelidikan, bila tidak berhasil mendapatkan informasi yang
diperlukan, langsung berhenti dan tidak ditindak lanjuti, hanya menunggu
datangnya informasi dari masyarakat; Cepat puas terhadap hasil yang dicapai dan
tidak berusaha mengembangkan informasi sehingga seringkali kasus-kasus yang
sedang ditangani tidak dapat terungkap sampai pada otak pelaku; Kurang teguh
dalam memegang kerahasiaan informasi atau tugasnya dan bahkan dimuat dalam
media massa tentang tata cara/teknik pelaksanaan tugas, padahal kasus yang
ditangani belum selesai tuntas atau masih berkaitan dengan kasus lainnya. Hal
tersebut akan menyulitkan penyidik dalam pelaksanaan tugas selanjutnya, karena
langkah-langkah penyidikan akan selalu diwaspadai oleh para pelaku kejahatan.”[7]
Pengolahan TKP (Tempat Kejadian Perkara);
TKP adalah merupakan sumber informasi yang sangat menentukan dalam pengungkapan
sebuah perkara, apabila lemah dalam penanganannya maka akan mempengaruhi kecepatan
proses pengungkapan perkara dan bahkan tidak dapat terungkapnya suatu kasus
pidana karena hilangnya barang bukti di TKP maupun saksi-saksinya, berikut ini
beberapa kelemahan penyidikan antara lain : Kurang cepatnya penyidik dalam
mendatangi TKP; Tidak menguasai teknis pencarian dan pengambilan barang bukti
yang ada di TKP; Memasuki TKP yang tidak sesuai dengan teknis pengolahan TKP
sehingga malah merusak atau mengkaburkan barang bukti yang ada di TKP; Tidak
menguasai teknis pembungkusan dan pengiriman barang bukti ke Laboratorium
kriminil (labkrim) yang mengakibatkan barang bukti tersebut tidak dapat
diperiksa di Labkrim.
Pemanggilan; Masih adanya penyidik/penyidik
pembantu yang melakukan pemanggilan baik terhadap tersangka maupun terhadap
saksi yang tidak dilayani sesuai waktu yang telah dicantumkan dalam surat
panggilan, orang yang dipanggil dibiarkan lama menunggu bahkan sama sekali
tidak dilayani atau disuruh pulang dan disuruh kembali lagi pada hari yang lain
dengan seenaknya tanpa memperhatikan kepentingan orang lain; Pemanggilan
terhadap saksi tanpa memperhatikan tenggang waktu dan kesibukan saksi, yang
terkesan tidak mau tahu atau arogan, hal ini menyebabkan seseorang merasa
enggan untuk membantu penyidik memberikan informasi atau keterangan.
Penangkapan; Masih banyaknya
penyidik/penyidik pembantu yang belum menguasai dan memahami serta penerapan
teknik dan taktik penangkapan, belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan, sehingga sering ditemukan melakukan penangkapan tanpa menggunakan
Surat Perintah Penangkapan yang tidak sesuai dengan prosedur yang ada; Masih ditemukan
adanya penyidik yang salah tangkap terhadap orang yang bukan pelaku kejahatan,
akibat kurang jelinya penyidik atau terlalu gegabah dalam melaksanakan
tugasnya; Masih banyaknya penyidik yang ceroboh dalam melakukan penangkapan
sampai melebihi batas waktu penangkapan 1 x 24 jam dan bahkan dibiarkan tanpa
adanya pemeriksaan; Masih adanya penyidik/penyidik pembantu yang ceroboh dalam
melakukan penangkapan tanpa adanya penggeledahan badan terlebih dahulu. Hal ini
sangat membahayakan keselamatan penyidik apabila tersangka membawa senjata tajam;
Masih adanya penyidik/penyidik pembantu yang dalam melakukan penangkapan tidak
memperhatikan keamanan senjata api yang di
bawa akibatnya dapat direbut oleh tersangka; Sering dilakukannya
kekerasan terhadap
tersangka pada saat setelah tertangkap karena tidak dapat mengendalikan emosi
dan bahkan ditembak dengan dalih melarikan diri.
Penahanan; Kesalahan yang seringkali dalam melakukan penahanan adalah
terlambat membuat Surat Perintah Penahanan atau perpanjangan penahanan atau
terlambat memberikan tembusannya kepada keluarga tersangka; Penyidik/penyidik
pembantu sering melupakan tentang hak-hak tersangka yang terkait dengan masalah
penahanan, seperti misalnya tahanan tidak boleh dikunjungi keluarganya atau
penasihat hukumnya tanpa alasan yang jelas; Pada waktu tersangka dilakukan
penahanan tidak diadakan pemeriksaan kondisi kesehatannya, akibatnya terjadi
tahanan yang sakit parah atau bahkan meninggal dunia dalam ruang tahanan
sehingga mendapat komplain dari keluarganya atau dapat mengakibatkan kemarahan
masyarakat yang sampai menyulut tindakan amuk massa yang merusak kantor polisi;
Penangguhan penahanan yang tidak mempertimbangkan kemungkinan tersangka akan melarikan
diri, berorientasi pada imbalan materi pada akhirnya tersangka kabur menjelang
diperlukan oleh penyidik untuk diserahkan kepada penuntut umum; Masih adanya
tindakan penahanan terhadap tersangka yang dipengaruhi oleh faktor subyektif
yang berorientasi pada materi yaitu dengan melakukan penahanan terhadap
tersangka yang seharusnya tidak perlu dilakukan penahanan dan sebaliknya tidak
melakukan penahanan terhadap tersangka yang seharusnya ditahan yang pada
akhirnya melarikan diri; Masih adanya penyidik yang memanfaatkan kewenangan
penahanan terhadap tersangka digunakan untuk menakut-nakuti seseorang untuk
mendapatkan materi;
Penggeledahan; Dalam melakukan tindakan penggeledahan sering melakukan
perbuatan yang kurang terpuji yaitu dengan berlaku kasar dan tidak sopan; Masih
adanya penyidik/penyidik pembantu yang dalam melakukan penggeledahan dengan
tidak menggunakan Surat Perintah dan Surat Izin Penggeledahan;
Penyitaan; Masih banyaknya penyidik yang ceroboh dalam penyimpanan barang-barang
sitaan sebagai barang bukti yaitu tanpa diberi label atau hilang dalam
penyimpanan; Masih adanya penyidik yang kurang menguasai tehnik dan taktik
penyimpanan khusunya dalam pengambilan benda-benda yang seharusnya dapat
dijadikan barang bukti tetapi tidak disita; Masih adanya tindakan penyitaan
yang tidak dilengkapi dengan Surat Perintah dan Surat Izin Penyitaan;
Pemeriksaan; Dalam melakukan pemeriksaan masih menggunakan cara kekerasan
untuk mendapatkan pengakuan tersangka ataupun tidak dapat mengendalikan emosi
karena keterangan tersangka berbelit-belit; Masih adanya penyidik yang
merekayasa Berita Acara Pemeriksaan dengan tujuan untuk mendapatkan imbalan
materi dari pihak-pihak yang diuntungkan, maupun untuk kepentingan tertentu;
Masih adanya penyidik yang tidak menguasai unsur-unsur pasal atau penafsiran
pasal, sehingga Berita Acara Pemeriksaan yang telah dibuat tidak memenuhi
unsur-unsur pasal pidana yang diterapkan; Tidak menguasai uraian kasus yang
terjadi sehingga pertanyaan-pertanyaan yang
Selanjutnya, berkaitan dengan kendala
lainnya, yakni mengenai UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang memang memberikan wewenang kepada Polri untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan, namun tidak secara eksplisit mengatur mengenai
penyelidikan dan penyidikan karena hanya terdapat dalam beberapa Pasal saja.
Melihat berbagai kendala dan tantangan
tersebut, Edi Setiadi sebagaimana
dikutip oleh Yesmil Anwar dan Adang menguraikan langkah-langkah yang
harus ditempuh oleh Pemerintah sebagai berikut:
1.
Perlunya perombakan terhadap peraturan
perundangan yang ada baik terhadap Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) maupun Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, sehingga hal ini juga dapat sejalan dengan apa yang
telah diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana sendiri yang mengatakan bahwa setelah berlaku dua tahun maka Hukum Acara
Pidana (KUHAP) harus segera dievaluasi;
2.
Adanya pemisahan yang jelas mengenai tugas,
kewajiban dan wewenang Polri, terlebih dalam melaksanakan tugas penyidikan yang
diatur dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia, sehingga tidak membingungkan penyidik dan tidak perlu lagi
mengacu kepada Hukum Acara Pidana karena sudah dimuat dengan jelas dalam Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3.
Peningkatan profesionalisme dari aparat penegak
hukum khususnya penyidik Polri, berupa peningkatan pemahaman terhadap
teori-teori hukum pidana, sebab semua putusan penegak hukum harus bisa menjadi legal education bagi masyarakat dan law reform bagi undang-undang yang tidak
jelas;
4.
Peningkatan dan pemahaman penyidik serta
tindakan penyidik yang harus selalu responsif terhadap setiap perkembangan yang
terjadi didalam masyarakat terutama dalam menghadapi perkembangan kejahatan;
5.
Penegakan hukum berdasarkan KUHAP maupun UU
POLRI harus selalu menjunjung tinggi supremasi moral, karena penegakan hukum
yang diskriminatif dan tanpa pengetahuan yang baik akan menjauhkan dari tujuan
penegakan hukum itu sendiri, yaitu kebenaran dan keadilan.[8]
Demikian tulisan singkat ini, semoga bermanfaat
untuk institusi POLRI dan insan Bhayangkara.
Dirgahayu Bhayangkara ke-74, semoga POLRI
semakin Jaya,
Kamtibmas Kondusif, Masyarakat Semakin
Produktif
SALAM PROMOTER
DAFTAR PUSTAKA
Fikry Latukau, 2019, “Kajian Progres Peranan Kepolisian dalam Sistem
Peradilan Pidana,” Jurnal Tahkim, Vol.
XV, No. 1, Juni 2019.
John Baldwin dan A. Keith Bottomley (ed.), 1978, Criminal Justice;
Selected Readings, London: Martin Robertson.
M. Yahya Harahap, 2017, Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Ed. 2, Cet.
18, Jakarta: Sinar Grafika.
Rod Morgan
dan David J. Smith (ed.), 1989, Coming to Term With Policing, London:
Routledge.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana
(Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionalisme Jakarta:
Bina Cipta.
Yesmil Anwar
dan Adang, 2011, Sistem Peradilam Pidana;
Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di Indonesia, Cet.
2, Bandung: Widya Padjajaran.
[1]
Romli Atmasasmita, Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionalisme (Jakarta: Bina Cipta, 1996), hlm. 9.
[2]
Bandingkan dengan tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran
materiil atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran
yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan
hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah
pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwakan itu dapat dipersalahkan.
[3] M.
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan
dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Ed. 2, Cet. 18, (Jakarta:
Sinar Grafika, 2017), hlm. 90.
[4] Fikry
Latukau, “Kajian Progres Peranan Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana,” Jurnal Tahkim, Vol. XV, No. 1, Juni 2019, hlm. 2-3.
[5] John
Baldwin dan A. Keith Bottomley (ed.), Criminal Justice; Selected Readings,
(London: Martin Robertson, 1978), hlm. 35-70.
[6] Linda
Harvey, Penny Grishaw dan Ken Pease, “Crime Prevention Delivery; The Work of Criminal
Prevention Officers”, dalam Rod Morgan dan David J. Smith (ed.), Coming to
Term With Policing, (London: Routledge, 1989), hlm. 83.
[7]
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilam
Pidana; Konsep, Komponen, dan Pelaksanaannya dalam Penegakan Hukum di
Indonesia, Cet. 2, (Bandung: Widya Padjajaran, 2011), hlm. 182-183.
[8] Ibid, hlm. 188.