ALIRAN ALIRAN DALAM FILSAFAT HUKUM
PENDAHULUAN
Filsafat hukum
adalah cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya,
mengapa dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab
pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas
soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah
keabsahan berbagai macam lembaga hukum.[1]
Dan pengertian tersebut juga dapat ditinjau dari segi :[2]
1. Segi semantik: perkataan filsafat berasal
dari bahasa Arab ‘falsafah’,yang berasal dari bahasa Yunani, ‘philosophia’,
yang berarti ‘philos’ cinta, suka (loving), dan ‘sophia’ pengetahuan,
hikmah(wisdom). Jadi’philosophia’ berarti cinta kepada kebijaksanaan atau cinta
kepadakebenaran. Maksudnya, setiap orang yang berfilsafat akan menjadi
bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut ‘philosopher’, dalam
bahasa Arabnya ‘failasuf”. Pecinta pengetahuan ialah orang yang menjadikan
pengetahuan sebagai tujuanhidupnya, atau perkataan lain, mengabdikan dirinya
kepada pengetahuan.
2. Segi praktis : dilihat dari
pengertian praktisnya, filsafat bererti ‘alam pikiran’ atau ‘alam berpikir’.
Berfilsafat artinya berpikir. Namun tidak semua berpikir bererti berfilsafat.
Berfilsafat adalah berpikir secara mendalam dan sungguh-sungguh. Sebuah
semboyan mengatakan bahwa “setiap manusia adalah filsuf”. Semboyan ini benar
juga, sebab semua manusia berpikir. Akan tetapi secara umum semboyan itu tidak
benar, sebab tidak semua manusia yang berpikir adalah filsuf.
Supaya hukum yang
dibangun dan dibentuk memiliki landasan yang kokoh untuk jangka panjang dan
tidak akan dipertentangkan dengan pemahaman filsafat barat dan timur,
pengetahuan tentang filsafat hukum barat yang masih mendominasi pengetahuan
filsafat hukum Indonesia seharusnya diselaraskan dengan filsafat Pancasila
sebagai Dasar Negara RI.
Kajian tentang
filsafat hukum merupakan studi yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam
ilmu hukum. Hal ini karena filsafat hukum merupakan landasan bagi hukum positif
yang berlaku di suatu negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM. Landasan
filsafat negara sangat menentukan bagaimana pola pengaturan HAM di negara yang
bersangkutan, apakah negara itu berpaham liberalis, sosialis maupun
Pancasialis. Pancasila sebagai philosophische gronslag bangsa Indonesia
merupakan dasar dari filsafat hukum Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar
dari hukum dan praktek hukum di Indonesia. perenungan dan perumusan nilai-nilai
filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai, misalnya penyerasian
antara ketertiban dengan ketentraman, antara kebendaan dengan keakhlakan, dan
antara kelanggengan dengan konservatisme dengan pembaharuan.
Para ahli hukum
memberikan pengertian filsafat hukum dengan rumusan yang berbeda, yaitu sebagai
berikut :[3]
1. E. Utrecht,
filsafat hukum memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti, apakah hukum
itu sebenarnya ?, apakah sebabnya kita menaati hukum ?, apakah keadilan yang
menjadi ukuran untuk baik buruknya hukum itu ?. inilah pertanyaan-pertanyaaan
yang juga dijawab oleh ilmu hukum. Akan tetapi, bagi orang banyak jawaban ilmu
hukum tidak memuaskan. Ilmu hukum sebagai ilmu empiris hanya melihat hukum
sebagai gejala saja, yaitu menerima hukum sebagai gegebenheit belaka.
Filsafat hukum hendak melihat hukum sebagai kaidah dalam arti kata ethisch waardeoordeel.
2. Mr. Soetika,
filsafat hukum adalah mencari hakikat dari hukum, dia ingin mengetahui apa yang
berada dibelakang hukum, mencari apa yang tersembunyi didalam hukum, dia
menyelidiki kaidah-kaidah hukum sebagai nilai, dia memberi penjelasan mengenai
nilai, postulat (dasar-dasar) hukum sampai pada dasar-dasarnya, ia berusaha
untuk mencapai akar-akar dari hukum.[4]
3. Satjipto Rahardjo,
filsafat hukum mempelajari pertanyaan-pertanyaan bersifat dasar dari hukum.
