PERLINDUNGAN HAM TERHADAP ANGGOTA
POLRI YANG MENJALANKAN TUGAS
(Kajian Terhadap Revisi Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)
OLEH:
ROLI PEBRIANTO, S.H
A. PENGANTAR
Sebelum lebih jauh membahas judul diatas, Penulis
mengucapkan selamat HUT Polri ke 72 (1 Juli 2018). Diusia yang hampir 1 (satu) abad ini,
tuntutan terhadap kinerja Polri agar menjadi lebih baik terus berdatangan dari
berbagai pihak, terutama tuntutan mengenai kinerja Polri dalam melaksanakan
tugas penegakan hukum. Selain itu, sebagai pemelihara Keamanan dan Ketertiban
Masyarakat (selanjutnya disingkat Kamtibmas), Polri juga dituntut untuk
menciptakan kondisi serta memelihara rasa aman yang menjadi kebutuhan hakiki
dalam masyarakat.
Polri sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom
dan pelayan masyarakat, dengan tidak mengeyampingkan faktor–faktor yang juga
berpengaruh pada penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Faktor-faktor
tersebut ialah: peraturan hukum itu
sendiri, masyarakat tempat hukum
tersebut ditegakkan, keteladanan para
aparat penegak hukumnya, sarana dan prasarana penegakan hukum.
Apa yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto jika dikorelasikan dengan kondisi saat ini dan
tentang reformasi yang sedang berlangsung di tubuh Polri, maka
sebenarnya masyarakat belum merasakan adanya perubahan yang signifikan, sikap
dan perilaku anggota kepolisian masih belum banyak berubah. “Menembak salah,
tidak menembak salah, ditembakpun salah,” demikian kira-kira situasi yang yang
dihadapi polisi kita. Pemberitaan tentang polisi yang melakukan
penembakan sering menjadi perhatian publik, terlebih terhadap polisi yang salah
tembak. Tidak sedikit polisi yang kemudian diperiksa, ditindak, dan diajukan ke
sidang pengadilan atau kode etik profesi.
Beberapa catatan dari lembaga Ombudsman Republik
Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa Polri masih menjadi lembaga yang sering
melakukan mala-administrasi sehingga menjadikan institusi ini mendominasi
pengaduan dari masyarakat. Pada tahun 2015 saja, lembaga ini menerima
pengaduan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran mala-adminsitrasi oleh
kepolisian sebanyak 6.859 pengaduan. Data yang diterbitkan oleh Ombudsman ini
diperkuat lagi dengan data yang diterbitkan oleh Divisi Propam Mabes Polri.
Terdapat bukti jika anggota Polri melakukan pelanggaran kode etik, pelanggaran
disiplin dan pelanggaran pidana. Sebagai contoh pada tahun 2015 terdapat
pelanggaran kode etik sebanyak 1.041 kasus, pelanggaran disiplin 8.147 kasus
dan pelanggaran pidana 394 kasus.
Namun disisi lain, Polri sebagai lembaga terdepan dalam
melakukan penegakan hukum, juga perlu mendapatkan perlindungan hukum dan
dijamin hak-hak asasinya oleh Negara terutama bagi anggota Polri yang bertugas
dilapangan terlebih lagi di daerah-daerah rawan konflik.
B. HAK ASASI MANUSIA DAN POLRI
Isu tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan “barang”
yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun
tidak disebutkan secara eksplisit yakni didalam Alinea 1 Pembukaan UUD 1945,
yang isinya menyatakan: “Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu...dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.
Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada
tanggal 17 Agustus 1945 dapat disebut sebagai negara yang berdasar ats hukum.
Rasionya, bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut: (1)
Asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) Asas
legalitas, (3) Asas pembagian kekuasaan, (4) Asas peradilan yang bebas dan
tidak memihak, dan (5) Asas kedaulatan rakyat.[1]
Sebagaimana diketahui bahwa Polri merupakan pelindung
Hak Asasi Manusia.
C. REALITAS TUGAS POLRI DI LAPANGAN
Tugas Polri dirasakan semakin kompleks dan risiko yang
bertambah rawan. Untuk itu, dipandang semakin mendesak pentingnya merevisi
Undang-Undang Polri No 2 Tahun 2002 agar pasal tentang keselamatan anggota
Polri bisa diakomodir. Pada periode 2011-2016, ada sebanyak 146 polisi tewas
dan 203 luka-luka akibat ulah para kriminal. Hal ini menunjukkan bahwa tugas
seorang anggota Polri semakin rawan.
Indonesia Police Watch pun menilai sudah waktunya
Undang-undang Polri No 2 Tahun 2002 direvisi agar pasal tentang keselamatan
anggota Polri bisa diakomodir. Ketua Presidium IPW, Neta S Pane menilai keberadaan polisi sebagai pelindung, pengayom
dan pelayan masyarakat harus disikapi dengan adil agar keselamatan anggota
Polri saat bertugas di lapangan tetap terjaga. Menurut Neta S Pane:
“IPW
berharap, ke depan perlindungan terhadap Polisi, terutama yang bertugas di
lapangan, khususnya lagi yang bertugas di daerah konflik sangat diperlukan.
Tugas polisi sangat berbeda dengan tugas aparatur yang lain. Melihat
perkembangan yang ada sekarang ini, dimana makin banyak polisi tewas dibunuh
pelaku kriminal, sudah saatnya UU Polri no 2 thn 2002 direvisi untuk dilengkapi
agar Jaminan Perlindungan bagi Anggota Polri terakomodir."[2]
Menurutnya ada empat poin yang harus dilengkapi
berkaitan dengan perlindungan anggota Polri. Pertama, perlunya asuransi dan jaminan perlindungan keselamatan
untuk anggota Polri. Kedua, anggota
Polri yang bertugas di lapangan dan di daerah konflik dan bisa bertugas 24 jam
penuh, perlu diberikan uang lembur dan ekstra makanan kesehatan agar
kesehatannya terjaga.
Ketiga,
perlunya pelatihan intensif dan dilengkapi peralatan yang memadai agar bisa
melindungi dirinya sendiri maupun orang lain, saat bertugas di lapangan. Keempat, sudah saatnya dibuat aturan
tentang sanksi yang berat bagi para kriminal yang membunuh anggota Polri.
Misalnya, mengacu ke konsep Police
Protection Act milik AS yang menetapkan 30 tahun penjara hingga hukuman
mati bagi pembunuh seorang anggota polisi.[3]
D. INDONESIA PERLU KONSEP “POLICE PROECTION ACT”
Mengacu ke konsep Police
Protection Act milik AS yang menetapkan 30 tahun penjara hingga hukuman
mati bagi pembunuh seorang anggota polisi. Sanksi ini sangat diperlukan
mengingat polisi adalah pelindung, pengayom dan pengayom masyarakat. Melihat
perkembangan yang ada sekarang ini, dimana makin banyak polisi tewas dibunuh
pelaku kriminal, sudah saatnya UU No. 2 Tahun 2002 direvisi untuk dilengkapi
agar Jaminan Perlindungan bagi Anggota Polri terakomodir.
Penulis telah menghimpun dari berbagai sumber, bahwa sebanyak
146 polisi tewas dan 203 lainnya luka-luka akibat ulah kriminal selama 2011
hingga 2016. Terakhir, tiga polisi tewas dalam serangan bom bunuh diri di
Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam. Kasus di Kampung Melayu itu
adalah yang paling menonjol selama 2017.
Pada 2011 ada 20 polisi tewas. Selanjutnya, 2012 tewas
29 dan luka 14. Pada 2013 ada 27 polisi yang tewas dan luka 72. Berikutnya,
2014 jumlah tewas sebanyak 41 polisi dan luka 42. Kemudian, 2015 yang tewas
mencapai 18 orang, dengan luka 75 orang. Tahun lalu, ada 11 polisi yang tewas.
Selama kurun waktu itu, tidak ada yang tewas karena bom.
Data terbaru, menurut pengamatan Penulis yakni anggota
Polri yang meninggal dunia karena ditembaki oleh Kelompok Kriminal Bersenjata
(KKB) di Papua dalam rangka mengamankan Pilkada Serentak 2018. Menyikapi makin
rawannya tugas seorang polisi, sekali lagi Penulis tegaskan bahwa sudah
waktunya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri direvisi, terutama terkait Pasal
Keselamatan Anggota Polri. Menurut Penulis, keberadaan polisi sebagai
pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat harus disikapi dengan adil agar
keselamatan anggota Polri saat bertugas di lapangan tetap terjaga.
Perlindungan terhadap Anggota Polri kedepan, terutama
yang bertugas di lapangan, khususnya lagi yang bertugas di daerah konflik
sangat diperlukan. Mengingat tugas polisi sangat berbeda dengan tugas aparatur
yang lain. Polisi yang bertugas di lapangan selalu berhadapan dengan ancaman
keamanan dirinya sendiri, sehingga resiko keselamatannya sangat rentan.
E. PENUTUP
Sebagai penutup tulisan ini, Penulis mengutip pendapat Frederick Julius Stahl tentang konsep rechtstaat (yang disepadankan dengan
Indonesia. Menurut Stahl,
unsur-unsur negara hukum (rechtstaat)
adalah:
1. Perlindungan hak
asasi manusia;
2. Pemisahan atau
pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
3. Pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
4. Adanya peradilan
Administrasi.[4]
Pada saat yang bersamaan,
muncul pula konsep negara hukum (rule of
law) dari A.V Dicey yang lahir
dalam naungan sistem hukum Anglo Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut:
1. Supremasi aturan
hukum (supremacy of law), yaitu tidak
adanya kekuasaan sewenang-wenang (absency
of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau
melanggar hukum;
2. Kedudukan yang sama
dalam menghadapi hukum (equality before
the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat;
dan
3. Terjaminnya hak-hak
manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.[5]
Mengacu kepada pandangan Stahl dan Dicey diatas,
menurut Ali Taher Parasong, bahwa
perlindungan hak asasi manusia merupakan unsur yang penting dalam negara hukum.
Jika dalam suatu negara hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan
sengaja dan penderitaan yang ditimbulakn tidak dapat diselesaikan secara adil,
maka negara tersebut belum sepenuhnya menjadi negara hukum.[6]
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan Indonesia
sebagai negara hukum, maka negara harus menjamin dan melindungi hak-hak asasi
manusia, termasuk anggota Polri yang sedang melaksanakan tugas. Salah satu cara
menjamin dan melindungi HAM anggota Polri yang sedang menjalankan tugas ialah
dengan melakukan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dengan
menambah BAB atau ataupun Pasal-Pasal mengenai perlindungan hukum terhadap
anggota Polri yang menjalankan tugas, terlebih lagi yang bertugas di daerah-daerah
rawan konflik agar keselamatan anggota Polri saat bertugas di lapangan tetap
terjaga. Jika perlu, menurut Penulis, Indonesia harus mencontoh Police Protection Act-nya Amerika
Serikat.
WALLAHUA’LAM
Jakarta, 1 Juli 2018
Penulis
ROLI PEBRIANTO, S.H
[1]
Lili Rasjidi dan B. Arief Shidarta, Filsafat
Hukum; Mazhab dan Refleksinya, (Bandung: Remadja Karya, 1989), hlm. 185.
[2] Siaran Pers Neta S Pane
[3]
http://mediaindonesia.com/read/detail/106322-ipw-dorong-revisi-uu-polri,
diakses pada Sabtu 30 Mei 2018
[4]
Syaiful Bakhri, Ilmu Negara Dalam Konteks
Negara Hukum Modern, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hlm. 133.
[5]
Ibid, hlm. 134.
[6]
Ali Taher Parasong, Mencegah Runtuhnya
Negara Hukum, (Jakarta: Grafindo Books Media, 2014), hlm. 198.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar