Minggu, 15 April 2018

ANOTASI PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI Nomor: 97 PK/Pid.Sus/2012 dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dengan Terpidana Sudjiono Timan


ANOTASI PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Nomor: 97 PK/Pid.Sus/2012 dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi dengan Terpidana Sudjiono Timan


Oleh: Roli Pebrianto, SH


I.         Pendahuluan
Putusan yang akan dianotasi ialah Putusan Nomor: 97 PK/Pid.Sus/2012, tanggal 31 Juli 2013, dengan Terpidana Sudjiono Timan, yang dimohonkan oleh Fanny Barky (Istri), selaku Ahli Waris dari Terpidana. Sebelumnya pada tingkat pertama yang diperiksa, diadili, dan diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel, tanggal 25 Nopember 2002, yang menyatakan bahwa Terdakwa Sudjiono Timan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, namun bukan merupakan suatu tindak pidana dan oleh karena itu Terdakwa Sudjiono Timan dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvelvolging).
Kemudian JPU melakukan upaya hukum Kasasi, yang telah diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 434 K/PID/2003 tanggal 3 Desember 2004 dengan Mengadili Sendiri yang menyatakan bahwa Terdakwa Sudjiono Timan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah serta bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi dan menghukum Terdakwa Sudjiono Timan dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun, pidana denda sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan kurungan, serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$ 98.000.000,- (sembilan puluh delapan juta dollar Amerika Serikat) atau Rp. 369.446.905.115,- (tiga ratus enam puluh sembilan miliar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah).
Sejak putusan Kasasi, bahkan sampai saat permohonan Peninjauan Kembali oleh isterinya (selaku ahli waris), Terpidana Sudjiono Timan masih berstatus buron. Mahkamah Agung melalui Putusan Nomor: 97 PK/Pid.Sus/2012, tanggal 31 Juli 2013, Majelis Hakim berpendapat bahwa Pemohon selaku isteri dari Terpidana Sudjiono Timan dinyatakan sebagai ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP dan memutus dengan Mengadili Kembali dan melepaskan Terpidana Sudjiono Timan dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtsvelvolging).
Dari uraian diatas menurut Anator, Mahkamah Agung seharusnya menolak Permohonan Peninjauan Kembali a quo. Sebagaimana diketahui bahwa Terpidana tidak menjalani pidana (sebagaimana dalam putusan Kasasi) sehingga tidak dapat mengajukan PK. Yang menjadi pertanyaan adalah a) apakah ketika Terpidana buron (tidak menjalani eksekusi putusan Kasasi) dan hampir 10 (sepuluh) tahun kemudian dinyatakan meninggal ?; dan b) apakah terhadap hal itu ahli waris dapat mengajukan PK ?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka Anator akan melakukan anotasi hukum (legal anotation) terhadap putusan Peninjauan Kembali a quo.


II.      Kasus Posisi
Sudjiono Timan merupakan Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT. BPUI) telah bekerjasama dengan temannya bernama Agus Anwar selaku pemilik Kredit Asia Finance Limited (KAFL) yang berkedudukan di 20/F, EURO Trade Center, 21-23 Des Vooux Road Central, Hongkong, untuk mengatur beberapa transaksi dengan menggunakan KAFL sebagai perusahaan yang akan digunakan sebagai sarana atau vehicle untuk mengalirkan dana dari Badan Usaha Milk Negara (BUMN) PT. BPUI, yang akan diteruskan kepada pihak-pihak lainnya.
Kemudian Sudjiono Timan menugaskan Angki Hermawan sebagai Account Officer dalam mengalirkan dana dari PT. BPUI menggunakan bentuk penempatan dana (placement line) ke KAFL yaitu melalui pembelian Promissory Note (Surat Hutang) yang diterbitkan oleh KAFL, dengan alasan bahwa KAFL adalah sebuah Multi Finance Company (Perusahaan Jasa Keuangan). Dengan menggunakan cara atau tehnik penempatan dana tersebut, maka terhadap aliran dana tersebut menjadi tidak memerlukan agunan (jaminan) sebagaimana layaknya apabila menggunakan bentuk pemberian pinjaman/kredit. Dengan menggunakan cara pembelian Promissory Note tersebut Sudjiono Timan juga menyatakan seakan-akan bahwa Promissory Note KAFL yang dibeli oleh PT. BPUI tersebut merupakan Commercial Paper (Surat Berharga).
Atas aliran dana dari PT. BPUI tersebut dengan tujuan untuk kepentingan pembelian dan transaksi saham-saham di Luar Negeri atas nama Festival Company Inc., pihak Festival Company Inc. tidak pernah menerima dananya secara riil. Pengelolaan dana tersebut sepenuhnya diatur dan diurus oleh Sudjiono Timan. Sama halnya dengan yang dilakukan kepada PT. ELOK UNGGUL transaksi juga menggunakan bentuk two-step (dua tahap) ke Festival tersebut tidak dijelaskan secara terbuka dalam investment memonya, melainkan dibuat seakan-akan merupakan penempatan dana (placement line) ke KAFL. Hal tersebut adalah sesuai arahan dan perintah Sudjiono Timan untuk membuat investment memo untuk pemberian placement line (penempatan dana) kepada KAFL hanya dengan tujuan penggunaan dana sebagai modal kerja KAFL saja. Penggunaan selanjutnya untuk two-step (dua tahap) kepada pihak lain tidak diperkenankan dijelaskan dalam investment memo tersebut. Alasan yang digunakan Sudjiono Timan selaku Direktur Utama dan para Direksi PT. BPUI lainnya yaitu Hadi Rusli, Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman, adalah bahwa struktur dan bentuk aliran dana kepada Kredit Asia Finance adalah Placement Line karena KAFL adalah sebuah Finance Company sehingga aliran dana kepada Finance Company umumnya dilakukan dalam bentuk penempatan dana.
Alasan lainnya dengan adanya pengaliran dana kepada Festival Company Inc. dilakukan melalui KAFL secara dua tahap (two-step loan) adalah karena Festival Company Inc. tidak diketahui kondisi keuangannya, tidak ada laporan keuangan perusahaan tersebut, tidak memiliki asset ataupun kegiatan usaha apapun, sehingga secara langsung tidak dapat dan tidak layak menerima pinjaman/kredit dari PT. BPUI. Atas aliran dana kepada Festival Company Inc. yang dilewatkan melalui KAFL tersebut dengan cara pembelian Promissory Note-Promissory Note tersebut, kemudian pada saat jatuh temponya tidak dapat dikembalikan. Atas tidak dikembalikannya dana dari PT. BPUI tersebut pada saat jatuh tempo, tanpa melalui analisa kelayakan secara benar, secara langsung dibuat perpanjangan. Perpanjangannya adalah dengan cara pihak KAFL menerbitkan Promissory Note baru. Aliran dana-dana kepada Festival Company Inc. yang dibuat dalam bentuk Promisssory Note KAFL pada saat jatuh temponya tidak dapat dikembalikan, sehingga diperpanjang dengan Promisssory Note baru
Perbuatan Sudjiono Timan yang dianggap dilakukan secara melawan hukum dimana dalam pengaliran dana dianggap telah memperkaya Penta Investment Limited dan atau Jubilee Venture Capital dan atau Roberto V. Ongpin serta dianggap mengakibatkan kerugian Negara sebesar USD 25,187,417.08. (dua puluh lima juta seratus delapan puluh tujuh ribu empat ratus tujuh belas dan delapan sen Dollar Amerika Serikat) atau setidak-tidaknya USD 19,025,502.00 (sembilan belas juta dua puluh lima ribu lima ratus dua Dollar Amerika Serikat).
Sudjiono Timan dianggap telah mengelola dana tersebut secara melawan hukum, dalam hal ini Timan tidak mengelola dana tersebut sebagaimana persyaratan yang ditentukan oleh Pemerintah cq. Departemen Keuangan R.I. dan telah menggunakan dana tersebut menyimpang dari maksud dan tujuan pemberian fasilitas dana sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Bahwa dana RDI yang ditampung dalam rekening PT. BPUI di Bank BRI tersebut hanya aktif sekitar 3 (tiga) bulan saja yaitu sejak 18 Desember 1997 sampai dengan tanggal 12 Maret 1998, karena ternyata setelah tanggal tersebut dana yang terakhir ditransfer ke Bank Niaga tidak pernah kembali lagi, bahkan Sudjiono Timan telah menggunakan dana tersebut untuk :
a.       Melunasi hutang-hutang Medium Term Note (MTN) I.
b.      Ditempatkan/didepositokan pada Bank PDFCI, maupun.
c.       Ditransfer ke Socgen dan beberapa Bank antara lain Standard Chartered Bank (SCB), Bank Internasional Indonesia (BII) , Bank Tiara, serta Bank Umum Nasional (BUN).
Pada tanggal 14 Oktober 1998, Departemen Keuangan melalui suratnya No.4912/LK/1998 meminta kepada PT. Bahana PUI untuk menyampaikan Laporan penggunaan dana subordinasi tersebut dengan disertai bukti-bukti pengeluarannya, namun permintaan tersebut tidak pernah dipenuhi, bahkan tidak ditanggapi sama sekali oleh Timan maupun Anggota Direksi PT. BPUI lainnya. Kemudian pada tanggal 14 Desember 2000, sesuai arahan Sudjiono Timan, PT. BPUI baru menyampaikan surat No.056/HS/BPUI/2000 tanggal 14 Desember 2000, yang isinya pada pokoknya melaporkan penggunaan dana subordinasi dan meminta agar dilakukan konversi atas dana RDI yang diterima oleh PT. BPUI menjadi modal (Penyertaan Modal Pemerintah), namun dalam surat tersebut ternyata tidak pernah dilampirkan bukti-bukti pengeluarannya, tetapi hanya berupa daftar surat-surat berharga yang dibeli dengan dana RDI padahal sebenarnya saham-saham tersebut telah ada atau telah dibelisebelum dana RDI diterima PT. BPUI.
Melalui perbuatan yang dianggap melawan hukum tersebut, Sudjiono Timan telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan dalam hal ini PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia atau PT. Bahana Sekuritas atau dan atau PT. Bahana Artha Ventura, dan atau Bank PDFCI, dan atau Socgen, dan atau Standard Chartered Bank (SCB) dan atau Bank Internasional Indonesia (BII) dan atau Bank Tiara dan atau Bank Umum Nasional (BUN).
Perbuatan Sudjiono Timan yang dianggap dilakukan secara melawan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, dianggap telah memperkaya PT. (Persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan atau PT. Bahana Sekuritas, dan atau pihak-pihak lain sebagaimana tersebut di atas yang menerima aliran dana dari PT. BPUI menggunakan dana pinjaman RDI tersebut di atas. Dari perbuatan Sudjiono Timan yang dilakukan sebagaimana diuraikan di atas dianggap telah mengakibatkan kerugian keuangan Negara dalam hal ini Departemen Keuangan yaitu sebesar Rp.253.055.555.555,56 (dua ratus lima puluh tiga miliar lima puluh lima juta lima ratus lima puluh lima ribu lima ratus lima puluh lima rupiah lima puluh enam sen).
Oleh karena Sudjiono Timan dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu dalam penyaluran dana kepada Kredit Asia Finance Limited, Festival Company Inc. dan Penta Investment Limited, serta penggunaan fasilitas Rekening Dana lnvestasi (RDI), dan perbuatan tersebut dianggap telah memperkaya pihak-pihak sebagaimana yang diuraikan tersebut di atas, serta dianggapmengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar USD 178,942,801.93 (seratus tujuh puluh delapan juta sembilan ratus empat puluh dua ribu delapan ratus satu Dollar Amerika Serikat dan sembilan puluh tiga sen) dan Rp.369.446.905.115,56 (tiga ratus enam puluh sembilan miliar empat ratus empat puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah dan lima puluh enam sen), maka Sudjiono Timan didakwa dengan dakwaan :
a.         Primair, telah melakukan tindak pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat (1) sub a jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.
b.         Subsidair, telah melakukan tindak pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat (1) sub b jo Pasal 28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Pasal 1 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP.

III.   Tentang Legal Standing Pemohon Peninjauan Kembali
1.         Pertimbangan Majelis Hakim PK tentang Legal Standing Pemohon
Pemohon Peninjauan Kembali dalam perkara a quo adalah Fanny Barki yang tidak lain merupakan Istri (Ahli Waris) dari Terpidana Sudjiono Timan. Terhadap kedudukan hukum (legal standing) Pemohon selaku Istri dari Terpidana, Majelis Hakim Peninjauan Kembali berpendapat bahwa KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud dengan “Ahli Waris”. Majelis Hakim PK berpendapat bahwa makna istilah “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda Terpidana melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari Terpidana berhak pula mengajukan Peninjauan Kembali.
Selanjutnya, Majelis Hakim PK mendasarkan pertimbangannya pada pendapat M. Yahya Harahap, yang menyatakan bahwa: hak Ahli Waris untuk mengajukan Peninjauan Kembali bukan merupakan “hak substitusi” yang diperoleh setelah Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut adalah “hak orisinil” yang diberikan Undang-Undang kepada mereka demi untuk kepentingan Terpidana. Dengan demikian, Terpidana atau Ahli Waris sama-sama mempunyai hak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali tanpa mempersoalkan apakah Terpidana masih hidup atau tidak. Lagi pula undang-undang tidak menentukan kedudukan prioritas diantara Terpidana dengan Ahli Waris.
Atas pertimbangan tersebut, maka Majelis Hakim Peninjauan Kembali berpendapat bahwa permohonan Peninjauan Kembali Pemohon selaku Ahli Waris dari Terpidana Sudjiono Timan secara formil dapat diterima (Vide Putusan PK No. 97 PK/Pid.Sus/2012, halaman 162).

2.         Analisis Terhadap Pertimbangan Majelis Hakim PK tentang Legal Standing Pemohon
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli Warisnya. Dalam pokok perkara Peninjauan Kembali a quo, yang mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali adalah Fanny Barki yang merupakan Isteri dari Terpidana, yang dalam pertimbangan Majelis Hakim PK, Pemohon selaku Isteri dianggap sebagai Ahli Waris Terpidana.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu syarat formil dalam mengajukan permohonan PK ialah dapat diajukan oleh Terpidana atau Ahli Warisnya. Persoalannya ialah “kapan seseorang dapat dikatakan sebagai ahli waris” tidak pernah ditemukan di dalam KUHAP. Untuk mengetahui kapan seseorang dapat dikatakan sebagai ahli waris kiranya dapat merujuk kepada sistem pewarisan menurut KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.
Sistem Pewarisan yang diatur dalam KUH Perdata mengatur pewarisan apabila pewaris meninggal dunia. Hal itu berarti kedudukan seseorang menjadi Ahli Waris terjadi pada saat pewaris meninggal dunia. Maka dengan demikian, terhadap perkara a quo, Isteri Terpidana Sudjiono Timan yang telah mengajukan permohonan PK kepada MA RI sebenarnya tidak dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris karena Sudjiono Timan belum meninggal atau setidak-tidaknya tidak ada penetapan dari pengadilan yang menyatakan bahwa Sudjiono Timan telah meninggal dunia. Oleh karena permohonan PK yang diajukan oleh isteri Sudjiono Timan tidak dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris, sehingga permohonan PK tersebut tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
Selanjutnya, dalam sistem pewarisan menurut Hukum Islam terdapat kriteria pewarisan menurut Al-Qur’an, yaitu sebagai berikut :
1.      Anak-anak si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai Ahli Waris. Sedangkan dalam sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal itu tidak mungkin sebab orang tua baru mungkin menjadi Ahli Waris jika pewaris meninggal dunia.
2.      Jika pewaris meninggal dunia tanpa mempunyai keturunan, maka ada kemungkinan saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai Ahli Waris dengan orang tuanya, setidaktidaknya dengan ibunya. Prinsip tersebut mempunyai maksud, jika orang tua pewaris, dapat berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila dengan saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari anak-anaknya. Menurut sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal tersebut tidak mungkin sebab saudara si pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya.
3.      Bahwa suami-isteri saling mewaris, artinya pihak yang hidup paling lama menjadi Ahli Waris dari pihak lainnya.

Peninjauan Kembali yang diajukan Isteri terpidana Sudjiono Timan kepada Mahkamah Agung RI dalam perkara a quo, tidak memenuhi syarat formil perihal pengajuan permohonan Peninjauan Kembali. Dapat diperhatikan dalam sistem pewarisan hukum Islam, kedudukan Isteri dapat menjadi Ahli Waris dari suaminya jika pewaris (suami) meninggal dunia. Hal ini ditegaskan juga pada Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Berlakunya Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan mengenai pengertian Ahli Waris yang termuat dalam Bab I Pasal 171 ialah “Orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli pewaris.”
Dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012, Majelis Hakim Peninjauan Kembali, dalam pertimbangannya berpendapat bahwa Ahli Waris sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda terpidana, melainkan istilah tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari terpidana berhak pula untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim juga berpendapat bahwa pemohon Peninjauan Kembali terhadap perkara a quo adalah Isteri sah dari terpidana Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan perceraian (berdasarkan akte perkawinan Nomor 542/1991 tanggal 28 Desember 1991). Berdasarkan pertimbangan ini Majelis Hakim berkesimpulan, dalam pertimbangannya, bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di negara Republik Indonesia, selain anak yang sah sebagai Ahli Waris dari orang tuanya, Isteri juga merupakan Ahli Waris dari suaminya.
Dengan demikian, menurut Anator, kata-kata “Terpidana” dan “Ahli Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP sudah tegas dinyatakan secara limitatif, sehingga harus dibaca “adanya Terpidana”. Dengan demikian, maka harus ditafsirkan “memerintahkan” kepada Terpidana untuk menjalani Putusan Kasasi terlebih dahulu barulah kemudian dapat mengajukan PK. Kemudian terhadap kalimat ”Ahli Waris”, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, baik dalam KUH Perdata maupun Kompilasi Hukum Islsam jelas dinyatakan bahwa ahli waris akan timbul setelah pewaris meninggal dunia. Dalam kasus a quo, Sudjiono Timan belum dinyatakan meninggal dunia, sehingga tidak terdapat hak kepada “ahli warisnya”.
Menurut pendapat anator, pertimbangan Majelis Hakim menyatakan bahwa pemohon Peninjauan Kembali ialah Ahli Waris dari terpidana Sudjiono Timan adalah tidak tepat, karena kedudukan Ahli Waris secara hukum baik menurut Hukum Perdata maupun dalm Hukum Islam baru timbul pada saat pewaris meninggal dunia. Pada saat Isteri dari  terpidana Sudjiono Timan mengajukan permohonan Peninjauan Kembali kedudukannya adalah sebagai Isteri dan bukan Ahli Waris.
Anator juga tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan bahwa ketentuan Ahli Waris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas harta benda terpidana, melainkan ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris, karena Majelis Hakim dalam pertimbangannya tidak menguraikan rujukan atau acuan yang bisa menjadi dasar dari pendapat tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka seharusnya Majelis Hakim Peninjauan Kembali menolak Permohonan Pemohon PK Isteri Terpidana Sudjiono Timan karena tidak memenuhi syarat formal permohonan PK sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP.

III.     Alasan Permohonan Peninjauan Kembali
1.         Alasan Peninjauan Kembali Pemohon:
Alasan-alasan Pemohon dalam mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali pada perkara a quo hanya didasarkan pada “Adanya Kekhilafan Hakim/Kekeliruan yang Nyata.” Kehilafan yang dimaksud ialah Majelis Hakim Kasasi membenarkan keberatan-keberatan Kasasi Penuntut Umum dalam menerapkan pengertian “melawan hukum” dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) sub a UU No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengacu pada seolah-olah pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1971, padahal yang dikutip adalah Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999.
Sejak semula, Terdakwa Sudjiono Timan diadili ooleh Judex Facti PN Jakarta Selatan berdasarkan UU No. 3 Tahun 1971 dan bukan UU No. 31 Tahun 1999 (Vide Pasal 1 ayat (2) KUHP: “Jika ada perubahan dalam perundang-undangan pidana sesudah perbuatan dilakukan, maka terhadap Terpidana diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”). Dengan demikian, Majelis Hakim Kasasi jelas Keliru terlebih lagi penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, sudah dinyatakan tidak berlaku lagi berdasarkan Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Akibat kekeliruan tetrsebut, membawa implikasi yuridis terhadap pertimbangan hukum Majelis Hakim Kasasi. Akibatnya, pengertian”melawan hukum” secara materiil dalam fungsi positif oleh Majelis Hakim Kasasi tidak tepat dan tidak berdasar hukum.
Selain itu, Majelis Hakim Kasasi juga melakukan Kekeliruan Yang Nyata karena hanya Sudjiono Timan yang diperiksa dalam persidangan, sehingga tidak berdasar apabila Majelis Hakim Kasasi berpendapat bahwa Sudjiono Timan telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan merupakan perbuatan berlanjut.
Putusan Majelis Hakim Kasasi juga mengandung Kekeliruan Yang Nyata, yaitu keliru dalam memberikan penilaian terhadap harta benda Sudjiono Timan. Majelis Hakim Kasasi hanya semata-mata menilai perbuatan Sudjiono Timan dari sifat melawan hukum materilnya, seperti perbuatan Sudjiono Timan dilakukan dalam keadaan Negara mengalami krisis. Padahal seharusnya Hakim mempertimbangjan dulu apakah perbuatan Sudjiono Timan memenuhi rumusan delik korupsi sehingga segala harta kekayaan termasuk Tanah Kavling HGB No. 1516/Kuningan Timur layak dirampas untuk Negara.

2.      Analisis Terhadap Alasan Peninjauan Kembali Pemohon:
Permohonan Peninjauan Kembali harus didasarkan pada beberapa alasan yang diatur didalam KUHAP, yakni Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, dan c, yang berbunyi: “Permintaan Peninjauan Kembali dilakukan atas dasar:
a.    Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b.    Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau sebagai keadaan dasar dan alasan putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c.    Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kehilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.

Dengan demikian, maka alasan pertama yang dapat dijadikan landasan mendasari permintaan Peninjauan Kembali adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan landasan yang mendasari permintaan ialah keadaan baru yang telah mempunyai sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat.”
Berdasarkan alasan-alasan Pemohon PK sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa tidak dapat menunjukkan bahwa adanya novum atau bukti baru yang menjadi syarat materil alasan utama dalam pengajuan Permohinan PK. Sehingga hakim dapat menjatuhkan putusan menolak Permohonan Pemohon Peninjauan Kembali. M. Yahya Harahap dalam bukunya: “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, dan Kasasi”, halaman 632-633 menyatakan bahwa putusan penolakan pengajuan Peninjauan Kembali dapat dijatuhkan Mahkamah Agung dalam hal:
a.    Alasan keberatan yang mendasari permintaan peninjauan kembali secara formal memenuhi ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Artinya alasan keberatan yang mendasari permintaan , dirumuskan pemohon sesuai dengan alasan yang dirinci dalam Pasal 263 ayat (2) KUHAP . alasan itu tidak menyimpang dari ketentuan Pasal tersebut, sehingga ditinjau dari segi formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
b.    Akan tetapi sekalipun alasan permintaan sah secara formal, namun alasan itu “tidak dapat dibenarkan” karena sebabnya alasan itu tidak dapat dibenarkan secara faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau novum. Keadaan baru yang dikemukakan pemohon bukan merupakan keadaan baru yang secara nyata dapat menimbulkan dugaan kuat menghasilkan putusan lain seandainya keadaan itu diketahui dan diajukan selama sidang berlangsung. Atau secara nyata keadaan baru yang dikemukakan pemohon tidak mempunyai nilai sebagai keadaan yang dapat memengaruhi putusan, harus berupa dan bersifat keadaan nyata yang benar-benar relevan sebagai fakta baru yang mempunyai daya dan nilai melumpuhkan fakta lama yang diwujudkan dalam putusan yang dimintakan peninjauan kembali.

Hal kedua yang dapat dijadikan sebagai alasan Permohonan Peninjauan Kembali ialah: “Apabila dalam Berbagai Putusan Terdapat Saling Bertentangan”. Dalam pokok perkara a quo tidak ditemukan adanya berbagai putusan yang saling bertentangan, sehingga syarat pengajuan Peninjauan Kembali Pemohon a quo sebagai syarat materil tidak tepenuhi.
Hal terakhir yang dapat dijadikan sebagai alasan Permohonan PK ialah “Terdapat Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan Yang Nyata”. Dalam Pertimbangan Majelis Hakim PK menyatakan Majelis Hakim Kasasi telah keliru dengan menerapkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 khususnya perbuatan melawan hukum materiil. Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim PK menyatakan bahwa, berdasarkan Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 dinyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 khususnya perbuatan melawan hukum materiil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP ketentuan perbuatan melawan hukum secara materiil dengan fungsinya yang positif sudah tidak tepat lagi diterapkan dalam perkara peninjauan kembali.
Sekalipun demikian, pasca Putusan MK tersebut pada praktiknya Mahkamah Agung tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materil (materiile wederrechtlijkheid) dalam banyak putusan diantaranya: Putusan No. 2064/K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007 atas nama Terdakwa H. Farani Suhaimi, Putusan No. 2608 K/Pid/2006 atas nama Terdakwa Ahmad Rojadi, dan berbagai putusan lain yang dapat dijadikan sebagai Yurisprudensi oleh hakim PK dalam memutus perkara a quo.
Dengan demikian, secara materil maupun formil syarat pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali oleh Fanny Barky (Istri) selaku ahli waris dari Terpidana Sudjiono Timan tidak terpenuhi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, sehingga permohonan Pemohon PK seharusnya ditolak oleh Majelis Hakim.

IV.     Tentang Akibat Hukum Putusan Peninjauan Kembali
Akibat hukum dari Putusan PK No. 97 PK/Pid.Sus/2012 sebagaimana tercantum dalam amar putusan yakni melepaskan Terpidana dari segala tuntutan hukum, selain dipulihkan nama baik dan harkat martabatnya, namun Terpidana juga dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan ketentuan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP:
(1)   Tersangka, Terdakwa, atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut, dan diadili, atau dikarenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.
(3)   Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Tersangka, Terdakwa, Terpidana atau Ahli Warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan.

Untuk barang bukti yang disita sesudah sidang selesai, dengan segera negara harus mengembalikannya kepada Terpidana yang telah diputus bebas dan berdasarkan putusan Majelis Hakim barang bukti tersebut harus dikembalikan. Dalam hal barang bukti tersebut telah dilelang, dapat dilakukan gugatan ganti kerugian dengan berdasar kepada putusan Majelis Hakim PK.

V.      Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP yang mengatur tentang syarat-syarat mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali, ditentukan bahwa terdapat dua syarat yakni syarat formal dan syarat materiil. Syarat formal berkaitan dengan legal standing (kedudukan hukum) Pemohon PK sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.”
Berkaitan dengan syarat formal, pengajuan PK harus diajukan oleh Terpidana atau Ahli Warisnya. Dalam hal ini, Terpidana (disebut terpidana artinya sedang menjalani pidana akibat dari putusan Kasasiputusan Kasasi) sendiri yang harus mengajukan Permohonan PK. Sementara dalam pokok perkara a quo, Terpidana tidak meninggal dunia, tetapi Terpidana sedang “buron” (tidak menjalani putusan Kasasi) sehingga Isteri Terpidana tidak bisa bertindak selaku Ahli Waris dari Terpidana Sudjiono Timan.
Sedangkan syarat materiil berkaitan dengan alasan-alasan PK, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 263 ayat (2): “Permintaan peninjauan kembali dilakukan atas dasar: a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas

atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat

diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,

ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
dan c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”.
Dalam pokok perkara Peninjauan Kembali No. 97 PK/Pid.Sus/2012, Majelis Hakim PK mendasarkan pertimbangannya hanya pada alasan “Terdapat Kehilafan Hakim atau Kekliruan yang Nyata”. Majelis Hakim tidak mempertimbangkan unsur adanya novum dan adanya berbagai putusan yang saling bertentangan. Sebagaimana diketahui bahwa Pasal 263 ayat (2) KUHAP merupakan syarat materiil suatu permohonan peninjauan kembali yang semua unsur atau syarat tersebut harus terpenuhi, sehingga tidak mungkin dapat menentukan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata jika tidak ada novum dan adanya berbagai putusan yang saling bertentangan. Dengan demikian, menurut Anator Permohonan PK Pemohon harus ditolak oleh Majelis Hakim PK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...