Pertanyaan tentang hakikat hukum, tentang dasar bagi kekuasaan mengikat dari
hukum, merupakan contoh-contoh pertanyaan yang bersifat mendasar itu. Atas
dasar yang demikian itu, filsafat hukum bisa menganggap bahan hukum, tetapi
masing-masing mengambil sudut pemahaman yang berbeda sama sekali. Ilmu hukum
positif hanya berurusan dengan suatu tata hukum tertentu dan mempertanyakan
konsistensi logis asas, peraturan, bidang, serta sistem hukumnya sendiri.[5]
Pada dasarnya kita dapat merumuskan beberapa hal dari
pembahasan-pembahasan yang telah didefinisikan oleh para pakar yaitu :
a.
Filsafat adalah ‘ilmu istimewa’
yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat dijawab oleh ilmu
pengetahuan biasa kerana masalah-masalah tersebut di luar jangkauan ilmu
pengetahuan biasa.
b.
Filsafat adalah hasil daya upaya
manusia dengan akal budinya untuk memahami atau mendalami secara radikal dan
integral serta sistematis hakikat sarwa yang ada, yaitu:
1.
hakikat Tuhan,
2.
hakikat alam semesta, dan
3.
hakikat manusia,
Dapat juga dikatakan bahwa filsafat hukum adalah
cabang filsafat yang membicarakan apa hakekat hukum itu, apa tujuannya, mengapa
dia ada dan mengapa orang harus tunduk kepada hukum. Disamping menjawab
pertanyaan masalah-masalah umum abstrak tersebut, filsafat hukum juga membahas
soal-soal kongkret mengenai hubungan antara hukum dan moral (etika) dan masalah
keabsahan berbagai macam lembaga hukum. Kajian tentang filsafat hukum merupakan
studi yang sifatnya mendasar dan komprehensif dalam ilmu hukum. Hal ini karena
filsafat hukum merupakan landasan bagi hukum positif yang berlaku di suatu
negara, demikian halnya dalam pengaturan HAM.[6]
Dapat kita tinjau bahwasannya yang menjadi perbedaan
besar dari filsafat hukum Pancasila adalah bahwa filsafat hukum barat memiliki
karakteristik kepastian hukum melalui keunggulan proses litigasi untuk mencapai
keadilan. Sekalipun diakui telah ada perubahan ke arah nonlitigasi, dapat dikatakan
instrumen hukum itu merupakan alternatif saja, bukan merupakan sarana hokum
utama untuk penyelesaian sengketa dalam mencapai tujuan, bukan hanya
mempertahankan ketertiban, melainkan menciptakan perdamaian dalam kehidupan
masyarakat. Keberhasilan peranan hukum dalam mencapai kepastian hukum dan
keadilan dalam lingkup filsafat hukum barat adalah ada pihak yang memenangkan
kontes di muka pengadilan di satu sisi, dan di sisi lain ada pihak yang kalah
dan terkena imbas serta penderitaan. Dampak negatif dari karakter berlitigasi
model barat adalah semakin sulit dan terbebaninya kaum miskin untuk turut
berkontes di muka pengadilan sekalipun telah tersedia bantuan hukum (legal aid)
baginya.[7]
Tak lepas dari fungsi filsafat itu sendiri yaitu
mnumbuhkan kekreatifan, menetapkan nilai, menetapkan tujuan, menentukan arah
dan menuntun pada jalan baru. Filsafat hendaknya mengilhamkan keyakinan kepada
kita untuk menompang dunia baru, mencetak manusia-manusia yang menjadikan
penggolongan-penggolongan berdasarkan ‘nation’, ras, dan keyakinan keagamaan
mengabdi kepada cita mulia kemanusiaan, tanpa mengindahkan norma/nilai-nilai
yng berlaku dan melekat dimasyarakat itu sendiri.[8]
Postingan ini (yang berjudul aliran-aliran dalam Filsafat Hukum) merupakan tugas Penulis pada saat menempuh mata kuliah Filsafat Hukum Semester
V Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jakarta. Berikut akan penulis uraikan aliran-aliran/madzhab-madzhab dalam
Filsafat Hukum :
A.
Aliran-Aliran Dalam Filsafat Hukum
Tumbuhnya berbagai aliran dalam filsafat hukum menunjukkan
pergulatan pemikiran yang tidak ada henti-hentinya dalam lapangan ilmu hukum.[9] Pemikiran
hukum tidak bisa dilepaskan dari lingkungan zamannya, ia sering dilihat sebagai
suatu jawaaban yang diberikan terhadap permasalahan hukum atau menggugat suatu
pikiran hukum yang dominan pada suatu waktu. Oleh karena itu, sekalipun ia
berkeinginan untuk mengutarakan suatu pikiran secara universal, tetapi alangkah
baiknya apabila teori itu mempunyai latar belakang pemikiran yang mempunyai
dasar teori hukum tertentu.[10]
Adapun aliran-aliran filsafat hukum yang akan dibahas dalam
tulisan ini ialah sebagai berikut :
1. Aliran Hukum Alam;
2. Positivisme Hukum;
3. Utilitarianisme;
4. Mazhab Sejarah;
5. Sociological Jurisprudence;
6. Realisme Hukum; dan
7. Freirechtslehre.
Tata urutan pembahasan tersebut tidak menunjukkan bahwa
suatu aliran yang dibicarakan lebih dulu selalu mendahului aliran yang
dibicarakan kemudian. Urutan diatas lebih didasarkan kepada sistematika pemikiran
dari masing-masing aliran, yang dalam suatu situasi sesuai dengan tata urutan
kronologis, namun disisi lain juga tidak lagi sesuai.[11]
B.
Aliran Hukum Alam
Apabila orang mengikuti sejarah hukum alam, maka ia sedang
mengikuti sejarah umat manusia yang berjuang untuk menemukan keadilan yang
mutlak didunia ini serta kegagalan-kegagalannya..[12]
aliran hukum alam telah berkembang sejak kurun waktu 2.500 tahun yang lalu dan
muncul dalam berbagai bentuk pemikiran.[13]
Secara sederhana, menurut sumbernya, aliran hukum alam
dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu (1) irasional, yang berpendapat bahwa
hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara
langsung, dan (2) rasional, yang berpendapat bahwa sumber dari hukum yang
universal dan abadi itu adalah rasio manusia.[14]
1.
Hukum Alam Irasional
Beberapa
pendukung hukum alam irasional yaitu sebagai berikut :
a. Thomas Aquinas (1225-1274), filsafatnya berkaitan dengan teologia. Ia
mengakui bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Menurutnya,
ada dua pengetahuan yang berjalan bersama-sama, yaitu (1) pengetahuan alamiah
(berpangkal pada akal) dan (2) pengetahuan iman (berpangkal pada wahyu Ilahi).[15]
Thomas Aquinas membagi hukum kedalam empat golongan, yaitu[16] :
(1) Lex Aeterna, merupakan rasio
Tuhan sendiri yang mengatur segala hal dan sumber dari segala hukum. Rasio ini tidak
dapat ditangkap oleh panca indera manusia. (2) Lex Divina, bagian dari rasio Tuhan yang ditangkap oleh manusia
berdasarkan waktu yng diterimanya. (3) Lex
Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu yang merupakan
penjelmaan dari Lex Aeterna didalam
rasio manusia. (4) Lex Positivis,
hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari hukum alam oleh manusia berhubung
dengan syarat khusus yang dipengaruhi oleh keadaaan dunia.
b. John Salisbury (1115-1180), melukiskan bahwa kehidupan bernegara itu seperti
kehidupan dalam sarang lebah, yang sangat memerlukan kerja sama dari semua
unsur; suatu pandangan yang bertitik tolak dari pendekatan organis.[17]
c. Dante Alighiery (1265-1321), ia menentang kekuasaan duniawi diberikan kepada gereja.
Baginya, keadilan baru dapat ditegakkan apabila pelaksanaan hukum diserahkan
kepada satu tangan saja yaitu pemerintahan yang absolut. Dasar hukum yang
dijadikan pegangan adalah hukum alam, yang mencerminkan hukum-hukum Tuhan.[18]
d. Piere Dubois (lahir 1255), sangat meyakini adanya hukum yang dapat berlaku
universal. Sama seperti Dante, ia menyatakan bahwa penguasa (raja) dapat
langsung menerima kekuasaan dari Tuhan, tanpa perlu melewati pemimpin gereja.
Bahkan, Dubois ingin agar kekuasaan duniawi gereja (Paus) dicabut dan
diserahkan sepenuhnya kepada raja.[19]
2.
Hukum Alam Rasional
Beberapa
pendukung hukum alam rasional, sebagai berikut :
1. Hugo de Groot/Grotius (1583-1645), menurutnya, sumber hukum adalah rasio manusia. Karena
karakteristik yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah kemampuan
akalnya. Hukum alam menurutnya adalah hukum yang muncul sesuai kodrat manusia.[20]
2. Samuel von Pufendorf (1632-1649) dan Christian
Thomasius (1655-1728). Pufendorf berpendapat bahwa hukum alam adalah aturan
yang berasal dari akal pikiran yang murni. Dalam hal iniunsur naluriah manusia
yang lebih berperan. Akibatnya ketika manusia mulai hidup bermasyarakat, timbul
pertentangan kepentingan satu dengan lainnya. Menurutnya, hukum alam yang lahir
dari faktor-faktor yang bersifat takdir dan berdasarkan sifat manusia yang
fitri, seperti naluri akan terdesak kebelakang. Disisi lain pikiran tentang
perundang-undangan akan maju kedepan. Sementara itu menurut Thomasius, manusia
hidup dengan bermacam-macam naluri yang bertentangan satu dengan yang lain.
Karena itu, diperlukan baginya aturan-aturan yang yang mengikat, agar ia
mendapat kepastian dalam tindakan-tindakannya, baik kedalam maupun keluar.
Dengan demikian, Thomasius sampai kepada pengertian tentang ukuran sebagaimana
Thomas Aquinas juga mengakuinya dalam hukum alamnya.[21]
3. Immanauel Kant (1724-1804). Filsafat Kant merupakan sintesis dari rasionalisme dan
empirisme. Kritisme adalah filsafat yang memulai perjalannya dengan terlebih
dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio. Kant menyelidiki
unsur-unsur mana yang dalam pemikiran manusia yang berasal dari rasio dan mana
yang berasal dari empiri.[22]
C.
Positivisme Hukum (Aliran Hukum Positif)
Aliran hukum positif menurut Hans Kelsen merupakan suatu
teori tentang hukum yang senyatanya dan tidak mempersoalkan tidak senyatanya
itu, yakni apakah hukum positif yang senyatanya itu adil atau tidak adil.[23]
Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat
lebih tegas bahwa hukum itu identik dengan undang-undang.[24]
Positivisme hukum dibedakan dalam 2 (dua) corak, yaitu :[25]
1. Aliran Hukum Positif Analitis (Analitical
Jurisprudence): John Austin (1790-1859)
Hukum adalah perintah dari penguasa negara, hakikatnya
terletak pada unsur “perintah” itu. Lebih jauh Austin menjelaskan, pihak
superior yang menentukan apa yang diperbolehkan. Kekuasaan dari superior itu
memaksa orang lain untuk taat.
Austin membedakan hukum dalam dua jenis, yaitu : (1) hukum
dari Tuhan untuk manusia (the divine law)
dan (2) hukum yang dibuat oleh manusia. Mengenai hukum yang dibuat oleh manusia
ini dibagi lagi menjadi dua jenis, yaitu : (1) hukum yang sebenarnya, meliputi
hukum yang disusun oleh manusia secara individu untuk melaksanakan hak-hak yang
diberikan kepadanya. Hukum yang sebenarnya memiliki empat unsur, yaitu (a)
perintah (command), (b) sanksi (sanction), (c) kewajiban (duty), dan (d) kedaulatan (sovereignty); dan (2) hukum yang tidak
sebenarnya, adalah hukum yang tidak dibuat oleh penguasa sehingga tidak
memenuhi persyaratan sebagai hukum.
2. Aliran Hukum Positif Murni (Reine
Rechtslehre): Hans Kelsen (1881-1973)
Menurut Kelsen, hukum harus dibersihkan dari anasir-anasir
yang non-yuridis, seperti unsur sosiologis, politis, historis, bahkan etis.
Baginya, hukum adalah suatu keharusan yang mengatur tingkah laku manusia
sebagai makhluk rasional. Dalam hal ini, yang dipersoalkan oleh hukum adalah
bukan “bagaimana hukum itu seharusnya”, tetapi “apa hukumnya”. Sebagai penganut
hukum aliran positif, hukum disinipun diartikannya identik dengan
perundang-undangan.
D.
Utilitarianisme
Utilitarianisme atau Utilisme adalah aliran yang meletakkan
kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum.[26]
Aliran ini dpelopori oleh Jeremy Bentham (1748-1783), John Stuar Mill
(1806-1873), dan Rudolf von Jhering (1800-1889). Para penganut aliran ini
memiliki prinsip bahwa manusia akam melakukan tindakan-tindakan untuk
mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.
Bentham mencoba menerapkannya dibidang hukum. Misalnya, undang-undang yang
banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar masyarakat akan dinilai
sebagai undang-undang yang baik.[27]
Ajaran Bentham dikenal sebagai utilitarianisme yang
individual, sedang rekannya Rudolf von Jhering mengembangkan ajaran yang
bersifat sosial. Teori von Jhering merupakan gabungan antara teori Bentham,
Stuar Mill, dan Positivisme hukum alam dari John Austin.[28]
Aliran ini sesungguhnya dapat pula dimasukkan kedalam Positivisme Hukum,
mengingat paham ini pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa tujuan hukum
adalah menciptakan ketertiban masyarakat, disamping untuk memberikan manfaat
yang sebesar-besarnya kepada jumlah yang terbanyak.[29]
E.
Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von
Savigny (Volk geist) hukum kebiasaan sumber hukum formal. Hukum tidak
dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. Pandangannya
bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak bangsa dantiap-tiap bangsa
memiliki ³volksgeist´ jiwa rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukumberasal
dari adat-istiadat dan kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang
undang.
Inti dari mazhab sejarah ialah pada prinsipnya merupakan mazhab yang ingin
melihat keterkaitan antara hukum dan masyarakat, dalam arti bahwa aliran ini
menolak hukum itu dibuat oleh penguasa atau pemerintah.[30] Selanjutnya von Savigni
berkata, Das Recht wird nicht gemacht,
est is und wird mindem Volke (Hukum tidak dibuat, tetapi tumbuh dan
berkembang bersama masyarakat).[31]
F.
Sociological Jurisprudence
Aliran ini dipelopori oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich,
Benyamin Cardoso, Kantorowich, dan Gurvitch. Inti pemikiran mazhab ini
menganggap bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang
hidup dialam masyarakat.[32]
Mazhab ini mempunyai ajaran mengenai pentingnya living law (hukum yang hidup dalam
masyarakat). Namun, mazhab ini lahir dari anti these positivisme hukum. Karena sociological jurisprudence menganut
paham bahwa hanya hukum yang mampu menghadapi ujian akal dalam hidup terus.[33]
G.
Realisme Hukum
Realisme hukum
berkembang dalam waktu yang bersamaan dengan sociological jurisprudence. Dalam
pandangan penganut realisme (para realis) hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum
realis hamper tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan social, keadaan
ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku,
emosi-emosi yang
umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah
sebabnya, sangat benar apa yang dikatakan oleh seorang realis yang terkemuka
(Llewellyn) bahwa hal yang pokok dalam hukum realis adalah gerakan dalam
pemikiran dan kerja tentang hukum.[34]
Dengan demikian, realisme berpendapat bahwa tidak ada hukum
yang mengatur suatu perkara sampai ada putusan hakim terhadap perkara itu. Apa
yang dianggap sebagai hukum dalam buku-buku, baru merupakan taksiran tentang
bagaimana hakim akan memutuskan.[35]
Sebenarnya realisme sebagai suatu gerakan dapat dibedakan
dalam dua kelompok, yaitu Realisme Amerika dan Realisme Skandinavia. Skala
gerakan Realisme Skandinavia lebih luas daripada Realisme Amerika karena pusat
perhatiannya bukanlah para fungsionaris hukum (khususnya hakim), tetapi justru
orang-orang yang berada dibawah hukum Realisme Skandinavia ini banyak
menggunakan dalil-dalil psikologi dalam menjelaskan pandangannya.[36]
Dari pandangan yang dikemukakan oleh Liwellyen diatas,
Oliver Wendell Holmes mengemukakan bahwa hukum adalah apa yang diramalkan akan
diputus dalam kenyataannya oleh pengadilan. Jadi, bagi Holmes hukum adalah
kelakuan faktual para hakim (patterns of
behavior) sebab pattern of behavior
hakim ini ditentukan oleh tiga faktor, yaitu :
1. Kaidah-kaidah hukum yang dikonkritkan oleh hakimdengan metode
interpretasi dan konstruksi;
2. Moral hidup pribadi hakim; dan
3. Kepentingan sosial.[37]
H.
Freirechtslehre
Freirechtslehre (ajaran hukum bebas) merupakan penentang
paling keras positivisme hukum. Dalam penetangan terhadap positiveme hukum itu,
ereirechtslehre sejalan dengan kaum realis di amerika. Hanya saja jika aliran
realisme menitikberatkan pada penganalisisan hukum sebagai kenyataan dalam
masyarakat, freirechtlehre tidak berhenti samapai di situ. [38]
Menurut Sudikno Mertokusumo, penemuan hukum bebas bukanlah
peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja, undang-undang
bukan merupakan peranan utama, tetapi sebagai alat bantu untuk memeproleh
pemecahan yang tepat menurut hukum, dan yang tidak perlu harus sama dengan
penyelesaian undang-undang.[39]
Aliran hukum bebas berpendapat bahwa hakim mempuyai tugas
menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas
tugasnya bukanlah undang-undang, tetapi
menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga
peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah
diciptakan oleh hakim.[40]
PENUTUP
Kesimpulan
Adapun berbagai teori atau
aliran-aliran dalam filsafat hukum adalah
sebagai berikut:
- Aliran Hukum Alam
Aliran hukum alam adalah hukum
yang berlaku universal dan abadi yang bersumber dari Tuhan, filsafat keadilan sebagaimana dikembangkan oleh teori Plato/Aristoteles dan Thomas Aquinas. Plato mengutarakan pandangan tentang harmoni suasana yang alami tentram. Aristoteles mengutarakan (membagi dua adalah hukum
alam dan hukum positif) teori dualisme,
sebagai kontribusi (manusia bagian dari alam, manusia adalah majikan dari alam). Thomas Aquinas : ³Summa Theologica´ dan ³De Regimene Principum´. Membagi asas hukum alam menjadi dua adalah sebagai berikut:
(1) Principia Prima adalah merupakan
asas yang dimiliki oleh manusia semenjak lahir dan bersifat mutlak. (2) Principia Secundaria adalah merupakan asas yang tidak
mutlak dan dapat berubah menurut tempat dan waktu.
Immanuel Kant mengutarakan
pandangan tentang hukum kodrat metafisis yaitu tentangkodrat dan kebebasan.
Kodrat adalah merupakan lapangan dari akal budi, yang tersusunatas kategori
kategori pikiran, yang terdiri atas empat komponen dasar, yaitu
kualitet,kuantitet, relasi dan modalitet, tetapi dibatasi ruang dan waktu.
Kebebasan adalahlapangan dari dan bagi akal budi praktis, wilayah moralitas,
yaitu kebebasan normativeetis dari manusia, yang menampilkan ideal kepribadian
manusia.
Filsafat Thomas Aquinas mengakui
bahwa disamping kebenaran wahyu juga terdapat kebenaran akal. Adanya pengetahuan yang tidak ditembus aleh akal dan untuk itulah
diperlukan iman. Dengan demikian, menurut Aquinas, ada dua pengetahuan yang berjalan
bersama-sama, yaitupengetahuan alamiah dan pengetahuan iman. Mengenai pembagian hukum, Friedmann menggambarkan pemikiran Aquinas dengan menyatakan ada empat macam hukum yang diberikan
Aquinas, yaitu lex aeterna (hukum rasioTuhan yang tidak dapat ditangkap oleh
pancaindera manusia), lex divina (hukum rasio Tuhanyang bisa ditangkap oleh
pancaindera manusia), lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lexaeterna ke
dalam rasio manusia) dan lex positivis (penerapan lex naturalis dalam
kehidupanmanusia di dunia).
Hukum alam merupakan sebagai
metode tertua yang dapat dikenali sejak zaman sampai abadpertengahan (abad 7
dan ke-18). Hukum alam adalam merupakan sebagai substansi (isi) yaituberisikan
norma-norma, peraturan-peraturan dapat diciptakan dari asas-asas hak sasasi
manusia.Hukum alam menganggap pentingnya hubungan antara hukum dan moral.
- Positivisme Hukum (Aliran Positivis)
Aliran Positivisme menganggap bahwa keduanya hukum dan moral dua hal
yang harus dipisahkan.
Dan aliran ini dikenal adanya dua sub-aliran yang
terkenal yaitu;
a.
Aliran hukum
positif yang analitis, pendasarnya adalah John Austin. Ada empat unsur penting menurut Austin dinamakan
sebagai hukum;
·
Ajarannya
tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini berada di luar bidang hukum.
·
Kaidah moral
secara yuridis tidak penting bagi hukum walaupun diakui ada pengaruhnya pada masyarakat.
·
Pandangannya
bertentangan baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan mazhab sejarah.
·
Masalah
kedaulatan tak perlu dipersoalkan, sebab dalam ruang lingkup hubungan politik sosiologi yang dianggap suatu yang hendak ada
dalam kenyataan.
Akan tetapi aliran hukum positif pada umumnya kurang
atau tidak memberikan tempat bagihukum yang hidup dalam masyarakat. Austin
mengemukakan ciri-ciri positivisme, adalah sebagiberikut :
·
Hukum adalah
perintah manusia (command of human being),
·
Tidak ada
hubungan mutlak antar hukum moral dan yang lainnya,
·
Analitis
konsepsi hukum dinilai dari studi historis dan sosiologis,
·
Sistem hukum adalah merupakan system yang logis, tetap, dan bersifat tertutup, dan di dalamnya terhadap putusan-putusan yang tetap.
b.
Aliran hukum
positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen. Latar belakan ajaran hukum murni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu
idiologis, yaitu mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter. Dan dikatakan murni
karenahukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak yuridis yaitu anasir
etis, sosiologis, politis, dan sejarah. Maka menurut
Hans Kelsen hukum itu berada dalam dunia “sollen” dan bukan
dalam dunia “sein”. Sifatnya adalah hipotetis, lahir karena kemauan dan akal manusia. Ajaran Hans Kelsen mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh
bertentangandengan ketentuan yang lebih atas derajatnya). Dan John Austin
mengemukakan ada dua bentukhukum, adalah sebagai berikut; Positif law dan
Positif morality.
- Aliran Utilitarianisme
Aliran Utilitarianisme
dikemukakan tokoh aliran ini dalah Jeremy Bentham dan mengutarakan pendapatnya memegang prinsip manusia akan melakukan
tindakan untuk mendapatkankebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi
penderitaan (hukum itu harus bermanfaatbagi masyarakat, guna mencapai hidup
bahagia). Merupakan aliran yang meletakkan dasar dasarekonomi bagi pemikiran
hukum, prinsip utamanya adalah tujuan dan evaluasi hukum.
Bentham dan Jhon Stuart Mill
memiliki pendapat yang sejalan yaitu pembentukan undang-undang hendaknya dapat
melahirkan undang-undang yang dapat mencerminkan keadilan bagisemua individu.
- Aliran Mazhab Sejarah
Aliran Mazhab sejarah dipelopori Friedrich Carl von Savigny (Volk geist) hukum
kebiasaan sumber hukum
formal. Hukum tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama samadengan
masyarakat. Pandangannya bertitik tolak bahwa di dunia ini terdapat banyak
bangsa dantiap-tiap bangsa memiliki “volksgeist” jiwa
rakyat. Dia berpendapat hukum semua hukumberasal dari adat-istiadat dan
kepercayaan dan bukan berasal dari pembentukan undang undang.
- Aliran Sociological Yurisprudence
Sociological Yurisprudence
(living law) dipelopori Eugen Ehrlich (Jerman) tapi berkembang diAmerika Serikat (Roscoe) konsep hukum, hukum yang
dibuat agar memperhatikan hukum yanghidup dalam masyarakat baik tertulis maupun
tidak tertulis. Mengakui sumber hukum formalbaik undang undang maupun bukan
undang undang asal. Dipengaruhi oleh aliran positif sosiologis dan August Comte yang orientasinya
sosiologis.
Inti pemikiran Roscoe Pound hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yanghidup di dalam masyarakat.
Berpegang kepada pendapat pentingnya, baik akal maupun pengalaman.
- Aliran Realisme Hukum
Aliran Realisme Hukum
diidentikkan dengan Pragmatic Legal Realism dipelopori
oleh Roscoe Pound konsep hukumnya ( Law as a tool
of social engineering ) sub aliran positivisme hukum Wiliam James dan Dewey mempengaruhi
lahirnya aliran ini. Titik tolaknya pada pentingnya rasio atau akal sebagai
sumber hukum.
Menurut Liewellyn, aliran realism adalah merupakan
bukan aliran dalam filsafat hukum,tetapi merupakan suatu gerakan “movement”
dalam cara berfikir tentang hukum.
- Aliran Freirechtslehre (Aliran Hukum Bebas)
Aliran ini merupakan penentang Positivisme Hukum, tapi
sejalan dengan aliran Realisme Hukum. Penemuan Hukum Bebas bukan berarti
pengadilan tidak terikat pada undang-undang, tetapi undang-undang itu bukan
memegang peranan utama, tetapi sebagai alat bantu saja dan
keputusan-keputusannya tidakharus sama dengan yang tertuang dalam
undang-undang.
Menurut aliran ini, hakim mempunyai tugas menciptakan
hukum, bukan hanya menerapkan undang-undang, tetapi membuat suatu penyelesaian
yang tepat untuk suatu peristiwa konkrit. Bahkan menurut Stampe, bahwa
pengadilan berhak untuk mengubah hukum apabila hukum yang ada justru akan
mengakibatkan suatu malapetaka.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Zainuddin, 2011, Filsafat
Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta,
2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan
Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prasetyo, Teguh & Abdul Halim Barkatullah, 2009, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi
Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum.
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Internet :
http://hukum-on.blogspot.com/2011/02/filsafat-hukum.html,
diakses pada Kamis, 07 Mei 2015.
[1] http://hukum-on.blogspot.com/2011/02/filsafat-hukum.html,
diakses pada Kamis, 07 Mei 2015, Pukul 20.44 WIB.
[2] Ibid.
[3] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum,
Jakarta; Sinar Grafika, hlm.9.
[4] Ibid.
[5] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
Bandung: Citra Aditya Bakti, Cet. Ke-6, 2006, hlm. 364.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Dardji Darmodiharjo & Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, hlm. 102.
[10] Teguh Prasetyo & Abdul Hakim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang
Zaman, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. Ke-3, 2009, hlm. 80.
[11] Dardji Darmodiharjo & Shidarta, Op. Cit, hlm. 103.
[12] Satjipto Rahardjo, Op. Cit,
hlm. 266.
[13] Dardji Loc. Cit.
[14] Ibid, hlm. 104.
[15] Ibid, 105
[16] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm.
54.
[17] Drji Darmodiharjo & Shidarta, Op.
Cit, hlm. 107.
[18] Ibid.
[19] Ibid, hlm. 108.
[20] Ibid, hlm. 110-111.
[21] Ibid, hlm. 111-112.
[22] Ibid, hlm. 112.
[23] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm.
54.
[24] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op.
Cit, hlm. 113-114.
[25] Ibid, hlm. 114-116.
[26] Ibid, hlm. 117
[27] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm.
59.
[28] Ibid.
[29] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op.
Cit, hlm. 117-118.
[30] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm.
60
[31] Ibid.
[32] Ibid, hlm. 61.
[33] Ibid.
[34] Darji Darmodiharjo & Shidarta, Op.
Cit, hlm. 132-133.
[35] Ibid, hlm 134.
[36] Ibid.
[37] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm.
64.
[38] Ibid, hlm. 149
[39] Ibid.
[40] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar