ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA (ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION) DALAM
PENEGAKAN HUKUM PIDANA OLEH KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA (POLRI)
Oleh:
Roli
Pebrianto, SH )*
)* Mahasiswa
Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana
Konsep Alternative Dispute Resolution
Alternatif
penyelesaian perkara, umumnya disebut dengan Alternative Dispute
Resolution atau alternatif penyelesaian sengketa, sejauh ini banyak
dikenal pada ranah hukum privat atau hukum perdata. Apabila dikaji lebih
lanjut, alternatif penyelesaian sengketa ini tidak hanya dapat dilakukan di
ranah hukum perdata, melainkan juga di ranah hukum pidana, walaupun alternatif penyelesaian sengketa dalam hukum pidana
dapat dilakukan dengan beberapa kondisi yang menyertainya.
Ide dasar dari adanya alternatif penyelesaian
perkara dalam perkara pidana adalah dikaitkan dengan sifat hukum pidana itu
sendiri. Hukum pidana bersifat Ultimum Remedium, Van Bemmelen
mengajukan pendapat, bahwa hukum pidana itu merupakan Ultimum Remedium (obat
terakhir). Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu
tidak cukup untuk menegaskan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum
pidana diterapkan. Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu Ultimum
Remedium. Ini tidak berarti bahwa ancaman pidana akan ditiadakan, tetapi
selalu harus mempertimbangkan untung ruginya ancaman pidana itu, dan harus
menjaga agar jangan sampai obat yang diberikan lebih jahat daripada
penyakitnya.[1]
Tujuan Alternative
Dispute Resolution adalah terwujudnya “Win-win solution” sebagai bentuk
penyelesaian perkara, sementara dalam hukum positif di Indonesia masih menganut
sifat “Win-lose solution”. Dalam artikel yang dibuat oleh Prof. Dr. Adrianus Meliala mengatakan bahwa “masyarakat (khususnya tingkat lokal)
sebenarnya memiliki kapasitas tersendiri untuk menyelesaikan permasalahan
perilaku seseorang atau beberapa orang warganya yang dianggap menyimpang atau
melanggar pidana”,[2] mengandung arti bahwa upaya penerapan Alternative Dispute Resolution sudah mendapatkan pembenaran oleh para pakar
pidana.
Oleh Mahkamah Agung, Kejaksaan, dan
Kepolisian dilakukan upaya koordinasi pemberlakuan ADR ini sebagai altenatif
dalam penyelesaian sengketa, maka Polri mengeluarkan Peraturan Kapolri Nomor 3 tahun 2015 tentang Pemolisian Masyarakat (Polmas) dengan menerapkan
ADR oleh petugas Polmas. Sedangkan pendapat pakar hukum lainnya yaitu
menurut H. Priyatna Abdurasyid mengatakan bahwa ; “Sekumpulan prosedur atau mekanisme yang berfungsi memberi alternative
atau pilihan suatu tata cara penyelesaian sengketa melalui bentuk APS/arbitrase
(negosiasi dan mediasi) agar memperoleh putusan akhir dan mengikat para pihak.
Secara umum, tidak selalu dengan melibatkan intervensi dan bantuan pihak ketiga
yang independen yang diminta membantu memudahkan penyelesaian sengketa
tersebut”.[3]
Mekanisme
Penyelesaian Sengketa Pidana dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia.
Criminal Justice
System atau sistem peradilan pidana diartikan
sebagai pemakaian pendekatan administrasi peradilan pidana. Sistem peradilan
pidana sebagai suatu hasil interaksi antara peraturan perundang-undangan,
praktek administrasi, dan sikap atau tingkah laku sosial. Pengerian sistem ini
mengandung implikasi suatu proses interaksi yang dipersiapkan secara rasional
dan dengan cara efisien, untuk memberikan hasil tertentu dengan segala
keterbatasannya.[4]
Sistem peradilan pidana diartikan secara
sempit sebagai sistem pengadilan yang menyelenggarakan keadilan atas nama
negara atau suatu mekanisme untuk menyelesaikan suatu perkara/sengketa. Dengan
demikian, dapatlah dikatakan bahwa, sistem peradilan pidana pada hakekatnya
merupakan sistem penegakan hukum pidana yang juga identik dengan sistem
kekuasaan kehakiman di bidang hukum pidana.[5]
Definisi sistem peradilan pidana menurut
Prof. Dr. H.R. Abdussalam, SIK., SH., MH, menjelaskan bahwa : “Sistem Peradilan Pidana merupakan proses
penegakkan hukum yang saling berkaitan dan ketergantungan antara sub system
polisi selaku penyidik, jaksa selaku penuntut umum, hakim, pengadilan dan
lembaga pemasyarakatan dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran materiil
untuk membuktikan terjadi tindak pidana kejahatan dan siapa
tersangka/terdakwanya.“[6]
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah
penulis uraikan diatas, maka dapatlah dikatakan bahwa mekanisme penyelesaian
sengketa dalam Sistem Peradilan Pidana harus melibatkan polisi, jaksa, dan
hakim untuk memutuskan perkara (pengadilan). Pelaksanaannya bekerja secara
linear sejak penanganan yang dimulai oleh Polisi hingga adanya putusan hakim,
kemudian pelaksanaan pidana oleh lembaga pemasyarakatan.
Dalam tulisan ini, penulis akan membatasi
pembahasan dalam hal mekanisme penyelesaian sengketa yang melibatkan polisi,
yakni mengenai peran POLRI dalam mewujudkan alternatif penyelesaian sengketa.
Peran POLRI dalam
Mewujudkan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Sebagaimana dengan judul diatas, penulis akan
lebih fokus untuk membahas mengenai alternatif penyelesaian sengketa sebagai
upaya dalam penegakan hukum oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI).
Polisi sebagai aparat penegak hukum terdepan
dengan segala aktivitas yang terjadi dalam masyarakat, khususnya mengenai
masalah kejahatan yang terjadi dalam masyarakat.[7]
Tugas dan tujuan kepolisian diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Undang-Undang ini adalah
Undang-Undang administratif, yang mengatur tentang Kepolisian.
Sebagai abdi negara, tugas pokok kepolisian Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang dirumuskan dalam ketentuan Pasal 13
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 diantaranya yaitu mampu memelihara keamanan
dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan perlindungan,
pengayoman, serta pelayanan kepada masyarakat.
Dalam kaitannya dengan tugas pokok Kepolisian tersebut,
terkandung makna bahwa terwujudnya keamanan dan ketertiban harus tetap
terpelihara. Peran Polri dalam mewujudkan situasi tersebut diimbangi dengan
pelaksanaan tugas penegakan hukum, sekaligus memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Kaitannya dengan penegakan hukum, Polri dituntut harus
melaksanakan tugasnya secara profesional dan proporsional, dimana Polri harus
mampu melihat dan mempertimbangkan tidak hanya aspek yuridis tetapi juga aspek
sosiologis. Bertindak profesional berarti pelaksanaan tugas harus dilakukan
sesuai aturan, ketentuan dan prosedur. Sedangkan bertindak proporsional,
berarti Polri harus mampu mempertimbangkan berbagai aspek sebelum melakukan
tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas, jangan sampai tindakan yang dilakukan
walaupun sudah sesuai dengan prosedur, justru menimbulkan permasalahan yang
lebih besar bahkan menimbulkan stigma negatif kepada Polri.
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa upaya penyelesaian
sengketa alternatif (Alternative Dispute Resolution) tidak hanya dikenal dalam
kaedah-kaedah hukum perdata, tetapi juga mulai dikenal dan berkembang dalam
kaedah hukum pidana. Salah satu jenis ADR yang mulai dikembangkan dalam hukum
pidana adalah dalam bentuk mediasi atau dikenal dengan istilah “mediasi penal” (penal mediation).
Mediasi penal (penal
mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain: mediation in criminal cases atau mediation in
penal matters yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jerman disebut Der Auergerichtliche Tataus-gleich dan dalam istilah Perancis
disebut de mediation penale. Karena
mediasi penal terutama mempertemukan antara pelaku tindak pidana dengan korban,
maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah Victim-Offender Mediation (VOM), Tter Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA).
Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar
pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga
kasus pidana diselesaikan di luar pengadilan melalui diskresi polisi atau
melalui mekanisme musyawarah/perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di
dalam masyarakat.
Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan
selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu
kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai, namun tetap saja
diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam perkembangan wacana
teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada
kecenderungan kuat untuk menggunakan mediasi penal sebagai salah satu
alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana.
Namun demikian terdapat pula beberapa Dasar Hukum
Pemberlakuan Mediasi Penal di Indonesia, yaitu:
a.
Surat Kepala Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Surat KAPOLRI) No. Pol : B/3022/XXI/2009/SDEOPS, tanggal 14 Desember
2009, Perihal Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR),
meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang
dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana
dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun
apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur
hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional. Surat ini menjadi
rujukan bagi kepolisian untuk menyelesaikan perkara-perkara Tindak Pidana Ringan, seperti Pasal: 205,
302, 315, 352, 373, 379, 384, 407, 482 KUHP. Surat ini efektif berlaku jika
suatu perkara masih dalam tahapan proses penyidikan dan penyeledikan;
b.
Delik yang dilakukan berupa ”pelanggaran yang
hanya diancam dengan pidana denda”. Menurut Pasal 82 KUHP, kewenangan/hak
menuntut delik pelanggaran itu hapus, apabila Terdakwa telah membayar denda
maksimum untuk delik pelanggaran itu dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan
kalau penuntutan telah dilakukan. Ketentuan dalam Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan
istilah ”afkoop” atau ”pembayaran denda damai” yang merupakan
salah satu alasan penghapus penuntutan;
c.
Tindak
pidana yang dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (sebagaimana dicabut dengan UU No.
11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak), batas usia anak nakal yang
dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18
tahun. Undang-Undang Nomor: 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang
memberi kewenangan kepada Komnas HAM (yang dibentuk berdasarkan Keppres Nomor:
50 Tahun 1993) untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM;[8]
Demikian tulisan
singkat ini, semoga dapat menambah khasanah keilmuan kita. Penulis menyadari
tulisan ini jauh dari sempurna, oleh sebab itu kritik dan saran yang membangun
sangat Penulis harapkan guna peningkatan tulisan-tulisan selanjutnya. Terima
Kasih.
Jakarta, 16 April 2018
Penulis
ROLI PEBRIANTO,SH
DAFTAR
PUSTAKA
Buku :
Andi
Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana:
Edisi Revisi 2008, Jakarta: PT. Rineka Cipta.
H.
Priyatna Abdurrasyid, 2002, Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Fikahati
Aneska bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional (BANI).
Moh.
Mahfud MD, 2007, Hukum Tak Kunjung Tegak,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Syaiful
Bakhri, 2010, Kebijakan Kriminal Dalam
Perspektif Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Yogyakarta: Total Media.
HR
Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007, Sistem
Peradilan Pidana, Jakarta: Restu Agung.
Internet :
Adiranus
E. Meliala, Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi dan Potensinya di
Indonesia, dikutip dari http://www.adrianusmeliala.com, diakses pada
Jum’at 27 November 2015.
Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
[1] Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum
Pidana: Edisi Revisi 2008, Jakarta:
PT. Rineka Cipta, 2008, hlm. 10.
[2]Adiranus E. Meliala,
Penyelesaian Sengketa Secara Alternatif: Posisi dan Potensinya di Indonesia,
dikutip dari http://www.adrianusmeliala.com, diakses pada
Jum’at 27 November 2015.
[3] H. Priyatna
Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa: Suatu Pengantar, Jakarta: PT. Fikahati Aneska
bekerjasama dengan Badan Arbitrase Nasional (BANI), 2002, hlm. 17.
[4] Moh. Mahfud MD, Hukum Tak Kunjung Tegak, Bandung: PT
Citra Aditya Bakti, 2007, hlm. 83-84.
[5] Syaiful Bakhri, Kebijakan Kriminal Dalam Perspektif
Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana, Yogyakarta: Total Media, 2010, hlm.
109.
[6] HR Abdussalam dan
DPM Sitompul, Sistem Peradilan Pidana,
Jakarta: Restu Agung, 2007, hlm. 3.
[7] Syaiful Bakhri, Op. Cit, hlm. 121.
[8] Lihat Pasal: 1 ke-7; Pasal 76:1; Pasal
89:4; Pasal 96 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Mantap Pak, menambahkan wawasan keilmuan saya terhadap penegakan hukum pidana oleh Polri
BalasHapus