ANOTASI PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI
Nomor: 97 PK/Pid.Sus/2012 dalam Perkara
Tindak Pidana Korupsi dengan Terpidana Sudjiono Timan
Oleh: Roli Pebrianto, SH
I.
Pendahuluan
Putusan yang akan dianotasi ialah Putusan Nomor: 97 PK/Pid.Sus/2012,
tanggal 31 Juli 2013, dengan Terpidana Sudjiono
Timan, yang dimohonkan oleh Fanny Barky (Istri), selaku Ahli Waris dari
Terpidana. Sebelumnya pada tingkat pertama yang diperiksa, diadili, dan diputus
oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor: 1440/Pid.B/2001/PN.Jak.Sel,
tanggal 25 Nopember 2002, yang menyatakan bahwa Terdakwa Sudjiono Timan terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan
oleh Jaksa Penuntut Umum, namun bukan merupakan suatu tindak pidana dan oleh
karena itu Terdakwa Sudjiono Timan
dilepaskan dari segala tuntutan hukum (onslag
van alle rechtsvelvolging).
Kemudian JPU melakukan upaya hukum Kasasi, yang telah
diperiksa, diadili, dan diputus oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor:
434 K/PID/2003 tanggal 3 Desember 2004 dengan Mengadili Sendiri yang menyatakan
bahwa Terdakwa Sudjiono Timan
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah serta bersama-sama melakukan tindak
pidana korupsi dan menghukum Terdakwa Sudjiono
Timan dengan pidana penjara selama 15 (lima belas) tahun, pidana denda
sebesar Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) subsidair 6 (enam) bulan
kurungan, serta pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebesar US$
98.000.000,- (sembilan puluh delapan juta dollar Amerika Serikat) atau Rp.
369.446.905.115,- (tiga ratus enam puluh sembilan miliar empat ratus empat
puluh enam juta sembilan ratus lima ribu seratus lima belas rupiah).
Sejak putusan Kasasi, bahkan sampai saat permohonan Peninjauan Kembali
oleh isterinya (selaku ahli waris), Terpidana Sudjiono Timan masih berstatus buron. Mahkamah Agung melalui
Putusan Nomor: 97 PK/Pid.Sus/2012, tanggal 31 Juli 2013, Majelis Hakim
berpendapat bahwa Pemohon selaku isteri dari Terpidana Sudjiono Timan dinyatakan sebagai ahli waris sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP dan memutus dengan Mengadili Kembali dan
melepaskan Terpidana Sudjiono Timan
dari segala tuntutan hukum (onslag van
alle rechtsvelvolging).
Dari uraian diatas menurut Anator, Mahkamah Agung seharusnya menolak
Permohonan Peninjauan Kembali a quo.
Sebagaimana diketahui bahwa Terpidana tidak menjalani pidana
(sebagaimana dalam putusan Kasasi) sehingga tidak dapat mengajukan PK. Yang
menjadi pertanyaan adalah a) apakah ketika Terpidana buron (tidak menjalani
eksekusi putusan Kasasi) dan hampir 10 (sepuluh) tahun kemudian dinyatakan
meninggal ?; dan b) apakah terhadap hal itu ahli waris dapat mengajukan PK ?.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka Anator akan melakukan anotasi hukum (legal anotation) terhadap putusan
Peninjauan Kembali a quo.
II.
Kasus
Posisi
Sudjiono
Timan merupakan Direktur Utama PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (PT. BPUI)
telah bekerjasama dengan temannya bernama Agus Anwar selaku pemilik Kredit Asia Finance Limited (KAFL) yang
berkedudukan di 20/F, EURO Trade Center, 21-23 Des Vooux Road Central,
Hongkong, untuk mengatur beberapa transaksi dengan menggunakan KAFL sebagai
perusahaan yang akan digunakan sebagai sarana atau vehicle untuk mengalirkan
dana dari Badan Usaha Milk Negara (BUMN) PT. BPUI, yang akan diteruskan kepada
pihak-pihak lainnya.
Kemudian
Sudjiono Timan menugaskan Angki Hermawan sebagai Account Officer dalam
mengalirkan dana dari PT. BPUI menggunakan bentuk penempatan dana (placement line) ke KAFL yaitu melalui
pembelian Promissory Note (Surat
Hutang) yang diterbitkan oleh KAFL, dengan alasan bahwa KAFL adalah sebuah Multi Finance Company (Perusahaan Jasa
Keuangan). Dengan menggunakan cara atau tehnik penempatan dana tersebut, maka
terhadap aliran dana tersebut menjadi tidak memerlukan agunan (jaminan)
sebagaimana layaknya apabila menggunakan bentuk pemberian pinjaman/kredit.
Dengan menggunakan cara pembelian Promissory Note tersebut Sudjiono Timan juga
menyatakan seakan-akan bahwa Promissory Note KAFL yang dibeli oleh PT. BPUI
tersebut merupakan Commercial Paper
(Surat Berharga).
Atas
aliran dana dari PT. BPUI tersebut dengan tujuan untuk kepentingan pembelian
dan transaksi saham-saham di Luar Negeri atas nama Festival Company Inc., pihak
Festival Company Inc. tidak pernah menerima dananya secara riil. Pengelolaan
dana tersebut sepenuhnya diatur dan diurus oleh Sudjiono Timan. Sama halnya
dengan yang dilakukan kepada PT. ELOK UNGGUL transaksi juga menggunakan bentuk
two-step (dua tahap) ke Festival tersebut tidak dijelaskan secara terbuka dalam
investment memonya, melainkan dibuat seakan-akan merupakan penempatan dana (placement line) ke KAFL. Hal tersebut
adalah sesuai arahan dan perintah Sudjiono Timan untuk membuat investment memo untuk pemberian placement line (penempatan dana) kepada
KAFL hanya dengan tujuan penggunaan dana sebagai modal kerja KAFL saja.
Penggunaan selanjutnya untuk two-step (dua tahap) kepada pihak lain tidak
diperkenankan dijelaskan dalam investment memo tersebut. Alasan yang digunakan
Sudjiono Timan selaku Direktur Utama dan para Direksi PT. BPUI lainnya yaitu
Hadi Rusli, Hario Suprobo, Witjaksono Abadiman, adalah bahwa struktur dan
bentuk aliran dana kepada Kredit Asia Finance adalah Placement Line karena KAFL
adalah sebuah Finance Company sehingga aliran dana kepada Finance Company
umumnya dilakukan dalam bentuk penempatan dana.
Alasan
lainnya dengan adanya pengaliran dana kepada Festival Company Inc. dilakukan
melalui KAFL secara dua tahap (two-step loan) adalah karena Festival Company
Inc. tidak diketahui kondisi keuangannya, tidak ada laporan keuangan perusahaan
tersebut, tidak memiliki asset ataupun kegiatan usaha apapun, sehingga secara
langsung tidak dapat dan tidak layak menerima pinjaman/kredit dari PT. BPUI. Atas
aliran dana kepada Festival Company Inc. yang dilewatkan melalui KAFL tersebut
dengan cara pembelian Promissory Note-Promissory Note tersebut, kemudian pada
saat jatuh temponya tidak dapat dikembalikan. Atas tidak dikembalikannya dana
dari PT. BPUI tersebut pada saat jatuh tempo, tanpa melalui analisa kelayakan
secara benar, secara langsung dibuat perpanjangan. Perpanjangannya adalah
dengan cara pihak KAFL menerbitkan Promissory
Note baru. Aliran dana-dana kepada Festival Company Inc. yang dibuat dalam
bentuk Promisssory Note KAFL pada
saat jatuh temponya tidak dapat dikembalikan, sehingga diperpanjang dengan Promisssory Note baru
Perbuatan
Sudjiono Timan yang dianggap dilakukan secara melawan hukum dimana dalam pengaliran dana dianggap telah
memperkaya Penta Investment Limited dan atau Jubilee Venture Capital dan atau
Roberto V. Ongpin serta dianggap mengakibatkan kerugian Negara sebesar USD
25,187,417.08. (dua puluh lima juta seratus delapan puluh tujuh ribu empat
ratus tujuh belas dan delapan sen Dollar Amerika Serikat) atau setidak-tidaknya
USD 19,025,502.00 (sembilan belas juta dua puluh lima ribu lima ratus dua
Dollar Amerika Serikat).
Sudjiono
Timan dianggap telah mengelola dana tersebut secara melawan hukum, dalam hal
ini Timan tidak mengelola dana tersebut sebagaimana persyaratan yang ditentukan
oleh Pemerintah cq. Departemen
Keuangan R.I. dan telah menggunakan dana tersebut menyimpang dari maksud dan
tujuan pemberian fasilitas dana sebagaimana ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Bahwa
dana RDI yang ditampung dalam rekening PT. BPUI di Bank BRI tersebut hanya
aktif sekitar 3 (tiga) bulan saja yaitu sejak 18 Desember 1997 sampai dengan
tanggal 12 Maret 1998, karena ternyata setelah tanggal tersebut dana yang
terakhir ditransfer ke Bank Niaga tidak pernah kembali lagi, bahkan Sudjiono
Timan telah menggunakan dana tersebut untuk :
a. Melunasi
hutang-hutang Medium Term Note (MTN) I.
b. Ditempatkan/didepositokan
pada Bank PDFCI, maupun.
c. Ditransfer
ke Socgen dan beberapa Bank antara lain Standard Chartered Bank (SCB), Bank
Internasional Indonesia (BII) , Bank Tiara, serta Bank Umum Nasional (BUN).
Pada
tanggal 14 Oktober 1998, Departemen Keuangan melalui suratnya No.4912/LK/1998
meminta kepada PT. Bahana PUI untuk menyampaikan Laporan penggunaan dana
subordinasi tersebut dengan disertai bukti-bukti pengeluarannya, namun permintaan
tersebut tidak pernah dipenuhi, bahkan tidak ditanggapi sama sekali oleh Timan
maupun Anggota Direksi PT. BPUI lainnya. Kemudian pada tanggal 14 Desember
2000, sesuai arahan Sudjiono Timan, PT. BPUI baru menyampaikan surat
No.056/HS/BPUI/2000 tanggal 14 Desember 2000, yang isinya pada pokoknya
melaporkan penggunaan dana subordinasi dan meminta agar dilakukan konversi atas
dana RDI yang diterima oleh PT. BPUI menjadi modal (Penyertaan Modal
Pemerintah), namun dalam surat tersebut ternyata tidak pernah dilampirkan
bukti-bukti pengeluarannya, tetapi hanya berupa daftar surat-surat berharga
yang dibeli dengan dana RDI padahal sebenarnya saham-saham tersebut telah ada
atau telah dibelisebelum dana RDI diterima PT. BPUI.
Melalui
perbuatan yang dianggap melawan hukum tersebut, Sudjiono Timan telah memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
badan dalam hal ini PT. Bahana Pembinaan Usaha Indonesia atau PT. Bahana
Sekuritas atau dan atau PT. Bahana Artha Ventura, dan atau Bank PDFCI, dan atau
Socgen, dan atau Standard Chartered Bank (SCB) dan atau Bank Internasional
Indonesia (BII) dan atau Bank Tiara dan atau Bank Umum Nasional (BUN).
Perbuatan
Sudjiono Timan yang dianggap dilakukan
secara melawan hukum sebagaimana telah diuraikan di atas, dianggap telah memperkaya
PT. (Persero) Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan atau PT. Bahana Sekuritas,
dan atau pihak-pihak lain sebagaimana tersebut di atas yang menerima aliran
dana dari PT. BPUI menggunakan dana pinjaman RDI tersebut di atas. Dari
perbuatan Sudjiono Timan yang dilakukan sebagaimana diuraikan di atas dianggap
telah mengakibatkan kerugian keuangan Negara dalam hal ini Departemen Keuangan
yaitu sebesar Rp.253.055.555.555,56 (dua ratus lima puluh tiga miliar lima
puluh lima juta lima ratus lima puluh lima ribu lima ratus lima puluh lima
rupiah lima puluh enam sen).
Oleh
karena Sudjiono Timan dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum, yaitu
dalam penyaluran dana kepada Kredit Asia Finance Limited, Festival Company Inc.
dan Penta Investment Limited, serta penggunaan fasilitas Rekening Dana
lnvestasi (RDI), dan perbuatan tersebut dianggap telah memperkaya pihak-pihak
sebagaimana yang diuraikan tersebut di atas, serta dianggapmengakibatkan
kerugian keuangan Negara sebesar USD 178,942,801.93 (seratus tujuh puluh
delapan juta sembilan ratus empat puluh dua ribu delapan ratus satu Dollar
Amerika Serikat dan sembilan puluh tiga sen) dan Rp.369.446.905.115,56 (tiga
ratus enam puluh sembilan miliar empat ratus empat puluh enam juta sembilan
ratus lima ribu seratus lima belas rupiah dan lima puluh enam sen), maka
Sudjiono Timan didakwa dengan dakwaan :
a.
Primair,
telah melakukan tindak pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat (1) sub a jo Pasal
28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Pasal 1 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat
(1) KUHP.
b.
Subsidair,
telah melakukan tindak pidana korupsi melanggar Pasal 1 Ayat (1) sub b jo Pasal
28 jo Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 jo Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Pasal 1 Ayat (2) KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat
(1) KUHP.
III.
Tentang
Legal Standing Pemohon Peninjauan
Kembali
1.
Pertimbangan
Majelis Hakim PK tentang Legal Standing Pemohon
Pemohon Peninjauan Kembali dalam
perkara a quo adalah Fanny Barki yang tidak lain merupakan Istri (Ahli Waris) dari Terpidana
Sudjiono Timan. Terhadap kedudukan hukum (legal
standing) Pemohon selaku Istri dari Terpidana, Majelis Hakim Peninjauan
Kembali berpendapat bahwa KUHAP tidak memberikan pengertian siapa yang dimaksud
dengan “Ahli Waris”. Majelis Hakim PK berpendapat bahwa makna istilah “Ahli
Waris” dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan
waris mewaris atas harta benda Terpidana melainkan istilah tersebut ditujukan
kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli Waris dari
Terpidana berhak pula mengajukan Peninjauan Kembali.
Selanjutnya, Majelis Hakim PK
mendasarkan pertimbangannya pada pendapat M. Yahya Harahap, yang menyatakan
bahwa: hak Ahli Waris untuk mengajukan Peninjauan Kembali bukan merupakan “hak
substitusi” yang diperoleh setelah Terpidana meninggal dunia. Hak tersebut
adalah “hak orisinil” yang diberikan Undang-Undang kepada mereka demi untuk
kepentingan Terpidana. Dengan demikian, Terpidana atau Ahli Waris sama-sama
mempunyai hak mengajukan permintaan Peninjauan Kembali tanpa mempersoalkan
apakah Terpidana masih hidup atau tidak. Lagi pula undang-undang tidak menentukan
kedudukan prioritas diantara Terpidana dengan Ahli Waris.
Atas pertimbangan tersebut, maka
Majelis Hakim Peninjauan Kembali berpendapat bahwa permohonan Peninjauan
Kembali Pemohon selaku Ahli Waris dari Terpidana Sudjiono Timan secara formil dapat
diterima (Vide Putusan PK No. 97
PK/Pid.Sus/2012, halaman 162).
2.
Analisis
Terhadap Pertimbangan Majelis Hakim PK tentang Legal Standing Pemohon
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat
(1) KUHAP ditentukan pihak-pihak yang berhak mengajukan Peninjauan Kembali
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang
bukan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, adalah Terpidana atau Ahli Warisnya. Dalam pokok perkara Peninjauan Kembali a quo, yang mengajukan Permohonan Peninjauan
Kembali adalah Fanny Barki yang merupakan Isteri dari Terpidana, yang dalam
pertimbangan Majelis Hakim PK, Pemohon selaku Isteri dianggap sebagai Ahli
Waris Terpidana.
Sebagaimana diketahui bahwa salah
satu syarat formil dalam mengajukan permohonan PK ialah dapat diajukan oleh
Terpidana atau Ahli Warisnya. Persoalannya ialah “kapan seseorang dapat
dikatakan sebagai ahli waris” tidak pernah ditemukan di dalam KUHAP. Untuk
mengetahui kapan seseorang dapat dikatakan sebagai ahli waris kiranya dapat
merujuk kepada sistem pewarisan menurut KUH Perdata dan Kompilasi Hukum Islam.
Sistem Pewarisan yang diatur dalam
KUH Perdata mengatur pewarisan apabila pewaris meninggal dunia. Hal itu berarti
kedudukan seseorang menjadi Ahli Waris terjadi pada saat pewaris meninggal
dunia. Maka dengan demikian, terhadap
perkara a quo, Isteri Terpidana
Sudjiono Timan yang telah mengajukan permohonan PK kepada MA RI sebenarnya
tidak dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris karena Sudjiono Timan belum meninggal atau setidak-tidaknya
tidak ada penetapan dari pengadilan yang menyatakan bahwa Sudjiono Timan telah
meninggal dunia. Oleh karena permohonan PK yang diajukan oleh isteri
Sudjiono Timan tidak dalam kedudukannya sebagai Ahli Waris, sehingga permohonan
PK tersebut tidak memenuhi syarat formil sebagaimana diatur dalam Pasal 263
ayat (1) KUHAP.
Selanjutnya, dalam sistem pewarisan
menurut Hukum Islam terdapat kriteria pewarisan menurut Al-Qur’an, yaitu
sebagai berikut :
1. Anak-anak
si pewaris bersama-sama dengan orang tua si pewaris serentak sebagai Ahli Waris.
Sedangkan dalam sistem hukum waris di luar Al-Qur’an hal itu tidak mungkin
sebab orang tua baru mungkin menjadi Ahli Waris jika pewaris meninggal dunia.
2. Jika
pewaris meninggal dunia tanpa mempunyai keturunan, maka ada kemungkinan
saudara-saudara pewaris bertindak bersama-sama sebagai Ahli Waris dengan orang
tuanya, setidaktidaknya dengan ibunya. Prinsip tersebut mempunyai maksud, jika
orang tua pewaris, dapat berkonkurensi dengan anak-anak pewaris, apabila dengan
saudara-saudaranya yang sederajat lebih jauh dari anak-anaknya. Menurut sistem
hukum waris di luar Al-Qur’an hal tersebut tidak mungkin sebab saudara si
pewaris tertutup haknya oleh orang tuanya.
3. Bahwa
suami-isteri saling mewaris, artinya pihak yang hidup paling lama menjadi Ahli
Waris dari pihak lainnya.
Peninjauan Kembali yang diajukan Isteri terpidana Sudjiono Timan kepada
Mahkamah Agung RI dalam perkara a quo,
tidak memenuhi syarat formil perihal pengajuan permohonan Peninjauan Kembali.
Dapat diperhatikan dalam sistem pewarisan hukum Islam, kedudukan Isteri dapat menjadi Ahli Waris dari suaminya jika pewaris
(suami) meninggal dunia. Hal ini ditegaskan juga pada Inpres Nomor 1 Tahun
1991 tentang Berlakunya Kompilasi Hukum Islam, ditegaskan mengenai pengertian Ahli
Waris yang termuat dalam Bab I Pasal 171 ialah “Orang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan
perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum
untuk menjadi ahli pewaris.”
Dalam putusan Peninjauan Kembali Nomor 97 PK/Pid.Sus/2012, Majelis Hakim
Peninjauan Kembali, dalam pertimbangannya berpendapat bahwa Ahli Waris
sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan dalam
konteks hubungan waris mewaris atas harta benda terpidana, melainkan istilah
tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai kedudukan hukum sebagai Ahli
Waris dari terpidana berhak pula untuk mengajukan Peninjauan Kembali.
Dalam pertimbangannya Majelis Hakim juga berpendapat bahwa pemohon
Peninjauan Kembali terhadap perkara a quo adalah Isteri sah dari terpidana
Sudjiono Timan yang hingga saat diajukannya permohonan tidak pernah melakukan
perceraian (berdasarkan akte perkawinan Nomor 542/1991 tanggal 28 Desember
1991). Berdasarkan pertimbangan ini Majelis Hakim berkesimpulan, dalam
pertimbangannya, bahwa dalam sistem hukum yang berlaku di negara Republik
Indonesia, selain anak yang sah sebagai Ahli Waris dari orang tuanya, Isteri
juga merupakan Ahli Waris dari suaminya.
Dengan demikian, menurut Anator, kata-kata “Terpidana” dan “Ahli Waris”
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP sudah tegas dinyatakan secara limitatif,
sehingga harus dibaca “adanya Terpidana”. Dengan demikian, maka harus
ditafsirkan “memerintahkan” kepada
Terpidana untuk menjalani Putusan Kasasi terlebih dahulu barulah kemudian dapat
mengajukan PK. Kemudian terhadap kalimat ”Ahli
Waris”, sebagaimana dikemukakan sebelumnya, baik dalam KUH Perdata maupun
Kompilasi Hukum Islsam jelas dinyatakan bahwa ahli waris akan timbul setelah
pewaris meninggal dunia. Dalam kasus a
quo, Sudjiono Timan belum dinyatakan meninggal dunia, sehingga tidak
terdapat hak kepada “ahli warisnya”.
Menurut pendapat anator, pertimbangan Majelis Hakim menyatakan bahwa
pemohon Peninjauan Kembali ialah Ahli Waris dari terpidana Sudjiono Timan
adalah tidak tepat, karena kedudukan Ahli
Waris secara hukum baik menurut Hukum Perdata maupun dalm Hukum Islam baru
timbul pada saat pewaris meninggal dunia. Pada saat Isteri dari terpidana Sudjiono Timan mengajukan permohonan
Peninjauan Kembali kedudukannya adalah sebagai Isteri dan bukan Ahli Waris.
Anator juga tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim yang
menyatakan bahwa ketentuan Ahli Waris sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263
Ayat (1) KUHAP dimaksudkan bukan dalam konteks hubungan waris mewaris atas
harta benda terpidana, melainkan ditujukan kepada orang-orang yang mempunyai
kedudukan hukum sebagai Ahli Waris, karena Majelis Hakim dalam pertimbangannya
tidak menguraikan rujukan atau acuan yang bisa menjadi dasar dari pendapat
tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut, maka
seharusnya Majelis Hakim Peninjauan Kembali menolak Permohonan Pemohon PK Isteri Terpidana Sudjiono Timan
karena tidak memenuhi syarat formal permohonan PK sebagaimana diatur dalam
Pasal 263 ayat (1) KUHAP.
III.
Alasan
Permohonan Peninjauan Kembali
1.
Alasan
Peninjauan Kembali Pemohon:
Alasan-alasan Pemohon dalam
mengajukan Permohonan Peninjauan Kembali pada perkara a quo hanya didasarkan pada “Adanya Kekhilafan Hakim/Kekeliruan
yang Nyata.” Kehilafan yang dimaksud ialah Majelis Hakim Kasasi membenarkan
keberatan-keberatan Kasasi Penuntut Umum dalam menerapkan pengertian “melawan
hukum” dalam tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 1 ayat (1) sub a
UU No. 3 Tahun 1971 dengan cara mengacu pada seolah-olah pada penjelasan Pasal
2 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1971, padahal yang dikutip adalah Pasal 2 ayat (1) UU
No. 31 Tahun 1999.
Sejak semula, Terdakwa Sudjiono
Timan diadili ooleh Judex Facti PN Jakarta Selatan berdasarkan UU No. 3 Tahun
1971 dan bukan UU No. 31 Tahun 1999 (Vide Pasal 1 ayat (2) KUHP: “Jika
ada perubahan dalam perundang-undangan pidana sesudah perbuatan dilakukan, maka
terhadap Terpidana diterapkan ketentuan yang paling menguntungkannya”). Dengan
demikian, Majelis Hakim Kasasi jelas Keliru terlebih lagi penjelasan
Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999, sudah dinyatakan tidak berlaku lagi
berdasarkan Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006. Akibat
kekeliruan tetrsebut, membawa implikasi yuridis terhadap pertimbangan hukum
Majelis Hakim Kasasi. Akibatnya, pengertian”melawan hukum” secara materiil dalam
fungsi positif oleh Majelis Hakim Kasasi tidak tepat dan tidak berdasar hukum.
Selain itu, Majelis Hakim Kasasi
juga melakukan Kekeliruan Yang Nyata karena hanya Sudjiono Timan yang
diperiksa dalam persidangan, sehingga tidak berdasar apabila Majelis Hakim
Kasasi berpendapat bahwa Sudjiono Timan telah terbukti bersalah melakukan
tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan merupakan
perbuatan berlanjut.
Putusan Majelis Hakim Kasasi juga
mengandung Kekeliruan Yang Nyata, yaitu keliru dalam memberikan
penilaian terhadap harta benda Sudjiono Timan. Majelis Hakim Kasasi hanya
semata-mata menilai perbuatan Sudjiono Timan dari sifat melawan hukum
materilnya, seperti perbuatan Sudjiono Timan dilakukan dalam keadaan Negara
mengalami krisis. Padahal seharusnya Hakim mempertimbangjan dulu apakah
perbuatan Sudjiono Timan memenuhi rumusan delik korupsi sehingga segala harta
kekayaan termasuk Tanah Kavling HGB No. 1516/Kuningan Timur layak dirampas
untuk Negara.
2.
Analisis
Terhadap Alasan Peninjauan Kembali Pemohon:
Permohonan Peninjauan Kembali harus didasarkan pada beberapa alasan yang
diatur didalam KUHAP, yakni Pasal 263 ayat (2) huruf a, b, dan c, yang
berbunyi: “Permintaan Peninjauan Kembali
dilakukan atas dasar:
a.
Apabila
terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat bahwa jika keadaan itu sudah
diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan
bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum
tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan;
b.
Apabila
dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau sebagai keadaan dasar dan alasan putusan yang telah terbukti
itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
c.
Apabila
putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kehilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata.
Dengan demikian, maka alasan pertama yang dapat dijadikan landasan
mendasari permintaan Peninjauan Kembali adalah “keadaan baru” atau novum. Keadaan baru yang dapat dijadikan
landasan yang mendasari permintaan ialah keadaan baru yang telah mempunyai
sifat dan kualitas “menimbulkan dugaan kuat.”
Berdasarkan alasan-alasan Pemohon PK sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, maka dapat dilihat bahwa tidak dapat menunjukkan bahwa adanya novum atau bukti baru yang menjadi
syarat materil alasan utama dalam pengajuan Permohinan PK. Sehingga hakim dapat
menjatuhkan putusan menolak Permohonan Pemohon Peninjauan Kembali. M. Yahya
Harahap dalam bukunya: “Pembahasan
Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, dan
Kasasi”, halaman 632-633 menyatakan bahwa putusan penolakan pengajuan
Peninjauan Kembali dapat dijatuhkan Mahkamah Agung dalam hal:
a. Alasan
keberatan yang mendasari permintaan peninjauan kembali secara formal memenuhi
ketentuan Pasal 263 ayat (2) KUHAP. Artinya alasan keberatan yang mendasari
permintaan , dirumuskan pemohon sesuai dengan alasan yang dirinci dalam Pasal
263 ayat (2) KUHAP . alasan itu tidak menyimpang dari ketentuan Pasal tersebut,
sehingga ditinjau dari segi formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan
Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
b. Akan
tetapi sekalipun alasan permintaan sah secara formal, namun alasan itu “tidak
dapat dibenarkan” karena sebabnya alasan itu tidak dapat dibenarkan secara
faktual tidak dapat dinilai sebagai keadaan baru atau novum. Keadaan baru yang
dikemukakan pemohon bukan merupakan keadaan baru yang secara nyata dapat
menimbulkan dugaan kuat menghasilkan putusan lain seandainya keadaan itu
diketahui dan diajukan selama sidang berlangsung. Atau secara nyata keadaan
baru yang dikemukakan pemohon tidak mempunyai nilai sebagai keadaan yang dapat
memengaruhi putusan, harus berupa dan bersifat keadaan nyata yang benar-benar
relevan sebagai fakta baru yang mempunyai daya dan nilai melumpuhkan fakta lama
yang diwujudkan dalam putusan yang dimintakan peninjauan kembali.
Hal kedua yang dapat dijadikan sebagai alasan Permohonan Peninjauan
Kembali ialah: “Apabila dalam Berbagai
Putusan Terdapat Saling Bertentangan”. Dalam pokok perkara a quo tidak ditemukan adanya berbagai
putusan yang saling bertentangan, sehingga syarat pengajuan Peninjauan Kembali
Pemohon a quo sebagai syarat materil
tidak tepenuhi.
Hal terakhir yang dapat dijadikan sebagai alasan Permohonan PK ialah “Terdapat Kekhilafan Hakim atau Kekeliruan
Yang Nyata”. Dalam Pertimbangan Majelis Hakim PK menyatakan Majelis Hakim
Kasasi telah keliru dengan menerapkan Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31
Tahun 1999 khususnya perbuatan melawan hukum materiil. Dalam pertimbangannya,
Majelis Hakim PK menyatakan bahwa, berdasarkan Putusan MK No. 003/PUU-IV/2006
dinyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 khususnya
perbuatan melawan hukum materiil bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
yang mengikat, sehingga berdasarkan ketentuan Pasal 1 ayat (2) KUHP ketentuan
perbuatan melawan hukum secara materiil dengan fungsinya yang positif sudah
tidak tepat lagi diterapkan dalam perkara peninjauan kembali.
Sekalipun demikian, pasca Putusan MK tersebut pada praktiknya Mahkamah
Agung tetap menganut ajaran perbuatan melawan hukum materil (materiile wederrechtlijkheid) dalam
banyak putusan diantaranya: Putusan No. 2064/K/Pid/2006 tanggal 8 Januari 2007
atas nama Terdakwa H. Farani Suhaimi, Putusan No. 2608 K/Pid/2006 atas nama
Terdakwa Ahmad Rojadi, dan berbagai putusan lain yang dapat dijadikan sebagai
Yurisprudensi oleh hakim PK dalam memutus perkara a quo.
Dengan demikian, secara materil maupun formil syarat pengajuan Permohonan
Peninjauan Kembali oleh Fanny Barky (Istri) selaku ahli waris dari Terpidana
Sudjiono Timan tidak terpenuhi sebagaimana ditentukan dalam Pasal 263 ayat (1)
dan ayat (2) KUHAP, sehingga permohonan Pemohon PK seharusnya ditolak oleh
Majelis Hakim.
IV.
Tentang
Akibat Hukum Putusan Peninjauan Kembali
Akibat hukum dari Putusan PK No. 97
PK/Pid.Sus/2012 sebagaimana tercantum dalam amar putusan yakni melepaskan
Terpidana dari segala tuntutan hukum, selain dipulihkan nama baik dan harkat
martabatnya, namun Terpidana juga dapat menuntut ganti kerugian berdasarkan
ketentuan Pasal 95 ayat (1) dan ayat (3) KUHAP:
(1)
Tersangka,
Terdakwa, atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap,
ditahan, dituntut, dan diadili, atau dikarenakan tindakan lain tanpa alasan
yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan.
(3)
Tuntutan
ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh Tersangka,
Terdakwa, Terpidana atau Ahli Warisnya kepada pengadilan yang berwenang
mengadili perkara yang bersangkutan.
Untuk barang
bukti yang disita sesudah sidang selesai, dengan segera negara harus
mengembalikannya kepada Terpidana yang telah diputus bebas dan berdasarkan
putusan Majelis Hakim barang bukti tersebut harus dikembalikan. Dalam hal
barang bukti tersebut telah dilelang, dapat dilakukan gugatan ganti kerugian dengan
berdasar kepada putusan Majelis Hakim PK.
V.
Kesimpulan
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1)
dan ayat (2) KUHAP yang mengatur tentang syarat-syarat mengajukan Permohonan
Peninjauan Kembali, ditentukan bahwa terdapat dua syarat yakni syarat formal
dan syarat materiil. Syarat formal berkaitan dengan legal standing (kedudukan hukum) Pemohon PK sebagaimana dinyatakan
dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung.”
Berkaitan dengan
syarat formal, pengajuan PK harus diajukan oleh Terpidana atau Ahli Warisnya. Dalam hal ini, Terpidana (disebut
terpidana artinya sedang menjalani pidana akibat dari putusan Kasasiputusan
Kasasi) sendiri yang harus mengajukan Permohonan PK. Sementara dalam pokok
perkara a quo, Terpidana tidak
meninggal dunia, tetapi Terpidana sedang “buron” (tidak menjalani putusan
Kasasi) sehingga Isteri Terpidana tidak bisa bertindak selaku Ahli Waris dari
Terpidana Sudjiono Timan.
Sedangkan syarat
materiil berkaitan dengan alasan-alasan PK, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal
263 ayat (2): “Permintaan peninjauan
kembali dilakukan atas dasar: a. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan
kuat, bahwa jika keadaan itu
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”.
sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas
atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan
tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu,
ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain; dan c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhiIafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata”.
Dalam pokok
perkara Peninjauan Kembali No. 97 PK/Pid.Sus/2012, Majelis Hakim PK mendasarkan
pertimbangannya hanya pada alasan “Terdapat
Kehilafan Hakim atau Kekliruan yang Nyata”. Majelis Hakim tidak
mempertimbangkan unsur adanya novum dan
adanya berbagai putusan yang saling bertentangan. Sebagaimana diketahui bahwa
Pasal 263 ayat (2) KUHAP merupakan syarat materiil suatu permohonan peninjauan
kembali yang semua unsur atau syarat tersebut harus terpenuhi, sehingga tidak
mungkin dapat menentukan adanya kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata
jika tidak ada novum dan adanya
berbagai putusan yang saling bertentangan. Dengan demikian, menurut Anator
Permohonan PK Pemohon harus ditolak
oleh Majelis Hakim PK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar