Selasa, 10 Juli 2018

PERLINDUNGAN HAM TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MENJALANKAN TUGAS (Kajian Terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)

PERLINDUNGAN HAM TERHADAP ANGGOTA POLRI YANG MENJALANKAN TUGAS
(Kajian Terhadap Revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia)

OLEH:
ROLI PEBRIANTO, S.H

A.      PENGANTAR
Sebelum lebih jauh membahas judul diatas, Penulis mengucapkan selamat HUT Polri ke 72 (1 Juli 2018). Diusia yang hampir 1 (satu) abad ini, tuntutan terhadap kinerja Polri agar menjadi lebih baik terus berdatangan dari berbagai pihak, terutama tuntutan mengenai kinerja Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Selain itu, sebagai pemelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (selanjutnya disingkat Kamtibmas), Polri juga dituntut untuk menciptakan kondisi serta memelihara rasa aman yang menjadi kebutuhan hakiki dalam masyarakat.
Polri sebagai  penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, dengan tidak mengeyampingkan faktor–faktor yang juga berpengaruh pada penegakan hukum sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto. Faktor-faktor tersebut ialah: peraturan hukum itu sendiri, masyarakat tempat hukum tersebut ditegakkan, keteladanan para aparat penegak hukumnya, sarana dan prasarana penegakan hukum.
Apa yang disampaikan oleh Soerjono Soekanto jika dikorelasikan dengan kondisi saat ini dan tentang reformasi  yang sedang berlangsung di tubuh Polri, maka sebenarnya masyarakat belum merasakan adanya perubahan yang signifikan, sikap dan perilaku anggota kepolisian masih belum banyak berubah. “Menembak salah, tidak menembak salah, ditembakpun salah,” demikian kira-kira situasi yang yang dihadapi polisi kita.  Pemberitaan tentang polisi yang melakukan penembakan sering menjadi perhatian publik, terlebih terhadap polisi yang salah tembak. Tidak sedikit polisi yang kemudian diperiksa, ditindak, dan diajukan ke sidang pengadilan atau kode etik profesi.
Beberapa catatan dari lembaga Ombudsman Republik Indonesia tahun 2015 menunjukkan bahwa Polri masih menjadi lembaga yang sering melakukan mala-administrasi sehingga menjadikan institusi ini mendominasi pengaduan dari masyarakat.  Pada tahun 2015 saja, lembaga ini menerima pengaduan dari masyarakat terkait dengan pelanggaran mala-adminsitrasi oleh kepolisian sebanyak 6.859 pengaduan. Data yang diterbitkan oleh Ombudsman ini diperkuat lagi dengan data yang diterbitkan oleh Divisi Propam Mabes Polri. Terdapat bukti jika anggota Polri melakukan pelanggaran kode etik, pelanggaran disiplin  dan pelanggaran pidana. Sebagai contoh pada tahun 2015 terdapat pelanggaran kode etik sebanyak 1.041 kasus, pelanggaran disiplin 8.147 kasus dan pelanggaran pidana 394 kasus.
Namun disisi lain, Polri sebagai lembaga terdepan dalam melakukan penegakan hukum, juga perlu mendapatkan perlindungan hukum dan dijamin hak-hak asasinya oleh Negara terutama bagi anggota Polri yang bertugas dilapangan terlebih lagi di daerah-daerah rawan konflik.

B.       HAK ASASI MANUSIA DAN POLRI
Isu tentang HAM di Indonesia, sebenarnya bukan “barang” yang baru, karena sesungguhnya masalah HAM sudah disinggung oleh para founding fathers Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni didalam Alinea 1 Pembukaan UUD 1945, yang isinya menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu...dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”. Dengan adanya penghargaan terhadap HAM, bangsa Indonesia yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 dapat disebut sebagai negara yang berdasar ats hukum. Rasionya, bahwa dalam negara hukum harus ada elemen-elemen sebagai berikut: (1) Asas pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, (2) Asas legalitas, (3) Asas pembagian kekuasaan, (4) Asas peradilan yang bebas dan tidak memihak, dan (5) Asas kedaulatan rakyat.[1]
Sebagaimana diketahui bahwa Polri merupakan pelindung Hak Asasi Manusia.
C.      REALITAS TUGAS POLRI DI LAPANGAN
Tugas Polri dirasakan semakin kompleks dan risiko yang bertambah rawan. Untuk itu, dipandang semakin mendesak pentingnya merevisi Undang-Undang Polri No 2 Tahun 2002 agar pasal tentang keselamatan anggota Polri bisa diakomodir. Pada periode 2011-2016, ada sebanyak 146 polisi tewas dan 203 luka-luka akibat ulah para kriminal. Hal ini menunjukkan bahwa tugas seorang anggota Polri  semakin rawan.
Indonesia Police Watch pun menilai sudah waktunya Undang-undang Polri No 2 Tahun 2002 direvisi agar pasal tentang keselamatan anggota Polri bisa diakomodir. Ketua Presidium IPW, Neta S Pane menilai keberadaan polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat harus disikapi dengan adil agar keselamatan anggota Polri saat bertugas di lapangan tetap terjaga. Menurut Neta S Pane:
“IPW berharap, ke depan perlindungan terhadap Polisi, terutama yang bertugas di lapangan, khususnya lagi yang bertugas di daerah konflik sangat diperlukan. Tugas polisi sangat berbeda dengan tugas aparatur yang lain. Melihat perkembangan yang ada sekarang ini, dimana makin banyak polisi tewas dibunuh pelaku kriminal, sudah saatnya UU Polri no 2 thn 2002 direvisi untuk dilengkapi agar Jaminan Perlindungan bagi Anggota Polri terakomodir."[2]

Menurutnya ada empat poin yang harus dilengkapi berkaitan dengan perlindungan anggota Polri. Pertama, perlunya asuransi dan jaminan perlindungan keselamatan untuk anggota Polri. Kedua, anggota Polri yang bertugas di lapangan dan di daerah konflik dan bisa bertugas 24 jam penuh, perlu diberikan uang lembur dan ekstra makanan kesehatan agar kesehatannya terjaga.
Ketiga, perlunya pelatihan intensif dan dilengkapi peralatan yang memadai agar bisa melindungi dirinya sendiri maupun orang lain, saat bertugas di lapangan. Keempat, sudah saatnya dibuat aturan tentang sanksi yang berat bagi para kriminal yang membunuh anggota Polri. Misalnya, mengacu ke konsep Police Protection Act milik AS yang menetapkan 30 tahun penjara hingga hukuman mati bagi pembunuh seorang anggota polisi.[3]

D.     INDONESIA PERLU KONSEP “POLICE PROECTION ACT”
Mengacu ke konsep Police Protection Act milik AS yang menetapkan 30 tahun penjara hingga hukuman mati bagi pembunuh seorang anggota polisi. Sanksi ini sangat diperlukan mengingat polisi adalah pelindung, pengayom dan pengayom masyarakat. Melihat perkembangan yang ada sekarang ini, dimana makin banyak polisi tewas dibunuh pelaku kriminal, sudah saatnya UU No. 2 Tahun 2002 direvisi untuk dilengkapi agar Jaminan Perlindungan bagi Anggota Polri terakomodir.
Penulis telah menghimpun dari berbagai sumber, bahwa sebanyak 146 polisi tewas dan 203 lainnya luka-luka akibat ulah kriminal selama 2011 hingga 2016. Terakhir, tiga polisi tewas dalam serangan bom bunuh diri di Kampung Melayu, Jakarta Timur, Rabu (24/5) malam. Kasus di Kampung Melayu itu adalah yang paling menonjol selama 2017.
Pada 2011 ada 20 polisi tewas. Selanjutnya, 2012 tewas 29 dan luka 14. Pada 2013 ada 27 polisi yang tewas dan luka 72. Berikutnya, 2014 jumlah tewas sebanyak 41 polisi dan luka 42. Kemudian, 2015 yang tewas mencapai 18 orang, dengan luka 75 orang. Tahun lalu, ada 11 polisi yang tewas. Selama kurun waktu itu, tidak ada yang tewas karena bom.
Data terbaru, menurut pengamatan Penulis yakni anggota Polri yang meninggal dunia karena ditembaki oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua dalam rangka mengamankan Pilkada Serentak 2018. Menyikapi makin rawannya tugas seorang polisi, sekali lagi Penulis tegaskan bahwa sudah waktunya UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri direvisi, terutama terkait Pasal Keselamatan Anggota Polri. Menurut Penulis, keberadaan polisi sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat harus disikapi dengan adil agar keselamatan anggota Polri saat bertugas di lapangan tetap terjaga.
Perlindungan terhadap Anggota Polri kedepan, terutama yang bertugas di lapangan, khususnya lagi yang bertugas di daerah konflik sangat diperlukan. Mengingat tugas polisi sangat berbeda dengan tugas aparatur yang lain. Polisi yang bertugas di lapangan selalu berhadapan dengan ancaman keamanan dirinya sendiri, sehingga resiko keselamatannya sangat rentan.

E.       PENUTUP
Sebagai penutup tulisan ini, Penulis mengutip pendapat Frederick Julius Stahl tentang konsep rechtstaat (yang disepadankan dengan Indonesia. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum (rechtstaat) adalah:
1.      Perlindungan hak asasi manusia;
2.      Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
3.      Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan
4.      Adanya peradilan Administrasi.[4]

Pada saat yang bersamaan, muncul pula konsep negara hukum (rule of law) dari A.V Dicey yang lahir dalam naungan sistem hukum Anglo Saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut:
1.      Supremasi aturan hukum (supremacy of law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absency of arbitrary power) dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
2.      Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat; dan
3.      Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang serta keputusan-keputusan pengadilan.[5]

Mengacu kepada pandangan Stahl dan Dicey diatas, menurut Ali Taher Parasong, bahwa perlindungan hak asasi manusia merupakan unsur yang penting dalam negara hukum. Jika dalam suatu negara hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulakn tidak dapat diselesaikan secara adil, maka negara tersebut belum sepenuhnya menjadi negara hukum.[6]
Dengan demikian, jika dikaitkan dengan Indonesia sebagai negara hukum, maka negara harus menjamin dan melindungi hak-hak asasi manusia, termasuk anggota Polri yang sedang melaksanakan tugas. Salah satu cara menjamin dan melindungi HAM anggota Polri yang sedang menjalankan tugas ialah dengan melakukan revisi terhadap UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri dengan menambah BAB atau ataupun Pasal-Pasal mengenai perlindungan hukum terhadap anggota Polri yang menjalankan tugas, terlebih lagi yang bertugas di daerah-daerah rawan konflik agar keselamatan anggota Polri saat bertugas di lapangan tetap terjaga. Jika perlu, menurut Penulis, Indonesia harus mencontoh Police Protection Act-nya Amerika Serikat.

WALLAHUA’LAM

                                                                                    Jakarta, 1 Juli 2018
                                                                                    Penulis



                                                                                        ROLI PEBRIANTO, S.H



[1] Lili Rasjidi dan B. Arief Shidarta, Filsafat Hukum; Mazhab dan Refleksinya, (Bandung: Remadja Karya, 1989), hlm. 185.
[2] Siaran Pers Neta S Pane Jumat, 26 Mei 2017
[4] Syaiful Bakhri, Ilmu Negara Dalam Konteks Negara Hukum Modern, (Yogyakarta: Total Media, 2010), hlm. 133.
[5] Ibid, hlm. 134.
[6] Ali Taher Parasong, Mencegah Runtuhnya Negara Hukum, (Jakarta: Grafindo Books Media, 2014), hlm. 198.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...