Minggu, 15 April 2018

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION) DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH POLRI


ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION) DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI)
Oleh:

Roli Pebrianto, SH )*
)* Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Jakarta, e-mail: rolipebrianto11@gmail.com


Konsep Alternative Dispute Resolution
Alternatif penyelesaian perkara, umumnya disebut dengan Alternative Dispute Resolution atau alternatif penyelesaian sengketa, sejauh ini banyak dikenal pada ranah hukum privat atau hukum perdata. Apabila dikaji lebih lanjut, alternatif penyelesaian sengketa ini tidak hanya dapat dilakukan di ranah hukum perdata, melainkan juga di ranah hukum pidana, walaupun alternatif penyelesaian sengketa dalam hukum pidana dapat dilakukan dengan beberapa kondisi yang menyertainya.

Ide dasar dari adanya alternatif penyelesaian perkara dalam perkara pidana adalah dikaitkan dengan sifat hukum pidana itu sendiri. Hukum pidana bersifat Ultimum Remedium, Van Bemmelen mengajukan pendapat, bahwa hukum pidana itu merupakan Ultimum Remedium (obat terakhir). Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk menegaskan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan. Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu Ultimum Remedium. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi selalu harus mempertimbangkan untung ruginya ancaman pidana itu, dan harus menjaga agar jangan sampai obat yang diberikan lebih jahat daripada penyakitnya.[1]
Tujuan Alternative Dispute Resolution adalah terwujudnya “Win-win solution” sebagai bentuk penyelesaian perkara, sementara dalam hukum positif di Indonesia masih menganut sifat “Win-lose solution”. Dalam artikel yang dibuat oleh Prof. Dr. Adrianus Meliala mengatakan bahwa “masyarakat (khususnya tingkat lokal) sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau melanggar pidana”,[2]  mengandung arti bahwa upaya penerapan  Alternative Dispute Resolution  sudah mendapatkan pembenaran oleh para pakar pidana.
Oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan Kepolisian dilakukan upaya koordinasi pemberlakuan ADR ini sebagai altenatif dalam penyelesaian sengketa, maka Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat (Polmas) dengan menerapkan ADR oleh petugas Polmas. Sedangkan pendapat pakar hukum lainnya yaitu menurut H. Priyatna Abdurasyid mengatakan bahwa ; “Sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternative atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase (negosiasi dan mediasi) agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak. Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga yang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa tersebut”.[3]

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Criminal Justice System atau sistem peradilan pidana diartikan sebagai pemakaian pendekatan administrasi peradilan pidana. Sistem peradilan pidana sebagai suatu hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktek administrasi, dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengerian sistem ini mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional dan dengan cara efisien, untuk memberikan hasil tertentu dengan segala keterbatasannya.[4]
Sistem peradilan pidana diartikan secara sempit sebagai sistem pengadilan yang menyelenggarakan keadilan atas nama negara atau suatu mekanisme untuk menyelesaikan suatu perkara/sengketa. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa, sistem peradilan pidana pada hakekatnya merupakan sistem penegakan hukum pidana yang juga identik dengan sistem kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana.[5]
Definisi sistem peradilan pidana menurut Prof. Dr. H.R. Abdussalam, SIK., SH., MH, menjelaskan bahwa : “Sistem Peradilan Pidana merupakan proses penegakkan hukum yang saling berkaitan dan ketergantungan antara sub system polisi selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum, hakim, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil untuk membuktikan terjadi tindak pidana kejahatan dan siapa tersangka/terdakwanya.“[6]
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah penulis uraikan diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa mekanisme penyelesaian sengketa dalam Sistem Peradilan Pidana harus melibatkan polisi, jaksa, dan hakim untuk memutuskan perkara (pengadilan). Pelaksanaannya bekerja secara linear sejak penanganan yang dimulai oleh Polisi hingga adanya putusan hakim, kemudian pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan.
Dalam tulisan ini, penulis akan membatasi pembahasan dalam hal mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan polisi, yakni mengenai peran POLRI dalam mewujudkan alternatif penyelesaian sengketa.
Peran POLRI dalam Mewujudkan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sebagaimana dengan judul diatas, penulis akan lebih fokus untuk membahas mengenai alternatif penyelesaian sengketa sebagai upaya dalam penegakan hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
Polisi sebagai aparat penegak hukum terdepan dengan segala aktivitas yang terjadi dalam masyarakat, khususnya mengenai masalah kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.[7] Tugas dan tujuan kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang ini adalah Undang-Undang administratif, yang mengatur tentang Kepolisian.
Sebagai abdi negara, tugas pokok kepolisian Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 diantaranya yaitu mampu memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan, pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.
Dalam kaitannya dengan tugas pokok Kepolisian tersebut, terkandung makna bahwa terwujudnya keamanan dan ketertiban harus tetap terpelihara. Peran Polri dalam mewujudkan situasi tersebut diimbangi dengan pelaksanaan tugas penegakan hukum, sekaligus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kaitannya dengan penegakan hukum, Polri dituntut harus melaksanakan tugasnya secara profesional dan proporsional, dimana Polri harus mampu melihat dan mempertimbangkan tidak hanya aspek yuridis tetapi juga aspek sosiologis. Bertindak profesional berarti pelaksanaan tugas harus dilakukan sesuai aturan, ketentuan dan prosedur. Sedangkan bertindak proporsional, berarti Polri harus mampu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum melakukan tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas, jangan sampai tindakan yang dilakukan walaupun sudah sesuai dengan prosedur, justru menimbulkan permasalahan yang lebih besar bahkan menimbulkan stigma negatif kepada Polri.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa upaya penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) tidak hanya dikenal dalam kaedah-kaedah hukum perdata, tetapi juga mulai dikenal dan berkembang dalam kaedah hukum pidana. Salah satu jenis ADR yang mulai dikembangkan dalam hukum pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal dengan istilah “mediasi penal” (penal mediation).
Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain: mediation in criminal cases atau mediation in penal matters yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut Der Auergerichtliche Tataus-gleich dan dalam istilah Perancis disebut de mediation penale. Karena mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah Victim-Offender Mediation (VOM), Tter Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).
Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi polisi atau melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat.
Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai, namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.
Namun demikian terdapat pula beberapa Dasar Hukum Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia, yaitu:
a.       Surat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Surat KAPOLRI) No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember 2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR), meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional. Surat ini menjadi rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara  Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205, 302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482 KUHP. Surat ini efektif berlaku jika suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan;
b.       Delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa telah membayar denda maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah ”afkoop” atau ”pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan;
c.        Tindak pidana yang dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (sebagaimana dicabut dengan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Undang-Undang Nomor: 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor: 50 Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM;[8]


Demikian tulisan singkat ini, semoga dapat menambah khasanah keilmuan kita. Penulis menyadari tulisan ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun sangat Penulis harapkan guna peningkatan tulisan-tulisan selanjutnya. Terima Kasih.



Jakarta, 16 April 2018
                                                                                                        Penulis


ROLI PEBRIANTO,SH






DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana: Edisi Revisi 2008, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
H. Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional (BANI).
Moh. Mahfud MD, 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Syaiful Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media.
HR Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung.

Internet :
Adiranus E. Meliala, Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia, dikutip dari http://www.adrianusmeliala.com, diakses pada Jum’at 27 November 2015.

Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia




[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana: Edisi Revisi 2008, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 10.
[2]Adiranus E. Meliala, Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia, dikutip dari http://www.adrianusmeliala.com, diakses pada Jum’at 27 November 2015.
[3] H. Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional (BANI), 2002, hlm. 17.
[4] Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 83-84.
[5] Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Total Media, 2010, hlm. 109.
[6] HR Abdussalam dan DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung, 2007, hlm. 3.
[7] Syaiful Bakhri, Op. Cit, hlm. 121.
[8] Lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal 89:4; Pasal 96 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

1 komentar:

  1. Mantap Pak, menambahkan wawasan keilmuan saya terhadap penegakan hukum pidana oleh Polri

    BalasHapus

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...