Senin, 25 Januari 2016

Pada postingan sebelumnya telah dibahas mengenai macam-macam aliran/madzhab dalam Filsafat Hukum. Pada postingan kali ini akan dibahas mengenai perbandingan aliran-aliran/madzhab-madzhab tersebut. Berikut adalah pembahasannya :


A.    Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Aliran Hukum Lainnya
1.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Positivisme Hukum
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa melalui penalaran, hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang dibentuk oleh manusia.[1]
Secara sederhana, menurut sumbernya, aliran hukum alam dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu (1) irasional, yang berpendapat bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung, dan (2) rasional, yang berpendapat bahwa sumber dari hukum yang universal dan abadi itu adalah rasio manusia.[2]
Fungsi hukum alam pada zaman ini, masih banyak yang mempertanyakan menyangkut aturannya, apakah masih diperlukan atau sudah tidak diperlukan. Menurut Friedman, meskipun saat ini sudah tidak mungkin lagi menerima berlakunya hukum alam sebagai aturan, tetapi dalam sejarahnya, hukum alam telah memberikan sumbangan bagi kehidupan hukum saat ini. Sumbangan dimaksud adalah sebagai berikut :[3]
a.       Ia telah berfungsi sebagai instrumen utama didalam pentransformasian hukum perdata Romawi Kuno menjadi suatu sistem yang lebih luas dan bersifat kosmopolitan.
b.      Ia telah menjadi penjara yang digunakan oleh kedua pihak dalam pertarungan antara pihak gereja dengan pihak kekaisaran bangsa Jerman.
c.       Atas nama hukum alamlah maka kevalidan hukum Internasional dapat ditegakkan.
d.      Juga prinsip-prinsip hukum alam telah menjadi senjata para hakim Amerika ketika membuat interpretasi terhadap konstitusi mereka, yaitu dengan menolak campur tangan negara melalui perundang-undangan yang ditujukan untuk melakukan pembatasan dibidang ekonomi.
e.       Dan hukum alam telah menjadi tumpuan pada saat orang melancarkan perjuangan bagi kebebasan individu berhadapan dengan keabsolutan.
Kalau kita cermati beberapa pengertian mengenai hukum alam yang dikemukakan oleh beberapa ahli pada makalah kami sebelumnya (Aliran-Aliran/Mazhab-Mazhab Dalam Filsafat Hukum), maka pada prinsipnya hukum alam bukanlah suatu aturan jenis hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar dari pendapat para ahli hukum, kemudian dinberikan sebuah lebel yang bernama hukum alam.[4]
Dengan demikian, hakekat hukum alam ialah hukum yang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut Friedmann, sejarah hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam usahanya untuk menemukan apa yang disebut absolute justice (keadilan yang mutlak) disamping kegagalan manusia dalam mencari keadilan. Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola pikir masyarakat dan keadaaan politik di zaman itu.[5]
Sedangkan aliran Positivisme Hukum (Hukum Positif) memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen),. Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is acommand of the lawgivers).[6]
Keberadaan aliran positivisme dalam hukum oleh W. Friedmann diganbarkan dengan mengatakan bahwa pada prinsipnya pemisahan hukum yang ada dan hukum yang seharusnya ada adalah asumsi yang paling fundamental dari positivisme hukum. Hukum dapat dibagi kedalam undang-undang yang disebut hukum yang sebenarnya (hukum positif) dan undang-ndang yang disebut hukum yang tidak sebenarnya. Hukum positif adalah undang-undang yang diadakan oleh kekuasaan politik, sedangkan undang-undang yang tidak sebenarnya adalah yang tidak diadakan langsung atau tidak langsung oleh kekuasaan politik. Karena hukum positif mempunyai ciri empat unsur, yakni perintah, sanksi, kewajiban, dan kedaulatan.[7]
Dari uraian diatas, maka perbedaan yang mendasar dari kedua aliran hukum tersebut ialah :
a.       Aliran hukum alam menganggap keadilan yang mutlak/tidak dapat diganggu gugat, berlaku abadi, universal, dan kapanpun terlepas dari kehendak manusia, sedangkan positivisme hukum menganggap tidak ada hukum kecuali kaidah-kaidah hukum positif.
b.      Aliran hukum alam bersifat lebih sempurna dan mempunyai derajat yang lebih tinggi dari hukum buatan manusia dan dikatakan sebagai “hukum yang seharusnya” (law is it ought to be), sedangkan aliran hukum positif memandang hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat dan tolak ukur formallah yang menentukan adanya hukum.
c.       Aliran hukum alam bertolak dari pandangan bahwa hukum dan etika sangat erat kaitannya dengan keadilan, HAM, sosial, moral, kepatutan, dan sebagainya yang tidak sewenang-wenang dan tidak bergantung pada keputusan manusia, sedangkan aliran hukum positif bertolak dari pandangan bahwa hukum identik dengan undang-undang, diluar undang-undang bukanlah hukum dimana undang-undang merupakan satu-satunya sumber hukum, serta hanya yang dibuat oleh Badan Legislatif adalah hukum.
2.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Mazhab Utilitarianisme
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia.[8] Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan utilitarianisme terletak pada tujuan utama hukum. Bagi aliran hukum alam tujuan utama hukum adalah tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Sedangkan bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.



3.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Mazhab Sejarah
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.[9]
Sedangkan mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan mahzab sejarah terletak pada dasar terib sosial dan tertib hukum. Bagi aliran hukum alam dasar terib sosial dan tertib hukum bersumber pada universalitas penalaran hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Sedangkan bagi mahzab sejarah tiada hukum yang bersifat universal, tetapi hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum.
4.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Mazhab Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan sociological jurisprudence terletak pada dasar tertib sosial dan tertib hukum. Bagi aliran hukum alam dasar terib sosial dan tertib hukum bersumber pada universalitas penalaran hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Sedangkan bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Inti pemikiran mazhab ini ialah bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat.[10]
5.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan hukum alam dengan realisme hukum terletak pada dasar tertib sosial dan tertib hukum. Bagi aliran hukum alam dasar terib sosial dan tertib hukum bersumber pada universalitas penalaran hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam universalitas penalaran baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
6.      Perbandingan Aliran/Mazhab Hukum Alam Dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa penalaran hakikat makhluk hidup akan dapat diketahui dan pengetahuan tersebut mungkin menjadi dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum eksistensi manusia. Hukum alam dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.[11]
Sehingga perbandingan hukum alam dengan realisme hukum terletak pada dasar penerapan dalam peradilan. Bagi aliran hukum alam dasar penerapan hukum dalam peradilan bersumber pada universalitas penalaran hakikat makhluk hidup yang dianggap lebih tinggi dari hukum yang sengaja dibentuk oleh manusia. Sehingga menjadi rujukan dalam memutus perkara kunkrit di pengadilan. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang ataupun pada penalaran hakikat makhluk hidup. Hanya saja undang-undang dan penalaran hakikat makhluk hidup bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.

B.     Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Aliran Hukum Lainnya
1.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Utilitarianisme
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.[12]
Sedangkan utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan utilitarianisme ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran positifisme hukum bersumber pada perintah penguasa bertujuan untuk kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak.
2.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Mazhab Sejarah
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.
Sedangkan mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan mahzab sejarah ada pada letak sumber hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan bagi mahzab sejarah tiada hukum yang baik, melainkan hukum bersumber dari perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum.
3.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.[13]
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan sociological jurisprudence ada pada letak sumber hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif dan baik apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
4.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan realisme hukum ada pada letak sumber hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum dalam undang-undang baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
5.      Perbandingan Positivisme Hukum Dengan Ferirechtslehre
Gagasan mengenai positivisme hukum memandang bahwa perlu adanya pemisahan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kaca mata positivisme tiada hukum lain kecuali perintah penguasa. Karena hukum identik dengan undang-undang.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan positivisme hukum dengan realisme hukum ada pada penerapan undang-undang sebagai hukum. Bagi aliran positivisme hukum yang bersumber pada perintah penguasa pasti bertujuan dan menimbulkan kebaikan. Karena perintah penguasa yang dalam bentuk undang-undang identik dengan hukum. Sedangkan aliran freirechtslehre merupakan penentang paling keras Positivisme Hukum. Bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Hanya saja undang-undang bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
C.    Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Aliran Hukum Lainnya
1.      Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Mazhab Sejarah
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sedangkan mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran mahzab sejarah ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sedangkan bagi mahzab sejarah tiada hukum yang baik, melainkan hukum bersumber dari perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Karenanya, menurut mahzab sejarah hukum akan memberikan kemanfaatan bila bersumber dari perasaan keadilan yang terletak pada jiwa bangsa suatu negara.
2.      Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran sociological jurisprudence ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sedangkan bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang bermanfaat merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif dan bermanfaat apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
3.      Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran realism hukum ada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang bermanfaat mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum yang bermanfaat baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
4.      Perbandingan Antara Utilitarianisme Dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai utilitarianisme meletakkan kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan. Jadi, baik buruk atau adil tidaknya suatu hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia. Kebahagiaan ini selayaknya dapat dirasakan oleh setiap individu. Tetapi jika tidak mungkin tercapai, diupayakan agar kebahagiaan itu dinikmati oleh sebanyak mungkin individu dalam masyarakat (bangsa) tersebut.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan aliran utilitarianisme dengan aliran freirechtslehreada pada tujuan utama hukum. Bagi aliran utilitarianisme tujuan utama hukum adalah kemanfaatan. Sehingga baik atau tidaknya hukum bergantung kepada apakah hukum itu memberikan kebahagiaan kepada manusia atau tidak. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang harus terikat pada kemanfaatan. Kemanfaatan bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
D.    Perbandingan Antara Mazhab Sejarah Dengan Aliran Hukum Lainnya
  1. Perbandingan Mahzab Sejarah dengan Sociological Jurisprudence
Gagasan mengenai mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sedangkan sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sehingga perbandingan aliran mahzab sejarah dengan aliran sociological jurisprudence terletak pada sumber hukum. Bagi mahzab sejarah hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Sedangkan bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya selain harus sesuai dengan jiwa bangsa, hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.
  1. Perbandingan Mahzab Sejarah dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan aliran mahzab sejarah dengan aliran realism hukum terletak pada sumber hukum. Bagi mahzab sejarah hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum (sekalipun sejalan dengan jiwa bangsa) baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
  1. Perbandingan Mahzab Sejarah dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai mahzab sejarah memfokuskan bangsa, tepatnya jiwa bangsa sebagai dasar bagi tertib sosial serta tertib hukum. Karena masing-masing bangsa memiliki ciri yang khusus dalam berbahasa. Hukum pun demikian, karena tidak ada bahasa yang universal, tiada pula hukum yang universal.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan aliran mahzab sejarah dengan aliran freirechtslehreterletak pada sumber hukum. Bagi mahzab sejarah hukum timbul karena perasaan keadilan yang terletak di dalam jiwa bangsa itu. Jiwa bangsa itulah yang menjadi sumber hukum. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang ataupun pada jiwa bangsa dalam suatu hukum. Undang-undang sekalipun berdasarkan jiwa bangsa dalam suatu hukum bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.

E.     Perbandingan Antara Sociological Jurisprudence Dengan Aliran Hukum Lainnya
  1. Perbandingan Sociological Jurisprudence dengan Realisme Hukum
Gagasan mengenai sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.
Sehingga perbandingan aliran sociological jurisprudence dengan aliran realisme hukum terletak pada sumber hukum. Bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum (sekalipun telah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat) baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan.
  1. Perbandingan Sociological Jurisprudence dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai sociological jurisprudence memandang bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Aliran ini memisahkan secara tegas antara hukum positif dan hukum yang hidup dalam masyarakat.
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.[14]
Sehingga perbandingan aliran sociological jurisprudence dengan aliranfreirechtslehre terletak pada sumber hukum. Bagi aliran sociological jurisprudence hukum yang baik merupakan dialektika antara akal dengan pengalaman. Karenanya hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Undang-undang (sekalipun telah sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat) bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.
F.     Perbandingan Antara Realisme Hukum Dengan Freirechtslehre
Gagasan mengenai realisme hukum adalah hasil dari kekuatan-kekuatan sosial dan alat kontrol sosial. Karena itu, program ilmu hukum realis hampir tidak terbatas. Kepribadian manusia, lingkungan sosial, keadaan ekonomi, kepentingan bisnis, gagasan yang sedang berlaku, emosi-emosi yang umum, semua ini adalah pembentuk hukum dan hasil hukum dalam kehidupan. Itulah sebabnya bahwa hal yang pokok dari ilmu hukum realis adalah gerakan dalam pemikiran dan kerja tentang hukum.[15]
Sedangkan dalam freirechtslehre (ajaran hukum bebas) hakim mempunyai tugas menciptakan hukum. Penemu hukum yang bebas tugasnya bukanlah menerapkan undang-undang, tetapi menciptakan penyelesaian yang tepat untuk peristiwa konkret, sehingga peristiwa-peristiwa berikutnya dapat dipecahkan menurut norma yang telah diciptakan oleh hakim. Tidak mustahil penggunaan metode penemuan hukum bebas ini akan menghasilkan pemecahan yang sama seperti metode-metode yang lain. Ini adalah masalah titik tolak cara pendekatan problematik.
Sehingga perbandingan aliran realisme hukum dengan aliranfreirechtslehre terletak pada penerapan hukum dalam peradilan. Bagi aliran realisme hukum misalnya tidak ada hukum yang mengatur suatu perkara sampai pada putusan hakim pada putusan itu. Apa yang dianggap sebagai hukum baru merupakan taksiran tentang bagaimana hakim akan memutuskan. Sedangkan bagi aliran freirechtslehre penemuan hukum bebas bukanlah peradilan yang tidak terikat pada undang-undang. Undang-undang bukan merupakan peranan utama, melainkan sebagai alat bantu untuk memperoleh pemecahan yang tepat menurut hukum dan yang tidak perlu harus sama dengan penyelesaian undang-undang.


Demikianlah studi perbandingan atas ke-7 (ketujuh) aliran-aliran dalam filsafat hukum dengan telah diulas dan kalau dihitung menjadi 21 (kedua puluh satu) perbandingan aliran-aliran satu sama lainnya. Semoga dapat memberikan gambaran yang lebih utuh dan mendalam dari ketujuh aliran-aliran dalam filsafat hukum. Aamiin.



DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Zainuddin, 2011, Filsafat Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Darmodiharjo, Darji & Shidarta, 2008, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Prasetyo, Teguh & Abdul Halim Barkatullah, 2009, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rahardjo, Satjipto, 2006, Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Internet :




[1] Dardji, Op. Cit, hlm. 103.
[2] Ibid, hlm. 104.
[3] Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, Jakarta; Sinar Grafika, Cet. Ke-5, hlm. 51-52.
[4] Ibid, hlm. 52.
[5] Ibid.
[6] Dardji, Op. Cit, hlm. 113.
[7] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm 55.
[8] Dardji, Op. Cit, hlm. 117.
[9] Ibid,  hlm. 103.
[10] Zainuddin Ali, Op. Cit, hlm. 62.
[11] Dardji, Op. Cit, hlm. 149.
[12] Ibid, hlm. 113.
[13] Ibid, hlm. 128.
[14] Ibid, hlm. 149.
[15] Ibid, hlm. 133.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

A.      Latar Belakang Pembicaraan tentang korupsi seakan tidak ada putus-putusnya. Fenomena ini memang sangat menarik untuk dikaji, apala...